Anda di halaman 1dari 44

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Umum Aplikasi material FRP sebagai fungsi perbaikan dan perkuatan struktur beton yang sudah ada telah berkembang pesat di beberapa negara seperti Amerika Utara (Labossiere et.al. 1997; Hasen et.al. 1998; Grace and Abdel-Sayed 2003), Eropa (Meier et.al. 1992; Steiner 1996; Nanni 1997; Matthys et.al. 2004; Blasi et.al. 2004; Rostasy et.al. 2004) dan di Jepang (Ichimasu et.al. 1993; Katsumata et.al. 2001). Teknik perkuatan seperti ini dapat dibuat efisien, tidak menyebabkan karat seperti plat baja external. Fungsi perkuatan dengan sistim komposit FRP adalah untuk meningkatkan kekuatan atau memberikan peningkatan kapasitas lentur, geser, axial dan daktilitas, atau berbagai kombinasi diantaranya. Daya tahan FRP yang tinggi lebih ekonomis digunakan pada lingkugan korosif dimana baja akan mudah berkarat. Penggunaan FRP lebih populer mengingat banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh seperti bobot unit yang kecil, mudah diaplikasikan dan ditangani, biaya instalasi dan pemeliharaan yang rendah. Kerugian yang paling prinsip penggunaan FRP sebagai sistim perkuatan adalah harga material yang relatif lebih mahal. Pada situasi tertentu, bagaimanapun, FRP memberikan jalan keluar yang paling ekonomis dalam masalah perkuatan karena secara dramatis dapat menekan biaya tenaga kerja [Meier and Erki, 1997]. FRP dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas lentur dan geser balok beton bertulang, lentur pelat, desak, geser dan lentur kolom. FRP dalam bentuk lembaran, plat atau batangan dapat dipasang pada permukaan balok atau plat yang

mengalami peregangan sebagai perkuatan lentur. Sebagai perkuatan geser balok, lembaran FRP dapat direkatkan pada sisi balok. Penggunaan pada kolom, lembaran FRP atau pelapisan dapat ditempatkan pada bagian luar kolom untuk meningkatkan daktilitas dan kekuatan. 2.1.1 Beton bertulang Material konstruksi beton bertulang mempunyai sifat yang unik dibandingkan dengan material lain seperti kayu, baja, aluminium atau plastik karena beton bertulang adalah material konstruksi yang menggunakan dua jenis bahan yang berbeda secara bersamaan. Beton bertulang adalah merupakan gabungan yang logis dari dua jenis bahan: beton polos, yang memiliki kekuatan tekan yang tinggi akan tetapi mempunyai kekuatan tarik yang rendah, dan batangan-batangan baja yang ditanamkan di dalam beton dapat memberikan kekuatan tarik yang diperlukan. Dengan demikian prinsip-prinsip yang mengatur perencanaan struktur dari beton bertulang dalam beberapa hal berbeda dengan prinsip-prinsip yang mengatur perencanaan struktur dari bahan yang terdiri dari satu macam saja. Gambar 2.1 memperlihatkan kekuatan balok yang secara nyata dapat ditingkatkan dengan menambahkan batangan-batangan baja di daerah tarik. Baja tulangan yang mampu menerima tekan dan tarik juga dimanfaatkan untuk menyediakan sebagian dari daya dukung kolom beton dan kadang-kadang di dalam daerah tekan balok.

Garis netral Beton Baja Tulangan Baja Tulangan Potongan A-A

Daerah tekan Daerah tarik

Gambar 2.1 Kedudukan batang-batang tulangan dalam balok beton bertulang Baja dan beton dapat bekerja sama atas beberapa alasan yaitu (1) lekatan (bond, atau interaksi antara batangan baja dengan beton keras disekelilingnya) yang mencegah slip relatif antara baja dan beton, (2) campuran beton yang memadai memberikan sifat anti resap yang cukup dari beton untuk mencegah karat baja dan (3) angka kecepatan muai yang hampir serupa yaitu dari 0,0000055 sampai dengan 0,000075. 2.1.2 Perekat (Adhesive) FRP direkatkan pada permukaan elemen struktur secara kimiawi dengan perekat. Perekatan secara kimiawi sangat praktis karena tidak menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan, lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan perekat mekanis dan tidak menyebabkan kerusakan pada material dasar atau material kompositnya. Perekat yang paling cocok digunakan pada material komposit adalah perekat yang mempunyai bahan dasar epoxy resin. Perekat ini dibuat dari campuran dua komponen. Komponen utamanya adalah cairan organik yang diisikan kedalam kelompok epoxy, mengikat susunan satu atom oksigen dan dua atom karbon. Reaksi ini ditambahkan pada campuran untuk mendapatkan campuran akhir. Permukaan yang akan dilekatkan harus dipersiapkan untuk

10

mendapatkan lekatan yang efektif. Permukaan harus bersih dan kering, bebas dari kontaminan seperti: oxida, oli, minyak dan debu. 2.1.3 FRP Material komposit dibentuk oleh dua material atau lebih yang mempunyai sifat alami dan makroskopik yang berbeda. Pada fiber komposit, dua material itu adalah fiber mutu tinggi dan resin. Sifat mekanik komposit adalah yang paling bertanggung jawab pada jenis ini, tergantung dari arah dan jumlah serat. Sedangkan fungsi resin adalah untuk mentransfer tegangan dari dan ke serat fiber. 2.1.4 Fiber Secara spesifik, fiber sebagai material yang diaplikasikan sebagai perkuatan dapat berupa serat kaca, karbon dan kevlar. Masing-masing mempunyai kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Nilai karakteristik masingmasing fiber diberikan pada Tabel 2.1. Nilai elastiknya linear untuk semua fiber, tetapi nilai lelehnya tidak signifikan. Pemilihan tipe fiber untuk aplikasi tertentu sangat tergantung pada beberapa faktor seperti: tipe struktur, beban yang direncanakan, kondisi lingkungan dan lain-lain. Fiber diproduksi berbentuk: 1. Lembaran, pada umumnya mempunyai arah serat sembarang meskipun ada yang mempunyai arah serat biaxial dan triaxial, diatas lapisan bagian belakang yang dapat dilepas atau berbentuk anyaman. 2. Fiber yang sebelumnya dicairkan dengan resin (pre-preg material), dimana perawatannya dilakukan di site dengan pemanasan atau dengan cara lain.

11

Fiber produksi pabrik, kemungkinan mempunyai perbandingan kekuatan searah serat 70 % dan ke arah melintang serat sebesar 30 %. Fiber mempunyai ketebalan minimum 0,1 mm dengan lebar 500 mm atau lebih. Tabel 2.1 Karakteristik fiber
Tensile Fibre strength (N/mm2) Carbon high strength Carbon high module Carbon module Aramid Glass ultra high 2600-4020 3200-3600 2400-3500 510-610 424-430 70-85 0.4-0.8 2.4 3.5-4.7 1.91-2.12 1.44 2.6 4300-4900 2740-5490 Modulus of Elasticity (kN/mm2) 230-240 294-329 Elongation (%) 1.9-2.1 0.7-1.9 Specific density 1.8 1.78-1.81

Sumber: Simonelli (2005) 2.2 Dasar teori Menurut Banthia (2003) penambahkan bahan fiber komposit pada permukaan yang tertarik dapat meningkatkan kapasitas momen dari balok atau pelat. Mode Keruntuhan Lentur dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: 1. Kehancuran beton 2. Melelehnya baja diikuti oleh hancurnya beton 3. Melelehnya baja diikuti oleh putusnya FRP 4. Terkelupasnya FRP dekat atau pada hubungan beton/FRP

12

Gambar 2.2. menunjukkan diagram distribusi tegangan dan regangan penampang beton bertulang dengan perkuatan FRP.
b ct ci c h d si bfrp bi st frp fs ffrp Ts Tfrp fc Cc 1fc a=1c

N.A

Gambar 2.2 Diagram tegangan regangan penampang beton bertulang dengan perkuatan FRP 2.2.1 Tarikan pada baja tulangan Berdasarkan Gambar 2.2, Banthia (2003) menetapkan hubungan sebagai berikut:
c s frp bi

(d

c)

( h c)

(2.1)

Gaya-gaya dalam yang bekerja pada penampang :

C
Ts Ts

, frp c

cb
untuk untuk
s y

(2.2) (2.3) (2.4)

f s As f y As

dimana fs dan As masing-masing adalah tegangan dan luas penampang baja, fy dan y masing-masing adalah tegangan dan regangan leleh baja. Gaya yang bekerja pada FRP didapatkan dengan:
T frp
frp

E frp

frp

Afrp

untuk

frp

frpu

(2.5)

13

T frp

untuk

frp

frpu

(2.6)

Keseimbangan gaya-gaya dalamnya adalah:


Cc Ts T frp dengan momen tahanan Mr =Ts(d a/2)-Tfrp(h a/2)

(2.7)

2.2.2

Keruntuhan desak pada beton Pada kasus ini, mode kegagalan lentur dimulai oleh kehancuran beton (c=

cu= 0,0035 untuk struktur dan 0,003 untuk jembatan), regangan FRP dan baja dapat dihitung dengan persamaan berikut: s = cu{(d c)/c} . frp = cu{(d c)/c} bi (2.8) (2.9)

Jarak c dihitung dari permukaan penampang yang tertekan sampai ke garis netral. Dianggap baja tarik tidak mengalami leleh:
1 c

f c' 1c 2 b (

E s As (
s

cu

frp

E frp A frp (
frp

cu

bi cu

))c 0

E s As d

E frp A frp h)

(2.10)

Momen tahanan terfaktor dapat dihitung sebagai:


Mr
s s

f As (d a ) 2

frp

E frp

frp

A frp (h a ) 2

(2.11)

Dianggap baja tarik mengalami leleh


1 c

f c'
s

c 2b (

frp

E frp A frp (
frp

cu

bi

f y As )c

frp

E frp A frp

cu

(2.12) (2.13)

Mr

f y As ( d

a ) 2

E frp A frp

frp

(h a ) 2

14

2.2.3

Keruntuhan tarik FRP Menurut Banthia (2003), jika tegangan tarik pada FRP terjadi lebih dahulu,

sementara regangan tarik baja lebih besar dari regangan lelehnya maka regangan pada beton dan baja dapat dihitung sebagai berikut.
s

frpu

bi

)( d c / h c )

(2.14) (2.15)

frpu

bi

)( c

h c

Jarak c dari garis netral ke permukaan atas penampang tertekan dihitung menurut rumus: (2.16) dan momen terfaktornya adalah: (2.17) 2.2.4 Interaksi antara beton dengan FRP Mekanisme transfer gaya antara beton dengan FRP pada bagian ini menjelaskan secara diskriptif persamaan dasar sederhana yang dapat memberikan klarifikasi masalah phisik. Dalam dua dimensi mekanisme tersebut disebut sebagai mode I dan mode II. Mode I adalah pergeseran relatif antara dua permukaan yang dilekatkan

sedangkan mode II berhubungan dengan transfer displacement. Kedua mode pada umumnya simultan dalam proporsi yang berbeda. Pada kasus interaksi beton dengan FRP pada elemen struktur yang mengalami lentur, mode II adalah dominan. Mode II menyebabkan tegangan geser. Tegangan geser akan diteruskan

15

ke beton penutup tulangan melalui lekatan. Persamaan keseimbangan pada elemen plat adalah:

t frp

d d

mfrp

t frp E frp

mfrp

(2.18)

dimana: adalah tegangan geser, tfrp, Efrp, mfrp,mfrp, berturut-turut adalah tebal, Modulus Young, tegangan axial rata-rata, regangan axial rata-rata dan panjang FRP. Rumus dasar tegangan geser lekatan antara FRP dan balok adalah:

VA frp y Ib frp

(2.19)

dimana: = tegangan geser lekatan; V=gaya geser yang bekerja pada penampang; Ap= luas penampang FRP; y =jarak antara garis netral penampang ke titik berat penampang FRP; I=Inersia penampang terhadap garis netral; bp=luas penampang FRP. 2.3 Deskripsi Metode Elemen Hingga Pada tahap analisis struktur, seringkali dipergunakan model matematis yang biasanya diekspresikan dalam hubungan atau ketergantungan antara satu atau beberapa besaran dengan satu atau beberapa besaran lainnya. Hubungan ini umumnya dinyatakan dalam bentuk persamaan difrensial biasa, persamaan difrensial parsial atau persamaan lainya. Kenyataannya banyak persoalan analisis struktur yang sangat rumit sehingga solusi dari model struktur tidak dapat diselesaikan dengan cara eksak, yaitu cara penyelesaian matematis yang solusinya secara eksak harus memenuhi hukum-hukum pembentukan model struktur

16

(hukum keseimbangan, kompatibilitas, dan hukum bahan) disetiap titik dalam model struktur tersebut. Cara mengatasi persoalan analisis struktur yang terlalu rumit diselesaikan secara eksak adalah dengan menggunakan aproksimasi. Meskipun solusi yang dihasilkan tidak eksak, tetapi dapat dibuat sangat dekat dengan hasil yang sebenarnya. Ada bermacam-macam metode yang sering digunakan untuk

menyelesaikan persamaan difrensial parsial atau partial diffrensial equation (PDE) secara numerik, yang pada umumnya melakukan deskritisasi untuk menyederhanakan PDE menjadi persamaan diskrit simultan, antara lain metode finite difference, metode finite volume, metode boundary element dan metode elemen hingga. Diantara beberapa metode tersebut, metode elemen hingga menjadi salah satu yang diterima dan dipakai secara luas dalam berbagai aplikasi engineering, termasuk dalam analisis problem elastisitas struktur. Metode elemen hingga memerlukan prosedur diskritisasi (descritization) untuk dapat mengubah persamaan difrensial menjadi satu set persamaan aljabar (diskrit) yang terdiri dari matrik kekakuan, vektor gaya (force vector), dan vektor displacement yang belum diketahui. Prinsip dari diskritisasi pada metode elemen hingga adalah memodelkan struktur atau memodelkan elemen struktural menjadi suatu kumpulan elemen-elemen kecil (assemblage). Bentuk geometrik tiap elemen dibuat sesederhana mungkin sehingga lebih mudah dianalisis daripada strukur aslinya. Proses diskritisasi dilakukan dengan cara menentukan titik-titik tertentu untuk menjadi pemodelan struktur sesungguhnya, yang dinamakan titik nodal

17

(nodal point), dimana pendifinisian elemen dan analisis selanjutnya hanya mengacu pada titik-titik tersebut, bukan lagi pada struktur sesungguhnya yang masih merupakan media kontinyu. Informasi dari titik nodal serta pendifinisian elemen dipakai untuk membentuk shape functions, yang digunakan

menginterpolasikan respon titik-titik nodal ke semua lokasi domain yang ditinjau. Prosedur penentuan titik-titik nodal dan mendifinisikan elemen-elemen untuk mendiskritkan domain struktur yang ditinjau inilah yang disebut dengan meshing. Akan tetapi karakteristik dan bentuk geometri struktur yang ditinjau dapat berubah seiring berubahnya kondisi struktur, seperti akibat penyebaran retak (crack propagation) dan deformasi yang besar. Untuk mengatasi hal seperti ini biasanya perlu dilakukan deskritisasi ulang, dalam kasus metode elemen hingga disebut dengan remeshing disetiap konfigurasi domain struktur yang berubah sehingga mesh tetap sesuai dengan bentuk geometri yang baru. Hasil analisis yang diperoleh dari analisis elemen hingga akan berbeda jika dibandingkan dengan hasil analisis yang diperoleh dari eksperimen, terutama yang berkenaan dengan kapasitas ultimit struktur. Salah satu penyebabnya adalah respon struktur yang komplek dengan berbagai ketidak linearan yang dimiliki oleh material beton bertulang yang tidak dapat dimodel secara akurat. 2.4 Manual Program FEA LUSAS versi 13.57 LUSAS versi 13.57 merupakan salah satu program yang berbasis elemen hingga. Penyajian model adalah dalam bentuk grafis yang terdiri dari berbagai

18

macam geometri seperti titik, garis, bidang, volume dan pendifinisian atribut yang berupa material, beban, tumpuan dan mesh. Program LUSAS menyediakan 100 jenis elemen yang diklasifikasikan dalam kelompok elemen sesuai dengan fungsinya yaitu: Bars, Beams, 2D Continum elements, 3D Continum elements, Plates, Shell, Membranes, Joints, Field Elements dan Interface Elements. Program LUSAS secara umum menggunakan Sistem Keseimbangan Statis tiga dimensi yaitu: surface forces, body forces dan concentrated load. Benda (elemen 3-dimensi) dapat berdeformasi dari konfigurasi semula sebesar u dengan memberikan kenaikan regangan yang berhubungan dengan tegangan . Di dalam analisis finit elemen benda dianggap sebagai kumpulan elemen kecil yang terhubung pada titik nodal. Perpindahan setiap elemen merupakan interpolasi dari perpindahan titik nodal yang menghubungkan setiap elemen. 2.4.1 Analisis Statis Non Linear Sifat nonlinear mungkin terbangun dari beberapa bentuk termasuk defleksi yang besar, tegangan yang besar, hukum tegangan-regangan, deformasi yang tergantung dari kondisi batas, dan deformasi yang tergantung dari besarnya beban. (1) Analisis Material Non Linear Jenis analisis ini harus dapat digunakan jika hubungan tegangan-regangan material benar-benar non linear. Sebagai contoh idealisasi hubungan teganganregangan untuk baja batangan seperti Gambar 2.3.

19

Gambar 2.3 Idealisasi hubungan tegangan-regangan untuk baja batangan Gambar 2.3 menunjukkan linear pada batas elastis dimana Analisis Elastis dapat memperkirakan konfigurasi deformasi yang akurat bila batas tegangan leleh tidak dilampaui. Jika leleh terjadi diikuti dengan menurunnya kekakuan baja masih dapat mengikuti aturan tegangan-regangan. Oleh karena itu peningkatan beban masih dapat diijinkan untuk menggambarkan respon semua material. Gambar 2.4 adalah contoh sederhana penggabungan dua material baja.

20

Gambar 2.4 Contoh sederhana penggabungan dua material baja LUSAS memiliki beberapa model material yang berbeda dengan variasi cara pemodelan pisik material yang diijinkan termasuk baja elastis, beton, busa dan tanah.

21

(2)

Analisis Geometri Non Linear Dalam analisis ini yang menjadi pertimbangan adalah mengubah efek

deformasi struktur kedalam kekakuan struktur dan posisi beban yang dikerjakan. Gambar 2.5 adalah sebagai ilustrasi, balok diatas tumpuan sederhana dengan beban yang terdistribusi merata. Solusi linear sederhana dapat memprediksi momen lentur tumpuan dan gaya aksial nol. Tetapi kenyataannya, sebagai balok yang mengalami lentur dan juga adanya sudut inklinasi balok pada tumpuan menyebabkan terjadinya komponen gaya aksial. Gaya ini menjadi signifikan jika deformasi dan sudut inklinasi tumpuan menjadi besar.

Gambar 2.5 Respon Geometri Non Linear Balok dengan tumpuan sederhana (3) Ketergantungan Deformasi terhadap Kondisi Batas Dalam Analisis ini kondisi batas dimodifikasi selama keadaan dimana analisis tergantung pada bentuk deformasi struktur. Gambar 2.6 adalah sebagai contoh ilustrasi, dimana masa sebagai subyek yang menerima beban P dan diinisialkan berada diatas tumpuan pegas tunggal. Jika beban meningkat, kontak

22

dapat terjadi pada pegas kedua yang mana akan merubah respon beban-deformasi struktur.

Gambar 2.6 Respon pegas-masa dengan kondisi tumpuan non linear 2.4.2 Pentahapan Waktu (Time Steping) dan Tangen Modulus Matrik Untuk memecahkan masalah respon nonlinear material dan geometri struktur, prosedur pentahapan waktu dan beban harus digunakan. Jika derajat nonlinearitas terjadi secara signifikan selama tahap beban, tegangan-tegangan yang terintegrasi mengikuti derajat struktur tidak akan mencukupi keseimbangan

23

gaya luar. Konsekuensinya adalah terjadinya gaya residu (sisa). Maka koreksi akan dilakukan terhadap prosedur untuk memperoleh keseimbangan. Korektor paling sederhana yang mungkin digunakan adalah pengembangan dari seri Taylor untuk memperoleh pendekatan terhadap hasil. Prosedur keseimbangan iterasinya dikenal sebagai Iterasi Newton-Raphson dan ditunjukkan pada Gambar 2.7 yang juga menampilkan sifat pisik yang signifikan dari Tangen Modulus sebagai tangen hubungan antara TeganganRegangan dari konfigurasi yang sudah ada.

Gambar 2.7 Ilustrasi Iterasi Newton-Raphson untuk Respon Derajat Kebebasan Tunggal

24

2.4.3 (1)

Prosedur Iterasi Iterasi Newton Walaupun Iterasi Newton-Raphson adalah stabil dan converges

quadratically (menyajikan estimasi awal yang sangat mendekati hasil), namun punya kekurangan pada saat tangen matrik kekakuan memerlukan inversi (kebalikan) pada masing-masing iterasi. Juga, mungkin akan gagal mencapai konvergen jika terdapat material struktur dengan nonlinearitas ekstrim. Untuk kasus ini, Modifikasi Iterasi Newton mungkin lebih efektif. Dengan Iterasi Newton modifikasi, tangen matrik kekakuan semula akan diganti dengan matrik kekakuan sebelumnya, dinyatakan dari awal kenaikan. Hal ini dapat mengurangi biaya komputasi/iterasi sebagai faktorisasi tangen matrik kekakuan tidak diperlukan untuk setiap iterasi. Gambar 2.8 (a), (b) dan (c) menunjukkan bentuk dasar Modifikasi Newton-Raphson yang terdiri dari Initial Stiffness Method, KT1 Method dan KT2 Method. Nilai konvergensi Iterasi Newton Modifikasi bukan quadratik dan prosedurnya sering menjadi divergen. Bagaimanapun, jika dipasangkan dengan prosedur pencarian baris bentuknya sebagai iterasi algoritma dan terutama sekali cocok untuk struktur yang mempunyai material dengan nonlinearitas ekstrim. Iterasi Newton-Raphson lebih efektif untuk persoalan geometri non-linear dari pada Iterasi Newton Modifikasi.

25

Gambar 2.8a Initial Stiffness Method

Gambar 2.8b KT1 Method

Gambar 2.8c KT2 Method

26

(2)

Pelacakan Baris Teknik Pelacakan Baris (Line Searches) didisain untuk meningkatkan nilai

konvergensi antara Iterasi Newton Penuh dan Modifikasi. Teknik ini melibatkan modifikasi terhadap kenaikan lendutan terakhir untuk Iterasi. Proses ini berulang sampai kriteria konvergensi terpenuhi atau sampai dengan jumlah pelacakan baris per iterasi yang telah dirancang terlebih dahulu bersesuaian (Gambar 2.9). Pelacakan baris tidak dapat dilakukan bila interval penghitungan mendekati satuan atau mendekati nol. Jika interval langkah mendekati satuan, pelacakan baris masih sedikit diperlukan. Jika interval langkah mendekati nol, telah dibuat sedikit pengembangan terhadap hasil, dan arah kenaikan yang baru akan diberikan oleh pengulangan hasil yang bersifat menguntungkan.

Gambar 2.9 Prosedur Pelacakan Baris (3) Konvergensi Jika menggunakan solusi algoritma kenaikan/iteratif, ukuran konvergensi dari solusi digunakan untuk menggambarkan saat keseimbangan dapat diterima.

27

Pemilihan kriteria konvergensi yang sesuai adalah yang paling penting. Toleransi yang sering terlalu ketat mungkin menghasilkan iterasi yang tidak perlu dan konsekuensi lainnya adalah menyia-nyiakan sumber daya komputer dan jika toleransi terlalu longgar mungkin tidak akan menghasilkan jawaban yang akurat. Menetapkan nilai toleransi sangat berarti dalam suatu pengujian. Pada umumnya, persoalan geometri nonlinear yang sensitif memerlukan urutan kriteria konvergensi yang ketat untuk menjaga hasil dalam keseimbangan yang akurat, sedangkan toleransi yang longgar biasanya lebih efektif dengan sebagian besar persoalan material nonlinear dimana residu lokal yang tinggi masih mungkin ditoleransi. 2.4.4 Prosedur Inkrementasi Untuk menggambarkan alur solusi nonlinear diperlukan prosedur kombinasi inkrementasi/iteratif. Tersedia dua metode dalam Program Lusas yaitu: 1. Constant load level incrementation (inkrementasi level beban konstan) 2. Modifikasi inkrementasi panjang busur (termasuk metode Crisfield atau Rheinboldt) (1) Level Beban Konstan Dengan prosedur inkrementasi/iteratif level beban konstan (Gambar 2.10), beban diaplikasikan kedalam inkrementasi tetap yang khas dan pilihan algoritma iteratifnya digunakan untuk memperoleh konfergensi hasil pada setiap level beban. Dalam LUSAS, level beban mungkin lebih spesifik dilakukan secara manual sama seperti mencocokkan rangkaian beban, atau secara otomatis

28

menggunakan perintah INCREMENTATION. Dengan inkrementasi manual, kegagalan konvergensi iterasi algoritmanya akan mengakibatkan penghentian analisis. Tetapi penghentian otomatis analisis mungkin diabaikan, sehingga inkrementasi beban berikutnya akan diterapkan pada konfigurasi yang tidak konvergen sebelumnya.

Gambar 2.10 Prosedur Inkrementasi/iteratif Level Beban Konstan Jika hasil gagal mencapai konvergen dengan ikrementasi otomatis, ukuran ikrementasinya akan direduksi dan konvergensinya dicari dalam level beban yang baru. Tetapi reduksi beban ini mungkin juga diabaikan, sehingga hasilnya mungkin juga berakhir atau dilanjutkan dengan mengaplikasikan ikremen beban selanjutnya.

29

Metode inkrementasi level beban konstan gagal jika solusi mencapai limit point (Gambar 2.11) dan metode ini tidak bisa diterapkan pada pembebanan paksa (pressure loading).

Gambar 2.11 Ilustrasi Limit Point untuk Respon Derajat Kebebasan Tunggal (2) Metode Modifikasi Panjang Busur (Metode Crisfield) Metode umum yang dapat mengikuti seluruh alur solusi limit point disebut Metode Modifikasi Panjang Busur (Gambar 2.12). Implementasi Algoritma dalam Program LUSAS mengikuti usulan Crisfield tetapi harus dimodifikasi untuk dapat menerima modifikasi beban yang proporsional atau tidak proporsional. Yang khas dalam Metode Modifikasi Panjang Busur adalah bahwa tingkat beban tidak tetap selama ikrementasi beban yaitu selama prosedur iterasi, beban dimodifikasi sampai konvergensi mendekati limit point tercapai. Manfaat pembatasan panjang busur lainnya adalah menstabilkan proses iteratif. Hal ini mempunyai arti yang sangat penting pada saat menggunakan metode

30

iterasi Newton. Metode panjang busur mungkin juga dapat meningkatkan efisiensi hasil/solusi bahkan ketika limit point dilibatkan.

Gambar 2.12 Modifikasi Incrementasi Beban Panjang Busur untuk Respon Derajat Kebebasan Tunggal (3) Kontrol Panjang Busur (Metode Rheinboldt) Metode Panjang Busur mungkin diingat sebagai bentuk umum kontrol lendutan yang dapat diterapkan, secara phisik, persoalan ini tidak melibatkan kontrol lendutan. Ini secara efektif dapat diterima dalam metode panjang busur Crisfield, dimana Standar Enclidean mengenai inkrementasi lendutan dibatasi pada nilai yang tetap. (4) Pelacakan Baris dengan Metode Panjang Busur Implementasi metode pelacakan baris yang tepat secara Matematika dengan modifikasi metode panjang busur adalah sangat komplek, sebab dalam melakukan penyesuaian terhadap interval setiap langkah beban menyebabkan persamaan limitnya tidak dapat digunakan.

31

Sedangkan metode ini efektif, jika gagal untuk menghitung penyesuaian tingkat beban sebenarnya selama pelacakan baris benar-benar mengubah arah iterasi sampai mencapai energi minimum. Disamping itu, pelacakan baris harus digunakan secara hati-hati pada saat menelusuri alur keseimbangan yang tidak stabil, karena posisi keseimbangan tidak boleh bersamaan dengan status energi minimumnya. (5) Penyesuaian beban secara otomatis Inkrementasi panjang busur disesuaikan untuk setiap inkremen, sehingga inkremen beban yang besar dapat digunakan untuk level beban dengan sedikit linearitas, inkremen beban yang kecil akan digunakan untuk tingkat beban dimana respon adalah sangat tidak linear. Hal ini dapat dicapai dengan mencoba mempertahankan nilai iterasi yang konstan pada setiap langkah. Pada kejadian dimana konvergensi gagal setelah iterasi mencapai nilai maksimum, inkrementasi dimulai lagi dengan mereduksi inkremen panjang busur. 2.4.5 Software Analisis Finite Elemen LUSAS Analisis Finit Elemen secara lengkap terdiri dari 3 (tiga) langkah, yaitu: Pre-Processing, Finite Element Solver dan Result Processing. Sistem pada Program Finit Elemen LUSAS, mengandung dua bagian pelaksanaan analisis finit elemen secara lengkap yaitu: 1. LUSAS Modeller, sangat interaktif bagi pengguna dalam pemodelan grafis sebelum dan sesudah proses. 2. LUSAS Solver, untuk melaksanakan Analisis Finit Elemen.

32

Memodel struktur dilaksanakan pada tahap pra-proses. Model disajikan dalam bentuk grafis dengan dua bagian besar yaitu fitur geometri dan asign atribut. Terdapat empat fitur geometri pada LUSAS yaitu titik, garis, permukaan dan volume. Dasar penggambaran geomeri adalah beberapa titik yang dihubungkan menjadi garis; garis dengan garis yang berhubungan menjadi permukaan dan kombinasi beberapa permukaan menjadi volume. Seluruh geometri harus dipastikan menurut sistim sumbu Cartesian demikian juga untuk sistim sumbu lokal dan sistim sumbu global. Define dan Assign Attribute adalah untuk mengidentifikasi dan memasukkan data propertis model struktur. Yang termasuk didalam sistim atribut LUSAS adalah mesh, geometri, material dan beban. Berikutnya adalah tahap solusi yang dikenal sebagai Finite Element Solver. Metode kekakuan akan diproses pada tahap ini dan menghasilkan file data yang diperlukan. Tahap akhir adalah proses hasil dengan melibatkan penggunaan perangkat untuk melihat dan menganalisis jawaban yang dihasilkan oleh LUSAS Solver. 2.4.6 Element 1-dimensi Elemen 1-dimensi hanya digunakan jika perpindahan atau tempratur mempunyai fungsi untuk satu kordinat saja. Jenis elemen ini harus mempunyai sekurang-kurangnya dua titik dalam sumbu kontroidalnya. Elemen ini dapat

mempunyai 2 titik, 3 titik, 4 titik dan seterusnya, semakin banyak titik akan memberikan hasil dengan akurasi yang lebih tinggi, tetapi pada saat yang sama

33

membutuhkan kalkulasi yang lebih komplek. Contoh elemen 1-dimensi adalah elemen linear quadratic dan elemen kubik. Gambar 2.13 menunjukkan elemen 1dimensi dan Gambar 2.14 menunjukkan penambahan beban yang bekerja pada model kantilever yang menggunakan elemen 1-dimensi.

Gambar 2.13 Elemen 1-dimensi

Gambar 2.14 Penambahan beban yang bekerja pada model kantilever yang menggunakan elemen 1-dimensi 2.4.7 Elemen 2-dimensi Elemen 2-dimensi digunakan jika perpindahan atau tempratur mempunyai fungsi untuk dua kordinat x dan y. Jenis elemen ini merupakan layer yang mempunyai tiga titik penghubung atau lebih. Contoh untuk elemen 2-dimensi adalah elemen linear triangular, yang paling mudah untuk dimodel, elemen linear

34

rektangular, elemen kurva triangular dan elemen kurva rektangular. Lihat Gambar 2.15.

Gambar 2.15 Elemen 2-dimensi 2.4.8 Elemen 3-dimensi Elemen 3-dimensi digunakan jika perpindahan atau tempratur mempunyai fungsi untuk tiga kordinat x, y dan z. Masing-masing panjang tepi sangat menentukan sebab tidak terdapat dimensi elemen yang lebih besar dari 2-dimensi lainnya. Elemen 3-dimensi paling banyak diterapkan sampai saat ini sehubungan dengan tingkat akurasinya. Gambar 2.16 menunjukkan beberapa variasi elemen 3dimensi.

Gambar 2.16 Beberapa variasi elemen 3-dimensi

35

Berdasarkan jenis material (material properties) terdapat enam model joint pada FEA LUSAS yaitu spring stiffness only, general properties, elasto-plastic uniform tension and compression with isotropic hardening, elasto-plastic general with isoropic hardening, smooth contact with an initial gaps, dan frictional contact with an initial gap. 2.5 Penelitian-penelitian mengenai balok dengan perkuatan lembar CFRP Penelitian oleh Jumaat dan Alam (2006) mereview beberapa masalah yang timbul dalam pemakaian lapisan perekat atau metode perekatan dalam perkuatan balok beton bertulang. Bahwa setiap elemen struktur didisain menurut tipe pembebanannya. Demikian pula pada sejumlah elemen struktur sipil, seperti balok beton bertulang yang sering memerlukan tambahan perkuatan dalam kaitannya dengan peningkatan beban. Menurut situasi dan ekonomi, menambah perkuatan balok beton bertulang masih lebih baik dilakukan daripada penggantian. Material dan metode yang berbeda seperti beton yang disemprotkan (sprayed concrete), ferrocement, plat baja, dan Fibre Reinforced Polymer (FRP) dapat digunakan sebagai perkuatan balok beton bertulang yang sudah ada, dimana metode pelapisan dengan plat baja dan lembaran FRP adalah yang paling populer dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Sasaran utama penelitiannya adalah meninjau kembali metode perkuatan yang sudah ada, perhatian terhadap perkuatan menggunakan lembaran baja dan FRP dan perhatian terhadap masalah yang ditimbulkan oleh metode dengan perekatan.

36

Perkuatan plat baja adalah metode yang populer dalam kaitannya dengan ketersediaan, murah, sifat material yang seragam, kemudahan pengerjaan serta mempunyai kekakuan dan kekuatan terhadap kelelahan yang tinggi. Sedangkan efektifitas dari metode ini tergantung dari penyiapan permukaan dan metode perekatan antara permukaan beton dan plat baja. Disimpulkan pula bahwa penambahan plat baja yang direkatkan pada balok beton bertulang dapat meningkatkan kekakuan lentur, mereduksi retak dan deformasi pada setiap tahap pembebanan dan memberikan kontribusi terhadap mode peningkatan kapasitas lentur ultimit. Reduksi terhadap retak dan deformasi meningkat dengan meningkatnya ketebalan plat baja dan ketebalan perekat, walaupun bukan pada waktu yang bersamaan. Juga dilaporkan bahwa plat baja memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kontrol retak daripada kontrol terhadap deformasinya. Kekakuan balok beton yang diperkuat menurun sebanding dengan meningkatnya ketebalan plat. Studi mengenai perkuatan struktur menggunakan FRP terus mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Secara umum FRP mempunyai keunggulan sangat baik dalam hal ketahanan terhadap korosi, ketahanan terhadap kelelahan (mungkin dengan beberapa perkecualian FRP berbahan dasar serat kaca), kepadatan yang rendah, kekakuan dan kekuatan yang tinggi dan mempunyai koefisien muai panas yang sangat rendah searah serat. Material FRP mempuyai sifat mekanis dan fisik diatas baja, terutama pada kekuatan terhadap regangan dan kelelahan. Maka dari itu FRP banyak digunakan pada daerah dengan perbedaan suhu yang tinggi. Tingkat kegagalan yang rendah selama pemakaian bertahun-

37

tahun dalam struktur teknik sipil menjadikan pemakaian FRP lebih efisien dibandingkan dengan plat baja, walaupun harga material FRP lebih mahal dari material baja. FRP lebih efektif jika digunakan untuk perkuatan lentur dibandingkan dengan perkuatan geser sehubungan dengan sifat material yang unisotropic, FRP sebagai perkuatan geser dapat digunakan dengan baik dengan mengubah arah serat. Peningkatan luas penampang GFRP dan perekat memberikan peningkatan kekuatan lentur pada balok beton bertulang yang direhabilitasi dengan lembaran GFRP. Hasil pengujian mendekati hasil teoritis menggunakan teori balok beton. [seperti dilaporkan oleh Saadatmanesh and Ehsani, University of Arizona dalam Jumaat and Alam, 1990]. Kegagalan dini pada perekat adhesive merupakan masalah yang sangat komplek dan juga merupakan masalah yang sangat penting dan ekstrim sebab mekanisme pengelupasan perekat bersifat getas dan tiba-tiba. Penelitian menunjukkan bahwa tiga mekanisme pengelupasan dikenal sebagai flexural peeling, shear peeling dan axial peeling Alfano et.al. (2005), menganalisis mekanisme kegagalan balok beton bertulang yang diperkuat dengan FRP dengan model finit-elemen 2D. Balok disimulasi dengan tiga tipe, yaitu balok kontrol tanpa perkuatan FRP dan dua balok yang masing-masing diperkuat dengan lapisan pultruded CFRP dan lembar pre-preg CFRP. Disebutkan bahwa mekanisme kegagalan balok beton bertulang dengan perkuatan FRP melibatkan pengelupasan ujung fibre reinforced composite, lepasnya ikatan FRP atau lepasnya ikatan penutup beton memerlukan

38

model komposit yang lebih canggih daripada berdasarkan hipotesis penampang melintang setelah terjadinya deformasi. Analisis finit elemen 2D dengan empat titik beban, Gambar 2.17 dapat memberikan gambaran hasil percobaan mengenai perilaku non linear balok beton bertulang, pola retak dalam balok, mekanisme slip baja tulangan dan kemungkinan lepasnya FRP.

1100 300

800

1100

2800
12

300

20

FRP

150

12

Gambar 2.17 Balok beton bertulang: geometri dan pembebanan Model finit element ini disajikan hanya dalam setengah model karena simetris, pola retak didifinisikan dengan 14 retak vertikal yang dirancang masingmasing berjarak 100 mm, jarak yang diperkirakan sama dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan. Hypotesa yang telah dibuat adalah plane strain dengan lendutan yang kecil. Dari hasil penelitiannya, tampak bahwa retak yang terbatas pada suatu area yang sangat kecil mempunyai efek signifikan dalam penentuan tegangan geser

39

pada permukaan beton dengan FRP, yang mana sesuai dengan model non linear yang dikembangkan. Pada kasus retak tegangan geser pada permukaan beton dengan FRP dengan cepat menghilang pada bagian sebelah kiri beban yang bekerja, yaitu pada area momen konstan balok. Gorji (2009) menganalisis Perkuatan FRP pada balok beton bertulang menggunakan Metode Variasi Energi (Variation Energy Methode). Dalam penelitiannya, Gorji (2009) menyajikan metode analisis untuk memprediksi lendutan rektangular balok beton bertulang yang diperkuat dengan FRP pada bagian bawah balok. Balok yang diuji adalah balok bentang tunggal diatas dua tumpuan sendi dan rol. Model balok selengkapnya disajikan pada Gambar 2.18.

Gambar 2.18 Geometri balok Gorji Bentang bersih : 10000 mm

40

Lebar x tinggi (b x h) : 300x750 mm2 d tf d2 As1; As2 : 677 mm : 3,00 mm : 73 mm : 2453 mm2 (525); 1257 mm2 (420)

Pada analisis numerik dengan program ANSYS 3-D yang dilakukan dengan memodel seperempat bagian balok yang mewakili keseluruhan balok dan beban yang simetris, Gorji (2009) mengambil asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: Bidang datar tetap datar dan distribusi regangan elemen pada penampang melintang adalah linear setinggi penampang. Tidak ada slip diantara baja tulangan dengan beton atau beton dengan FRP. Beton hanya bekerja pada bagian desak saja dan hubungan antara tegangaregangan adalah linear. Balok dibebani merata sebesar 60kN/m yang digunakan sebagai perbandingan antara metode variasi dan metode finit elemen. Dengan keseluruhan detail balok, lendutan balok dapat dihitung dengan metode variasi.

41

Gambar 2.19 Hubungan beban-lendutan antara model variasi dengan model finit elemen

Gorji (2009) menyimpulkan model finit elemen menunjukkan persamaan perilaku yang sangat baik dibandingkan dengan model variasi. Walaupun pada tahap awal terjadi perbedaan perilaku beban-lendutan antara model finit elemen dan model variasi, tetapi itu tidak terlalu signifikan. Perbedaan tersebut terjadi karena tensile strength balok beton bertulang diperhitungkan pada model FE tetapi pada model variasi diabaikan. Model variasi energi sangat efektif digunakan untuk memprediksi besarnya lendutan pada setiap bagian balok beton yang diperkuat dengan FRP. Studi mengenai parameter pengujian balok beton yang diperkuat dengan merekatkan lembaran komposit, beberapa diantaranya dilaporkan oleh Jumaat M.Z. and Alam (2006), Raoof and Zang (1998), Alfano at.al. (2005), Garden et.al. (1997), Changji at.al. (2003), Dewobroto (2005) dan Lamana at.al. (2004). Berbagai konfigurasi penampang plat dan beban yang bekerja telah banyak diteliti

42

dan terungkap bahwa lembaran yang direkatkan dapat meningkatkan kapasitas ultimit balok tetapi disisi lain mengurangi daktilitas. Lembaran yang direkatkan secara proporsional, efektif memberikan peningkatan momen kopel dalam setelah lelehnya baja tulangan. Pada semua kasus, kegagalan berhubungan dengan tegangan geser longitudinal yang relatif tinggi pada permukaan perekat-beton, namun kegagalan beton pada semua pengujian dan lepasnya perekat dari beton tidak dapat diobservasi. Tertundanya kegagalan penjangkaran ujung plat disebabkan oleh ketahanan plat terhadap pemisahan tetapi tidak meningkatkan kekakuan struktur sampai dengan melelehnya baja tulangan. Garden et.al. (1997) memodel balok beton bertulang dengan bentang satu meter dengan empat titik beban seperti Gambar 2.20. Beton menggunakan semen portland biasa dengan perbandingan air bebas : semen = 0,4 : 1 dan semen : agregat kasar : agregat halus = 1 : 1,1 : 1,9. Diameter maksimum agregat kasarnya adalah 10 mm sedangkan diameter maksimum agregat halusnya adalah 5 mm. Pengujian dilakukan adalah untuk mengetahui perilaku struktur dengan beberapa variasi parameter yaitu aspek ratio plat (antara tebal dan lebar) dengan luas penampang yang sama; perbandingan antara tinggi/lebar balok; dan bentuk pengangkeran akhir plat.

43

Gambar 2.20 Geometri dan penampang melintang balok Hasil pengujian yang dilakukan Garden at.al. (1997) menunjukkan bahwa balok tanpa plat perkuatan mengalami mode kegagalan biasa dengan retak karena lendutan yang besar dengan momen yang konstan. Melelehnya baja tulangan memindahkan sumbu netral jauh ke atas yang menyebabkan hancurnya beton. Retak geser juga terjadi, tetapi tidak begitu lebar sepanjang balok diberi tulangan geser yang cukup. Semua kasus pada plat, kegagalan disebabkan oleh pemisahan penutup beton dimulai dari baja tulangan tarik. Teknik perekatan Fibre Reinforced Plastic (FRP) pada permukaan lentur atau sisi lain dari balok beton bertulang menjadi sangat populer penggunaannya sebagai perkuatan atau perbaikan. Mode kegagalan balok beton bertulang dengan perkuatan bervariasi. Salah satu diantaranya yang paling kritis adalah putusnya lembaran FRP. Penelitian oleh Changjie et.al. (2003) menyajikan metode numerik untuk mensimulasi kegagalan putus lembaran FRP. Simulasi kegagalan menggunakan empat balok uji dan salah satu hasil pengujian dikomparasi dengan metode numerik. Kesimpulan menunjukkan mode kegagalan perkuatan FRP pada balok beton bertulang dapat tersimulasi dengan baik dengan metode ini.

44

Dari empat balok uji, balok pertama diperkuat dengan lembaran Carbon FRP (CB1), balok kedua dengan CFRP prategang (CB2), balok ketiga diperkuat dengan lembaran CFRP dengan dua tulangan prategang didalam balok (PB1) dan yang keempat diperkuat dengan lembaran CFRP prategang dan juga dengan dua tulangan prategang di dalam balok beton bertlang (PB2). Gambar 2.21 menunjukkan geometri dan penampang melintang balok.

Gambar 2.21 Geometri dan penampang melintang balok (Sumber: Changjie et.al., 2003) Changji at.al. (2003) melakukan pemodelan 2-D balok hanya setengah bentang dengan pertimbangan geometri dan beban balok yang simetris. Beton dimodel sebagai elemen yang solid, lembar FRP dan baja tulangan dimodel sebagai elemen garis. Sebagai elemen garis (baja tulangan atau lembar CFRP) dianggap melekat sempurna dengan beton, dan regangan baja tulangan (atau lembar FRP) diestimasi mengikuti regangan balok bertulang induknya. Demikian

45

pula untuk bantalan tumpuan dan beban dimodel sebagai elemen baja solid (pejal). Pemodelan ini dilakukan dengan program ATENA 2-D. Hasil komparasi antara pengujian dan pemodelan disajikan dalam Gambar 2.22 berikut:

Gambar 2.22 Komparasi antara pengujian dan pemodelan. (Sumber: Changjie et.al., 2003)

Dewobroto (2005) melakukan analisis non-linear untuk mensimulasi keruntuhan balok beton bertulang dengan program yang berbasis metode elemen hingga (m.e.h) komersiil ADINA (2003). Dalam pemodelan ini, Dewobroto (2005) menganggap baja sebagai material homogen yang propertinya terdefinisi dengan jelas dan material beton merupakan material heterogen dari semen, mortar dan agregat batuan, yang properti mekaniknya bervariasi dan tidak terdefinisi

46

dengan pasti dianggap material homogen dalam konteks macro. Sebagai benchmark data uji balok eksperimen, Dewobroto menggunakan seri pengujian balok dari Universitas Toronto (Vechio-Shim, 2004), Gambar 2.25, yang konfigurasinya sama dengan uji eksperimen Bresler-Scordelis (1963) dengan alasan pengujian ini mempunyai dokumentasi yang lengkap dan berkualitas tinggi.

Gambar 2.25 Setup Pengujian Balok Bench-mark (VecchioShim, 2004) Analisis pemodelan metode elemen hingga ini menggunakan pendekatan plane-stress sehingga digunakan elemen 2-D solid untuk material beton, sedangkan untuk tulangan menggunakan elemen Truss (gaya aksial) yang digabung dengan material bi-linear dari material baja. Keruntuhan lentur pada penelitian ini diidentifikasi dari hubungan kurva beban-lendutan yang menjadi datar (horisontal) dimana kekakuan struktur menjadi nol. Sedangkan pada keruntuhan geser menjadi berbeda, bagian kurva yang datar tidak selalu dijumpai, meskipun demikian keduanya (lentur dan geser) menghasilkan kesulitan numerik yang sama. Proses perhitungan pada daerah itu menjadi fail, yaitu iterasi yang menjadi tidak konvergen. Apabila hal tersebut terjadi maka beban inkremental perlu diperkecil dan proses incremental ditambah.

47

Program ADINA yang digunakan menyediakan fasilitas penambahan beban secara otomatis (Automatic Time Stepping). Fasilitas Automatic Time Stepping juga dapat ditemui pada program LUSAS. Investigasi awal terhadap kelayakan perkuatan beton bertulang dalam menahan lentur menggunakan perekat bubuk aktif untuk merekatkan lembaran komposit dengan beton dilakukan oleh Lamanna et.al. (2004). Berdasarkan kriteria kegagalan awal pada sistim perekatan, tujuan utama dari penelitiannya adalah kegagalan desak beton setelah baja tulangan mengalami leleh pertama, dan untuk mendapatkan mode kegagalan daktilitas semu. Sasaran penelitian lainnya adalah untuk membandingkan kesimpulan dari hasil percobaan dengan prediksi teoritis. Spesimen yang diuji ditunjukkan pada Gambar 2.26, adalah beton bertulang dengan disain mutu 21 MPa (C 21) dan 24 MPa (C 24). Bentang beton spesimennya adalah 1220 mm, dengan luas penampang 153x153 mm2 dan dicetak di laboratorium, disediakan oleh suplier lokal. Lembar FRP direkatkan sejauh 2.5 cm (1 inchi) dari tumpuan dan tidak mempunyai angker mekanis pada setiap ujung FRP.

48

Gambar 2.26 Spesimen uji beton bertulang (Sumber: Lamanna et.al., 2006)

Gambar 2.27 Skema pembebanan dan pengujian (Sumber: Lamanna et.al., 2006) Ukuran balok dan luas tulangan sama untuk semua pengujian, didisain mengikuti peraturan ACI 138. Tulangan tariknya adalah 2 batang No. 4 grade 60, sedangkan tulangan desaknya adalah 2 batang No. 3 grade 60 yang dipasang

49

untuk menjaga agar sengkang tetap berada pada posisinya selama proses pengecoran. Balok diperkuat dengan lembaran material pultruded glass vinylester FRP composite yang bervariasi dan dibuat khusus untuk penelitian ini. Pengujian beton bertulang dengan ukuran kecil dapat memberikan gambaran bahwa pemasangan lembaran komposit dengan perekat bubuk-aktif cukup memadai untuk diaplikasikan dengan cepat sebagai perkuatan pada balok beton bertulang. Perkembangan retak pada beton berkaitan dengan penetrasi perekat. Retakan merupakan fungsi dari jenis perekat dan lebarnya, panjang dan jarak ujung ke tumpuan. Awal retakan akibat penetrasi perekat dapat diamati hampir pada semua pengujian, sampai pada jarak 76,2 mm. dari ujung balok uji. Retakan lebih tertahan pada balok dengan perkuatan akibat meningkatnya momen ultimit yang dicapai selama lembaran FRP masih melekat. Pada beban batas, deformasi yang besar dan retak beton tampaknya menurunkan efisiensi metode ini, tetapi pada semua pengujian beton dengan perkuatan dapat menunjukkan peningkatan yang memuaskan dalam kaitannya dengan leleh sampai beban batas. Perkuatan beton bertulang dengan lembaran komposit dengan perekat bubuk-aktif merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan apalagi kecepatan instalasi merupakan prioritas utama. Suta (2008) melakukan penelitian dengan program FEA LUSAS terhadap balok T standar Bina Marga dengan variasi bentang 10, 15, 20 dan 25 meter. Masing-masing bentang diberi perkuatan plat baja dengan variasi ketebalan 4,0 mm, 6,0 mm, 8,0 mm dan 10,0 mm. balok diuji dengan 3 (tiga) titik beban, dua

50

titik merupakan tumpuan sendi dan rol, sedangkan satu titik adalah posisi beban titik di tengah bentang. Balok diuji sampai mencapai lendutan ijin. Balok, lem dan plat dimodel dengan elemen bidang (surface element), sedangkan tulangan balok dimodel dengan elemen batang (bar element). Sebagai verifikasi terhadap kehandalan FEA LUSAS, Suta (2008) menggunakan model 2-D dan 3-D balok sederhana yang diambil dari example FEA LUSAS dengan bentang 3300 mm,

ukuran penampang 150 x 300 mm2. Perbedaan hasil hubungan beban-lendutan antara 2-D dan 3-D yang diperoleh ditampilkan pada tabel 2.1. Tabel 2.2. Perbandingan hasil beban-lendutan saat beban layan Cara Analisis Balok 2-D (full) Balok 3-D (full) Sumber: Suta (2008) P (kN) 16,289 16,286 Selisih (%) +0,02 0,00 Lendutan (mm) 3,08 2,06 Selisih (%) -5,52 0,00 Keterangan FEA LUSAS FEA LUSAS

Pada akhir simpulan penelitiannya, Suta (2008) merekomendasi untuk bentang 10 m digunakan panjang plat 6000 mm dengan tebal 4,0 mm dan 6,0 mm serta lebar 320 mm. Untuk bentang 15 m digunakan panjang 10200 mm, dengan 4,0 mm dan 6,0 mm tebal serta 350 mm lebar. Untuk bentang 20 m digunakan panjang 13200 mm, dengan 6,0 mm dan 8,0 mm tebal serta 460 mm lebar. Untuk bentang 25 m digunakan panjang 16200 mm, dengan tebal 8,0 mm dan 10,0 mm serta lebar 680 mm.

Anda mungkin juga menyukai