Anda di halaman 1dari 6

Percobaan Melakukan Tindak Pidana Pada umumnya orang melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat dihukum,

jikalau tindak pidana itu telah seluruhnya diselesaikan, artinya semua unsur-unsur dari tindak pidana itu telah terwujud. Timbul pertanyaan, jika orang itu telah mulai melakukan tindak pidana, akan tetapi tidak samapai selesai? Dalam hal ini kita berhadapan dengan soal percobaan (poging). Kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.[1] Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan. Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.[2] Dari apa yang diterangkan di atas, kiranya ada dua arti percobaan. Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon. Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya. Didalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tetapi dirumuskan syarat-syaratnya. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP.

Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut: Pasal 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).[3] Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut[4]: a. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu; b. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki; c. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan

perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.

Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54 KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP). Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula. Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada

faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu. Loebby Loqman[5] memberikan contoh sebagai berikut: a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut. Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya. Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula

dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak tega meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.

b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan. Sebagai contoh:

Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik kesaksian palsu. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan. Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar. Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.

c.

Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi). Sebagai contoh : Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.

Menurut Barda Nawawi Arief[6] tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: a. Adanya penghalang fisik. Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik. Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain. c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran. Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.

Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara : a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.

Anda mungkin juga menyukai