Anda di halaman 1dari 8

AGRITEK VOL. 17 NO.

6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL (STUDI PADA NELAYAN TRADISIONAL DI PULAU SIAU
KABUPATEN SITARO) Development of Model of the Economic Empowerment for Traditional Fisherman Wilson Bogar Dosen Universitas Negeri Manado, Unima ABSTRACT The purpose of research is to know potencies (strength and opportunity) and constraints (weaknesses and threats) of traditional fisherman in the Siau Island, Sitaro regency, as a basic in formulating their economic empowering model. Research design is descriptive research using survey method. Research subjects are 120 traditional fishermen in six districts in Siau Island. Data collecting technique is questionnaire and interview, and data analysis is descriptive analysis Result of research showed that: (1) traditional fishermans strengths in Siau island, Sitaro regency are: they have potency age, adequate level of education, and strong motivation . (2) their opportunities are: catch area having abundant fish potency, governmental policy especially local government to fishery and oceanic sector including small fisherman life, and policy of finance companies such as bank providing skim credit for small fisherman. (3) their weaknesses are: technology and tools applied are still very simple, limited capital access to finance institution (bank), unorganized, product marketing uncertainty, and less even still have not been touched by training. (4) their threats are: bed weather or season causing them doesn't operating, modern fisherman operating in their legally catch area, and there is still fish theft ( illegal fishing). Keywords: economic empowering, traditional fisherman ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi (kekuatan dan peluang) dan kendala-kendala (kelemahan dan tantangan) pada nelayan tradisional di Pulau Siau, Kabupaten Sitaro, sebagai landasan untuk merumuskan model pemberdayaan ekonomi rumahtangganya. Penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei. Subyek penelitian adalah 120 orang nelayan tradisional yang tersebar di enam desa di Pulau Siau. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dan daftar isian terstruktur. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kekuatan nelayan tradisional adalah mereka mempunyai usia produktif, pendidikannya mencukupi, dan motivasi kuat; (2) peluangnya adalah daerah penangkapannya mempunyai potensi ikan yang berlebihan, kebijakan pemerintah daerah sangat mendukung sektor perikanan dan kelautan termasuk pemberdayaan nelayan kecil, dan kebijakan lembaga per-bank-an yang menyediakan skema kredit bagi nelayan kecil; (3) kelemahannya adalah teknologi dan alat tangkap sangat sederhana, akses permodalan sangat terbatas, ketidak-pastian pemasaran hasil, dan kurangnya pelatihan teknis inovatif, (4) tantangannya adalah kondisi cuaca dan musim yang buruk menyebabkan nelayan tidak dapat melaut, armada penangkapan modern iktu menangkap di daerah penangkapan nelayan tradisional, dan adanya illegal fishing. Kata kunci: nelayan tradisional, pemberdayaan ekonomi.

181

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

PENDAHULUAN Pulau Siau adalah pulau terbesar di kabupaten Siau Tagulandang Biaro (SITARO), dimana penduduknya sebagian besar (57%) bermukim di wilayah pesisir dan sebagian besar (53%) dari mereka (keluarga) menggantungkan nafkah/ kehidupannya dari laut sebagai nelayan tradisional. Tidak berbeda dengan nelayan tradisional di daerah lain, nelayan tradisional di pulau Siau menghadapi kesulitan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup minimalnya karena hasil usaha (pendapatan) yang diperoleh dari pekerjaannya masih rendah dan tidak menentu. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM pada bulan Juli 2008 memicu kenaikan harga barang (seperti sembako) dan mendorong tingkat inflasi sehingga daya beli masyarakat, khususnya nelayan tradisional, semakin berkurang, meskipun tingkat pendapatan riilnya naik. Nelayan tradisional juga bersaing dengan nelayan yang dikategorikan semi modern dan modern dan menghadapi cuaca serta musim yang tidak menentu yang mengganggu aktivitas mereka. Untuk itulah diperlukan suatu model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional daerah pesisir dalam upaya meningkatkan pendapatan mereka. Menurut Kusnadi (2009) pemberdayaan masyarakat nelayan diartikan sebagai usaha-usaha sadar yang bersifat terencana, sistematik, dan berkesinambungan untuk membangun kemandirian sosial, ekonomi, dan politik masyarakat nelayan dengan mengelola potensi sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai kesejahteraan sosial yang bersifat berkelanjutan. Diperlukan prasyarat/kondisi dan proses yang sistemik didalam pemberdayaan ekonomi rakyat terutama yang tergolong masyarakat miskin, seperti masyarakat nelayan tradisional di pedesaan. Prasyarat/kondisi yang dimaksudkan adalah: (1) adanya kondisi pemberdayaan; (2) memberikan kesempatan agar masyarakat semakin berdaya; (3) perlindungan

agar keberdayaan dapat berkembang; (4) meningkatkan kemampuan agar semakin berdaya, dan (5) fungsi pemerintah. Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat miskin dapat dilakukan secara bertahap melalui tiga fase yaitu: (1) fase inisial, dimana pemerintah yang paling dominan dan rakyat bersifat pasif; (2) fase partisipatoris; dimana proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat, dan (3) fase emansipatoris, masyarakat sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat melakukan pembaharuanpembaharuan dalam mengaktualisasikan dirinya (Pranaka & Prijono, 1996), dengan bermuara pada tiga sasaran pokok yaitu: (1) meningkatnya pendapatan masyarakat di tingkat bawah dan menurunnya jumlah penduduk yang terdapat di bawah garis kemiskinan; (2) berkembangnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kegiatan sosial ekonomi produktif masyarakat di daerah pedesaan; dan (3) berkembangnya kemampuan masyarakat dan meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat, baik aparat maupun warga (Sumodiningrat 2000 dalam Juliantara, 2000), dan dilakukan melalui tiga arah yaitu: (1) penciptaan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling); (2) penguatan potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering); dan (3) perlindungan (protecting) terhadap pihak yang lemah agar jangan bertambah lemah serta mencegah terjadi persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi yang kuat atas yang lemah (Kartasasmita, 1996), serta menggunakan tiga pendekatan , yaitu: pertama, pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak kepada orang miskin, kedua, pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang

182

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Kartasasmita, 1996 dalam Soegijoko, 1997). Merumuskan model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional harus memperhatikan karakteristik mereka (Frith 1967 dalam Mubyarto 1994), secara geografis mereka sebagai sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu yang menjadi pembeda dengan kelompok sosial lainnya (Kusnadi, 2009), dan mereka adalah pekerja keras, cerdik, dan ulet sehingga dapat bertahan hidup dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan yaitu kemiskinan itu sendiri (Chambers,1983). Di antara ketiga kelompok (buruh tani, petani gurem, dan nelayan) di pedesaan yang paling miskin, nelayanlah yang paling berat kehidupannya, karena mereka itu sebagian merupakan kelompok yang terusir dari daerah-daerah pertanian (Mubyarto & Kartodirdjo (1988). Menurut Suyanto (1996), ada dua faktor yang menyebabkan munculnya kerentanan yang semakin parah di antara keluarga nelayan yaitu: (1) irama musim dimana kehidupan nelayan yang sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca dan alam; dan (2) faktor harga dan daya tahan ikan hasil tangkapan nelayan dimana harga ikan sangat ditentukan oleh kondisi fisik ikan tersebut. Faktor-faktor tersebut di atas menyebabkan tingkatan pendapatan nelayan tradisional relatif rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi-potensi (kekuatan atau Strengths), kelemahan-kelemahan (weaknesses), peluang-peluang (opportunities) dan ancaman-ancaman (threats) yang dihadapi nelayan tradisional di Pulau Siau Kabupaten SITARO untuk dijadikan dasar perumusan konsep model pemberdayaan ekonomi mereka. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survey. Subyek penelitian yaitu 120 nelayan tradisional di 6 (enam) kecamatan di Pulau Siau, setiap kecamatan 20 orang. Teknik pengumpulan data adalah angket dan wawancara, dan analisis data adalah analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Nelayan tradisional yang menjadi subyek penelitian ini seluruhnya adalah laki-laki, sebagai besar tingkat pendidikannya SMP, sebagian besar berusia kurang dari 58 tahun, memiliki anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan 1 orang (8%), 2 orang (35%), 3 orang (25%), dan lebih tiga orang (32%). memiliki anak yang sedang bersekolah di SMP dan SMA (24%), SD dan SMP (22%), hanya SMP (20%), hanya SMA (9%), hanya SD (15%), SMA dan Perguruan Tinggi (6%), dan hanya Perguruan Tinggi/mahasiswa (3%), dan sebagian besar memiliki penghasilan bersih dari hasil menangkap ikan perbulan rata-rata kurang dari Rp 860.000,-. Pekerjaan sebagai nelayan oleh sebagian besar (82%) nelayan tradisional adalah pekerjaan atau sumber matapencaharian utama, disamping melakukan pekerjaan sampingan seperti: bertani di lahan sendiri dengan luas kurang dari 1 ha (37%), buruh bangunan (30%), buruh tani (17%), dan tidak ada pekerjaan samping sebanyak 16%. Pekerjaan sampingan akan mereka lakukan pada saat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut (74%), jika masih ada waktu sisa sesudah melaut (15%), dan jika menurut pengalaman mereka bukan musim ikan (11%). Mereka (82%) menyatakan bahwa jumlah nelayan tradisional (sesama mereka) masih kurang, dan mereka tidak merasakan bahwa rekanrekannya (sesama nelayan) sebagai saingan (93%), kecuali dengan nelayan-nelayan yang memiliki fasilitas dan peralatan nelayan yang lebih baik. Masih ada (12%)

183

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

nelayan yang melakukan penangkapan dengan cara yang merusak, seperti dengan racun dan bom, meskipun mereka sudah mengetahui bahwa cara-cara penangkapan seperti itu dilarang dan merusak lingkungan termasuk habitat ikan. Hasil tangkapan (ikan) dipasarkan atau dibeli oleh pedagang pengumpul (52%) dan dijual sendiri (48%), dan yang paling dominan menentukan harga ikan kalau dijual atau dibeli oleh pedangang pengumpul/pengecer adalah pedangang pengumpul/pengecer itu sendiri. Namun, pedangang pengumpul tidak selalu bersedia membeli ikan pada saat ikan melimpah. Hanya sebagian kecil (10%) nelayan yang pernah mendapat bimbingan yang ada kaitannya dengan nelayan, yang hanya berasal dari pemerintah. Padahal mereka menyatakan bimbingan seperti itu sangat perlu. Hanya sebagian kecil (18%) nelayan yang telah menjadi anggota kelompok nelayan, meskipun mereka (74%) menyadari bahwa kelompok nelayan seperti ini perlu. Akan tetapi kelompok itu kurang kompak, disebabkan oleh anggota kelompok yang selalu memaksakan kehendaknya sendiri dan pimpinan/pengurus kelompok kurang memperhatikan keinginan kelompok. Kalau terjadi masalah seperti ini, pemerintah tidak selalu campur tangan membantu mengatasinya. Kelompok nelayan pernah menerima bantuan yang bersumber dari pemerintah dan swasta dalam bentuk kredit uang dan barang/ peralatan nelayan yang harus dikembalikan (bukan hibah). Masih ada (30%) nelayan yang menyatakan bahwa syarat-syarat mendapatkan bantuan/ pinjaman ini sulit, yaitu jangka waktu pengembaliannya singkat/cepat dan bunga pinjaman masih tinggi. Mereka (92%) pernah mendapat tawaran pinjaman dari lembaga yang bukan bank yang syarat-syarat mendapatkannya sangat mudah dan cepat realisasinya, tetapi dari segi syarat-syarat pengembaliannya seperti jangka waktu pengembalian dan bunga yang ditetapkan oleh sipemberi pinjaman tidak sesuai

dengan keinginannya (tinggi). Akan tetapi, sebagian besar (67%) nelayan pernah memanfaatkan pinjaman seperti ini. Dari hasil wawancara dengan BT (camat), LD (pegawai Dinas Koperasi), dan AB (tokoh masyarakat), terungkap bahwa di Pulau Siau terdapat sebuah lembaga (seperti koperasi) yang sangat intensif menawarkan pinjaman uang kepada masyarakat dengan syarat yang mudah, tetapi pengembaliannya singkat, misalnya hari ini dipinjam, besok sudah mulai dicicil, pokok ditambah bunganya, setiap hari sampai dengan pokok dan bunga pinjaman lunas. Menurut DO, Kepala cabang BRI Sitaro, BRI menyediakan skim kredit dengan persyaratan yang sangat ringan bagi nelayan kecil (tradisional), namun penyalurannya harus melalui kelompok. Belum ada lembaga/instansi yang telah menyatakan kesediaannya secara khusus membina nelayan tradisional, meskipun mereka pernah mendengar bahwa ada program pemerintah dalam kaitannya dengan pembinaan nelayan, melalui penjelasan/informasi langsung dari pemerintah dan media, seperti TV dan Radio. Menurut KA, kepala Dinas Kelautan dan Perikan Kabupaten Sitaro, kabupaten Sitaro adalah daerah otonom yang baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe dan baru berusia 2 tahun. Di dalam rencana strategis (Renstra) kabupaten Sitaro ditetapkan bahwa sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan, sehingga sektor ini mendapat prioritas untuk dikembangkan. Kebijakan pemerintah daerah, seperti Peraturan Daerah, untuk mendorong dan mengoptimalkan sektor ini sedang disiapkan dan anggaran dan bantuan kepada nelayan telah disediakan dan ditata di dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Prasarana perikan sedang diupayakan, seperti cold storage dan pasar ikan serta pelabuhan perikanan. Berdasarkan hasil analisis data ternyata nelayan tradisional di pulau Siau Kabupaten Sitaro memiliki potensi sebagai

184

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

kekuatan dan peluang untuk dapat meningkatkan pendapatan mereka, meskipun mereka juga memiliki kelemahan dan menghadapi ancaman-ancaman.

Adapun kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi nelayan tradisional di pulau Siau kabupaten Sitaro dapat diklasifikasikan atau digolongkan sebagai berikut.

Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Nelayan Tradisional Di Pulau Siau, Kabupaten Sitaro Kekuatan Usia potensil Tingkat pendidikan Ketekunan/ motivasi Kelemahan Peralatan/ Teknologi Modal/akses ke lembaga keuangan Organisasi/ kelompok Pelatihan/ pendampingan Peluang Potensi laut Kebijakan pemerintah Kebijakan lembaga keuangan Ancaman Cuaca Nelayan modern Illegal fishing

Pada dasarnya karakteristik nelayan tradisional di pulau Siau Kabupaten Sitaro dan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, seperti yang tampak pada kelemahan-kelemahan dan ancamanancaman yang mereka hadapi, tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil analisis konseptual yang dikemukakan oleh Kusnadi (2009) yang menyatakan bahwa secara umum, persoalan masyarakat nelayan berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan isu-isu: (1) kemiskinan dan kesenjangan sosial, (2) keterbatasan akses modal, teknologi, pasar, (3) kualitas SDM rendah, (4) degradasi sumberdaya lingkungan, dan (5) kebijakan pembangunan yang belum memihak secara optimal pada masyarakat nelayan. Masalah-masalah tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Arif Satria (2003) menganalisis tentang kemiskinan nelayan dengan mengedepankan perspektif aliran struktural daripada aliran modernisasi, yakni bahwa nelayan tidak maju (miskin) karena nelayan tidak memiliki kesempatan untuk maju (aliran struktural), bukan karena tidak mau maju (aliran modernisasi).

Usaha-usaha untuk mengatasi masalah kemiskinan nelayan bukanlah tidak dilakukan, tetapi sudah dilakukan dan ada yang sementara dilakukan melalui berbagai program dengan berbagai modelnya. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), yang digulirkan sejak tahun 2001 sampai dengan 2009 melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang pelaksanaannya dibagi menjadi tiga periode, yaitu (1) periode inisiasi (2001-2003), (2) periode institusionalisasi (2004-2006), dan (3) periode diversifikasi (2007-2009) (Kusnadi, 2009). Hasil studi Kusnadi, dkk. (2006b) menemukan bahwa meski terdapat sub program PEMP khususnya pada aspek pengelolaan Koperasi LEPP-M3 cukup baik, namun pada aspek pengelolaan dana hibah yang antara lain dengan sistem perguliran (revolving fund) mengalami kegagalan karena sebagian besar dana yang disalurkan tidak dapat digulirkan secara berkelanjutan. Walaupun kemacetan kredit berdampak serius terhadap kinerja dan keberlanjutan usaha Koperasi LEPP-M3, tetapi kredit yang telah disalurkan dan

185

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

dimanfaatkan kepada mayarakat menjadi pemicu perubahan sosial-budaya dan ekonomi di kawasan Getem (salah satu Desa penerima proyek). Kehadiran Program PEMP di Kampung Getem telah berkontribusi terhadap pembentukan basis ekonomi masyarakat setempat. perubahanperubahan penting yang terjadi di kampung nelayan tradisional Getem adalah sebagai berikut. Pertama, peningkatan kapasitas kinerja dan operasional sarana penangkapan, Kedua, dampak dari perbaikan kualitas dan kapasitas kinerja sarana penangkapan menjadikan daya jangkau melaut meningkat. Ketiga, dampak positif dari peningkatan pendapatan nelayan adalah kesejahteraan sosial semakin membaik, diversifikasi usaha rumah tangga, dan tersedianya lapangan kerja baru, sehingga dinamika ekonomi lokal mulai bergerak. Keempat, keterikatan dengan pedagang perantara lokal (pangamba') Getem yang skala usahanya kecil-menengah mulai mengendor. Kelima, berkembangnya usaha budi daya lele dengan dampak positif terhadap akumulasi penghasilan rumah tangga nelayan. Studi yang dilakukan oleh Basuki (2006) menunjukkan bahwa kinerja Koperasi LEPP-M3 di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Pasuruan belum maksimal berperan mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Agus Purbathin Hadi (tt) melakukan studi tentang Model dan Implementasi Pemberdayaan Petani nelayan Kecil Dengan Metodologi P4K Di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Meskipun Proyek P4K hasilnya memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahtraan penerima manfaat, namun pada tataran implementasinya masih belum optimal sehingga berpotensi untuk mengancam kesinambungan usaha dan hasilnya di masa yang akan datang. Hasil studinya antara lain (1) dampak program P4K terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga peserta P4K, rata-rata tingkat pendapatan Kelompok Petani-Nelayan Kecil (PNK) telah melampaui patokan garis kemiskinan, dan jumlah tabungan serta pemilikan aset

PNK meningkat setelah menjadi anggota KPK, dan (2) Implementasi Metodologi P4K dilihat dari aspek penumbuhan, pembinaan dan keberlanjutan KPK, masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip dan ruang lingkup pemberdayaan KPK dalam Metodologi P4K. Dalam penumbuhan KPK, PPL lebih banyak mengejar target penumbuhan kelompok dan penyaluran/ pengembalian kredit, dan mengabaikan aspek-aspek kritis dalam penguatan kapasitas kelompok. Kemudian pembinaan atau bimbingan yang dilakukan oleh PPL, dari segi kuantitas masih sangat kurang dan dari segi kualitas kurang partisipatif dan tidak mendorong kemandirian kelompok. Sedangkan dari aspek keberlanjutan kelompok, penumbuhan dan pembinaan KPK yang tidak sesuai dengan Metodologi P4K tidak menjamin keberlanjutan KPK. Kelemahan-kelemahan yang masih ditemui sangat perlu mendapat perhatian sebab merupakan faktor yang sangat krusial didalam usaha pemberdayaan petani-nelayan kecil dan dapat dijadikan pertimbangan di dalam merumuskan strategi pemberdayaan kepada mereka. Kusnadi (2009) mengemukakan bahwa strategi pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan dapat ditempuh dengan mengembangkan dua model beserta variasinya. Pertama, model pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis pranata budaya atau kelembagaan sosial, dan kedua, model pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis gender. Kedua model juga bisa disinergikan dan didukung dengan programprogram terkait. Pilihan terhadap salah satu model tersebut dalam pemberdayaan masyarakat pesisir akan dipengaruhi oleh tujuan pemberdayaan, unsur-unsur yang terlibat, dan kondisi-kondisi lingkungan sekitar (Kusnadi, 2006). Pendekatanpendekatan tersebut untuk memudahkan pengorganisasian sumberdaya yang dimiliki oleh penduduk miskin, sehingga pencapaian tujuan-tujuan pemberdayaan dapat dilakukan secara efektif. Pada dasarnya, tujuan akhir pemberdayaan

186

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

adalah meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas sosial penduduk miskin, sehingga mereka memiliki kemandirian, kemampuan mobilisasi sosial dan akses sumberdaya ekonomi, serta partisipasi luas dalam pembangunan komunitas. Model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisonal daerah pesisir di Pulau Siau Kabupaten Sitaro pada prinsipnya dapat dilakukan dengan melakukan revisi terhadap model yang dilakukan melalui Program PEMP, dimana revisi lebih ditekankan kepada penguatan kelompok nelayan. Dengan penguatan kelompok nelayan akan mempermudah mereka untuk mengakses sumberdaya yang akan dibutuhkan dan mereka memiliki posisi tawar yang setara dengan pihak lain yang terlibat di dalam setiap aktivitas atau berhubungan dengan mereka. Penekanan terhadap penguatan kelompok ini didasarkan pada kelemahan aspek ini pada implementasi program pemberdayaan terdahulu seperti program PEMP. Program PEMP yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan mengembangkan dinamika ekonomi kawasan pesisir dirancang dengan menggunakan pendekatan kelembagaan, yakni dengan membangun Koperasi LEPPM3 yang kelak diarahkan sebagai holding company bagi masyarakat pesisir. Namun, koperasi LEPP-M3 sebagai wadah dari kelompok nelayan yang akan menjadi holding company bagi nelayan ternyata masih kurang kohesif dan solit, sehingga berdampak pula kepada keberlanjutan usaha-usaha pemberdayaan itu sendiri. KESIMPULAN DAN SARAN

yaitu: usia mereka masih potensil, tingkat pendidikan mereka memadai, dan ketekunan serta motivasi mereka melaksanakan pekerjaan/profesinya. Peluangpeluangnya (opportunities), yaitu: wilayah penangkapan yang memiliki potensi ikan yang banyak, kebijakan pemerintah terutama pemerintah daerah terhadap sektor perikanan dan kelautan termasuk kehidupan nelayan kecil, dan kebijakan lembaga keuangan seperti bank yang menyediakan skim kredit yang diperuntukan bagi nelayan kecil. Sedangkan kelemahankelemahannya (weaknesses), yaitu: teknologi/ peralatan yang digunakan masih sangat sederhana, masih terbatasnya modal/akses ke lembanga keuangan (bank), masih belum teorganisir, pemasaran hasil yang tidak menentu, dan kurang bahkan masih belum tersentuh oleh pelatihan dan pendampingan. Ancamanancamannya (threats) yaitu: cuaca/musim yang menyebabkan tidak memungkinkan mereka beroperasi, nelayan modern yang beroperasi di wilayah operasi mereka dan masih terdapat pencurian ikan (illegal fishing) terutama oleh nelayan-nelayan Negara Philipina. Saran Perlu dirumuskan strategi sebagai model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional. Untuk itu, hasil penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan penelitian pengembangan yaitu untuk mengembangkan model pemberdayaan ekonomi nelayan tradisional di pulau Siau Kabupaten Sitaro. DAFTAR PUSTAKA

Kesimpulan Nelayan tradisional di pulau Siau kabupaten Sitaro memiliki potensi, yaitu kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), disamping kendala, yaitu kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) untuk meningkatkan pendapatan mereka.Kekuatan-kekuatannya (strengths) Agus, Purbantin, Hadi. (tt). Model dan Implementasi Pemberdayaan Petani nelayan Kecil Dengan Metodologi P4K Di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Arif, Satria. (2003). Menuju Gerakan Kelautan. Jurnal Agrimedia.Volume 8 Nomor 2 April 2003

187

AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009

ISSN. 0852-5426

Basuki, Riyanto. (2006). Analisis Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir Melalui Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro: Studi Kasus di Pasuruan dan Tanggerang. Bogor. Tesis Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Chambers, Robert. (1983). Rural Development: Putting The Last First. Title, USA, New York. Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta. ----------, (1997). Kemiskinan, Balai Pustaka, Jakarta. Kusnadi ,dkk. 2000b. 6 Tahun Program PEMP: Sebuah Refleksi. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. ---------- (2009). Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir.Penerbit Ar-Ruzz Media. Yokyakarta Mubyarto dan Kartodirdjo. (1988). Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Liberty, Yokyakarta. Mubyarto. (1989). Nelayan dan Kemiskinan. Yayasan Agro Ekonomi, Jakarta. Mubyarto, et al. (1994). Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal. Aditya Media, Yokyakarta. Mubyarto , et.al. (1997). Ekonomi Rakyat, Program IDT, Demokrasi Ekonomi. Aditya, Medya, Yokyakarta. Mubyarto. (1998). Gerakan Penanggulangan Kemiskinan. Aditya Media, Yokyakarta. Pranaka, A.M.W dan Prijono, Onny S. (1996). Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, CSIS, Jakarta.

Sumodiningrat, Gunawan. (2000). Pembangunan Ekonomi Melalui Pembangunan Pertanian, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta. ---------- (2000). Pembaharuan Sosial Desa sebagai Syarat Kemajuan Desa: Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Daerah, dalam Julianta, Dadang. Arus Bawah Demokrasi, Otonomi, dan Pemberdayaan Desa. Yayasan LAPERA Indonesia, Yokyakarta. Suparlan, Prajudi. (1995). Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Suyanto, Bagong. (1996). Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi Pengentasannya dalam Pembangunan Desa. ADITYA Media, Yokyakarta.

188

Anda mungkin juga menyukai