Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP KASUS-KASUS PELANGGARAN BERAT HAM TRISAKTI SEMANGGI I DAN II MATA KULIAH:

Hukum dan Hak Asasi Manusia

DISUSUN OLEH: IMRON AMIN (06410322)

KELAS: F FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2007

PENDAHULUAN Segala puja dan puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telahMelimpahkan rahmatnya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Hukum dan Ham Di samping itu penulis menyucapkan terima kasih bapak dosen selaku pembimbing mata kuliah Hukum dan Ham yang telah memberikan spirit untuk selalu belajar dan mengetahui apa yang belum diketahui dan semangat dan kreativitas sebagai insan civitas akademika. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis perlukan sebagai perbaikan. Akhir kata penyusunan makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. meningkatkan

Hormat saya

Penulis

PEMBAHASAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan sebuah komisi yang diharapkan dapat menjadi alternatif jawaban atas persoalan pelanggaran HAM masa silam Bagaimana jalan terbaik menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Satu pertanyaan ini mengundang belasan jawaban sekaligus perdebatan. Melalui berbagai bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sejumlah negara berhasil mengurai benang kusut masa lalunya. Bagaimana di Indonesia? Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan yang merenggut ratusan nyawa penduduk sipil --termasuk anak-anak, tampaknya untuk sementara mengalihkan perhatian kita pada beberapa persoalan akut bangsa. Ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua, serta konflik di Maluku nyaris terlupakan. Bahkan, Majelis Permusyawatan Rakyat yang menggelar Sidang Tahunan belum lama ini lebih memilih ''tawuran'' sesama anggota daripada membahas aspek krusial bangsa tersebut. Padahal, ancaman itu amat riil karena ketika tuntutan masyarakat terhadap keadilan, khususnya yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), tak kunjung ditangani serius, maka masing-masing komponen bangsa yang terkait mencari jalan pemecahan sendiri. Inilah tahapan awal yang kuat menuju disintegrasi. Pemecahan tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM berat (gross violation of human right) memang bukan pekerjaan mudah. Pemerintahan baru Megawati yang hendak dibangun di atas landasan demokrasi menghadapi masalah pelik dalam upaya menjawab kebutuhan rakyatnya akan pengusutan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter Soeharto, sebelumnya. Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintahan transisi akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM dengan berupaya mendamaikan kecederungan menghukum dan memberi maaf

atau amnesti. Tak heran bila usaha mereka sebatas upaya memberi ''keadilan transisional'', yang tentu tak sepenuhnya memuaskan. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil. Penyebabnya perangkat hukum yang ada sebagian besar hasil rezim lama yang tak memadai, secara administratif dan substantif. Mau tidak mau proses legal reform menjadi prasyarat tegaknya hukum. Namun, belum lagi proses dimaksud berbuah, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM perlu mendapat prioritas penanganan demi kredibilitas eksistensi bangsa. Berdasar kondisi tersebut, dibutuhkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang hanya diterapkan selama masa transisi. Di sini prinsip hukum yang kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada. Dalam konteks inilah wacana pembentukan sebuah komisi khusus yang bertugas mencari kebenaran dan mengupayakan rekonsiliasi menjadi isu sentral. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mesti dipandang dalam konteks persoalan di atas. Tidaklah keliru kalau dikatakan bahwa ia jawaban eksperimentatif atas situasi transisi politik. Namun Farid Esack, salah seorang tokoh rekonsiliasi nasional Afrika Selatan yang menjadi pengajar Universitas Western Cape, Afsel, dan sejumlah universitas di berbagai belahan dunia -antara lain Oxford, Cambridge, Harvardberpendapat bulat bahwa Indonesia termasuk negara yang membutuhkan KKR. Penegasannya itu dikemukakan dalam kunjungannya ke Jakarta beberapa waktu lalu, setelah bertemu dengan tokoh politik di Senayan dan kalangan akademisi. ''Negeri ini membutuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,'' tandasnya. Di Afsel, ulasnya, KKR sangat berhasil mengungkap sekian banyak kebenaran. Meski begitu Esack tak memastikan apakah KKR di negerinya telah benar-benar berhasil mewujudkan rekonsiliasi. Namun, selanya, ''Sampai tingkat tertentu komisi ini memang sangat efektif. Kasus-kasus pelanggaran berat HAM Trisakti, Semanggi I dan II Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuaisukses?Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu

kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskanempatmahasiswaTrisakti. Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementarasebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka. Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka meninggalkan kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama. Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata. Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer. Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa. Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.

Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa. Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam. Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.'' Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti. Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).

Anda mungkin juga menyukai