Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Perencanaan merupakan suatu formasi dan implementasi strategi pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan, spasial dan sektoral.1 Proses perencanaan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai konsep perencanaan guna meningkatkan kesejahteraan seTip masyarakat. Di wilayah DKI Jakarta yang menjadi ibukota negara sekaligus pusat perekonomian negara, kepadatan penduduk memunculkan berbagai masalah social, khususnya kemacetan. Terpusatnya aktivitas bisnis, perbankan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan maupun perumahan yang membuat kemacetan semakin meningkat seTip harinya. Berbagai upaya dan kebijakan pemerintah daerah untuk menanggulangi masalah tersebut telah diimplementasikan, namun belum juga berdampak besar bagi penanggulangan kemacetan di Jakarta. Sesuai dengan hasil sensus 2010, jumlah penduduk yang tercatat bertempat tinggal di kota Jakarta dengan luas sekitar 661,5 km2 adalah sekitar 9,7 juta jiwa, yang menjadikannya kota terpadat di Indonesia. Namun yang menarik adalah bahwa jumlah penduduk di Jakarta sangat dinamis, dimana jumlah penduduk sangatlah berbeda pada pagi dan malam hari. Pada pagi hari jumlah penduduk kota Jakarta mengalami peningkatan, sebab banyaknya penduduk yang berasal dari sekitar Jakarta (seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) datang ke Jakarta untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari,2 seperti bekerja, sekolah, belanja, dan sebagainya.

JUML K AH END ARAANJAD AB ET EK


14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 2006 2007 2008 2009 2010 jum kendaraan lah

Materi Kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial Tanggal 07 Februari 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia. 2 http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 . Diunduh pada 4 Mei 2011 pukul 10:29

Data di atas secara umum menunjukkan pola peningkatan dari jumlah kendaraan yang ada di wilayah JADETABEK (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi), dimana pada tahun 2010, jumlahnya mencapai 12 juta kendaraan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 700.000 kendaraan berasal dari BODETABEK, bukan dari Jakarta, yang artinya penduduk Jakarta meningkat sekitar 5,8% seTip pagi sampai sore hari. Itu merupakan sebuah fakta yang sangat miris, karena Jakarta yang sebelumnya telah menjadi kota terpadat, justru bertambah padat akibat para pendatang harian tersebut. Apalagi, jika jumlahnya semakin lama mengarah pada pola yang sama dan terus-menerus meningkat. Maka dari itu, Jakarta semakin lama semakin menjadi padat, khususnya pada waktu siang hari sebelum masyarakat beraktivitas dan setelahnya.3 Saat ini jumlah perjalanan rata-rata perhari di kawasan kota Jakarta sudah mencapai 17 Juta jiwa, dengan rasio penggunaan kendaraan pribadi sebesar 43,6% dibandingkan penggunaan kendaraan umum yang tidak jauh berbeda sekitar 56,4%. Dan pada tahun 2010 menurut survey dari JICA perjalanan harian yang terjadi di wilayah Jakarta pada tahun 2002 adalah sebesar 5.302.194, sedngakan pada tahun 2010 telah mencapai angka 7.384.939, dimana sebanyak 791.2995 adalah perjalanan harian yang berasal dari kota Depok dan Bogor. Arus lalu lintas kendaraan bermotor yang semakin lama semakin bertambah maka menyebabkan kemacetan yang tak terhindarkan di Jakarta Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah masuk pada tahap mengkhawatirkan, dimana hampir seTip sudut ibukota mengalami arus lalu lintas yang padat. Bahkan, tidak dipungkiri juga bahwa kemacetan pun terjadi di jalan bebas hambatan (TOL) atau jalan alternatif lainya. Pertumbuhan penduduk di Jakarta yang terus diimbangi dengan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua menjadi penyumbang kemacetan utama yang terjadi di Jakarta. Jika para pengendara ini beralih menggunakan angkutan umum, maka sudah jelas kemacetan akan berkurang. Transportasi publik seperti Transjakarta yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta pun jumlahnya terbatas sehingga tidak dapat menampung mobilisasi yang tinggi bagi penduduk Jakarta. Pertambahan kendaraan bermotor tersebut tidak diimbangi dengan perluasan jalan raya yang mengakibatkan bertambahnya kemacetan di Jakarta seTip harinya. Salah satu upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemacetan adalah dengan menggunakan program 3 in 1 (Three in One). 3 in 1 adalah program pemerintah yang dibentuk oleh SK Gubernur 4104/2003 dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan arus lalu
3

Koran-jakarta.com, Op.cit.

lintas pada jam tertentu dan pada wilayah yang disebut protokol. Program ini mewajibkan para pengguna kendaraan roda empat untuk membawa penumpang minimal tiga orang dalam satu mobil. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta dengan cara membatasi penduduk Jakarta untuk menggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan protokol dan memilih menggunakan transportasi publik yang lebih efektif dan efisien. B. Permasalahan Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan program 3 in 1 sebagai salah satu cara untuk mengurangi permasalahan kemacetan di kota tersebut. Program ini mulai diberlakukan di Jakarta setelah terbentuknya SK Gubernur No. 4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang perkendaraan pada ruas-ruas jalan tertentu di provinsi DKI Jakarta.4 Kendaraan roda empat yang melalui daerah-daerah protokol seperti di Jalan Sisingamaradja dan juga Jalan Jend. Sudirman diharuskan mengangkut minimal 3 penumpang ke dalam kendaraannya. Jalur-jalur protokol dipilih sebagai tempat untuk memberlakukan program tersebut karena di daerahdaerah tersebut terdapat pusat kegiatan perkantoran dan juga bisnis sehingga akan ada banyak arus kendaraan yang menuju daerah tersebut. Beberapa tahun setelah diberlakukannya program 3in1 di Jakarta ternyata tidak efektif. Kemacetan masih terjadi di daerah tersebut. Dengan adanya 3in1 di daerah tersebut ternyata menimbulkan polemik baru yaitu hadirnya joki 3in1. Joki-joki ini mencoba memanfaatkan program tersebut untuk mendapatkan penghasilan. Pengguna mobil dapat memanfaatkan jasa mereka agar dapat melalui jalur 3in1 terutama bagi mobil yang tidak berisi minimal 3 orang di dalamnya. Dengan adanya joki dan juga pengguna mobil yang memanfaatkan jasa mereka memperlihatkan bahwa program 3in1 yang dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan Jakarta terbukti tidak efektif dan tidak ada partisipasi dari masyarakat. Razia yang kerap kali dilakukan oleh Satpol PP juga ternyata tidak menghentikankan joki 3in1 untuk beroperasi. Joki telah menjadi salah satu pekerjaan yang dapat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak adanya partisipasi dari masyarakat setempat membuat program tersebut tidaklah efektif untuk dijalankan. Penggunaan mobil tetap saja terlihat menumpuk di daerahdaerah protokol tersebut. Hasbi Hasibuan selaku Sekretaris Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan bahwa jumlah kendaraan pribadi tersebut mengangkut 49,7% perpindahan
4

http://www.beritajakarta.com/Download/SK/Detail/SK%20GUB%20No.%204104%20Tahun %202003%20PENETAPAN%20KAWSAN%203%20IN%201.pdf Diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.35 WIB

manusia per hari dan sekitar 600.000 unit kendaraan yang mengangkut lebih kurang 1,2 juta orang dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menuju Jakarta.5 Sampai tahun ini, ketidakefektifan 3in1 ini tetap menjadi pilihan bagi pemerintah setempat sebagai solusi memecah kemacetan yang ada di Jakarta. Betahun-tahun program ini diterapkan namun tetap tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu dalam peneliTin yang kami lakukan kali ini, kami akan mencoba mengevaluasi program 3in1 setelah 8 tahun diberlakukan di Jakarta dan tidak menimbulkan efektivitas. Oleh karena itu, pertanyaan peneliTin dari pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana implementasi kebijakan 3-in-1 dalam mengatasi kemacetan di DKI Jakarta?

BAB II Kerangka Pemikiran A. Perencanaan Sosial Perencanaan merupakan suatu upaya terpadu untuk diimplementasikan demi mencapai tujuan tertentu.6 Berikut merupakan beberapa pengerTin perencanaan menurut beberapa tokoh:7

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kemacetan.Sulit.Diurai Diakes pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 23.50 WIB 6 Materi Kuliah, Op.cit. 7 Diana Conyers, (Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm 4.

Pada hakikatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar, terorganisasi, dan terusmenerus dilakukan guna memilih alternatif untuk mencapai tujuan tertentu (Waterston, 1965: 26) Perencanaan tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan keputusan. Implikasinya adalah bahwa pasti ada cara yang lebih baik dalam hal pengambilan keputusan tersebut, mungkin dengan cara lebih memperhatikan lebih banyak data yang ada, ataupun hasilhasil yang mungkin dicapai di masa yang akan datang. (Schaffer, 1970: 29) Perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelegensia guna mengolah fakta serta situasi sebagaimana adanya dan juga mencari jalan keluar guna memecahkan masalah. (J. Nehru, dikutip dari Waterston, 1965: 8) Perencanaan adalah suatu seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang dapat terlaksanakan. (Beenhakker, 1980: 22) Perencanaan adalah merupakan penerapan yang rasional dari pengetahuan manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang bertindak sebagai dasar perilaku manusia. (Sociedad Interamericana de Planification, dikutip oleh Waterston, 1965: 8). Perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau kenyataan-kenyataan yang ada di masa depan. Sedangkan, apabila kita membicarakan lingkup sosial, maka perencanaan sosial dapat dirumuskan dalam lingkupan poin-poin berikut:8 Perencanaan sosial merupakan upaya terpadu yang menekankan pada partisipasi publik (komunitas) demi meningkatkan kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Perencanaan bukan hanya meliputi pembuatan dokumen, melainkan melibatkan suatu proses yang terintegrasi sebagai hasil kerja kelompok. perencanaan sosial juga memiliki skala prioritas yang berkembang dan dinamis. Fokus perhaTin perencanaan sosial dapat berubah dan berkembang antar waktu. Perencanaan sosial memiliki metode bottom up dalam prosesnya; menetapkan tujuan, strategi, formulasi program, implementasi program, monitoring, dan evaluasi. B. Kebijakan Sosial Apabila ditarik pada tingkatan yang lebih abstrak, perencanaan sosial merupakan bentuk implementasi dari kebijakan sosial.9 Sedangkan kebijakan sosial adalah studi

8 9

Materi Kuliah, Op.cit. Ibid.

mengenai sosial servis dan perihal kesejahteraan negara. Sosial servis yang dimaksud di sini melingkup pada keamanan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan sosial dan pendidikan.10 Adapun studi kebijakan sosial meliputi tiga elemen utama, yaitu:11
Kebijakan sosial adalah mengenai studi kebijakan. Elemen inti dari kebijakan adalah

asal-usulnya, tujuan kebijakan tersebut dibuat, proses implementasi kebijakan dan hasilnya. Kebijakan sosial berfokus pada studi sosial ekonomi atau relasi politik, permasalahan sosial, atau institusi, di mana Tip permasalahan dapat tidak hanya menyangkut pada satu sektor publik saja, namun dapat tumpang-tindih dengan sektor publik lainnya. Kebijakan sosial terfokus pada isu-isu sosial. Artinya, isu sosial di sini adalah isu yang mencakup sosial sebagai fokus utama. Kebijakan sosial adalah tentang kesejahteraan. Tentang mengenai bagaimana memecahkan permasalahan sosial (bukan permasalahan personal) demi mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. C. Participatory Planning Participatory Planning menekankan pada keterlibatan para stakeholder, khususnya masyarakat, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan demi mencapai kesejahteraan.12 Planning for and by the people.13 Dengan asumsi, partisipasi masyarakat mengambil andil yang besar dalam proses perencanaan dan kebijakan sosial. Sebab, para perencana menyadari bahwa seTip stakeholder harus dilibatkan sebanyak mungkin dalam tahapan perencanaan, sehingga mereka dapat membantu dalam memberi informasi yang pasti dan mendetail tentang kebutuhan dan kondisi social yang perlu tercapai. Itupula pada akhirnya akan memberi dorongan pada stakeholder untuk berpartisipasi dan berkomitmen besar dalam proses perencanaan tersebut, sebelum dan setelah diimplementasikan.14 Menurut Conyers, pada dasarnya, partisipasi masyarakat sangat penting terutama di negara-negara Dunia Ketiga, karena adanya kecenderungan masyarakat kurang tanggap terhadap adanya perubahan sosial dan karenanya akan merasa cemas dengan adanya perubahan.15 Setelah terimplementasikan, mereka tidak mengetahui berapa besar manfaat dari perencanaan ini untuk kesejahteraan mereka sendiri. Maka dari itu, hal ini akan memperbesar
10

Paul Spicker, (Social Policy: Themes and Approaches, British: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf, 1995), hlm 3. 11 Ibid., hlm 4. 12 Perkuliahan mata kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial oleh Dody Prayogo, 14 Februari, 2011. 13 Ibid. 14 Diana Conyers, Op.cit. hlm 26-7. 15 Ibid.

kesenjangan sosial dan kebudayaan antara pihak perencana dan dengan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, di berbagai negara berkembang bahwa hasrat untuk lebih berpartisipasi dalam perencanaan dikaitkan dengan pendapat yang antara lain menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan diperolehnya kemerdekaan politik sehingga dengan demikian keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan merupakan hak sosial yang sangat mendasar. D. Sustainable City Konsep sustainable city berbasis pada pemikiran akan sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Sustainable development perlu untuk diberlakukan dalam seTip kebijakan social, yakni sadar akan membutuhkan perubahan yang bersifat fundamental serta revolusioner dalam aspek ekonomi dan masyarakat.16 Sustainable development merupakan konsep yang terintegrasi, menyatupadukan tingkat lokal dan global, jangka pendek dan jangka panjang. Asumsinya, for the need for action now to defend the future17. Jika manusia tidak melakukan perubahan, maka dapat berakibat pada bencana besar bagi masalah lingkungan, seperti penipisan lapisan ozon, perubahan iklim, perkembangbiakan nuklir, menghilangnya biodiversitas, dan mengubah lahan menjadi gurun pasir. Para pejuang sustainable development ini memperhatikan hubungan antara kualitas lingkungan dan keseimbangan sosial serta kebutuhan akan partisipasi publik dalam mendukung hal tersebut. Seperti halnya sustainable development, sustainable city ini bukan hanya memperjuangkan ecologically sustainable, tetapi juga socially sustainable.18 Dalam arti, proses ini mengaitkan antara ekologi sosial dan biologis serta interaksinya dalam sistem sosial-biologis yang khususnya terjadi di perkotaan, yakni human cities. Perkotaan berbeda di pedesaan yang masih sangat melekat akan aspek alam, sedangkan di perkotaan cenderung penuh akan intervensi manusia. Dalam konsep sustainable city ini, manusia yang mayoritas hidup di perkotaan harus mulai melakukan perencanaan yang bersifat keberlanjutan, dengan memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya. Sebab, intervensi manusia di perkotaan sangatlah besar, apalagi jaringan yang mereka miliki dari satu kota dengan kota lain pada tingkat global, sehingga implikasinya pada akhirnya mampu dirasakan pula secara global.

16 17

David Byrne, (Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge, 1998), hlm 150. Ibid. 18 Ibid. hlm 152.

BAB III TEMUAN DATA

Sumber: http://masivstar.blogspot.com/2009/12/daftar-kawasan-3-in-1-jakarta-terbaru.html

A. 3 in 1 (three in one) Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu peraturan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Kebijakan 3 in 1 merupakan pembatasan jumlah penumpang kendaraan pribadi minimal berjumlah 3 orang dari pukul 07.00-09.00 dan pukul 16.30-19.00. Kebijakan 3 in 1 mulai diberlakukan di Jakarta setelah terbentuknya SK Gubernur No. 4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang perkendaraan pada ruas-ruas jalan tertentu di provinsi DKI Jakarta.19 Seperti yang diketahui, kebijakan 3 in 1 diberlakukan pada titik-titik yang rawan kemacetan di DKI Jakarta, yaitu (1) Jalan Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat dan jalur lambat ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan jalan Gatot Subroto-jalan Gerbang Pemuda ( Balai Sidang Senayan ) sampai dengan persimpangan jalan HR Rasuna Said jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalur umum bukan tol. Ruas Jalan tersebut merupakan Jalan Protokol atau white area karena merupakan kawasan perkantoran dan bisnis dan jalan yang resmi dilalui
19

Beritajakarta. com, Op.,cit.

oleh RI 1 (presiden) dan RI 2 (wakil presiden) sekaligus pejabat negara lainnya.20 Oleh karena itu, kendaraan yang melewati ruas jalur-jalur tersebut perlu dibatasi untuk mengurangi dampak kepadatan dan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta. Kebijakan 3 in 1 dilatarbelakangi peningkatan jumlah kendaraan baik motor maupun mobil pribadi yang melintas di jalan raya Jakarta dengan sangat pesat, sedangkan jalur yang tersedia masih belum ada peningkatan. Jadi, 3 in 1 ini awalnya berfungsi untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang berawal dengan asumsi sebagai berikut:
Sebelum 3 in 1, misalnya ada 20 orang dengan mobil masing-masing, jadi 20 mobil. Mereka mengambil ruang sepanjang ini:

Setelah 3 in 1, 20 orang tersebut terpaksa harus masuk ke dalam mobil yang berisi 3 orang, jadi asumsinya akan mengurangi jumlah mobil menjadi 6 mobil, sehingga mengurangi jatah ruang sebanyak lebih dari 60%.

Apalagi jika mereka semua beralih ke transportasi umum, karena dianggap lebih efektif dan efisien. Maka, hanya dibutuhkan 1 mobil bus untuk mengangkut mereka, sehingga mengurangi jatah ruang sebesar 95%.

Sumber:Wawancara dengan Prasetyo, Staff Pengendalian Operasional PLLA Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Selasa, 4 Mei, 2011 pukul 14:00 WIB.

Jadi, tujuan utamanya adalah untuk mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi, khususnya mobil, menjadi mengendarai transportasi umum ataupun pooling (mereka bergabung dalam satu mobil). Kedua, konsekuensi lain adalah untuk mengalihkan para pengguna kendaraan yang masih menggunakan kendaraan pribadi mereka melewati jalanjalan alternatif, seperti Casablanca dan sebagainya. Walaupun pada akhirnya juga mengalihkan kemacetan pada jalan alternatif tersebut, tetapi setidaknya jalan utama yang disebut white area ini lebih bersih. Itupula yang melatarbelakangi adanya Transjakarta atau Busway. Jika para pengguna kendaraan pribadi tersebut menaiki bus Transjakarta, maka itu dapat mengurangi jatah ruang di jalanan sebesar 95%. Secara umum, proses pembuatan kebijakan ini melewati beberapa tahap setelah turunnya SK Gubernur tersebut : 1. Perencanaan dirapatkan dalam Dinas Perhubungan secara internal, khususnya PLLA dan MRLL (Manajemen Rekayasa Lalu Lintas) sebagai perannya untuk mengurus kebijakan lalu lintas. Mereka paparkan perencanaannya.
20

Wawancara dengan Pak Ridwan, 18 April 2011.

2. Dirapatkan dengan kepolisian serta instansi lain yang terkait, direvisi jika perlu, sampai mencapai pada kesepakatan yang semuanya setuju. 3. Dikirim ke pemerintah daerah, khususnya gubernur, untuk dirapatkan kembali. Jika setuju, langsung ditanda-tangani menjadi sebuah Surat Keputusan (SK) Gubernur. Jika tidak, maka direvisi kembali. B. Dinas Perhubungan, Polda DKI, Satpol PP, dan Dinas Sosial sebagai Instansi Pemerintah yang Menjalankan Aturan 3 in 1 Informasi mengenai hubungan lembaga-lembaga negara dalam kebijakan 3 in 1 ini kami dapatkan dari anggota PLLA Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang bernama M. Ridwan serta Prasetyo. Saat ini Ridwan menjabat sebagai Koordinator Pengendalian dan Pengawalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Prasetyo sebagai salah satu Staffnya. Selain itu, kami juga mendapatkan informasi dari Bapak Suhenda yang merupakan polisi yang sedang bertugas mengawasi lalu lintas di persimpangan CSW, Jakarta Selatan. Dinas Perhubungan, sebagai lembaga yang berada di bawah Pemda DKI Jakarta, bertugas untuk membuat perencanaan mengenai 3 in 1 sebagai program daerah. Namun dalam pelaksanaannya, DISHUB tidak memiliki wewenang untuk menindak pengendara yang melanggar aturan 3 in 1. Sama halnya dengan kemunculan joki. DISHUB tidak memiliki wewenang dalam menindak joki. Ini artinya, peran DISHUB dalam kebijakan 3 in 1 hanya sebagai pengawas dan pengendali saja. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 49 dan 50 Perda Nomer 12 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Dinas Perhubungan bertindak sebagai pengawas dan pengendali pelaksanaan PerDa tersebut. Penindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara yang melintasi wilayah 3 in 1 dilakukan oleh Polisi DKI Jakarta. Polisi memiliki wewenang dalam menindak pengendara kendaraan pribadi yang tidak berisi tiga orang dalam satu mobil. Peran dan wewenang polisi secara umum adalah menindak pelanggaran lalu lintas. Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu dari peraturan lalu lintas di Jakarta. Oleh karena itu, polisi lah yang memiliki wewenang untuk menindak pengendara. Untuk mengatasi masalah joki, polisi tidak peduli apakah di dalam mobil tersebut berisi joki atau bukan. Yang terpenting adalah jumlah penumpang di dalam mobil tersebut berjumlah tiga orang atau lebih. Polisi tidak memiliki wewenang untuk mengurus joki. Wewenang menangkap dan menindak joki berada pada SATPOL PP. Lain halnya dengan peran dan wewenang SATPOL PP. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk menertibkan dan menangkap para joki yang berkeliaran di lokasi-lokasi

10

sebelum jalur 3 in 1. Jika terjadi penangkapan terhadap joki, SATPOL PP akan menyerahkan joki yang tertangkap tersebut kepada Dinas Sosial. Dinas Sosial kemudian memberikan pembinaan kepada joki-joki yang tertangkap. Bentuk pembinaannya salah satunya berupa pemberian keterampilan. Selain itu perlu diketahui bahwa ada wacana yang menyebutkan kebijakan ini akan segera dihapuskan dan digantikan oleh ERP (Electronic Road Pricing), dimana para pengguna mobil pribadi diwajibkan untuk membayar sekian jumlah untuk melewati jalanan ini, sama seperti konsep tol. Tujuan pemberlakuan ERP adalah agar seTip pengendara kendaraan pribadi yang sedikitnya beroda empat dapat beralih menggunakan kendaraan umum agar kepadatan lalu lintas di Jakarta bisa berkurang secara signifikan. C. Joki C.1. Informan Ti21 Informan adalah seorang perempuan berumur 25 tahun. Ia sudah bekerja menjadi joki selama 2 tahun. Biasanya ia bekerja menjadi joki dengan stand by di daerah Blok M, Senayan, Menteng, dan HI. Menurutnya, daerah yang paling ramai dengan keberadaan joki, yaitu di daerah Blok M dan Senayan. Untuk menjadi joki di daerah-daerah tersebut, tidaklah memerlukan suatu peraturan dan struktur khusus, seperti yang dikatakan oleh informan Ti: bebas, di sini individual. Informan sendiri mengaku bahwa pada awalnya, ia menjadi joki karena ia pergi dari rumah (kabur), jadi ia mencari kegiatan, yaitu menjadi joki 3-in-1 dan ia tidak memiliki kegiatan lain di luar menjadi joki. Baginya, kegiatan ini menguntungkan dirinya karena profesi joki ini telah menjadi sumber penghasilan satu-satunya. Informasi untuk menjadi joki sendiri, ia dapatkan karena ia sering melewati daerah Blok M dan melihatnya dari Tv. Saat ini informan kost di daerah Pal Merah. Menurutnya, banyak sekali pengemudi mobil yang menggunakan jasa joki. Biasanya, joki-joki tersebut dibayar sekitar 10.000-12.000 rupiah, tergantung jarak, tetapi hal tersebut bukanlah hal mutlak, seperti yang dikatakan oleh informan: kalau itu ga ditetapin, Cuma kebijakan dari mereka aja, ga ada ketentuannya. Rata-rata mobil yang dinaiki oleh informan dalam sehari, yaitu pada pagi hari sebanyak 3 mobil, sedangkan sore sebanyak 2 mobil. Selain itu, biasanya apabila di dalam mobil tersebut hanya terdiri dari supir, maka ia akan mengambil dua joki, sedangkan jika di dalam mobil sudah ada dua orang, maka akan diambil 1 Joki. Untuk masalah razia sendiri bagi joki-joki yang ada dalam 3-in-1 ini, dilaksanakan oleh Satpol PP, dalam hal ini polisi tidak memiliki wewenang, seperti yang dikatakan oleh informan: Ada pemantauan dari
21

Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.

11

Satpol PP. sering, sering sekali ada razia, dan biasanya kita langsung bubar..tapi suka ketangkap kalau masih nongkrong di situ pada saat masih 3-in-1, tapi setelah 3-in-1 bebas ga ada masalah apa-apa.Informan sendiri mengaku pernah tertangkap razia oleh Satpol PP bersama dengan joki-joki lainnya, kemudian ia dibawa ke Kedoya dan didata serta ditahan selama 1 minggu penuh. Bagi Infroman, dengan adanya 3-in-1 ini sebenarnya lancar-lancar saja, walaupun ada daerah-daerah yang mengalami macet ketika sore, saat pulang kerja, namun pada pagi hari lancar. Menurut ia, motif pengemudi yang menggunakan joki-joki tersebut karena ada ketakutan nantinya ditangkap oleh polisi, dan dikenai sanksi berupa pembayaran secara materi. C.2. Informan T22 T adalah joki yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Pada awalnya ia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya di desa, yaitu sebagai pedagang buah. Namun saat menginjakkan kaki di Jakarta, ia ditipu dan dirampok oleh kenalan barunya, sehingga ia kehilangan seluruh barang bawaan dan uang bekalnya di Jakarta. Sempat menjadi gelandangan, akhirnya ia diajak oleh kenalannya di Jakarta untuk bekerja sebagai joki 3 ini 1 di daerah Jakarta Pusat. Dengan penghasilan rata-rata Rp. 60.000,- per harinya, T memutuskan untuk meneruskan pekerjaan sebagai joki 3 in 1 hingga sekarang. Kini ia bekerja sebagai joki 3 in 1 di dua daerah, yaitu di daerah di Jakarta Pusat dan di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada pembagian khusus dan tepat kapan ia bekerja di Jakarta Pusat ataupun kapan ia bekerja di Jakarta Selatan.

Barisan para joki 3 in 1 di daerah Blok M, Jakarta Selatan. Ia mengaku tidak ada prasyarat khusus untuk menjadi joki 3 in 1 di kedua daerah tersebut. Tidak ada keharusan membayar retribusi dan meminta ijin sebagai joki 3 in 1
22

Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.

12

kepada preman atau pihak keamanan setempat, ataupun kepada oknum aparat setempat. Untuk menjadi joki 3 in 1 hanya perlu berdiri pada barisan joki dan memberikan simbol untuk bersedia diangkut kepada pengendara mobil pribadi yang akan memasuki jalur 3 in 1. Adalah suatu keharusan menurut T, untuk mengenakan pakaian yang rapi dan baik saat menjadi joki 3 in 1. Hal ini diperlukan agar saat ada razia polisi di daerah 3 in 1, polisi tidak curiga bahwa joki 3 in 1 tersebut bukanlah patner sebenarnya si pengemudi (cara berpakaian digunakan untuk memanipulasi status sosial).

Salah satu Joki 3 in 1 yang mendapatkan pelanggan Razia keberadaan 3 in 1 hampir seTip kali dilakukan oleh pihak aparat berwenang, dalam hal ini adalah pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Hampir seTip hari Satpol PP lewat dan melakukan razia di daerah tempat barisan joki 3 in 1 berada. Namun, menurut pengakuan T, ada dua bagian dari Satpol PP yang melakukan razia terhadap mereka. Yang paling sering melakukan razia terhadap mereka adalah Satpol PP yang memang tempat operasinya di daerah setempat. Sedangkan razia yang jarang dilakukan oleh Satpol PP yang berwenang di daerah DKI Jakarta (bertanggung jawab kepada walikota DKI Jakarta). Pada razia Satpol PP daerah setempat, joki 3 in 1 tidak ditangkap dan tidak ditindak, juga tidak dipungut retribusi. Hal ini karena para Satpol PP tersebut seperti telah memaklumi keadaan para joki 3 in 1 tersebut, sehingga tidak dilakukan penindakan. Namun berbeda halnya dengan razia yang dilakukan oleh Satpol PP dari DKI Jakarta yang melakukan penindakan tegas kepada para joki 3 in 1. Mereka melakukan penangkapan kepada joki 3 in 1 yang ketahuan tengah beroperasi. Joki 3 in 1 yang ditangkap selanjutnya dibawa ke penampungan untuk dibina selama beberapa waktu. T mengaku pernah ditangkap oleh pihak Satpol PP. Di tempat penampungan, selama 2 hari, ia mengaku dipekerjakan sebagai pembantu. Ia mengaku disuruh memijat para preman yang ada di sana, lalu disuruh

13

untuk melayani para aparat di sana (seperti membuatkan minuman dan makanan). Menurut T, penampungan tersebut berlangsung sangat lama. Joki 3 in 1 yang tertangkap akan dikurung selama seminggu di sana. Setelah seminggu berjalan, joki-joki tersebut diberi pelatihan dan pembinaan secara terus menerus. T hanya bertahan selama dua hari di tempat penampungan karena ia mengaku tidak tahan dengan suasana di sana. Ia membebaskan diri dengan cara menggadaikan handphone miliknya kepada para petugas. D. Pengguna Joki23 Dua orang informan yang berinisial R dan S adalah sepasang suami-isteri yang mengaku biasa menggunakan joki 3in1 dan bertempat tinggal di Pondok Cabe. Perjalanan dari rumah menuju kantor biasanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam, jika terjebak macet dapat memakan waktu 2 sampai 3 jam. S sudah bekerja selama 11 tahun di daerah Thamrin dan menjabat sebagai branch manager di salah satu bank sedangkan R bekerja sebagai sales marketing. Mereka biasanya menggunakan joki mulai dari Blok M untuk menuju kantornya yang melewati jalur protokol, tepatnya di daerah Sudirman. Jika tidak menggunakan joki maka pilihan yang harus mereka gunakan adalah melalui daerah Pakubuwono yang menempuh jarak lebih jauh juga waktu yang lebih lama. Mereka memang sering menggunakan joki walaupun tidak seTip hari. Mereka biasa menggunakan joki hanya di pagi hari sedangkan untuk sore hari mereka tidak pernah memanfaatkan jasa joki karena jalur yang dilewati berbeda dari jalur berangkat kantor. Mereka tidak berani untuk lewat jalur 3in1 jika penumpang mobilnya tidak memenuhi syarat. Mereka biasa memberikan uang senilai Rp 12.000 untuk jalur tempuh antara Blok M sampai Gedung BRI karena informan R bekerja di daerah tersebut. Sementara untuk S yang harus melalui daerah Pancoran untuk melanjutkan perjalanan ke Tebet harus membayar Rp 25.000. Mereka berdua sepakat bahwa jalur 3in1 tidak efektif dan bukanlah solusi yang tepat. Sebenarnya banyak pengguna mobil yang menggunakan jalur 3in1 tetapi tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Di dalam mobil pun sering sekali terlihat hanya ada satu atau dua orang dan polisi yang berjaga disekitar jalur 3in1 yang tidak menindak tegas akan hal itu. Mereka juga mengatakan bahwa polisi terkadang memang melihat pelanggaran yang terjadi namun tidak memberhentikan mobil tersebut karena takut justru akan menambah kemacetan yang ada.
23

Data ini didapatkan dengan wawancara yang dilakukan di dalam mobil informan pada tanggal 28 April 2011. Sekitar pukul 09.00 WIB. Kami berpura-pura menjadi joki di daerah Blok M dan kami menumpang di kendaraannya.

14

Alternatif untuk menggunakan bus bukan menjadi pilihan bagi mereka karena jalur yang dilewati juga jalur kemacetan. Begitu juga dengan busway yang dirasakan tidak ada pengaruhnya terhadap solusi kemacetan Jakarta. R mengatakan bahwa sebenarnya untuk busway jika kita hanya bepergian untuk jarak dekat mungkin akan membantu namun tidak demikian dengan jarak jauh. Ia juga mengatakan bahwa di Jakarta sendiri perencanaannya tidak baik dan tidak komprehensif seperti misalnya dalam pengaturan jumlah mobil. Pemerintah DKI yang seharusya sudah tahu akan rasio panjang jalan Jakarta, berapa jumlah mobil dan motor, dan berapa pertumbuhan antara mobil, motor, dan juga jalan mampu menangani kemacetan yang terjadi. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah DKI dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yang terlihat adalah busway dan terlihat tidak membantu untuk mengalihkan pengguna mobil ke busway. Kebijakan 3in1 juga dirasakan tidak membantu. R mengatakan bahwa rencana pemerintah dalam kebijakan memang sudah hebat namun berbanding terbalik dengan realita yang ada di masyarakat. Kendala biaya menjadi hal yang dirasakan mengganggu. S pun menambahkan bahwa busway memang tidak efektif. Pemanfaatan kereta juga harusnya dimaksimalkan namun akan sulit bagi masyarakat yang daerah rumahnya tidak dilewati jalur kereta. Beliau juga mengatakan bahwa jumlah mobil dan motor di Jakarta sudah terlalu banyak sehingga penggunaan joki 3in1 menjadi pilihan bagi mereka sebagai dampak dari kebijakan 3in1. Mereka juga sering melihat razia joki 3in1 yang dilakukan oleh satpol PP di daerah Blok M sehingga akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan joki dan terpaksa harus melewati jalur yang tidak diberlakukan 3in1. Mereka mengatakan bahwa memang ada beberapa joki yang memasang tarif namun ada juga yang menerima berapapun ia dibayar. Biasanya tarif yang digunakan ini adalah berdasarkan jalur tempuh yang harus dilalui. Mereka cenderung pemilih dalam menggunakan joki, mereka lebih memilih perempuan untuk menaiki mobil mereka. Mereka juga memiliki joki langganan yang sudah 2 tahun mereka manfaatkan jasanya.

15

BAB IV ANALISIS A. Analisis Kemacetan merupakan salah satu masalah yang dihadapi hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemacetan menjadi salah satu isu utama yang dihadapi kotakota besar di Indonesia. Jakarta, sebagai ibukota negara, menjadi pusat aktivitas pemerintahan, bisnis, perkantoran, perbankan, perbelanjaan, sekaligus perumahan. Tak pelak, jalan-jalan di ibukota negara ini dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan umum dan pribadi seTip harinya yang beraktivitas di sana. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatur segala aspek kehidupan yang menyangkut masyarakat banyak, termasuk mengatur lalu lintas. Berbagai macam kebijakan diluncurkan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kemacetan ini. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengurangi adalah kebijakan 3 in 1. Program 3 in 1 merupakan sebuah kebijakan social yang diberlakukan oleh pemerintah daerah. Tidak semua wilayah di Indonesia menerapkan kebijakan 3 in 1. Hal ini dikarenakan wewenang untuk menentukan lalu lintas di suatu wilayah tertentu berada di tangan pemerintah daerah. Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di wilayah DKI Jakarta. Sebelum implementasi kebijakan 3 in 1 ini, pemerintah daerah DKI Jakarta mengeluarkan suatu kebijakan yang kemudian menjadi dasar dari perencanaan 3 in 1. Secara umum, kebijakan merupakan suatu keputusan politik. Kebijakan sosial yang menjadi cikal bakal perencanaan 3 in 1 bersumber dari SK Gubernur 4104/2003. Hal yang melatar belakangi munculnya kebijakan ini adalah karena banyaknya peningkatan jumlah kendaraan bermotor baru yang keluar seTip harinya. Pada tahun 2002, Gubernur Sutiyoso baru saja naik jabatan, sehingga 2002 sampai 2003 menjadi momen dimana ia mengevaluasi permasalahan yang muncul dari jabatan sebelumnya serta perubahan-perubahan apakah yang perlu diambil guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu permasalahan yang dideteksi adalah bahwa kendaraan bermotor baru yang dikeluarkan STNK-nya di Jakarta berjumlah 800 kendaraan per hari,24 sedangkan ruas jalan di Jakarta jumlahnya tidak berubah. Hal tersebut menunjukkan adanya isu social berdasarkan perkembangan jumlah kendaraan yang digunakan masyarakat tidak sesuai dengan ruas jalan.

24

Berdasarkan wawancara dengan M.Ridwan, Koordinator Pengendalian dan Pengawalan Dinas Perhubungan, tanggal 18 April 2011.

16

Akibatnya, terjadi kontestasi ruang antar masyarakat yang berasal dari Jakarta maupun sekitarnya, sehingga pada akhirnya akan mencapai titik kemacetan secara besar-besaran. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan 3 in 1 ini merupakan kebijakan yang berbasis sustainable city, karena ini menekankan pada pembangunan di perkotaan yang berkelanjutan. Jakarta, seperti yang sebelumnya di jelaskan, karena menjadi pusat perkotaan, maka seTip harinya sangat dipenuhi oleh kepadatan penduduk dan kendaraan pribadi. Tetapi, kepadatan yang berdampak pada kemacetan tersebut tidak diikuti dengan perencanaan yang mengatur pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Pasalnya, kemacetan berdampak langsung ataupun tidak langsung pada masalah social maupun masalah alam. Berbagai dampak negative yang muncul dari kemacetan, seperti terbuangnya waktu untuk beristirahat dirumah, letih akibat menyupir di perjalanan yang panjang dan penuh dengan kemacetan, bahkan dapat berakibat pada stress. Dampak tersebut bertolak belakang dengan konsep socially sustainable, karena pada akhirnya kemacetan mengganggu fungsi manusia sebagai makhluk social. Kemudian, dari sisi lingkungan pun, kemacetan bertolak belakang dengan ecologically sustainable, seperti berdampak pada pollusi yang semakin memburuk serta penggunaan Bahan Bakar Minyak yang berlebihan. Dari situ, terlihat bahwa sebelum diberlakukannya 3 in 1 untuk menanggulangi isu kemacetan, pemerintah DKI Jakarta belum menekankan pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Tetapi, dengan landasan asumsi bahwa 3 in 1 dapat mengurangi pengguna jumlah kendaraan pribadi, itu merupakan sebuah upaya pemerintah dalam merealisasikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan atau sustainable city. Maka dari itu, atas kesadaran tersebut, kemudian Gubernur Sutiyoso mengeluarkan Surat Keputusan yang mengatur mengenai jumlah penumpang dalam satu mobil pribadi yang diizinkan untuk melintas jalan dan waktu tertentu. Kebijakan yang dibuat oleh Gubernur ini merupakan sebuah kebijakan social, sebagai upaya menindaklanjuti isu-isu social, khususnya kemacetan. Di sisi lain, perencanaan merupakan langkah bagaimana kebijakan dan strategi tersebut diimplementasikan. Menurut Waterston (1965), pada hakikatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar, terorganisasi, dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus kebijakan 3 in 1, perencanaan merupakan langkah-langkah yang lebih konkret dalam mengimplementasikan kebijakan 3 in 1 yang bersumber dari SK Gubernur No. 1404/2003. Perencanaan kebijakan 3 in 1 mencakup wilayah mana saja yang akan diterapkan kebijakan tersebut, hari dan jam diberlakukannya aturan tersebut, siapa saja lembaga pemerintah yang memiliki wewenang untuk menjadi pengawas dan penindak pelaku pelanggaran, apa saja peran-peran lembaga pemerintahan

17

tersebut, siapa saja yang menjadi sasaran atau subjek aturan 3 in 1 tersebut, dan bagaimana sistem pengawasannya. Jalan-jalan yang menjadi wilayah diberlakukannya kebijakan 3 in 1 meliputi (1) Jalan Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat dan jalur lambat ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan jalan Gatot Subroto-jalan Gerbang Pemuda ( Balai Sidang Senayan ) sampai dengan persimpangan jalan HR Rasuna Said jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalur umum bukan tol. Jalan-jalan inilah yang disebut dengan white area yang menjadi jalur yang dilewati RI 1 dan RI 2. Waktu diberlakukannya aturan minimal tiga penumpang dalam satu mobil ini berlaku pada hari senin sampai jumat, pukul 07.00-09.00 dan 16.30-19.00. Sasaran dari kebijakan ini adalah pengendara mobil pribadi. Angkutan umum dan motor bukan merupakan sasaran dari kebijakan 3 in 1. Jalanan yang diambil untuk diberlakukannya kebijakan 3 in 1 adalah jalanan yang disebut sebagai white area atau protocol. Jalanan sepanjang Sudirman sampai Hayam Wuruk ini menjadi jalur utama yang dilewati oleh RI 1 (presiden), RI 2 (wakil presiden), serta jajaran menterinya seTip hari. Otomatis, jalanan tersebut harus bersifat bersih sehingga mempermudah para pejabat negara untuk melaluinya tanpa kemacetan. Selain dilalui oleh pejabat negara, jalan-jalan yang diterapkan kebijakan 3 in 1 juga merupakan pusat aktivitas pemerintahan, bisnis, perkantoran, perbelanjaan, dan sebagainya. Itulah yang membuat jalanan ini menjadi sangat padat, sebab seTip gedung-gedung tinggi di sepanjang jalanan tersebut bahkan menanmpung sampai ribuan orang yang terkadang masing-masing membawa mobilnya sendiri. Oleh karena itu, jalanan yang diberlakukan 3 in 1 merupakan jalanan yang memang menjadi pusat kemacetan, sehingga membutuhkan intervensi pemerintah. Selanjutnya, perencanaan lain dalam memberlakukan kebijakan 3 in 1 adalah menentukan pihak mana yang terlibat dalam pelaksanaannya. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penerapan kebijakan 3 in 1 ini adalah Dinas Perhubungan, Kepolisian Daerah DKI Jakarta, SATPOL PP, dan Dinas Sosial. Keempat instansi ini berada di bawah payung pemerintah daerah. Dinas Perhubungan memiliki peran sebagai pengawas dan pengendali. Perencanaan model 3 in 1 ini juga digodok oleh Dinas Perhubungan, setelah turun SK Gubernur tersebut. DISHUB lah yang mengurai aturan-aturan teknis dari SK Gubernur yang sifatnya umum. Dalam implementasi peraturan ini, DISHUB tidak memiliki wewenang untuk

18

menindak pengendara mobil pribadi yang berisi kurang dari tiga orang saat memasuki wilayah 3 in 1. Sedangkan peran Polisi dalam hal ini adalah menindak pengendara mobil pribadi yang melanggar aturan 3 in 1 saat diberlakukannya kebijakan ini. Secara umum, tugas polisi adalah menindak pelanggaran lalu lintas. Oleh karena itulah, polisi memiliki wewenang untuk menangkap dan menindak pengendara yang tidak berjumlah tiga orang dalam satu kendaraan pribadi. Lain hanya dengan wewenang SATPOL PP. Peran SATPOL PP dalam hal ini adalah menangkap joki. Kemunculan fenomena joki merupakan salah satu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan 3 in 1. Munculnya joki-joki ini juga merupakan faktor utama kegagalan kebijakan 3 in 1. Tugas SATPOL PP adalah menangkap dan menyerahkan joki tersebut kepada Dinas Sosial untuk kemudian dibina selama beberapa hari. SATPOL PP memiliki wewenang untuk mengkap joki-joki yang berkeliaran di jalan-jalan menuju kawasan 3 in 1. Tugas utama SATPOL PP adalah menjaga ketertiban umum. Para joki tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum karena berdiri di jalan-jalan sebelum memasuki kawasan 3 in 1. Oleh karena itulah, SATPOL PP memiliki wewenang untuk menangkap para joki tersebut. Dinas Sosial berperan sebagai penampung dan pemberi pembinaan kepada para joki yang tertangkap. Hal-hal teknis tersebut tertuang dalam perencanaan yang dibuat oleh Dinas Perhubungan, di bawah pengawasan pemerintah daerah DKI Jakarta. Perencanaan tersebut dibuat berdasarkan SK Gubernur yang menyatakan bahwa untuk mengurangi kemacetan, satu mobil pribadi harus berisi tiga orang atau lebih. Perencanaan ini berisi hal-hal teknis dan langkah-langkah implementasinya demi tercapainya tujuan kebijakan. Dalam kasus ini tujuannya adalah untuk mengurangi kemacetan. Tetapi sangat disayangkan bahwa program 3 in 1 tersebut tidak memberikan hasil yang cukup baik delapan delapan tahun terakhir ini, karena pada pengambilan keputusannya tidak bersifat partisipatory planning. Kebijakan 3 in 1 beserta perencanaannya hanya bersifat top-down, melibatkan pihak instansi aparat yang terkait dalam pelaksanaannya, yakni Dinas Perhubungan, satpol PP, serta polisi. Tetapi, gubernur sebagai pengambil kebijakan tidak meminta informasi yang dibutuhkan oleh para pengguna jalan protocol ini, yang mereka lalui menggunakan kendaraan pribadi seTip harinya. Dinas Perhubungan pun sebagai pembuat perencanaannya tidak melibatkan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, strategi tersebut menjadi kurang tepat sasaran. Pada pengorganisasian perencanaannya pun, mereka tidak melibatkan masyarakat sekitar yang melewati wilayah ini seTip harinya dengan kendaraan pribadi mereka, seperti para pekerja di perkantoran sekitar Sudirman-Thamrin. Dalam hal

19

ini, partisipasi dari pengemudi kendaraan bermotor terlihat tidak ada. Mereka cenderung tetap menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tujuan mereka, atau dengan kata lain tidak beralih ke kendaraan umum. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan pernyataan dari informan kami yang merupakan pengemudi yang menggunakan jasa joki bahwa dengan mereka menggunakan kendaraan umum pun, mereka tidak akan luput dari kemacetan yang ada. Maka, planning for and by the people tidak berlaku, dimana perencanaan 3 in 1 ini berguna untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak dilakukan oleh masyarakat. Saat pelaksanaannya, kebijakan 3 in 1 menimbulkan kesenjangan social dan budaya antara pihak perencana dengan masyarakat. Karena kebijakan ini basisnya tidak mendapatkan masukan dari masyarakat setempat, maka masyarakat pun cenderung menemukan berbagai celah untuk tidak berpartisipasi dalam perencanaannya. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kasus dimana program 3in1 tersebut dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian orang-orang tertentu yang disebut sebagai Joki 3in1. Joki 3in1 merupakan seseorang yang menawarkan jasa untuk bersedia berada dalam mobil pengendara roda empat selama jarak tertentu untuk menghindari pelanggaran akibat pelaksanaan program tersebut. Dengan adanya joki, benar bahwa masyarakat ini berpartisipasi dalam pelaksanaan 3 in 1, tetapi tetap saja tidak sesuai dengan asumsi awal karena di dalamnya sebenarnya hanya mencakup 2 orang saja, dan 1 joki itu hanya berpura-pura. Penggunaan joki ini sebagai upaya masyarakat untuk melewati jalanan protocol, tanpa harus berpartisipasi dalam asumsi awal dari kebijakan 3 in 1. Selanjutnya, dengan pengguna kendaraan yang beralih melewati jalanan alternative sekitar jalan protocol. Itu bukanlah berpartisipasi dalam kebijakan 3 in 1 karena mereka tetap menggunakan mobil pribadinya yang berisi kurang dari 3 orang, serta akibatnya, justru kemacetan tersebut beralih menjadi di ruas jalan alternative tersebut. Artinya, kebijakan ini bukannya mengurangi kemacetan, tetapi justru mengalihkan kemacetan dari jalanan protocol menuju jalanan alternative. Dari hal tersebut terlihat bahwa, yang terjadi di dalam system kebijakan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan baru yang saling menguntungkan antara pengemudi kendaraan beroda empat dengan para joki 3 in 1. Para pengemudi kendaraan merasa membutuhkan joki tersebut dengan landasan mereka akan melalui jalur 3 in 1 tanpa harus dikenai sanksi dari pihak kepolisian. Bahkan tidak jarang dari para pengemudi tersebut memiliki joki langganan. Sebaliknya, dari pihak joki sendiri yang notabenenya berasal dari kelas bawah, maka mereka membutuhkan suatu penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mereka melihat terdapat suatu bentuk kesempatan dalam praktek 3 in 1 tersebut, maka mereka memanfaatkan hal tersebut.

20

Terakhir, masyarakat (pengemudi kendaraan bermotor) pun tidak berpartisipasi dengan cara menghindar dari waktu yang di tentukan saat berlangsungnya 3 in 1. Misalnya, para pekerja di jalanan protocol, mereka berangkat saat 3 in 1 belum dimulai, dan pulang saat 3 in 1 telah selesai. Akibatnya, kemacetan pun terjadi saat sebelum dan setelah waktu 3 in 1. Karena 3 in 1 yang tidak bersifat partisipatoris ini, maka jumlah pengguna kendaraan pun tidak berkurang, serta kemacetan tetap terjadi di bukan hanya daerah protocol, tetapi juga teralokasi di jalanan alternative, serta sebelum dan setelah waktu 3 in 1. Di sisi lain aparat kepolisian di jalan protokol tersebut, walaupun mereka terlibat dalam perencanaan, tetapi saat implementasi, mereka tidak menjalankan tugasnya dengan sesuai. Peran mereka dalam lalu lintas adalah mengawasi masyarakat jikala melanggar peraturan yang berlaku, termasuk salah satunya 3 in 1. Tetapi, saat kebijakan 3 in 1 diimplementasikan, kepolisian tidak memberikan sanksi tegas kepada pengendara roda empat yang melanggar aturan. Sebab, apabila petugas keamaan tersebut memberhentikan beberapa kendaraan yang melanggar maka konsekuensi yang akan di hadapi adalah semakin bertambahnya kemacetan yang terjadi di jalan tersebut akibat terhambatnya arus lalu lintas. Maka dari itu, seTip harinya banyak yang masih melewati jalan protocol pada waktu 3 in 1 tetapi hanya terdapat 1 orang saja di dalam mobil. Sehingga dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa perencanaan yang tidak diimbangi dengan dukungan dan partisipasi masyarakat akan berjalan kurang efektif. Partisipasi masyarakat sebagai sebuah tindakan yang dapat menentukan keberhasilan suatu program menjadi faktor utama yang harus diperhitungkan. Karena apabila kebijakan tersebut hanya berupa keputusan politik dan implementasi semata tanpa ada yang menjalankan kebijakan tersebut maka akan terlihat menjadi sia-sia. dapat berjalan sesuai harapan dan tepat sasaran. Pembagian tugas dan kewenangan antara POLDA, SATPOL PP, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial memang memberikan kemudahan dalam pembagian tanggung jawab kebijakan 3 in 1. Namun hal ini belum bisa menjadi jaminan bahwa kebijakan ini akan berjalan lancer sesuai dengan yang direncanakan. Dalam tataran ideal memang pembagian kewenangan dan tanggung jawab ini baik namun dalam kenyataan empirik masih banyak muncul masalah terkait pembagian wewenang. Sebaiknya ada lembaga atau instansi atau pihak khusus yang bertanggungjawab atas berjalannya kebijakan 3 in 1 ini sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga tidak ada saling lempar tanggung jawab jika sampai pada kenyataan saat ini bahwa 3 in 1 tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sehingga untuk mengatasi kemacetan dibutuhkan strategi baru yang sifatnya bottom up yang diharapkan perencanaan tersebut

21

Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan untuk mengatasi kemacetan yang dilakukan PEMDA DKI Jakarta lebih bersifat proyek (project oriented). Perlu diketahui bahwa kebijakan 3 in 1 yang sudah 8 tahun berjalan namun belum mencapai hasil yang maksimal, direncanakan akan segera dihapuskan. Setelah dihapus kemudian diganti dengan kebijakan yang baru seperti monorail dan ERP (Electronic Road Pricing). Namun, berhubung pembangunan monorail gagal diwujudkan maka proyek selanjutnya adalah ERP. ERP merupakan sistem elektronik yang menetapkan para pengguna mobil pribadi diwajibkan untuk membayar sekian jumlah untuk melewati jalanan tertentu di Jakarta, sama seperti konsep tol. PEMDA DKI dalam mengatasi kemacetan di Jakarta terlalu mengandalkan kebijakan yang project oriented. B. Kesimpulan dan Saran Perjalanan kebijakan 3 in 1 yang tidak efektif dalam mengatasi kemacetan akibat meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi telah diketahui secara umum oleh seluruh element masyarakat. Akan tetapi, kami sendiri masih melihat bahwa masih terdapat kesempatan agar 3 in 1 dapat berjalan efektif dengan beberapa solusi yang kami tawarkan. Pertama, ketika dilansir bahwa kegagalan utama dari kebijakan 3 in 1 ini adalah karena kemunculan joki-joki, maka solusi yang ditawarkan adalah pengawasan yang diperketat. Pengawasan ini sifatnya terdiri dari dua, yaitu pengawasan terhadap joki dan pengawasan terhadap SATPOL PP. Pengawasan terhadap joki yang diperketat ini dilakukan dengan cara, yaitu penempatan SATPOL PP diseTip titik di mana para joki menawarkan jasanya kepada para pengemudi. Artinya adalah SATPOL PP tidak hanya berkeliling memantau joki, tetapi SATPOL PP benar-benar stand by di daerah-daerah yang terdapat joki. Hal ini diperlukan karena dari fakta yang ada, ketika SATPOL PP sedang berpatroli, maka joki-joki tersebut akan bubar (menyebar), tetapi ketika sudah tidak ada SATPOL PP, maka para joki akan meneruskan aksinya. Selain itu, pengawasan terhadap joki ini pun, diharapkan bukan saja dari SATPOL PP, melainkan dibutuhkan pula keterlibatan dari masyarakat setempat. Artinya di sini dibutuhkan suatu kerja sama antara POLRI dan Dishub dalam merangkul masyarakat setempat agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan penempatan SATPOL PP pada seTip titik di mana para joki 3 in 1 beraksi, dapat menimbulkan berbagai penyimpangan dari SATPOL PP sendiri, seperti kerja sama antara SATPOL PP dengan joki dalam pembagian jatah dari hasil perjokian. Oleh karena itu, kami melihat hal tersebut bahwa SATPOL PP

22

pun harus diawasi agar menghindari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Pengawasan ini dilaksanakan dengan cara yaitu pemasangan kamera CCTV diberbagai titik-titik strategis yang dapat mengawasi kinerja dari para SATPOL PP. Sehingga, diharapakan bahwa dengan terdapat alat pemantau yang mengawasi SATPOL PP itu sendiri, maka penyimpanganpenyimpangan itu dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam menjalani pengawasan ini diperlukan suatu koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang berwenang seperti POLRI dengan Dishub. Solusi kedua yang kami tawarkan yaitu adalah pemberdayaan terhadap joki-joki yang ada.secara jelas dan tegas. Dua dari nara sumber kami, yaitu joki, mereka keduanya pernah ditangkap ketika sedang beroperasi sebagai joki. Dan keduanya pun ditahan. Akan tetapi, salah satu informan mengatakan selama ditahan seminggu, ia tidak diapa-apakan dan hanya di data saja. Sedangkan informan lainnya, mengatakan bahwa ia selama ditahan dua hari, dirinya dijadikan pembantu, seperti memijat para preman yang ada di sana, lalu disuruh untuk melayani para aparat di sana (seperti membuatkan minuman dan makanan). Dari sini kami melihat bahwa tidak ada ketegasan dari para pihak yang berwenang, sehingga hal tersebut tidak menyebabkan efek jera, atau bahkan mengurangi dan menghilangkan keberadaan joki. Jika, secara jelas dan tegas joki tersebut ditangani dengan pemberdayaan yang baik, maka diharapkan orang-orang yang tadinya memiliki profesi joki, memiliki keterampilan khusus yang dapat membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, bagi kami, sebaiknya ada suatu perbaikan dalam bentuk penampungan dan pembinaan para joki. Solusi untuk pemerintah DKI Jakarta secara umum adalah sebaiknya tidak lagi mengutamakan kebijakan yang sifatnya project oriented. Karena kebijakan yang demikian dapat menimbulkan banyak efek samping yang tidak di duga, misalnya saja 3 in 1 menimbulkan masalah sosial seperti joki. Pemerintah DKI perlu memaksimalkan transportasi umum dengan perbaikan pelayanan, kuantitas, serta kualitas sarana yang baik. Warga Jakarta membutuhkan transportasi yang cepat, aman, nyaman, dan terjangkau seTip harinya. Kami yakin jika sarana transportasi publik sudah dibenahi dengan baik, maka akan lebih mudah untuk memobilisasi masyarakat yang seTip harinya menggunakan kendaraan pribadi menuju tranportasi umum. Hal ini akan menambah partisipasi masyarakat untuk ikut mengatasi kemacetan di Jakarta.

23

DAFTAR PUSTAKA

Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. British: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf. Byrne, David. 1998. Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge. Data Primer: Wawancara dengan informan sebagai joki T dan Ti di daerah Jakarta Selatan. Wawancara dengan informan pengguna joki di daerah Jakarta Selatan. Wawancara dengan M.Ridwan, Koordinator Pengendalian dan Pengawalan Dinas Perhubungan. Data Internet: http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 . Diunduh pada 4 Mei 2011 pukul 10:29 http://www.beritajakarta.com/Download/SK/Detail/SK%20GUB%20No. %204104%20Tahun%202003%20PENETAPAN%20KAWSAN%203%20IN %201.pdf Diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.35 WIB http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kemacetan .Sulit.Diurai Diakes pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 23.50 WIB. Data Lain: Materi Kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial oleh Dody Prayogo, 07 Februari 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia. Materi Kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial oleh Dody Prayogo, 14 Februari 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia.

24

Anda mungkin juga menyukai