Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI MANUSIA, MASYARAKAT DAN HUKUM

Makalah ini disusun untuk memenuhi kriteria penilaian Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Disusun Oleh : IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG (UNSIKA) 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penyusun Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Kajian Sosiologi Hukum Mengenai Manusia, Masyarakat Dan Hukum. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak mengalami hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hambatan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Karawang, 22 Mei 2012 Penyusun;

IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. .. i DAFTAR ISI ............................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................ 4 C. Tujuan Penyusunan ......................................................... 4 D. Manfaat Penyusunan .........................................................4 E. Metode Penyusunan ......................................................... 4

BAB II

PEMBAHASAN...................................................................... 5 A. Hubungan Manusia dengan Hukum dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum ........................... 5 B. Hubungan Masyarakat dengan Hukum dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum ........................... 7

BAB III

PENUTUP............................................................................... 11 A. Kesimpulan ..................................................................... 11 B. Saran ............................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Adalah kenyataan bahwa kehidupan bermasyarakat di dunia yang fana ini cenderung berubah, dan dalam abad-abad terakhir ini kian berubah cepat. Komuniats-komunitas lokal dengan cepat lebur dan terintegrasi ke dalam kehidupan urban-industrial yang berskala dan berformat nasional. Inilah perkembangan yang disebut perkembangan from old societies to a new state -terjadi sepanjang abad 18-19 di Eropa Barat dan seterusnya sepanjang abad 20 di Asia dan Afrika, dengan segala permasalahan yang berkaitan dengan persoalan tertib kehidupan bermasyarakat negara, serta ihwal sarana kontrol berikut segala aspek hukumnya. Demikianlah, manakala Ilmu Hukum sebagai kajian law in books berkonsentrasi pada ihwal hukum undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian akan dijadikan dasar hukum untuk mengadili perkara-perkara, Hukum Dalam Masyarakat adalah kajian tentang ihwal kebermaknaan sosial hukum undang-undang itu. Adapun yang dimaksudkan dengan the social significance of law ini tak lain ialah fakta actual yang hendak mengabarkan sejauh mana hukum undang-undang yang berstatus formal itu ditaati dan terealisasi menjadi perilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian,

hukum undang-undang tak hanya tersimak sebagai bacaan tentang perintahperintah yang harus ditaati akan tetapi juga tersimak secara indrawi sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin sering hukum undang-undang itu tampak dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam perilaku para waraga dalam kehidupan seharihari akan boleh dikatakan bahwa hukum undang-undang itu semakin bermakna secara sosial dan kultural.

Kajian-kajian tekstual terhadap hukum berkembang dengan sebutan jurisprudentia sepanjang abad 18-19 di negeri-negeri kelahirannya. Kajian ini banyak berseluk beluk dengan upaya mensistematisasi berbagai produk perundang-undangan berikut prosedur-prosedur pendayagunaananya serta ajaranajaran yang menjadikan preskripsi-preskripsi undang-undang yang bertebaran itu terorganaisasi ke dalam suatu sistem yang logis dengan koherensinya pada tarafnya yang tinggi. Tetapi, sudah pada belahan kedua abad 19 yang bersiterus ke abad 20, tatkala industrialisasi dan urbanisasi telah serta merta menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat yang sungguh eksponensial, dorongan untuk juga mempelajari teks-teks itu -- ialah sehubungan dengan perubahan kontekskonteksnya dengan segera saja menguat. Meningkatnya migrasi dan urbanisasi yang kian membikin komplek secara drastik heterogenitas dan pluralitas kehidupan, atau pula maraknya

kekumuhan dan kemiskinan yang berseiring dengan terjadinya massa pekerja pabrik dan kejahatan yang merebak di kota-kota, adalah dua-tiga contoh saja dari sekian banyak perkembangan sosial-ekonomi yang menuntut terwujudnya sistem normatif baru guna menjamin terwujudnya tertib kehidupan yang baru pula. Sebelum datangnya masa krisis dengan segenap kerisauannya itu, para pemikir besar di bidang filsafat sosial amatlah berkeyakinan akan kebenaran paham progresisme. Ialah paham yang bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik dan positif, bahwa perubahan macam apapun yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudahlah pasti akan selalu berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada yang sudahsudah. Adalah kenyataan bahwa transisi-transisi transformatif yang pesat dan tertampak sebagai kenyataan sosiologis itu tak bisa secara cepat diimbangi oleh pembaharuan dalam seluruh tatanan perundang-undangan yang ada itu. Syahdan, ketertiban lama yang mendasarkan diri pada ketentuan-ketentuan preskripsi yang lama nyata kalau sudah tidak lagi dapat memberikan jawaban kepada berbagai permasalahan baru yang bermunculan. sedangkan norma-norma baru belum juga
2

kunjung juga dapat menjawabnya. Merespons kenyataan seperti ini, sosiologi dan demikian pula cabang-cabang spesialisasinya yang segera berkembang kemudian, antara lain sosiologi hukum segera saja marak sebagai hasil pemikiran mereka yang risau dengan permasalahan yang tak segera terjawab oleh hukum dan ilmu hukum. Pendayagunaan kajian sosilogik inilah yang kemudian memperkuat daya kerja ilmu hukum, dari kajian-kajiannya yang terlalu murni -- yang mengkaji hukum dengan keyakinannya yang doktrinal namun sempit akan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu yang tersendiri, sui generis menjadi suatu studi yang lebih berufuk luas. Membuka diri untuk memanfaatkan hasil kajian-kajian ilmu sosial yang marak sejak belahan akhir abad 19, sudah pada pertengahan abad 20 ilmu hukum telah memiliki karakternya yang baru sebagai apa yang disebut inbetween jurisprudence. Istilah in-between jurisprudence ini memang sering mengundang kontroversi, apakah kajian hukum dalam masyarakat itu sesungguhnya terbilang ilmu hukum (jurisprudence) ataukah sudah bergeser menjadi kajian yang sudah lebih masuk ke ranah ilmu-ilmu sosial yang lebih empirik (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan apa yang terjadi dan mengapa sampai terjadi) daripada yang normatif dan/atau preskriptif (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan bagaimana seharusnya bertindak). Pendapat yang menolak kajian in-between jurisprudence sebagai kajian hukum menyebut kajian yang berada di wilayah abu-abu ini sebagai kajian sosiologi hukum yang tak ada gunanya bagi praktik hukum kaum profesional. Sementara itu, mereka yang mau menerima kajian yang satu ini sebagai kajian ilmu tentang hukum menyebutnya dengan istilah hukum dalam masyarakat.

B. Identifikasi masalah Dari beberapa uraian di atas saya membatasi masalah menjadi beberapa identifikasi agar pembahasan tidak melebar, yaitu : 1. Bagaimana hubungan manusia dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum? 2. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum?

C. Tujuan Penyusunan Tujuan dari penelitian makalah ini adalah untuk dapat menjelaskan, serta menunjukkan, mengenai: 1. Hubungan manusia dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum. 2. Hubungan masyarakat dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum.

D. Manfaat Penyusunan 1. Hasil penyusunan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian di bidang hukum pada umumnya dan sosiologi hukum pada khususnya. 2. Hasil penyusunan makalah ini dapat digunakan sebagai wawasan tambahan mengenai hubungan manusia, masyarakat dan hukum.

E. Metode Penyusunan Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang berdasarkan atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkum data yang berkenaan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini serta menggunkan data sekunder yang didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan Manusia Dengan Hukum Dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum Di mana ada manusia di situ ada hukum. Ungkapan yang sudah disepakati di kalangan ahli hukum itu memiliki pengertian yang sangat mendalam, baik dilihat dari sisi filosofis, sosiologis, maupun antropologis, karena sejak lahir manusia sudah membawa hukum di dalam kehidupannya. Kemudian hukum yang ada dalam diri manusia tersebut berkembang sesuai dengan tingkatan kehidupannya dan membawa konsekuensi yang logis, etis, historis dan bahkan empiris. Ini menandakan bahwa hukum itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia yang membawa prilaku manusia kearah yang benar dan dapat menuntun hidup manusia ke arah yang lebih baik. Soediman Kartohadiprojo malah memberikan pengertian bahwa hukum itu adalah manusia. Dasar filosofinya, kata Soediman, adalah kondisi masyarakat Indonesia yang masih terintimidasi oleh pemikiran Belanda di dalam sistem hukumnya. Masih ada penjajahan hukum. Padahal Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ikanya, mewariskan kesetaraan hak dan kewajiban serta kebersamaan di dalam menciptakan kerukunan

antarmasyarakat. Dengan demikian, menurut Soediman, manusia sama dengan hukum. Bertitik tolak dari pemikiran Soediman Kartohadiprojo tersebut di atas, seharusnya kita merenungkan posisi manusia yang selalu diberi hak sekalipun sedang memiliki problem hukum atau katakanlah sedang tersangkut perkara pidana dengan posisi sebagai tersangka/terdakwa. Hak mereka tidak memudar karena di sejajarkan dengan hukum. Hukum adalah manusia dan di dalam hukum ada cita hukum.

Jika hukum adalah manusia, maka tentunya manusia harus dapat mengendalikan seluruh aturan yang ada di hadapannya untuk dipatuhi. Daya kontrol yang lemah di dalam lembaga birokrat seharusnya tidak digunakan sebagai kesempatan melakukan perbuatan yang menyimpang yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan keuangan negara. Hukum tidak menjelmakan manusia untuk selalu benar, akan tetapi hukum menggiring manusia untuk memberikan cita hukum karena cita hukum itu milik semua manusia tanpa memandang status sosialnya. Jika keburukan moral dipertontonkan oleh manusia dengan melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka hal itu menunjukkan bahwa manusia telah kehilangan moralitas. Ia telah menghancurkan nilai kebaikan yang didapatkannya ketika dididik oleh orangtuanya, lingkungannya, dan dunia pendidikannya. Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum Manusia, disamping bersifat sebagai makhluk individu, juga berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah muncul inter dependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha pewujudan hakekat sosialnya di atas, manusia membentuk hubungan sosio-ekonomis di antara sesamanya, yakni hubungan di antara manusia atas landasan motif eksistensial yaitu usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Dalam kerangka inter relasi manusia di atas motif eksistensial itulah sistem hubungan sosial terbentuk. Usaha perealisasian motif eksistensial dalam suatu sistem hubungan sosial bersifat sangat kompleks akibat dari kuantitas dan heterogenitas kebutuhan di dalam kemajemukan manusia dengan pluralitas perbedaanya itu, oleh karena itu upaya yang dilakukan dalam kompleks inter relasi ini meniscayakan kebutuhan akan satu hal: keteraturan. Hanya dengan prasyarat keteraturanlah, maka usaha

perealisasian motif eksistensial dari masingmasing individu manusia di dalam kebersamaan antar sesamanya dapat terwujud, mengingat bagaimanapun di sisi lain manusia masih juga berhakekat sebagai makhluk individual sehingga sebuah kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup (motif eksistensial) seorang manusia akan berhadapan dengan kepentingan manusia lain. Konflik kepentingan ini secara alami akan mendorong manusia untuk saling berkompetisi dan saling mengalahkan di antara sesamanya, kondisi ini pada ujungnya jika dilakukan secara tidak terkendali akan melahirkan kekacauan (chaos), dan jika hal ini sudah terjadi maka justru eksistensi manusia itu sendiri yang terancam.

B. Hubungan Masyarakat Dengan Hukum Dalam Sudut Pandang Sosiologi Hukum Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta, yakni sebagai bagian pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan, dan sifat hubungan antara hukum dan kekuasaan ini layaknya dua permukaan mata uang karena kedua unsur pranata pengatur ini berhubungan secara sistemik sehingga tidak bisa dipisahpisahkan, keberadaan yang satu meniscayakan keberadaan yang lain. Untuk menciptakan keteraturan maka dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur maka perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui kesewenang-wenangan ataupun dengan penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini, terdapat adagium yang

populer: Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Kekompleksitasan hubungan antar manusia bermotifkan kepentingan masing-masing, maka akan mendorong manusia untuk saling berkompetisi dan berebut saling mengalahkan antar sesamanya yang dapat berujung pada kekacauan. Kekacauan di sini dapat bermakna dua hal: Pertama, kekacauan dalam arti sebenarnya di mana yang terjadi bukanlah suatu tatanan sosial yang teratur melainkan pola kehidupan antar manusia yang tidak terkendali dan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Kedua, adalah kekacauan dalam arti semu yaitu terciptanya suatu tatanan masyarakat namun yang dijalankan tidak secara ideal melalui sistem kekuasaan yang otokratis (sewenang-wenang) sehingga walaupun individu manusia berada dalam suatu tatanan sosial namun mereka tatap merasa terancam eksistensinya. Hukum dihadirkan untuk menciptakan keteraturan dengan mencegah atau mengatasi segala bentuk kekacauan sebagaimana di atas. Adanya inter dependensi (hakekat sosial) mendorong manusia untuk melakukan inter relasi di antara sesamanya guna merealisasikan kepentingan atas dasar motif eksistensialnya masing-masing (hakekat individual). Inter relasi dengan latar belakang inter dependensi ini memaksa manusia-manusia yang saling bertemu untuk melakukan bargaining di antara mereka demi saling terpenuhinya kepentingan eksistensial masing-masing, dan proses bargaining yang terjadi ini tidak lain adalah proses tawar-menawar di antara kepentingan-kepentingan yang saling berhadapan. Proses bargaining of interest yang ideal (fair) adalah proses tawar menawar yang bersifat equal, yaitu proses tawar-menawar oleh mereka yang berkedudukan seimbang dan yang dilakukan secara seimbang pula, sehingga proses inter relasiinter dependensi yang terjadi bersifat saling memenuhi satu sama lain dan masingmasing pihak merasa terpuaskan oleh adanya hubungan tersebut dikarenakan kepentingan masing-masing telah dipenuhi oleh adanya pihak lawan tanpa ada satu pihak yang merasa dirugikan. Fungsi kerja dari hukum adalah menciptakan

norma equality ini, yaitu dengan mengatur kepentingan-kepentingan yang saling berhadapan agar dapat bertemu secara seimbang dan agar proses bargaining atas kepentingan-kepentingan tersebut juga berjalan seimbang. Secara lebih dalam lagi, proses penyeimbangan kepentingan ini dilakuan mula-mula dengan cara penciptaan norma hak dan kewajiban atas kepentingan yang berhadapan tersebut, untuk kemudian diciptakan norma penyeimbangan atas hak dan kewajiban yang ada itu. Oleh karena itu, pada hakekatnya secara sederhana hukum tidak lain adalah pengaturan tentang hak dan kewajiban setiap individu manusia sebagai bagian dari suatu tatanan sosial masyarakat. Penyeimbangan kedudukan kepentingan antar manusia yang saling berhadapan perlu dilakukan mengingat adanya pluralistik perbedaan latar belakang dari masing-masing manusia yang ada agar hubungan inter dependensi yang berlangsung tidak bersifat parasitisme (merugikan dan menindas salah satu pihak) akibat adanya perbedaan kekuatan sumber daya, melainkan dapat benarbenar bersifat mutualisme (saling menguntungkan secara fair). Sehingga, mereka yang berada sebagai pihak yang lemah secara sumber daya / kekuatan sosialekonomisnya dapat terkuatkan dengan cara perlindungan maksimal atas hakhak mereka, sedangkan mereka yang berada sebagai pihak yang lebih kuat sumber dayanya dapat dibatasi kekuatan dan kekuasaannya itu dengan cara penciptaan norma-norma imperatif yang bersifat limitatif seperti melalui pembebanan kewajiban-kewajiban tertentu. Di sisi lain, adanya posisi yang seimbang antar pihak yang saling berinterakasi tidak akan berarti apa-apa jika proses bargaining kepentingan-kepentingan yang ada tidak berjalan secara seimbang pula. Maka, perlu diciptakan norma penyeimbangan hak dan kewajiban di dalam masingmasing kepentingan tersebut. Setiap subyek yang telah bersepakat untuk berhubungan dengan subyek lain atas landasan pemenuhan kepentingan diri masing-masing berkewajiban memenuhi kebutuhan pihak lawan melalui pemberian sumber daya yang dimilikinya dan pada saat yang sama ia mempunyai hak agar kebutuhannya dipenuhi oleh pihak lawan atas sumber daya yang dimiliki oleh pihak lawannya itu, dan hal ini bersifat timbal balik. Terciptanya suatu inter

relasi yang telah dapat bersifat seimbang dalam hubungan hak dan kewajibannya di antara manusia yang telah berkedudukan seimbang pula inilah yang dinamakan dengan istilah: k e a d i l a n. Dengan demikian dapat terlihat bahwa eksistensi hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban melalui pemenuhan keadilan di antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat, sehingga dapat diketahui bahwa tujuan hukum yang pertama dan utama adalah memberikan keadilan secara sosial (keadilan dalam kebersamaan) bagi tiap-tiap individu di dalam tatanan sosial yang bernama masyarakat.

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah : 1. Hubungan manusia dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum: Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum Manusia, disamping bersifat sebagai makhluk individu, juga berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah muncul inter dependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Hukum adalah manusia dan di dalam hukum ada cita hukum. Maka jika hukum adalah manusia, maka tentunya manusia harus dapat

mengendalikan seluruh aturan yang ada di hadapannya untuk dipatuhi. Hukum tidak menjelmakan manusia untuk selalu benar, akan tetapi hukum menggiring manusia untuk memberikan cita hukum karena cita hukum itu milik semua manusia tanpa memandang status sosialnya.

2. Hubungan masyarakat dengan hukum dalam sudut pandang sosiologi hukum.:


-

Untuk mengetahui bentuk konkret model hukum dan sosial, dapat dilihat dilihat dari aturan-aturan hukum yang ada dimana ia juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Hukum sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya, baik secara preskriptif dimana hukum sebagai bertindak sebagai kaidah dalam pengertian dan kenyataan, maupun dalam secara politik dan philosopis yang menerapkan nilai-nilai dan perenungan dan perumusannya.

11

B. Saran Dari hasil pengkajian penyunan makalah ini, penyusun pribadi mendapatkan hal yang perlu dikritisi, oleh karenanya maka penyusun sengaja memaparkan hal itu di bagian saran ini, adapun hal yang dikritisi adalah sebagai berikut: Satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai law is a tool of social enginereeng, bahwa menurut von Savigny (dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum sesungguhnya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya law is a tool of social engineering harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule of law.

Karawang, 22 Mei 2012 Penyusun;

IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

12

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Anwar Yesmil, Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. 2008. Bandung: PT Grasindo. Malsem Van. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita. 1992. Jakarta: Gramedia. Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum.1976. Bandung: Alumni. Hukum Bagi Kalangan

B.

Literatur http://bandung.blogspot.com/2011/12/hukum-dan-manusia-1.html (diakses 22 Mei 2012)

13

Anda mungkin juga menyukai