Anda di halaman 1dari 5

Corak Islam Keraton: Aspek Sejarah dan Budaya Oleh: Amirudin Azis Abdullah

Ku ukir jejak langkah menembus pagi yang cerah, ketika udara sejuk menyelimuti tubuh kerontang terbalut debu dan embun keletihan di bawah nyala terik matahari. Letih kemarin masih terasa, jauhnya jalan yang telah tertempu membawa ku hadir di sini, di depan tembok kokoh yang menjulang menantang matahari. Bau dari tanah jalanan yang terkena embun pagi tadi masih bisa ku hirup, menancap tajam bercampur aroma kejayaan masa lalu yang masih terjaga keutuhan di depan mata. Teriakan memanggil bergantian di sela-sela kekaguman akan apa yang telah terjadi beribu tahun lalu, teriakan penjaja kaos dan sovenir beterbangan bersama angin harapan di pagi yang benar-benar cerah ini. Burung berkicau menyambut rombongan tunas muda bangsa, berjalan beriringan berhias canda dan tawa. Mereka tau apa yang akan mereka tuju, mencari bukti tentang kebesaran bangsa yang pernah terkoyak dan akhirnya bangkit bersama semangat perjuangan yang kini telah meredup dalam jiwa-jiwa mereka. Jauh di dalam Srimaganti dan Brojonolo banyak nilai perjuangan berasaskan keislaman dan budaya yang bisa kau serap untuk membuktikan itu. Sejarah yang panjang bermula dari sebuah amanat penting dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta pada tanggal 5 september 1945 yang menyerahkan loyalitas tanah ini untuk republik indonesia, atas nama penghormatan, Presiden Sukarno mengukuhkan tanah ini dengan gelar kehormatan Daerah Istimewa dengan pemberi amanat sebagai Kepala Daerah dengan wakil Sri Pakualam VIII. Nilai sejarah bangunan Tua ini bisa kau telusuri dari perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 yang mengatakan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta sebagai ahli waris Kerajaan Mataram Islam. Sejarah keteladanan tentang orang-orang terdahulu dari tahta tertinggi tanah ini (Jogja) banyak dikisahkan dalam Berbagai naskah kerajaan (Keraton); Pangeran Mangkubumi (Pendiri Keraton Yogya) adalah contoh teladan yang

harus diikuti oleh tunas muda bangsa ini. Baginya sholat adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan walau dalam keadaan perang yang berkecamuk, ayat suci Al-Quran adalah nyanyian jiwa yang tak tergantikan, bahkan sebagian ayat telah dihafal. Setelah perjanjian Gayatri Panembahan Senopati, dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I, dengan gelar, Sri Sultan Hamengkubuwana Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ing Ngayogyakarta. Islam adalah nafas dari kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat, tergambar jelas dalam gelar yang tersandang dipundak para raja, simbol-simbol yang terlukis di atas fisik bangunan maupun di dalam lembaran karya sastra dan ucapan budaya. Syariat islam hidup dan tumbuh dalam lingkungan keraton, Mahkamah Al Kaburoh, Majid Gede Kauman, dan kepala pengurus perkembangan agama Islam adalah bukti nyata bahwa islam adalah denyut nadi kerajaan ini. Sekaten, Grebeg Mulud, Grebeg Syawal dan silaturahmi Sultan, dan juga Grebeg Besar adalah upacara-upacara budaya yang sampai hari ini masih tumbuh dan dipupuk atas nama kebudayaan dalam lingkungan Keraton. Pernikahan Sentana Dalem tak bisa berlanjut jika tak ada hubungan keislaman, kerajaan harus bersih dari warga asing bermata sipit yang tak tau apa alasannya. Budaya yang tertanam turun-temurun tergambar jelas di dalam kehidupan seluruh warga di setiap lapisan, atmosfir di kota ini begitu terasa bersahaja, keadaan ini hanya bisa dipahami dari dua nilai dasar kehidupan; Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat. Kedua nilai dasar di atas memiliki peran yang besar dalam masyarakat Yogyakarta. Dua nilai dasar di atas mungkin dianggap sepele, karena bagi kita, kita telah terbiasa dengan nilai tersebut. Dalam teori mudah saja mengatakan hormat dan rukun telah dilaksanakan, akan tetapi realitas butuh bukti. Dari dua hal sepele di atas, muncul berbagai nilai-nilai budaya yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Yogyakarta:

Nrimo : Mensyukuri kepada apa yang telah diperoleh, dan jika terjadi sesuatu halangan setelah diusahakan, maka mereka nrimo atau pasrah kepada Allah, menyadari bahwa itu sudah menjadi kehendaknya (nrimo ing pandum). (Dalam ajaran Islam, sikap mensyukuri karunia Allah SWT, merupakan kewajiban bagi seorang Hamba, dan Allah SWT akan memberikan berkah karunia yang lebih banyak dimasa mendatang). Sabar : Sing Sabar Subur, artinya orang yang sabar itu akan mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. Dalam menyelesaikan masalah tidak boleh gegabah, dalam mengusahakan sesuatu tidak nggege mangsa, menurut prosedur yang benar, dilakukan dengan penuh kesabaran. Gotong Royong: Adalah nilai kebersamaan yang saling peduli, saling membantu meringankan beban dalam kehidupan bermasyarakat. Ajaran Gotong royong ini, dapat ditelusuri dari ajaran Islam, yang menganjurkan,Bertolong-tolonglah kamu dalam perbuatan baik berdasarkan Taqwa. Takwa : Dalam masyarakat Jawa, Taqwa merupakan pakaian dalam kehidupan, yaitu diajarkan dekat dengan Allah SWT. Dengan mentaati perintah dan laranganNya. Takwa ini disimbolkan dengan baju Takwo. Rembug Bareng : Didalam memutuskan sesuatu yang mengandung harkat, kepentingan orang banyak. Maka selalu diadakan rembug bareng, sering juga disebut rembug deso. Hal ini sinonim dengan ajaran Islam, yang diadopsi bangsa Indonesia, yakni: Musyawarah. Tepa-Slira : Adalah memahami dan menghormati perasaan orang lain, dalam rangka menjaga persaudaraan, dan menjauhkan dari segala macam konflik. Tepaslira dalam ajaran Islam, dikenal denga istilah Tafahum (saling memahami dalam perbedaan); atau dalam bahasa Indonesia disebut toleran. Ojo Dumeh : Dilarang berbuat kibir (takabur atau sombong), dan merendahkan orang lain.

Dalam politik, Jogja mempunyai beberapa segi budaya yang bisa dikembangkan sebagai khasanah budaya demokrasi Yogyakarta. Pejabat negara mendapatkan status sebagai Pamong yang artinya penggembala. Filosofi yang terkandung ialah pejabat negara adalah pelayan Ummat, yang melindungi, mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu zaman dulu, tidak menggunakan kata Pemerintah (yang berkonotasi tukang Perintah). Sesungguhnya istilah Pamong lebih tepat untuk budaya Yogyakarta. Yang telah tersebut di atas adalah sifat budaya Yogyakarta yang telah tertanam dan senafas denga ajaran islam, bukti dan kebenaran adalah relatif bagaiman kau memandang hal itu. Problema yang datang belakangan adalah lunturnya budaya sebagai akibat dari dominasi gaya hidup konsumerisme di indonesia dewasa ini. belum lagi ditambah faktor-faktor lain yang kompleks, seperti: Keteladanan di segala bidang yang rendah; salah asuh dalam pendidikan; dan rendahnya tingkat kemandirian ekonomi Bangsa. Perlu diketahui, proses pelunturan budaya itu, berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, yang lebih suka mendorong menuju Pendangkalan Budaya, yakni sinkretisme budaya Islam - Jawa (pengaruh agama dan kepercayaan PraIslam). Situasi demikian memang menguntungkan penjajah Belanda. Faktor lain adalah kurangnya pemahaman yang baik tentang ajaran Islam. Hal ini lebih disebabkan terbatasnya pendidikan bagi pribumi masa itu. Nilai dasar atau ruh Keraton Yogya adalah ajaran Islam. Kunci untuk mengungkap Kraton Yogya adalah dengan ajaran Islam. Ajaran yang berupa Hakekat, Syariat, dan marifah Islamiyah diusahakan berjalan dengan menggunakan simbol-simbol dan pendekatan budaya Jawa. Karena itu untuk meneguhkan jatidiri budaya masyarakat Yogyakarta, perlu kembali kepada nilainilai dasar (ajaran Islam) budaya masyarakat Yogyakarta.

Akhirnya, muka lusuh mereka keluar dari sisa kejayaan itu, kini apa yang mereka pahami bukanlah sekedar isu belaka. Pengetahuan kini telah memadai, penasaran telah terobati, perjalanan yang panjang itu takan sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai