Anda di halaman 1dari 3

Patogenesis Walaupun banyak teori yang disebutkan, tetapi penyebab pasti dari dermatitis seboroik belum diketahui secara

pasti. Dermatitis seboroik dihubungkan dengan adanya kulit yang tampak berminyak (seboroik oleosa), walaupun peningkatan produksi sebum tidak selalu didapatkan pada beberapa pasien. Pada anak-anak, produksi sebum dan dermatitis seboroik saling berhubungan. Pada pemeriksaan histologik, kelenjar sebasea berukuran besar. Selain itu didapatkan juga perubahan komposisi lipid pada permukaan kulit yang menunjukkan adanya peninggian kadar kolesterol, trigliserida dan parafin, yang disertai penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester. 2 Dermatitis seboroik yang disebabkan oleh Pityrosporum ovale berkaitan dengan reaksi imun tubuh terhadap sel jamur di permukaan kulit maupun produk-produk metabolitnya di dalam epidermis. Reaksi peradangan yang timbul melalui perantaraan sel langerhans dan aktivasi limfosit T. Bila Pityrosporum ovale telah berkontak dengan serum, maka akan dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur aktivasi langsung maupun alternatif. Pada anak, selain Pityrosporum ovale, sering pula ditemukan Candida albicans pada lesi-lesi kulit . 2,3 Peningkatan proliferasi epidermal pada dermatitis seboroik, menjelaskan mengapa penyakit ini cukup responsif pada terapi dengan sitostatik. Selain itu, dermatitis seboroik sering berkaitan dengan kelainan-kelainan neurologik seperti penyakit parkinson pasca ensefalitis, epilepsi, trauma supraorbital, paralisis nervus fasialis, polimielitis, siringomielia, dan kuadriplegia. Kelainan pada sistem neurologik menyebabkan abnormalitas pada neurotransmitter dan bermanifestasi sebagai gangguan fungsi kelenjar sebum. Hal ini berdasarkan fakta, bahwa beberapa obat yang dapat menginduksi parkinson ternyata juga dapat menginduksi dermatitis seboroik, sementara pemberian Ldopa selain memperbaiki kondisi parkinson, juga lesi kulit dengan dermatitis seboroik. 2

====

Dermatitis Seboroik pada pasien HIV Dermatitis seboroik merupakan salah satu manifestasi kulit yang paling umum pada pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Oleh karena itu, pertanda lesi pada dermatitis seboroik harus dicermati secara tepat pada pasien yang berisiko tinggi seperti pasien HIV. 2 Dermatitis seboroik ditemukan pada 85 % pasien yang terinfeksi HIV. 1,2 Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis ratarata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel T CD4 yang beredar secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah

terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan selsel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid. Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4, merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Seborheic dermatitis, lebih sering dan lebih berat pada orang yang terinfeksi dengan HIV, terutama pada mereka yang CD4 nya dibawah 400/mm, dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi, dan dapat kembali sempurna dengan terapi anti retroviral aktif yang tinggi. Semua ini dipercaya oleh beberapa peneliti dicetuskan oleh kondisi imunitas tubuh yang mulai menurun. Sehingga berbagai macam faktor pencetus dari seborhea misalnya infeksi pytosporum ovale, bakteri maupun kondisi stress yang berlebih dapat meningkatkan aktivitas dari kelenjar sebasea. Bentuk dermatitis seboroik pada AIDS tentunya berbeda dengan bentuk dermatitis yang klasik, dimana dermatitis seboroik pada AIDS stlesinya tidak hanya dikepala, tetapi juga di wajah, aksila, dada, paha dan agenitalia, gejala yang lebih berat, dan penatalaksanaannya yang sering kali sulit .Secara klinis, yang khas terkait HIV dermatitis seboroik terjadi terutama pada kulit kepala, biasanya dengan keterlibatan ringan pada wajah (terutama di dahi, sekitar bulu mata, bawah lipatan nasolabial, dan di sekitar telinga). Kadang-kadang, dermatitis seboroik juga akan terjadi pada tengah dada, terutama pada individu dengan banyak bulu dada, dan di aksila dan pangkal paha. Dermatitis biasanya bermanifestasi sebagai buruk didefinisikan, patch merah muda samar, dengan ringan hingga berlimpah baik, longgar, sisik lilin. Dalam sebagian kecil pasien, dermatitis seboroik yang lebih luas dan hadir pada daerah kulit kepala dan wajah yang besar. Lesi intertriginosa secara klinis identik dengan yang terlihat pada sindrom Reiter dan bersamaan psoriasis dengan infeksi HIV. (6) Wajah dan kulit kepala, ditambah keterlibatan yang luas dari daerah intertriginosa. The aksila dan pangkal paha yang cerah merah dan ditutupi oleh skala baik. Letusan bergerak keluar dari daerah intertriginosa ke batang dan leher dan mungkin melibatkan daerah yang luas dari tubuh. Seperti seborrheic dermatitis klasik, pruritus umumnya ringan. Ini bentuk parah dari dermatitis seboroik juga dapat dilihat di non-orang yang terinfeksi HIV, meskipun cukup biasa. Keadaan ini dapat disebut sebopsoriasis atau psoriasis inverse - persilangan antara seborrheic dermatitis dan psoriasis - dan mungkin manifestasi menyajikan infeksi HIV. (6)

Gambar 2.4 Dermatitis seboroik pada HIV Plewig G, Jansen T. Seborrheic Dermatitis. Klaus Wolff, et al. Fitzpatric's Dermatology in Genenral Medicine. 7th. New York : The McGraw-Hill Company, 2008, 18, P. 221 Tabel 2.1 Perbedaan Histopatologi antara dermatitis seboroik HIV dengan dermatitis seboroik biasa.(2) Epidermis Parakeratosis yang terbatasa Jarang keratin yang nekrotik

Dermis -

Tidak ada Infiltrate limfosit ringan pada perivaskular superficial Spongiosis yang menonjol Parakeratosis yang luas Banyaknya keratin yang nekrotik Infiltrate limfosit berat pada perivaskular superficial Spongiosis yang jarang

Sedikit pembuluh darah yang melebar Plasma sel yang jarang Tidak ada leukocytoclasis Banyak pembuluh darah yang melebar Plasma sel meningkat Leucocytoclasis fokal

```Sumber : Plewig G, Jansen T. Seborrheic Dermatitis. Klaus Wolff, et al. Fitzpatric's Dermatology in Genenral Medicine. 7th. New York : The McGraw-Hill Company, 2008,

Penatalaksanaan dermatitis seboroik ringan pada pasien terinfeksi HIV dikelola dengan cara yang sama seperti pada non-pasien terinfeksi HIV: steroid topikal ringan (misalnya, hidrokortison 1%), shampoo tar, dan aplikasi seringkali dua kali sehari krim imidazol topikal (clotrimazole atau ketoconazole), yang digunakan untuk anti-inflamasi daripada efek antijamur nya. Pasien sangat lambat untuk merespon pengobatan dengan imidazoles topikal saja. Dalam pengalaman kami, imidazoles topikal lakukan memperbaiki penyakit kulit tidak diketahui.(6) Pada pasien yang terinfeksi HIV dapat menggunakan salep lithium succinate untuk daerah wajah. lithium glukonat salep 8% juga telah terbukti menguntungkan dibandingkan dengan Emulsi ketoconazol 2% pada orang dewasa yang sehat dan lebih efektif dalam hal pengendalian scaling dan gejala. produk sulfacetamide natrium, dengan atau tanpa sulfur, efektif pada beberapa pasien refrectory (3)

Anda mungkin juga menyukai