Anda di halaman 1dari 5

Belukar Jakarta

Sore November, matahari canggung menampakkan muka. Udara lembab setelah hujan mengguyur tubuh ibukota sejak pagi tadi. Tampak titik-titik air bekas hujan lengket di kaca jendela tempatku bekerja. Lantai dua puluh sembilan. Kali ini aku menangkap gambaran kontras dari Jakarta. Biasanya, kota karbon ini selalu panas meranggas. Resahku segera menjelma, kalau terus hujan begini, tak mustahil kota karbon banjir lagi. Gubernur baru pun pasti tidak akan mampu menahannya. Tapi semoga saja tidak begitu. Semoga saja. Tanpa kusadari, kau telah ada di pojok ruangan. Kau terlihat sibuk merapikan tumpukan kertas, alat tulis, dan majalah di atas meja kerjamu. Parasmu lembut. Tatap matamu teduh. Aura kecerdasan wanita terpelajar jelas terpancar darimu. Kau begitu anggun dalam balutan blazer hitam yang dipadupadankan dengan aksesoris modern. Rambutmu ikal, panjang sebahu, diikat dengan gaya yang modern pula. Kau sungguh mempesona.Tak heran banyak pria di gedung ini ramah padamu. Aku kembali melayangkan pandangan. Dosenku pernah bilang kalau Jakarta adalah kota aneh bin ajaib. Katanya uang dibuang-buang untuk hal-hal yang tidak penting. Guna memperindah kota, disulaplah gemerlap lampu-lampu warna-warni, tanaman hias, air mancur, patungpatung dan monumen-monumen dan lain sebagainya yang tidak kalah tidak penting. Tapi, setidaknya ada patung Sudirman. Patung ini sangat menyita perhatianku. Setiap hari kupandangi, mengingatkanku akan sosok patriot nomor wahid. Pemimpin hebat dan tanpa pamrih yang berjuang demi bangsa. Ia berdiri tegak bersahaja di tengah kota. Tetap saja ia mengangkat tangan memberi hormat. Pada siapa saja dan kapan saja. Pastinya ia akan selalu beri hormat. Ganjil bila Pak Dirman harus hormat pada negara ini. Apalagi beri hormat buat para koruptor, tukang tipu, maling dan bandit yang berkeliaran di Jakarta. Sebulan sudah aku hidup di Jakarta. Fitrahku sebagai anak laki-laki yang harus merantau membawaku kesini. Eksodus dari pulau Sumatera ke pulau Jawa. Aku ingin berjuang demi masa depan yang lebih baik. Mencoba menikmati setiap prosesnya. Hasil akhir lain cerita. Pulang dengan kepala tegak ataupun dengan kepala tertunduk itu hal biasa. Kita adalah pahlawan dari kisah kita sendiri, dosenku menyemangati. Kau mendekat ke arahku. Kau menebar senyum manis yang tak biasa. Tidak semua wanita punya senyum seperti senyumanmu. Bagaimana? Sudah kerasan tinggal di Jakarta? Tanyamu pelan penuh arti. Hmmm. Ya. Lumayan. Tawaku mengalir menahan malu. Welcome to the jungle young man... Senyummu kembali merekah. Gincumu yang merah muda mempertegas kesan indah. Guns n Roses. I like it. Hahaha... Hmmm. Me too.

Kenapa kau bilang hutan Jakarta? Lihat saja, semua jenis binatang tumpah ruah di Jakarta. Tidak begitu mengherankan bukan? Gedung-gedung, jalan-jalan, dan semuanya ini hanyalah bentuk lain dari pohon, semak dan rimba belantara. Yang kuat menindas yang lemah. Semua berkompetisi untuk jadi penguasa. Berlomba untuk jadi pahlawan kesiangan. Lagipula manusia kan hewan yang berpolitik. Tetap berpolitik. Harus berpolitik. Titik. Oh! Tampaknya sentimenmu menjadi-jadi! Bukan. Sederhana saja. Siapapun pasti bisa merasakan atmosfir ini. Hati-hati, hidup di Jakarta keras Bos!!! Sekarang aku yang harus heran. Kenapa kau tampak begitu nyaman hidup di rimba kejam ini? Aku menatapmu lebih dalam. Kau tidak sempat menjawab. Tiba-tiba bos dan beberapa teman sejawat masuk. Meeting segera dimulai. Senyap memenuhi isi ruangan. Wajah-wajah serius berkerut-kerut membawa kesan tegang. Tak ada lagi ramah tamah. Langit jingga mulai memudar di antara gedunggedung pencakar langit. Ujung senja Jakarta, malam perlahan menjelang. Dinner with me after meeting... Pintamu melalui pesan singkat. Oke. Jawabku singkat. *** Desau angin bertiup kencang di semenanjung Jakarta. Kita duduk berdua di sebuah kursi panjang menghadap ke laut. Kerlap-kerlip lampu tampak serupa bola api kecil-kecil yang melayang-layang di awang-awang. Udara berasa dingin menambah kesan romantis. Kau merebahkan kepalamu di pundakku. Aku terkesiap. Kau tidak keberatan kan? Ya ampun! Pertanyaan yang aneh. Sekonyong-konyong aku malah ingin berteriak kegirangan. Tak mungkin aku tolak untuk wanita sepertimu. Layaknya sepasang kekasih, kita sekarang berapit dekat. Dekat sekali. Kar, aku ingin pergi ke tempat yang jauh. Jauh sekali. Ucapmu lirih. Apa!? Ya. Aku ingin lari saja... Bosan disini... Nonsense Lady... Nonsense apanya?

Kau begitu sempurna Flo. Muda. Cantik. Cerdas. Kariermu bagus. Semua mata tertuju padamu. Kau punya hidup yang banyak wanita lain hanya miliki di alam mimpi... Dont judge the book by its cover dude... Aku tak mengerti, maksudmu? Handphoneku tiba-tiba menjerit. Kuraih dengan sigap dan kuganti dengan modus diam. Aku tak peduli siapa yang menelpon. Biar kita berdua saja lewati malam ini. Aku tak ingin siapapun mengganggu. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Sejak kecil, aku dan kakakku sudah diboyong ke Jakarta. Dulu, tak ada yang salah dari keluarga kami. Hidup kami aman-aman saja. Semua serba berkecukupan. Kami punya segalanya yang kami butuhkan untuk menjadi sebuah keluarga. Bahkan, aku masih berdarah biru. Hanya saja Papaku enggan menambahkan nama kehormatan pada nama anak-anaknya. Papaku bekerja di pemerintahan dengan posisi yang sangat lumayan. Orang nomor dua di instansi tempatnya bekerja. Bagi kami sekeluarga Papaku adalah pahlawan. Tidak hanya bagi keluarga kecil kami. Tapi, bagi seluruh keluarga besar di Jogja. Sementara Mamaku diberi tugas untuk mengurusi rumah oleh Papaku. Awalnya beliau juga bekerja sebagai karyawan di sebuah bank swasta. Bagi Papaku keluarga adalah prioritas utama, Mamaku dipaksanya untuk berhenti bekerja. Awalnya Mamaku menolak, tapi sejak kelahiran adik bungsuku, Mamaku luluh juga. Kau kembali menyalakan rokok, kau kelihatan berusaha untuk menenangkan diri. Aku melakukan hal yang sama. Penasaran meloncat-loncat di benakku. Beberapa tahun yang lalu kedua orangtuaku memutuskan untuk masuk agama baru. Aliran kepercayaan yang baru. Kepercayaan baru yang dibawa seorang wanita tua yang mengaku punya wahyu baru. Punya kebenaran baru dan tuntunan hidup baru. Ia pun segera menjelma menjadi pahlawan baru bagi para pengikutnya. Tak terkecuali kedua orangtuaku. Seketika saja, keluarga kami mendadak menjadi sesuatu yang baru pula. Kami sekeluarga berantakan. Papaku dipecat tanpa diberi pesangon. Itu karena Papaku lebih memilih untuk tetap tinggal komunal dengan para pengikut pahlawan barunya. Papaku tak lagi peduli dengan kami. Papaku berubah drastis. Kami semua hilang akal. Tak tahu harus berbuat apa. Rasa malu juga membebani pundak kami. Aku dan kakakku perempuanku hanya bisa menangisi nasib. Sementara kedua adik kami masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Keluarga kami jadi tercerai berai. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta. Menumpang tinggal di rumah Anis, sahabatku. Kakakku lari ke Bandung. Adikku yang nomor tiga dibawa keluarga Mamaku ke Solo dan si bungsu ikut Paman ke Jogja. Kau berhenti bicara. Dadamu naik turun menahan isak. Sekuat kau coba melawan, bertambah kuat pula tekanannya. Kau menunduk dalam. Tangismu segera buncah. Air matamu menganak air. Cepat-cepat kusodorkan tissue padamu. Tapi, kau menepisnya. Kau malah memelukku. Nafasmu sesak. Aku mengusap-usap pelan punggungmu untuk menenangkan. Kuciumi rambutmu, wanginya merasuk sampai ke dalam kalbu. Kau kembali mengangkat suaramu yang mulai parau.

Ternyata hidup memang keras dan kejam. Kita tak pernah bisa mendapatkan ketenangan hidup yang sesungguhnya. Aku dinodai Ayah Anis sebagai balas budi. Tak cukup sampai di situ saja. Aku juga dijual kepada teman-teman dan relasi bisnisnya. Sejak saat itu, meladeni hasrat pria-pria brengsek berkantong tebal mulai menjadi profesiku. Awalnya memang sulit. Perlahan aku berdamai dengan takdir. Aku terima semuanya dengan kepala tegak. Tak ada yang harus disesali, tak ada tempat mengadu. Hanya ada aku, pahlawan atas diriku sendiri. Anis tak pernah kuberi tahu. Aku tetap tinggal bersamanya. Di rumahnya. Anis tetap sahabatku dan tak ada yang bisa merubah itu. Aku mengambilkan air putih untukmu. Kau minum sedikit saja, setelah itu kau menyeka hidungmu yang ikut basah dengan selembar tissue. Kita beradu pandang. Diam menyeruak. Sunyi. Hening. Senyap. Sejak wisuda dua tahun yang lalu. Kehidupanku mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku sudah bisa bebas dari cengkraman Ayah Anis. Untuk pertama kalinya aku keluar dari rumah itu. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi kesana. Tak lama kemudian aku diterima bekerja di perusahaan kita. Aku mulai menyusun lembar hidupku yang telah tercabik-cabik. Tapi lagi-lagi hidup tak selalu mulus seperti yang kita inginkan. Aku kembali terlilit masalah materi. Ini kota gila. Kota penuh dosa. Semua orang bisa lakukan apa saja untuk bertahan hidup. Aku pun bertekad harus bisa juga. Kamu pikir apartemen, mobil, perhiasan ini hasil dari keringat halal yang murni? Tentu tidak. Semua itu kudapat dari Om Bram, Mas Jarwo, Pak Sutan, Ko Ajun, Om Tris dan mereka yang mau bayar mahal untuk tubuhku. Apa boleh buat? Aku mesti begitu. Setidaknya saat ini aku bisa menopang hidup kakak dan kedua adikku. Mencoba untuk menjadi sosok Papaku dulu. Walau hidup dan harga diriku dikoyak-koyak serigala berwujud manusia. Tidak apaapa. Ya... Tidak apa-apa. Tubuhmu bergoncang hebat, terisak dalam tangis pilu yang tak tertahankan. Hembus semilir bersimpati mengiringi jatuhnya air dari telaga matamu. Seandainya kalau kakak dan kedua adikku tak ada... Aku ingin lari saja. Aku ingin pergi. Jauh. Jauh sekali. Tidak di sini. Tidak di belantara Jakarta ini. Aku ingin mati saja. Aku ingin ke surga. Suaramu sudah hampir tak terdengar jelas. Kau malah berbisik mengakhiri kalimat terakhir itu. Kau sudah tak bicara lagi. Tapi tubuhmu masih bergoncang. Cerita panjangmu benarbenar membuatku tak bisa berkomentar apa-apa. Berujar pun tidak. Tak sepatah kata meluncur dari mulutku. Aku hanya bisa memelukmu erat. Semakin erat. *** Pagi Jakarta telah menggeliat. Semua orang tengah sibuk untuk memulai aktifitas. Sungguh pemandangan yang amat biasa. Tak ada yang istimewa. Setiap pagi pasti begini. Di Jakarta ini. Aku menyetir dengan sangat hati-hati. Pagi ini seperti biasa macet kembali ada. Jalanan padat merayap dipenuhi kendaraan. Ribuan manusia tumpah ruah ke jalan. Serupa semut bergerombol mengais manisan. Semua bergegas untuk menunaikan tugas masing-masing.

Setiap orang terburu-buru melakoni drama untuk menjadi pahlawan bagi kisah mereka sendiri. Rasa kantuk masih tersisa berat di kantong mataku ini. Aku menoleh ke arah kiri. Kau tertidur lelap. Lelap sekali. Agaknya peristiwa semalam membuatmu tak siap menyambut pagi. Kau terlihat cantik, bagiku selalu begitu. Kukecup lembut keningmu. Inginku berkata... Aku mengagumimu Flora. Aku ingin melindungimu. Menjadi pahlawanmu.

Bukit Gombak, 2012

Anda mungkin juga menyukai