Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Elite agama Islam, yang oleh kalangan masyarakat Jawa khususnya disebut kiai,1 seringkali dijadikan bahan perbincangan para pengamat dan bahkan oleh para kiai sendiri, menyangkut tentang layak tidaknya mereka menerima modernisasi. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kiai seharusnya berperan saja sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan agama, dan karena itu lebih tepat jika menghindarkan diri dari arus budaya modernisasi yang bersifat keduniawian.2 Sebaliknya, terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa tidak ada alasan kiai harus fanatik terhadap modernisasi sebab nilai modernisasi secara positif dapat kita adopsi sehingga dalam tataran kebutuhan unsur keduniawian kita tidak tertinggal. Dalam suasana silang pendapat seperti itu, ternyata di Mojokerto terdapat kiai yang mengadopsi nilai modernisasi. Dari sekitar 182 pesantren yang berada di Mojokerto, ternyata ada tiga pesantren yang telah bergeser dari model salafi ke model khalafi. Dasar pemikiran kiai terhadap perubahan pesantren salaf ke pesantren khalaf melalui beberapa alasan. Pertama, bisa ditelusuri dari sumber ajaran agama Islam sendiri, yang memiliki lingkup tidak hanya pada aspek ritual dan bimbingan moral, tetapi juga pada nilai-nilai disemua sisi kehidupan - baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, hukum, sosial, maupun persoalan politik. Sekalipun ajaran Islam lewat kitab suci al Quran memberikan tuntunan yang bersifat garis besar, tetapi tidak sedikit ajaran yang memberikan pesan-pesan mengenai penerimaan terhadap kemajuan, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Dan dalam hal ini, modernisasi tidaklah bertentangan sama sekali dengan kaidah yang syari. Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk memperhatikan bagaimana kaum Muslim memahami sebuah penegasan dalam al-Qur`an, yang menyatakan bahwa
Slamet Effendy, Yusuf, Dinamika Kaum Santri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), hal. 154. http://Gagasan Modernisasi Islam Cak Nur dan Harun Nasution Dinilai Keliru ada kabar apa.htm, diakses 2 Mei 2011.
2 1

Kami tidak pernah mengutus seorang Utusan pun kecuali untuk memberikan

pelajaran dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat membuat segala sesuatunya jelas bagi mereka.3 Menurut Nurcholis Madjid, dengan cara tersebut, al-Qur`an menunjukkan bahwa risalah Islam karena universalitasnya, dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural mana pun dan diwaktu kapan saja. Hal ini tentu saja membutuhkan relatifitas yang dapat mengantarkan manusia pada arus modernisasi yang positif dan konstruktif.4 Kemajuan yang terus berkelindan dengan masyarakat, menunjukkan bahwa modernisasi tidak hanya mengarah pada kebutuhan tersier namun mengarah pada kebutuhan yang sekunder dimana risalah Allah telah menyapa Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia akan benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati dengan kebenaran dan nasehat-menasehati dengan kesabaran.5 Manusia semacam ini, mengambil dari ilmu-ilmu masa kini secara optimal dan dengan segala kemampuannya berupaya untuk dapat unggul dibidangnya. Akan tetapi ia menggunakannya untuk tujuan mulia, yaitu melayani kebenaran, kebaikan, dan segala yang bermanfaat bagi manusia.6 Disisi lain, manusia menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling mulia dan unik. Ia terdiri dari jiwa dan raga yang masing-masing mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk rasional, sekaligus mempunyai nafsu kebinatangan. Ia mempunyai organ-organ kognitif, seperti hati (qalb), intelek (aql), dan kemampuan-kemampuan fisik, dan lain-lain. Dengan berbagai potensi semacam ini, manusia dapat menyempurnakan sisi kemanusiaannya, sehingga dapat menjadi pribadi yang sangat dekat dengan tuhan, tetapi bisa juga menjadi manusia yang sangat hina karena nafsu kebinatangannya.7 Dalam kerangka keunikan manusia dengan berbagai kemungkinan yang terbuka bagi dirinya, maka ilmu pengetahuan agama dan profan menduduki tempat yang amat penting dalam kehidupan manusia. Terkait hal tersebut, maka
QS., Ibrahim, 14:4. Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 105. 5 QS., Al-Ashr, 103: 1-3. 6 Yusuf Qardhawi, Umat Islam Menyonsong Abad Ke-21, (Solo: Intermedia, 2001), hal. 76. 7 Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 9. Dan juga dalam Nabih Abdurrahman Athman, Manusia dalam Tiga dimens, (Surabaya: Bungkul Indah, 1994), hal. 123.
4 3

modernisasi harus didasarkan pada sumber al Qur`an dan al Sunnah. Di samping

itu, mengambil nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran al Qur`an dan al Sunnah atas prinsip mendatangkan manfaat dan maslahat, serta menjauhkan manusia dari kemadaratan, merupakan nilai positif yang wajib diperhitungkan. Dengan dasar ini, maka modernisasi dapat diletakkan dalam kerangka sosiologis, menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia. Kedua, dalam Islam tidak mengenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu profan. Berbagai ilmu yang berkembang dalam Islam, memang mempunyai suatu hirarkhi. Tetapi hirarkhi ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang Yang Maha Tunggal, substansi dari segala ilmu. Hal ini oleh para intelektual muslim diintegrasikan melalui ilmu-ilmu yang

dikembangkan berupa peradaban yang berbeda ke dalam skema hirarkhi ilmu pengetahuan menurut Islam. Alasan inilah, kenapa para ulama, filosof, teolog dan ilmuwan Islam sejak masa zaman keemasan Islam sangat peduli dengan klasifikasi ilmu pengatahuan.8 Pemikir-pemikir Islam modern, melihat masyarakat muslim yang sedemikian itu mencoba merekonstruksi pemahaman-pemahaman keagamaan di tengah perubahan dan perkembangan zaman agar tidak tertinggal dengan kemajuan Barat (Eropa dan Amerika), terutama dalam merespon ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran ini membawa angin pencerahan (aufklarung) bagi masyarakat Islam. Pemikiran ini berusaha untuk

membangkitkan kembali ghirrah Islam, sebagaimana peradaban Islam dimasa lampau. Revitalisasi ini tidak sekedar menselaraskan kehidupan muslim dengan ketentuan-ketentuan syariat, tetapi kehidupan sosial yang lebih luas, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.9 Oleh karena itu, mensinergikan antara idealitas dan realitas, antara wahyu dan akal menjadi mutlak dilakukan dengan selalu mempertimbangkan maslahat dan manfaat bagi manusia. Ini penting dilakukan, karena disamping sains dan teknologi membawa cita-cita ideal bagi manusia, juga membawa akses yang

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. xii. 9 Abdul Munir Mulkhan dkk., Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiusitas IPTEK,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 80.

merugikan bagi manusia, jika hal ini belum ada kesiapan secara matang untuk

mengadopsinya.10 Dilihat dari sisi sejarahnya, keterlibatan kiai dalam modernisasi sudah berdenyut pada awal abad ke 20, modernisasi mulai terlihat pada masa Orde Baru. Sebagai konsekuensi dari pemerintahan Orde Baru pada tahun 1970-an ketika Mukti Ali menjabat sebagai menteri agama saat itu telah memberikan entry point modernisasi pesantren melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P&K, dan Menteri Dalam Negeri) NO. 6 Tahun 1975. SKB Tiga Menteri ini merupakan salah satu frame terpenting dalam integrasi pesantren dalam mainstream modernisasi khususnya pada pendidikan Islam.11 Dengan merujuk pada landasan yuridis konstitusional tersebut mulai terdeteksi adanya gradasi arus perubahan paradigma para kiai. Sebagai tokoh sentral agama di masyarakat, seorang kiai yang sebelumnya hanya terlibat dalam urusan keagamaan maka potret tersebut berubah, dimana kiai juga memiliki kontribusi serta peluang dalam pemikirannya untuk terlibat dalam modernisasi misalkan santri diperkenalkan terhadap masalah Islam kontemporer baik yang bersifat nasional maupun global. Ketiga, posisi kiai sebagai elite agama yang memiliki pengikut (jamaah) dan pengaruh yang kadangkala begitu luas di tengah-tengah masyarakat, menjadikan mereka terlibat dalam persolan pengambilan keputusan bersama, kepemimpinan, penyelesaian problem-problem sosial, pengembangan pendidikan, dan

kemasyarakatan. Lebih dari itu, kiai dalam mengembangkan dakwah atau misinya tidak dapat terlepas dari arus modernisasi. Dakwah akan mudah dan berhasil jika melakukan sebuah akselerasi dan transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini alumni pesantren diharapkan dapat banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan mengikuti perkembangan dan tuntutan masayarakat akan kebutuhan hidup masa kini. Keberadaan kiai di tengah-tengah masyarakat pada umumnya melakukan banyak peran. Mereka dapat sebagai pendidik agama, pemuka agama, pelayan
Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1984), hal. 150. Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal: 2-3.
11 10

sosial dan tokoh sentral masyarakat.

Sebagai pendidik agama, kiai biasanya

memiliki pondok pesantren, dimana sehari-hari mereka mengajarkan agama kepada para santrinya. Sebagai pemuka agama, mereka bertindak sebagai pemimpin kegiatan ibadah seperti shalat, khutbah, doa, puasa, zakat dan haji. Sebagai pelayan sosial, seringkali mereka dijadikan tempat bertanya atau tumpuan orang-orang meminta nasehat, tempat meminta layanan penyembuhan lewat kekuatan supranatural, dan sebagai orang yang dituakan dan sebagainya. Sedangkan dalam tokoh sentral masyarakat, mereka bertindak sebagai orangorang yang dapat dijadikan panutan atau uswah khasanah baik dalam tingkah laku maupun gaya hidup.12 Secara sosiologis peran kiai di tengah-tengah masyarakat seperti yang di ilustrasikan di atas, khususnya pada komunitas santri, menjadikan posisinya sangat diistimewakan. Mereka dihormati dan nasehat-nasehatnya dipatuhi. Status ekonomi mereka pada umumnya beragam; namun, pada umumnya berasal dari keluarga berada, memiliki tanah yang cukup luas, dan bahkan ada yang berasal dari kelompok bangsawan. Akumulasi dari status sosial dan kekayaan semacam itu, ditambah dengan luasnya pengetahuan keagamaan mereka, menjadikan kiai sebagai pemimpin kharismatik yang disegani. Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Zamakhsari yaitu kebanyakan kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren.13 Pada hakikatnya kiai selama ini lebih dikenal sebagai tokoh agamawan yang sangat sulit runtuh, hal ini cukup berasalan karena para santri maupun masyarakat membutuhkan petunjuk dalam penyelesaian problem-problem yang bermuatan keagamaan. Dengan demikian, kiai akan tetap dengan fatwahnya, diikuti petunjuknya, dijadikan referensi keputusannya, sekalipun muncul bentuk kepemimpinan lain yang berkaitan dengan ekonomi, sosial maupun politik

Imam Suprayogo, Kiai dan Politik, Membaca Citra Politik Kiai, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hal. 3. 13 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 56.

12

sebagai konsekuensi tuntutan zaman. Peran kiai sebagai penyandang pengetahuan

agama tetap dianggap penting, setidaknya untuk kalangan santri. Di pesantren, seorang kiai sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi perkembangan masyarakatnya. Pengaruh modernisasi terhadap kiai biasanya ditandai oleh gejala spesialisasi dan deferensiasi, termasuk dalam

kepemimpinannya. Posisi kiai yang amat istimewa tersebut tidak lepas dari tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat santri, khususnya di Mojokerto, yang beranggapan bahwa dalam beragama seseorang harus mengikuti apa yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai tokoh sentral agama di masyarakat, seorang kiai juga memiliki kontribusi peluang dalam pemikirannya untuk menangkis arus modernisasi dimana santri diperkenalkan terhadap Islam kontemporer, tantangan nasional maupun global. Keempat, dengan wacana modernisasi inilah santri dibekali dengan kecakapan bahasa Inggris dan bahasa Arab, ketrampilan (komputer dan internet), musik Islami, dan olah raga yang sebelumnya tidak di peroleh di pesantren. Salah satu contoh pengakuan akan pentingnya nilai-nilai modernisasi disimbolkan dengan membiasakan para santri mengenakan jas dan dasi.14 Berbagai perkembangan nilai modernisasi di pandang sangat urgen karena mengingat tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan keseimbangan ruhani dan ukhrawi dalam periode ini sangat perlu untuk ditransmisikan. Salah satu contoh bagi alumni santri pesantren salaf yang hanya terbatas mempelajari kitab-kitab klasik saja, dan santri tidak memiliki ijazah maupun kecakapan hidup (life skill) yang menunjang ketika berada dilingkungan masyarakat, maka dalam posisi tersebut seorang santri sering kehilangan peluang. Maka dengan jelas posisi tersebut sebagai alumni pesantren akan masyarakat yang modern. Guna menyesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi, yang menjadi motor penggerak modernisasi dewasa ini, serta keserasian dalam masyarakat (social equilibbrium) terhadap perubahan dan kemajuan,15 modenisasi pesantren dipandang sangat perlu untuk ditransmisikan terutama oleh para pengelola pesantren dalam hal ini adalah kiai dengan tanpa menafikan pola-pola tradisional
14 15

termarjinalkan di tengah-tengah

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi....hal: 115. Soejono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal: 38.

yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut cukup berasalan karena kebanyakan

orang tua saat ini lebih suka memasukkan anaknya ke kelas lembaga pendidikan umum di banding kelas pesantren, hal ini dipandang memiliki relevansi dengan lapangan kerja di kemudian hari.16 Terkait dengan setuju atau tidak terhadap revitalisasi pesantren dalam pengembangan pesantren, memang terlihat masih terdapat perang wacana antara aliran modernis yang terdiri dari kiai modern. Kiai ini cenderung progresif terhadap perubahan zaman dan mereka lebih intens dalam membuat pola-pola pengembangan pesantrennya. Hal ini bersinggungan dengan aliran tradisionalis, aliran modernis yang menuntut persinggungan yang intens dengan teknologi, perkembangan informasi serta tanggap dalam isu-isu krusial sehingga pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning dinisbatkan pada aliran tradisional menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keotentikan dalil-dalil yang ada. Sehingga menurut sebagian masyarakat dengan karakter yang terbina dari pesantren salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha

mempertahankan keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim. Faktor terlahirnya ekstrim baru ini adalah proses modernisasi santri tanpa disertai bekal ruhiyah yang kuat dan mendalam. Sehingga para santri menjadi terlalu permisif memperbolehkan terhadap ideologi lain dan dengan mudahnya mengesampingkan ideologi Islam yang selama ini ia pahami.17 Fenomena inilah yang ditakutkan oleh pesantren salaf, ketika dia harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat. Betapa banyak kalangan santri yang berubah jadi nyeleneh setelah mengenal ideologi-ideologi yang berkembang di belahan dunia Barat. Beberapa santri yang sudah lulus pesantren kemudian dibiayai kuliahnya ke luar negeri untuk mempelajari teologi Islam, malah balik menentang ideologi yang bertahun-tahun mereka dapati di pondok dulu. Paradigma moderat dan open minded yang diharapkan dari seorang santri modern bagai api jauh dari panggang. Sepak terjang mereka kini malah jauh lebih kontraproduktif bahkan menyesatkan bagi muslim-muslim abangan. Amanat
16 17

Abdul Jamil dkk., Pesantren Kabudayaan, (Semarang: IAIN Walisongo, 1999), hal: 27. Imam Suprayogo, Kiai dan Politik....hal. 2-3.

orisinalitas ideologi Islam yang dulu mereka emban bertransformasi menjadi

sinkrotisme yang menyesatkan.18 Hal ini sepertinya didukung dengan pernyataan Van Dusen seorang tokoh pendidikan justru mengkritik bahwa pendidikan persekolahan telah gagal dalam upaya menjalin kekuatan yang menyatukan falsafah keagamaan dalam orientasi pembelajaran karena timbulnya konflik antara sisi keagamaan di satu sisi fihak dengan sisi sekuler dipihak lain dalam dunia pendidikan sekolah. Kegagalan itu berakibat pada gagalnya pembinaan watak anak didik karena sistem pendidikan sekolah lebih mengutamakan aspek pengembangan aspek intelektual daripada pembinaan pribadi. Pernyataan tersebut, juga mendapat dukungan tokoh pendidikan lain seperti, Everret Reimer, Paulo Freire, dan Neil Postman yang secara tegas-tegas menyatakan tentang tidak perlunya lagi sistem persekolahan dilanjutkan karena kecenderungan untuk tidak memanusiakan manusia dan menimbulkan tragedi manusia. Selanjutnya figur kiai ternyata memiliki karakteristik yang efektif, yang mengedepankan fungsi pelayanan sebagai tuntutan masyarakat modern, mengedepankan mutu pendidikan, dan terbiasa dengan tradisi inovasi. Walaupun dalam penerapannya tidak seideal konsep dan teori-teori, sebab ada banyak kemungkinan yaitu faktor keterbatasan intelektual, jaringan sosial dan kepekaan untuk merespon tuntutan masyarakat, namun hal ini menjadi warna yang saling melengkapi. Para tokoh pendidikan tersebut menyarankan dipilihnya alternatif baru sistem pendidikan selain sekolah.19 Perubahan pesantren dalam Islam dipahami sebagai sebuah proses tranformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap santri, melalui proses pengembangan fitrah, agar memperoleh keseimbangan hidup dalam aspeknya.20 Memanasnya perang wacana antara mengikuti arus modernisasi atau tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah pesantren masih tetap berkelindan di masyarakat. Berangkat dari wacana diatas, lembaga pasantren pada saat ini memiliki dua opsi yaitu menjadikan modernisasi ini sebagai peluang atau

http:// modernisasi pesantren, antara tuntutan dan ancaman.htm, diakses 9 Mei 2011. M. Zainuddin, Pendidikan Islam; Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hal. 110. 20 Muhaimin, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 136.
19

18

tantangan. Dipersepsikan sebagai peluang karena dalam masa-masa ini banyak

disaksikan meningkatnya antusiasme akan kajian Islami dikolaborasikan dengan kajian umum dikalangan masyarakat. Meningkatnya kecintaan kepada Islam ini membuat banyak kalangan orang tua, khususnya kalangan kelas menengah tumbuh Muslim rising middle class, semakin berusaha mendapatkan pendidikan Islami yang berkualitas bagi anak-anak mereka.21 Dengan demikian peran kiai terhadap perkembangan santrinya pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilai-nilai budaya Islam untuk mengembangkan potensi manusia, dan sekaligus proses produksi nilai-nilai modernisasi sebagai interaksi potensi dengan masyarakat sesuai konteks zamannya. Kunci keberhasilan kiai agar mampu menangkap ruh ajaran Islam yang sesungguhnya dan selalu menerima konteks dengan kehidupan tiada lain adalah melalui proses pendidikan. Fazlur Rahman mengatakan bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan demikian Mastuhu, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki daya akal dan kehidupan, maka ia harus membentuk peradaban dan memajukan kehidupan melalui proses pendidikan.22 Sebaliknya, jika modernisasi digunakan sebagai tantangan maka masyarakat Muslim harus pandai membuat formula untuk menghadapi tantangan tersebut, walaupun harus melalui rekonstruksi atau bahkan mendekonstruksi pola pemikiran maindset kiai terhadap metode klasik dan berani menerima perubahan serta tuntutan masyarakat akan kebutuhan baik kebutuhan jasmani maupun ukrawi, tapi tidak kering terhadap ruang kretifitas kultural figur kiai. Substansi dari gagasan-gagasan pemikiran kiai dibangun dari pola interaksi antara kearifan lokal pesantren dan mampu mengkonsumsi nilai modernisasi sesuai dengan kontent positifnya. Bangunan ini jelas memerlukan proses yang inovatif namun tetap memperhatikan nilai humanism, karena pada sisi inilah yang sering menimbulkan ketakutan warga muslim yang berada pada garis tradisional. Adanya pergeseran dari tradisional ke arah nilai modernisasi pada hakikatnya tidak mengurangi akan substansi pada konteks peran kiai sebagai orang yang memiliki ilmu lebih di bandingkan dengan orang awam. Sebaliknya
21 22

Zamakhsari Dhofier. Tradisi Pesantren Studi.....hal: 1. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 1.

dengan modernisasi masyarakat dapat melihat bertambahnya nilai khasanah

keilmuan di dalam kajian keislaman maupun ilmu profan. Berdasarkan dari wacana di atas, beberapa pesantren sudah memulai bergerak melakukan pergeseran dari nilai pesantren salaf ke pesantren khalaf. Tujuan proses modernisasi pondok pesantren ini tidak lain adalah berusaha untuk menyempurnakan nilai keislaman secara universal dan tidak kering akan kebutuhan mendasar manusia sebagai makhluk sosial. Secara perlahan muncul geliat adanya pondok pesantren yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka evolusi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Nilai modernisasi bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar pesantren, usaha untuk mengadakan hal-hal yang baru (diversifikasi) program dan kegiatan di pesantren, dan memposisikan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat serta kritis dalam menanggapi masalah-masalah krusial seperti pendidikan umum dan kewirausahaan yang disinyalir juga banyak melibatkan peran seorang kiai.23 Namun demikian, sebenarnya polemik tentang kiai mengadopsi nilai modernisasi ini melahirkan banyak interpretasi. Terbukti banyak kiai masih setia mempertahankan kultur pesantren, di mana santri hanya dibekali spesifikasi terhadap kitab-kitab klasik dan tidak mengadopsi nilai-nilai modernisasi. Hal ini mengindikasikan bahwasannya tidak semua pesantren yang notabene sebagai lembaga dakwah menerima modernisasi, sebaliknya mereka lebih menjaga kultur budaya pesantren yang tradisional. Dipihak lain ada yang menyatakan bahwa kiai boleh dan bahkan harus mengikuti arus modernisasi karena modernisasi merupakan bagian dari tanggung jawab kiai sebagai elite agama. Perbedaan pandangan ini bukan saja mempersoalkan peran keterlibatan elite agama dalam modernisasi, tetapi juga menghadapkan langsung pada

perkembangan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dan bersinggungan langsung dengan modernisasi. Suasana dilematis itulah yang menjadikan para kiai akhirnya sampai pada keputusannya masing-masing dan secara variatif serta fleksibel menempatkan dirinya pada pesantren yang masih pure manjaga nilai
23

http://modernisasi pesantren, antara tuntutan dan ancaman.htm, diakses 9 Mei 2011.

kesalafannya dan lainnya telah mengadopsi nilai-nilai modernisasi. Munculnya

fenomena modernisasi di Mojokerto dalam dekade ini melahirkan istilah dengan kiai modern walaupun istilah tersebut masih samar-samar. Karena kiai tidak bisa dipisahkan dari pesantrennya, maka banyak dibidang pendidikan seorang kiai mendirikan madrasah ataupun pendidikan formal misalkan dengan istilah lembaga pendidikan berupa pesantren modern, pesantren unggulan maupun pesantren akslerasi, dan lain-lainnya. Keterlibatan kiai dalam arus modernisasi ini memberikan wacana yang menarik. Kiai yang semula mempertahankan kultur salaf dengan memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu memperjuangkan Islam kini bergeser pada wacana pesantren yang mengadopsi nilai modernisasi namun uniknya para kiai ini juga tidak meninggalkan kultur budaya pesantren. Fenomena tersebut akhirnya meruncing pada tataran apa makna modernisasi menurut para kiai? dan mengapa muncul makna modernisasi yang sangat bervariatif? Sebagaimana yang sudah disinggung di muka, menurut M. Amin Abdullah, bahwa memasuki era glibalisasi ini, pesantren dituntut untuk bertindak tepat dan cepat dalam merespon modernitas. Jika pesantren tidak hanya ingin sekedar survive dan mampu tampil di depan, pesantren harus mampu reorientasi pemikiran pendidikan Islam dan rekontruksi sistem dan kelembagaannya.24 Senada dengan pendapat Amin Abdullah, menurut Abdullah Syukri Zarkasyi, bila diamati secara cermat, pertumbuhan dan perkembangan pondok pesatren modern lebih pesat bila dibandingkan dengan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tradisional (salaf). Bahkan ada indikasi pergeseran sistem dan pola dari tradisional ke modern.25 Kurang lebih satu dasawarsa ini, dalam proses modernisasi yang diterapkan di pesantren Mojokerto, hal ini tentu saja berpengaruh besar pada posisi kiai yang bervariasi, tidak sebagaimana sebelumnya yang relatif homogen. Peran kiai dalam memilih dan mengfungsikan nilai modernisasi sangat tampak fleksibel, dimana

Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Lihat Tesis Mustatho, Modernisasi Pesantren. Tesis, tidak diterbitkan, (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Surabaya, 2007), hal: 2. 25 Abdullah Syukri Zarkasyi. 2001. Langkah Pengembangan Pesantren dalam M. Munir Mansyur, Modernisasi Pondok Pesantren Dalam Perspektif K.H. Imam Zarkasyi. Tesis tidak diterbitkan, (Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya). hal: 2.

24

hal itu hampir tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, dan kini potret kiai

mengadopsi nilai modernisasi yang bernafaskan Islam mulai bergulir. Para kiai yang selama ini dilihat dari sejarahnya sebagai pihak yang memiliki visi, misi, dan ideologi yang sama kini telah bergeser pada pengembangan Islam melalui instrumen nilai modernisasi. Kenyataannya bahwa pesantren yang diasuhnya kini cenderung banyak diminati oleh masyarakat khususnya yang memiliki perekonomian menengah keatas. Dalam dunia pesantren hal ini menjadi wacana tersendiri dan tentu saja bukan hal yang tabu lagi. Perbedaan wacana kiai dalam hal visi, misi dan ideologi, jelas sudah berada pada kelompok yang berlainan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kesiapan kiai dalam menghadapi arus modernisasi terhadap pengembangan pesantren yang diinginkan oleh masyarakat kini? Sikap yang fleksibel dalam menentukan dan mengadopsi nilai modernisasi tersebut mengakibatkan kiai menempati posisi pada arus modernisasi disisi lain sebagai pemuka agama yang ingin melakukan fungsi sebagai sumber nilai dan moral umat,26 hal ini memberikan perbedaan jarak apakah fungsi modernisasi mampu mewujudkan sepenuhnya apa yang dikehendaki masyarakat. Kiai yang seringkali disebut sebagai kelompok intektual tradisional diharapkan oleh masyarakat melakukan peran yang berkaitan dengan modernisasi misalnya melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan luar negeri dan memasukkan muatan kurikulum umum ke dalam kurikulum pesanren. Demikian pula sebagai agamawan kiai menyandang misi amar makruf dan nahi munkar.27 Kiai sebagai pemimpin informal sesungguhnya secara teoritik menyangga misi yang sama, yaitu menjadi pemuka dalam upaya terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera di tengah kehidupan secara universal. Akan tetapi, dalam kenyataannya, tidak jarang terjadi potret yang berbeda di dunia riil. Selain aktif sebagai pengasuh pesantren kiai berpotensi untuk melakukan inovasi-inovasi mengadopsi modernisasi, melalui simbol-simbol kemoderenan. Karena Peran kiai memiliki pengaruh kuat dan luas baik terhadap lingkungan masyarakat khususnya bagi santri.

26 27

Yusuf Qardhawi, Umat Islam Menyonsong Abad Ke-21, (Solo: Intermedia, 2001), hal. 77. Imam Suprayogo, Kiai dan Politik....hal. 17.

Sepanjang pengetahuan peneliti, sudah ada beberapa penulis yang mengkaji

dan menyoroti tentang modernisasi, lebih-lebih mengkaji tentang modernisasi pesantren khususnya membidik tentang sistem pendidikan khususnya pada konsep kurikulum. Dari beberapa tulisan tentang modernisasi yang telah ada, peneliti mengakui akan kesempurnaan karya-karya tersebut, baik dari sisi materi, metodologi dan sejarahnya sehingga karya yang ditulis oleh beberapa penulis tersebut cukup membantu peneliti dalam membuat tesis ini. Pada titik klimaksnya peneliti menyoroti penelitian bagaimana kiai mengformulasikan sebuah modernisasi, melihat bagaimana polanya, karakteristik pemikirannya yang nantinya dapat melahirkan sebuah tipologi kiai bagaimana kehadiran

pemikirannya terhadap isu-isu modernisasi yang berkembang sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Itulah antara lain yang menjadi fokus penelitian tesis ini. Hal ini Penulis lakukan, mengingat belum ada yang membidik secara langsung bagaimana modernisasi perspektif kiai.

B. Batasan Masalah Sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul pada latarbelakang masalah di atas, ada beberapa masalah mendasar yang sangat penting untuk diteliti. Beberapa permasalahan di atas, bisa dipetakan menjadi tiga sisi menarik. Pertama, makna modernisasi di kalangan kiai yang sangat bervariatif. Kedua, kesiapan kiai dalam menghadapi arus modernisasi. Ketiga, bagaimana isu-isu yang berkembang dikalangan kiai mengenai nilai modernisasi dalam hal pendidikan dan kewirausahaan. Dari permasalah pertama, melahirkan pertanyaan sebagai berikut: 1) Apa makna modernisasi menurut kiai? 2). Mengapa kiai mengadopsi nilai-nilai modernisasi? Sementara dari permasalah kedua, melahirkan pertanyaan 3).

Bagaimana sikap kiai dalam menghadapi arus modernisasi? Dan dari permasalahan ketiga muncul pertanyaan 4). Bagaiman reaksi kiai atas isu-isu modernisasi dalam hal pendidikan dan kewirausahaan? Dan dari pertanyaan ini akhirnya mampukah riset ini melahirkan sebuah tipologi kiai.

C. Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang berhasil diidentifikasi, maka penelitian ini

akan fokus mengajukan beberapa rumusan pertanyaan sebagai berikut: 1. 2. Apa makna modernisasi bagi para kiai di Mojokerto? Bagaimana pemikiran modernisasi kiai tentang pendidikan dan kewirausahaan yang berkembang di Mojokerto? 3. Bagaimana pemikiran modernisasi kiai dengan masyarakat di Mojokerto?

D. Tujuan Penelitian Ingin memperoleh gambaran secara mendalam tentang modernisasi menurut pandangan kiai di Mojokerto melalui pendekatan yang ada dan interaksi antara kondisi pesantren dan tuntutan zaman. 1. Ingin memperoleh gambaran secara mendalam tentang pola pemikiran modernisasi kiai di Mojokerto. 2. Ingin memperoleh gambaran bagaimana para kiai merespon isu-isu modernisasi dalam hal pendidikan dan kewirausahaan di Mojokerto. 3. Ingin memperoleh wacana dialektika pemikiran modernisasi perspektif kiai terhadap masyarakat di Mojokerto.

E. Kegunaan Penelitian 1. Teoritis Menjadi sumbangan khazanah keilmuwan, khususnya pada kajian Sosiologi Agama.

2. Praktis Memberikan motivasi kepada pesantren yang belum mengadakan perubahan dan pengembangan Penelitian ini menjadi salah satu input data penting untuk lembaga Departemen Agama wilayah Mojokerto terkait dengan peta perubahan dan pengembangan pondok pesantren dari salafi ke salafu kholafi (modern).

F. Orisinalitas Penelitian

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti perlu mengemukakan beberapa hasil penelitian terdahulu, dengan tujuan agar perbedaannya dapat diketahui lebih jelas. Diatara penelitian terdahulu, antara lain: Dalam tesis yang berjudul Modernisasi Pondok Pesantren dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasyi oleh Munir Mansur (2000), adapun isi dari tesis ini adalah mengupas tentang sisi modernisasi pendidikan dan sisi tradisionalnya. Penelitian ini menjelaskan tentang pendidikan yang modern harus siap menerima hal-hal baru yang sifatnya inovatif agar atmosfer pendidikan Islam lebih berwarna, walaupun secara praktis belum menjelaskan konsep yang mendetail sehingga penelitian ini masih bersifat umum. 28 Choirul Anwar (2004), meneliti tentang Modernisasi Pondok Pesantren Salafiyah, penelitian ini mempertahankan tentang nilai-nilai salafiyah dan memadukan pendidikan formal dalam penataan kelembagaan dan organisasi. Fungsi pondok tidak lagi terbatas sebagai tempat tinggal dan mengaji saja, namun digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar pendidikan formal agar santri tetap survive dengan perkembangan zaman. Adapun cara kepemimpinan kiai lebih didasarkan pada demokrasi dibawah majelis keluarga.29 Sugianti (2006), dengan tesisnya yang berjudul Kiai dan Modernisasi Pendidikan Pesantren, berisi tentang konsep modernisasi yang membawa nilai profesionalisme dalam berbagai bidang kehidupan dan keilmuan, tidak

sepenuhnya terbukti mempersempit wilayah peran kiai dalam kehidupan masyarakat modern, sebagaimana diasumsikan banyak kalangan. Para kiai

dipercaya sebagai pemimpin yang tidak hanya dalam lingkungan pesantren, namun juga organisasi-organisasi kemasyarakatan. Ditambahkan lagi oleh Sugianti bahwa seorang kiai dalam mengembangkan lembaganya meskipun

Munir Mansur, Modernisasi Pondok Pesantren Dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasyi. Tesis, tidak diterbitkan, (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Surabaya, 2000), hal. 29. 29 Choirul Anwar, Modernisasi Pendidikan Pesantren Salafiyah, Tesis tidak diterbitkan, (Malang: Program Pascasarjana Malang, 2004), hal. 147.

28

lamban namun tetap mengalami modernisasi sehingga eksistensi mereka tetap

kokoh ditengah-tengah masyarakat.30 Mustatho (2007), Modernisasi Pesantren Perspektif Nurcholis Madjid, dalam penelitian ini membahas tentang perlunya perumusan kembali visi dan misi pesantren karena dipandang pesantren selama ini diserahkan pada kiai semata dengan pembantunya, sehingga pada akhirnya keputusan hanya bersandar pada improvisasi pribadi seorang kiai, dan hal ini kurang reponsif terhadap nilai-nilai modernitas. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana potret alumni pesantren yang tidak siap dengan tuntutan kebutuhan masyarakat terutama dalam hal skill yang masih lemah. Konsep pemikiran Nurcholis Madjid dianggap relevan untuk diaplikasikan di tengah-tengah kebutuhan santri saat ini.31 Mohammad Syafiuddin (2009), Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Penelitian lebih menitik beratkan tentang bentuk-bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pondok pesantren dan alasan pesantren untuk mempertahankan tradisi lama serta membahas upaya modernisasi pendidikan di Pondok Pesantren Kediri tersebut.32 Zainalloh (2010), Modernisasi Pendidikan Pesantren dalam Analisis Kurikulum Pendidikan di Pondok Pesantren Darul Ulum Pamekasan. Dalam penelitian ini menjelaskan model modernisasi pendidikan Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar sekaligus menunjukkan tentang pendidikan pondok pesantren yang telah melewati proses modernisasi, melalui pengembangan kurikulum dan perbaikan kurikulum.33 Dari beberapa penelitian yang sudah disebutkan di atas setidaknya ada beberapa hal yang belum dikupas. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan sejauh mana perbedaan dan persamaan dari hasil penelitian terdahulu terhadap riset ini.
Sugianti, Kiai dan Modernisasi Pendidikan Pesantren, Sebuah Kajian Tentang Makna Modernisasi Pendidikan Menurut Perspektif Kiai. Tesis tidak diterbitkan, (Malang: Pascasarjana UIN Malang, 2006), hal: 194. 31 Mustatho, Modernisasi Pesantren, Tesis tidak diterbitkan, (Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya, 2007). Hal: 3-4. 32 Syaifuddin, Mohammad. Tradisionalisasi Dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren; Studi Kasus di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri. Tesis, tidak diterbitkan. (Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya, 2009) hal: 100. 33 Zainalloh, Modernisasi Pendidikan Pesantren; Analisis Kurikulum Pendidikan di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan. Tesis tidak diterbitkan. (Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya, 2010), hal: 98.
30

Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian

Nama dan Tahun penelitian Munir Mansur (2000)

Persamaan Penelitian ini menjelaskan tentang pendidikan yang modern harus siap menerima halhal baru yang sifatnya inovatif agar atmosfer pendidikan Islam lebih berwarna. Mempertahankan nilainilai salafiyah dan memadukan pendidikan formal dalam penataan kelembagaan dan organisasi. Dalam pondok tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal dan mengaji, namun digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar pendidikan formal agar santri tetap survive dengan perkembangan zaman. Modernisasi membawa nilai profesionalisme dalam berbagai bidang kehidupan dan keilmuan, dan tidak sepenuhnya terbukti mempersempit wilayah atau peran kiai dalam kehidupan masyarakat modern, sebagaimana diasumsikan banyak kalangan. Perlunya perumusan kembali visi dan misi pesantren karena dipandang pesantren selama ini diserahkan pada kiai semata dengan pembantunya, sehingga pada akhirnya keputusan hanya bersandar pada improvisasi pribadi seorang kiai Pondok pesantren tetap

Perbedaan Penelitian ini lebih 1. menekankan pada tataran konsep pemikiran kiai dalam 2. mengintegrasikan nilai-nilai perubahan dan pengembangan pesantren secara universal. Metode kepemimpinan kiai 3. cenderung kurang demokratis karena pengambilan keputusan sering di 4. tangani sendiri. 1.

2.

Choirul Anwar (2004)

3.

4.

Sugianti (2006)

5. Penelitian ini menemukan bagaimana konsep kiai mampu merealisasikan pengembangan pesantren yang modern dan tetap memperhatikan nasib pendidikan kalangan bawah.

5.

Orisinalitas Penelitian Penelitian ini adalah penelitian fenomenolgi. Penelitian ini concern pada pemikiran beberapa kiai pada perubahan dan pengembangan pesantren. Penelitian ini melibatkan secara langsung peneliti dalam rutinitas keseharian kiai. Penelitian dengan mengangkat serta menkomparasikan tiga figur kiai yang memiliki sekolah modern ini baru pertama kali diteliti di wilayah Mojokerto. Dari hasil penelitian, ditemukan tipologi sebagai akumulasi karakter pemikiran kiai.

Mustatho (2007)

Penelitian ini menemukan tipologi kiai yang berbeda, antara lain : kiai visioner, kiai adaptif dan kiai progresif.

Mohammad

Tidak memasukkan

Syafiuddin (2009)

mempertahankan tradisi lama di antaranya dengan sistem sorogan dan wetonan dalam membaca kitab dan menyerap pola pendidikan baru sebagai implikasi dari kebutuhan hidup. Memasukkan muatan pesantren dan muatan umum secara proporsional.

Zainalloh (2010)

komponen proses pendidikan,seperti guru, kurikulum, metode pembelajaran dan seterusnya. Namun lebih pada tataran konsep pemikiran kiai sebagai figur pesantren. Tidak memasukkan model pembelajaran seperti halnya pengembangan kurikulum maupun perbaikan kurikulum.

G. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh gambaran yang jelas, sistematis, dan menyeluruh dalam tesis ini, maka dapat dilihat pada sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I

tentang pendahuluan, yang didalamnya memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan penelitian terdahulu serta sistematika pembahasan.

BAB II

: tentang kajian pustaka, didalamnya memuat pemetaan teori pendahuluan tentang modernisasi, modernisasi pendidikan dalam perspektif Islam, kiai sebagai entrepreneurship, kiai sebagai elite agama, pengembangan orientasi kiai, modernisasi perspektif kiai, mengadopsi nilai positif modernisasi.

BAB III

tentang metode penelitian, di dalamnya memuat tentang lokasi penelitian, strategi pendekatan, tehnik pengumpulan data dan tehnik uji keabsahan data.

BAB IV

: tentang Pola modernisasi pesantren perspektif kiai di Mojokerto, pola pemikiran modernisasi kiai tentang pendidikan dan

kewirausahaan yang berkembang di Mojokerto dan dialektika pemikiran modernisasi kiai dengan masyarakat di Mojokerto. BAB V : tentang diskusi penelitian pola modernisasi kiai, pola modernisasi kiai tentang pendidikan dan kewirausahaan dan modernisasi kiai dengan masyarakat.
BAB VI :

dialektika

tentang kesimpulan dan saran.

Untuk lebih memperjelas pemahaman bab 1, berikut skemanya.

Latar Belakang Masalah

Identifikasi Masalah

Rumusan Masalah

BAB I

Tujuan Penelitian

Teoritis

Kegunaan Penelitian

Praktis
Penelitian Orisinalitas Penelitian

Sistematika Pembahasan

Gambar 1.1 Skema alur bab 1

Anda mungkin juga menyukai