Anda di halaman 1dari 5

Penanganan krisis selama anastesi : kesulitan intubasi Kesulitan pada intubasi pada umumnya berkaitan dengan anaastesi general.

Insedennya tidak dikutahui tapi diperkirakan 1-2 % dan setengah dari kasus tersebut tidak dapat diprediksi. Kesulitan pada saat intubasi dapat diatasi dengan mengetahui adanya riwayat kesulitan pada saat intubasi sebelumnya, sindrom yang berkaitan dengan sulitnya dilakukan intubasi dan beberapa kelainan anatomis pada kepala dan leher. Kelainan anatomical biasanya dicari pada pemeriksaan preoprasi yaitu jarak antara tiromental dan ukuran lidah atau faring (malampati). Jika pada pasien yang dianastesi tidak dapat bernafas spontan atau paru-paru tidak dapat engembang kecuali diberikan sungkup, maka maneuver yang akan dilakukan selanjutnya adalah melakukan akses langsung pada trakea. Cover ABCD-A SWIFT CHECK, digunakan sebagai dasar dari pendekatan sistematis terhadap penanganan krisis selama anastesi. Cara ini sudah divalidasi terhadap 2000 jenis insiden yang dilaporkan oleh badan AIMS. AIMS sedang melakukan penelitian untuk mengurangi insiden yang tidak diharapkan. Kesimpulannya jika logaritma ini benar-benar diaplikasikan diagnosis fungsional dapat dicapai dalam 40-60 detik per 99% insiden. dari insiden yang berlaku, dan bahwa urutan belajar dari tindakan yang direkomendasikan oleh COVER akan menghasilkan langkah yang tepat untuk menangani 60% dari masalah. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa 40% masalah diwakili oleh sisa algoritma. ABCD-A SWIFT CHECK, tidak selalu segera tepat mendiagnosis. Telah diputuskan bahwa akan lebih berguna, untuk masalah ini, untuk dikembangkan seperangkat spesifik sub-algoritma yang mudah untuk digunakan pada manual krisis manajemen. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa dari algoritma AB COVER CD-A SWIFT CHECK pada diagnosis dan penanganan awal kesulitan intubasi, memberikan gambaran garis besar dari krisis manajemen yang spesifik dari sub- algoritma untuk permasalahan anastesi, dan adanya indikasi dari nilai potensial pendekatan yang terstruktur. Jurnal ini mengkaji tentang kasus kesulitan intubasi dari 4000 laporan pertama ke AIMS Metode Informasi terhadap kesulitan pada intubasi endotrakeal diambil dari 4000 laporan yang datang ke AIMS (Australia insiden monitoring study). Semua insiden dengan kata kunci kesulitan intubasi, kegagalan intubasi dan fibreoptic intubasi, di analisi berdasarkan penyebab, penanganan dan hasilnya. Hasil Ada 4000 laporan insiden yang datang ke AIMS, 160 (4%) bermasalah dengan intubasi endotrakeal, kasus cardiac arrest yang sukses diresusitasi. Tidak ada kematian yang dilaporkan. 60 laporan (37%) dilakukan prosedur emergensi dan pada 43 kasus melebihi waktu, yang pada umumnya dilakukan trainee (orang yang sedang dilatih) anastesi. Informasi dapat dilihat pada table 1.

Pada 42 laporan (26%) terdapat kegagalan pada awal intubasi termasuk 16 kasus di mana seorang konsultan harus dipanggil dari lokasi lain. Dalam 14 dari 42 kasus intubasi dapat dilakukan, dan tidak dapat dilakukan dalam 28 kasus (17%). Ada 12 contoh prosedur emergency airway yang dilakukan. Termasuk 5 tracheostomi (tabel 1) dan pemberian Laryngeal Mask Airway (LMA) pada 5 pasien yang tidak dapat diberikan ventilasi. Terdapat kesulitan dengan ventilasi melalui face mask pada 23 laporan (14%), termasuk 8 dari 12 di mana prosedur emergency airway dilakukan. Hanya 2 dari laporan ini yang kesulitan pada ventilasi-nya dapat diantiipasi. 13 laporan berisi informasi yang tidak cukup jelas untuk dianalisis lebih lanjut, dengan 147 laporan yang dianalisis berdasarkan penyebabnya, penanganan dan hasil. Kesulitan dalam intubasi tidak diperkirakan dalam 77 kasus (52%). Itu membuktikan bahwa penilaian airway pra operasi tidak cukup memadai dalam 15 kasus (tabel 2), dan dalam 1 kasus kelelahan yang menjadi signifikan co-faktor. Kelalaian sederhana seperti tidak melakukan bedside tes contohnya melihat mulut dan ekstensi leher yang sering dilaporkan. Ada 10 laporan kesalahan penilaian meskipun tepat pre-operasi, 9 di antaranya trainee yang terlibat. Drug error merupakan penyebab utama kesulitan dalam 13 laporan. Kegagalan ini disebabkan karena obat yang tersisa di line dead space (dua laporan) atau dekomposisi berkepanjangan pada periode antara persiapan dan penggunaan (empat laporan), dosis yang salah (empat laporan), dan injeksi obat yang salah (tiga laporan). Informasi ini dirangkum dalam tabel 2. Pada Tabel 3 dilaporkan bahwa 132 laporan intubasi endotrakeal dapat dilakukan. Selain itu, manuver sederhan seperti reposisi pasien, tekanan pada krikoid yang teapat, dan penggunaan '' BURP'' (mundur, ke atas, kanan, tekanan pada laring) dapat dilakukan intubasi dalam 16 kasus (11%). Tabel 4 menunjukkan bahwa kontribusi pada kesulitan intubasi yang dilaporkan pada AIMS. 3 faktor yang paling umum adalah obesitas (24 kasus), keterbatasan gerakan leher, dan pembukaan mulut yang terbatas. Ini juga merupakan factor yang paling sering dilaporkan pada 2000 analisis pertama yang dilaporkan ke AIMS. Komplikasi yang dilaporkan ditunjukkan dalam tabel 5. Kedua komplikasi yang paling sering dilaporkan adalah desaturasi, <90% (22%) dan intubasi esofagus (19%). 3 intubasi esofagus yang tidak disadari yang dilaporkan, semuanya berkaitan dengan gagal untuk mengkonfirmasi pergantian endotrakealtube dengan capnografi pada suara napas normal saat auskultasi. Ada 9 laporan gastro- esophageal Refluks dengan aspirasi, 2 di antaranya gagal untuk diintubasi. Epistaksis pada blind nasal intubasi terjadi pada 2 laporan, yang membuat intubasi menjadi lebih sulit. Perubahan minor fisiologis, seperti batuk dan bucking, atau desaturasi tidak kurang dari 90% dilaporkan pada 65 kasus (44%). Pada 18 kasus (12%) tidak ada perubahan signifikan pada fisiologi. Gejala sisa tidak dilaporkan pada 10 dari 147 kasus (7%). PEMBAHASAN Penanganan airway dan intubasi endotrakeal adalah keterampilan funda mental untuk keamanan anestesi. Kejadian kesulitan intubasi dalam praktek anestesi adalah tidak diketahui,

tetapi umumnya diperkirakan antara 1% dan 3%. Kesulitan Intubasi sering muncul tak terduga, seperti kasus di 52% dari insiden ini. bahkan terkadang penilaian pra operasi menyeluruh pada airway gagal untuk mendeteksi beberapa kesulitan intubasi, dokter anestesi harus memiliki strategi yang telah ditetapkan untuk menangani situasi ini. Protokol pengelolaan kesulitan ntubasi sebelumnya diterbitkan oleh AIMS dan American Society Task Force pada kesulitan penanganan airway merekomendasikan strategi pre-learned dan menekankan pentingnya menjaga ventilasi. Sehingga pasien tidak meninggal karena kegagalan intubasi tetapi dari kegagalan untuk ventilasi. Dalam seri ini penyebab paling umum kesulitan yang tidak dapat diperkirakan dengan intubasi terjadi pada penilaian pra operasi tidak memadai. Bedside test yang mencari indikator kesulitan anatomi,seperti pengukuran jarak thyromental, Mallampati tes, dan sistem penilaian Wilson (Lihat Lampiran 1 dan 2) muncul, dari data ini, kurangnya sensitivitas dan spesifisitas, sehingga kegunaannya terbatas. Namun,pada tes tersebut telah mendeteksi 32 kasus dengan pembukaan mulut yang terbatas dan ekstensi leher dan mungkin telah mencegah kesulitan tak terduga dalam kasus ini. Telah dikemukakan bahwa menggabungkan tes ini meningkatkan kekuatan prediksi, dengan sekelompok peneliti mengklaim akurasi 100% dalam seri mereka Baru-baru ini, Naguib dan koleganya mengidentifikasi 4 faktor risiko klinis yang berkorelasi dengan laringoskopi dan kesulitan intubasi (nilai prediksi positif (PPV) 87,5%): jarak thyromental, jarak thyro- sternalis, lingkar leher, dan tes Mallampati. Digabungkan dengan serangkaian pengukuran radiologi meningkatkan PPV sampai 95,8%. Kesulitan dengan ventilasi melalui masker wajah terjadi pada 14% dari laporan. Emergency airway yang diperlukan di hampir setengah dari laporan tersebut (43%). 5 trakeostomi darurat dilakukan pada 2 pasien dengan supraglottic tumor. Seorang pasien lain dibutuhkan tusukan krikotiroid. Laporan penggunaan masker laring terjadi dalam 5 kasus. Analisis 2000 insiden sebelumnya pada tahun 1993 tidak ada laporan penggunaan AIMS. LMA digunakan sebagai live saving dalam situasi ini. Ada dua laporan dalam seri ini di mana kesulitan dalam intubasi dan masker ventilasi diprediksi. Keduanya dapat ditangani dengan teknik intubasi dengan awake fibre optik. Metode penanganan pada kesulitan intubasi dapat digantikan dengan penggunaan teknik intubasi fibre optik yang kesulitannya dapat diprediksi, dan LMA jika fibre optic tidak dapat dilakukan. Penggunaan blind nasal intubasi (6 laporan), forsep Magill (3 laporan), dan dari kaku bronkoskopi (1 laporan) jarang. Baru-baru ini, beberapa jenis blade laringoskop yang menyulitkan intubasi seperti Bellhouse, McCoy dan Bullard laringoskop telah dijelaskan.. Namun, anestesi yang trainee mungkin kurang diapresiasi pada teknik yang sederhana dan efektif, karena ada sejumlah instansi dimana konsultan dengan cepat menangani masalah dengan mereposisi pasien, dengan menggunakan manipulasi laring seperti BURP, atau penggunaan stylets atau intubasi blind nasal sebaik jenis blade laringoskop lainnya. Penggunaan gum elastis bougie telah digunakan secara luas pada seri dan berhasil dilakukan intubasi pada 46% kasus. Stylet berhasil digunakan pada 23% lainnya. Kedua alat bantu sederhana yang paling memungkinkan untuk diselesaikan dan harus dikerjakan di awal, segera setelah kesulitan muncul. Weiss menggambarkan sistem endoskopi yang memungkinkan untuk dilakukan visualisasi dari gum elastic bougie yang fleksibel pada endoskopi. Ini menyediakan bantuan dimana didapatkan pandangan langsung melalui laryngoscopic pada pita suara yang terganggu. Pengalaman lebih lanjut diperlukan pada orang dewasa karena berurusan dengan simulasi kesulitan airway pediatrik. Hal ini memiliki keuntungan dari mengubah teknik blind (bougie dibantu intubasi) menjadi satu visualisasi.

Beberapa perangkat yang tersedia yang tidak disebutkan dalam setiap kejadian dilaporkan dalam seri kami. Semua mungkin memiliki peran untuk melakukannya, tetapi pengalaman dalam penggunaan dan pemahaman tentang kesesuaian alat tersebut untuk masalah saluran napas yang berbeda itu penting sebelum mempertimbangkan penggunaannya jika timbul situasi yang gawat. Cuffed Oropharyngeal Airway (COPA) mungkin membantu jika masalah dengan ventilasi terjadi. Sebuah grup diPrancis melaporkan penggunaannya dengan gum elastic bogie dan fiber optic laringoskop untuk membantu intubasi. ILMA intubating laryngeal mask airway adalah suatu perangkat yang didesain untuk membantu blind intubasi. Uji klinis mengkonfirmasi bahwa ini memudahankan untuk dimasukkan secara cepat dan dapat diandalkan pada hampir semua pasien. Selanjutnya, blind intubas dari 93-99% dilaporkan oleh grop di Kanada tentang beberapa upaya intubasi yang diperlukan pada beberapa pasien, dan dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam teknik akan meningkatkan tingkat keberhasilan. Kami menyarankan hati-hati dalam menggunakan cara ini sebagai penanganan universal untuk kesulitan intubasi. Pada seri ini menegaskan bahwa masalah yang timbul pada upaya intubasi yang diulang. Sebuah blind teknik tidak dapat Digunakan jiak ada yang ada kelainan anatomi pada saluran nafas bagian atas seperti tumor, abses, atau sebelumnya deformasi operasi atau trauma. Combitube adalah perangkat lain yang digunakan sebagai emergency anastesi. Alat ini dapat diletakkan tanpa perlu lmenggunakan aringoskopi. Penggunaannya dikaitkan dengan tinggi kejadian komplikasi dari LMA tetapi dapat mencegah aspirasi lambung. Trauma faring biasanya diakibatkan oleh 85 ml faringeal cuff. Katup-seperti obstruksi saluran udara bagian atas oleh lipatan aryepiglottic telah dijelaskan. Penggunaan alat ini mungkin harus terbatas pada situasi darurat tapi, sekali lagi, keakraban adalah penting. Pada seri sebelumnya, jika dilihat adanya kesulitan intubasi pada1993, bahwa masalah yang disorot kurang pengalamannya ahli anestesi atau sendirian ketikamengerjakan intubasi yang sulit. Dalam hampir sepertiga dari kasus (n = 50) dokter anestesi adalah trenee dengan 60% dari insiden yang terjadi di luar jam pada 25% kasus dengan munculnya kesulitan yang serius meskipun telah dilakukan prediksi pra-operasi. Ternyata pendekatan pra-intubasi yang matang dalam kesulitan intubasi masih kurang. Rencana penanganan ditunjukkan pada gambar 1, tetapi waktu yang terlalu lama atau trauma pada intubasi menimbulkan masalah lain. Sebaiknya harus ada asisten yang memiliki skill, atau ahli anestesi lainnya ketika kesulitan muncul atau cadangan kardiorespirasi pasien rendah. Drug error terjadi pada 13 kasus dan harusnya dilakukan koreksi atas kesalahan intubasi tersebut.sebagian besar kegagalan disebabkan oleh kurangnya peralatan seperti tidak dicheck nya alat-alat tersebut seperti tidak adanya introducer dan tidak adanya lampu pada laringoskop yang terjadi pada 6 kasus. Asisten yang tidak memadai atau kurang terlatih menjadi faktor kegagalan dalam 10 kasus.Gejala sisa (sequalae) dari sulit / gagalnya tidak memakan korban jiwa. Dalam seri ini tidak ada kematian terjadi, tetapi gejala sisa fisiologis besar terjadi dalam 54 laporan (37%). Desaturasi arteri <90% yang diukur dengan pemeriksaan oksimetri terjadi pada 22% dari laporan, dan dalam 10 kasus lebih lanjut terjadi sianosis sentral tanpa pengukuran oksimetri spesifik dilaporkan. Insiden intubasi esofagus dalam seri ini ada 19% (28 laporan). Harus lebih di perhatikan bahwa gagalnya untuk mendeteksi intubasi pada esofagus dalam 3 kasus di mana capnograph tidak digunakan. Semua pasien tampak bernapas normal pada auskultasi. Deteksi di kasus-kasus inidapat dilihat dari desaturasi persisten yang berat. capnograph adalah monitor yang dapat dipercaya untuk mendeteksi intubasi esofagus dalam beberapa kali nafas. Australia dan

New College Selandia dari Dokter-dokter anestesi telah merekomendasikan bahwa monitor karbon dioksida harus tersedia untuk setiap pasien yang akan diintubasi atau ventilasi. Kesulitan dengan intubasi adalah relatif umum terjadi pada anestesi umum dan sering tidak diperkirakan, sehingga ahli anestesi setiap harus memiliki strategi untuk menangani masalah ini. Data yang terkumpul dalam seri ini mengkonfirmasi bahwa bantuan awal dengan penggunaan langkah-langkah sederhana seperti reposisi kepala, mencoba menekan laring, dan penggunaan alat bantu sederhana seperti bougie yang dilumasi dengan baik atau stylet akan me resolusi masalah dalam banyak kasus. pendekatan terstruktur yang disajikan dalam gambar 1 mencerminkan bahwa metode sederhana dan dapat menghindari percobaan intubasi yang berulang kali. pasien harus dinilai setelah operasi untuk meminimalkan gejala sisa dan untuk menginformasikan mereka tentang kesulitan yang mungkin dialami. Masalah pasien tersebut harus didokumentasikan dengan jelas dalam rekam medis dan pasien diberi surat untuk memperingatkan dokter anestesi lain kedepannya. Jika ada peristiwa tertentu yang berguna dalam menyelesaikan krisis tersebut, ini juga harus jelas dijelaskan dan didokumentasikan. Sebaiknya , peringatan bahaya seperti gelang Medic-alert juga harus dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai