Anda di halaman 1dari 12

Dana untuk Desa

Sonny Mumbunan Selasa, 30 Nov '10 03:06 Penting +6

Beri Rating

Jepara di penghujung Oktober 2010. Balai pertemuan di kabupaten itu disesaki warga perwakilan desa. Kepala desa dan perangkat desa dari berbagai desa di seantero dan sekitar Jepara berkumpul di balai itu. Hadirin mengenakan baju batik warna cokelat, sebagian juga memakai peci. Mereka duduk menyaksikan pentas seni serta mendengarkan pidato yang bergelora, di dalam balai yang panas dan cukup bikin gerah. Pertemuan itu digelar Parade Nusantara, sebuah wadah nasional yang memperjuangkan aspirasi rakyat desa. Di balai itu, para wakil desa menuntut agar negara menganggarkan 10 persen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bagi desa. Apa argumentasi dibalik tuntutan itu? Problem seperti apa yang mungkin tersirat dari tuntutan itu? Perangkat fiskal apa yang pas untuk tuntutan itu? Sebagai sebuah aspirasi, tuntutan itu cukup masuk akal. Sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, saat ini secara umum desa kita dapat

dibilang mirip sebuah tulang punggung yang ringkih. Ringkih lantaran mayoritas desa adalah terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan itu dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi dan kapasitas desa. Sebagai akibat dari pembatasan terlembaga tersebut, desa, tempat di mana sebaran penduduk kita sebagian besar berada, menjadi tergantung, tertinggal dan minim prakarsa. Politik fiskal merupakan salah satu saluran pelembagaan pembatasan itu. Pelibatan desa yang lebih konsisten serta demokratisasi yang lebih dalam atas akses sumberdaya di desa adalah kunci. Jalan bagi upaya pemberdayaan desa menjadi terbuka dengan pelibatan dan demokratisasi itu. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain, melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumberdaya keuangan untuk dialokasikan bagi desa. Mobilisasi sumberdaya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa. Bukan semata soal 10 persen Proporsi 10 persen dalam tuntutan desa itu sendiri merupakan perihal empiris - bukan substansi. Besar proporsi itu bisa 10, 15, 20 atau bahkan bisa kurang dari 10 persen. Pertanyaan pokok bukanlah tentang besaran proporsi. Berapa persen persisnya proporsi anggaran untuk desa itu akan terjawab bila posisi

politik fiskal mengambil garis tegas, seperti apa imajinasi kita tentang desa di masa datang. Teknik estimasi yang memadai atas kebutuhan fiskal serta ketersediaan dan akses data desa selanjutnya akan membantu imajinasi tersebut menjadi lebih kongkret. Jadi, saya pikir, hal lebih penting dalam wacana Dana untuk Desa barangkali adalah alasan dibalik tuntutan alokasi tersebut. Alasan itu pasti tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia lahir dari sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang kita miliki saat ini terkait pengembangan dan pemberdayaan desa. Contoh pertama: instrumen fiskal saat ini tidak memfasilitasi pemberian gaji dan tunjangan tetap bagi kepala dan perangkat desa. Kendati mereka seharihari bekerja penuh-waktu melayani warga masyarakat laiknya para aparatur negara formal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan kita. Tunjangan pensiun saat purna tugas pun masih absen. Contoh kedua: instrumen fiskal untuk pembiayaan perangkat desa saat ini masih bergantung pada kondisi keuangan desa. Dengan demikian, sebuah desa miskin akan menggaji perangkat desa secara tidak memadai. Padahal, guna menjamin standar pelayanan publik yang bermartabat, dibutuhkan standar penggajian yang memadai secara nasional. Bukan standar gaji desa per desa.

Contoh ketiga: instrumen fiskal yang ada untuk desa cenderung berperan sebagai turunan - bahkan residu - dari sistem dana perimbangan kita. Dalam mekanisme saat ini, pemangku tanggung jawab anggaran berada pada jurisdiksi fiskal setingkat kabupaten. Sementara desa terkesan sekedar menjalankan grant programs kabupaten, tanpa diberi diskresi penuh. Diskresi adalah kebebasan untuk mengambil keputusan terkait kewenangan anggaran (decision assignment). Padahal, kalau saja kita hendak konsisten menjalankan otonomi daerah, jantung desentralisasi semestinya berdetak pada jurisdiksi fiskal terendah, utamanya untuk peranperan publik yang lebih efektif apabila diserahkan pada desa. Kita tahu, tidak ada yang lebih kenal keinginan dan harapan warga desa sebaik desa itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa seluruh fungsi publik harus diserahkan pada tingkat desa. Desa memiliki keterbatasan untuk menyelenggarakan fungsi publik. Khususnya fungsi publik yang faedahnya merembes keluar atau melebihi batas desa dan dinikmati warga di luar desa bersangkutan (para ekonom menyebutnya benefit spillovers). Kalau begini ceritanya, maka sebaiknya fungsi-fungsi itu diselenggarakan oleh struktur lebih tinggi dari desa,

seperti kabupaten atau provinsi. Misalnya untuk program penciptaan lapangan pekerjaan yang masal. Sebagian kalangan beranggapan bahwa usul 10 persen APBN untuk desa kurang realistis. Anggapan ini dapat dimaklumi mengingat keterbatasan anggaran kita. Menambah anggaran baru juga bukan usul yang menarik bagi sebuah rejim yang sedang melancarkan disiplin fiskal. Meskipun besaran kebutuhan anggaran dan implikasi anggaran harus diuji secara empiris, terdapat alasan bahwa anggapan ini bisa saja tidak sepenuhnya benar. Perlu digarisbawahi bahwa usul 10 persen untuk desa itu dijalankan serentak dengan re-organisasi skemaskema dana desa yang sudah ada. Saat ini skemaskema dana desa tersebar dalam berbagai departemen pemerintah dan di berbagai sektor pembangunan, melalui beragam intrumen fiskal dan mekanisme alokasi anggaran. Re-organisasi berbagai skema ini menjadi skema dana desa yang tunggal dan lebih terpadu memungkinkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumberdaya fiskal. Efisiensi dan efektifitas itu mungkin tercapai antara lain dengan turunnya biaya transaksi (transaction costs) pengelolaan anggaran saat ini. Anggaran sekadar bertukar tempat, ke posisi baru yang lebih pantas. Bila hal ini terbukti maka usul

10 persen anggaran tidak serta merta berarti penambahan anggaran baru secara dramatis. Instrumen apa? Sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang ada saat ini untuk desa sudah disinggung. Sebagai jalan keluar dari keterbatasan-keterbatasan itu, dibutuhkan instrumen fiskal baru yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Instrumen itu idealnya mengandung karakter sebuah sectoral block grant. Instrumen ini berkarakter "sektoral" karena akan digunakan murni untuk pemenuhan dan pelaksanaan fungsi-fungsi publik di dan terkait desa, bukan untuk sektor di luar itu. Pada saat bersamaan, instrumen ini punya karakter "block grant" karena akan menjadi sumber keuangan desa di mana desa memiliki otonomi penuh dalam menentukan penggunaan dan pengelolaan dana desa. Pelaksanaan grant ini dapat berjalan beriringan dengan instrumen pembiyaan yang telah ada di daerah - seperti dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dari Dana Bagi Hasil, baik dari pajak atau sumberdaya alam. Alokasi dana: dua mekanisme, dua kriteria Bagaimana dana block grant itu akan disalurkan kepada desa? Paling kurang dibutuhkan dua mekanisme. Mekanisme pertama diperlukan di tahap

alokasi awal. Pada tahap ini, berapa besar proporsi yang akan dialokasikan untuk desa perlu ditentukan sedari awal. Dalam prakteknya, mekanisme ini sangat mirip dengan ditetapkannya proporsi sebesar 26 persen dari pendapatan domestik neto (PDN) kita untuk dana alokasi umum (DAU), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perimbangan keuangan daerah. Mekanisme kedua diperlukan pada tahap alokasi anggaran dari kabupaten ke desa. Pada tahap ini, alokasi dana sectoral block grant yang diserahkan melalui kabupaten itu akan disalurkan pada desa dengan merujuk pada kombinasi dua kriteria berikut. Pertama, kriteria pembagian rata (equal share) bagi seluruh desa di mana setiap desa memperoleh jumlah yang sama guna menjamin tersedianya standar tingkat pelayanan publik yang setara di seluruh negeri. Kedua, kriteria proporsional dengan mana setiap desa akan menerima dana berdasarkan karakter desa bersangkutan. Kriteria proporsional itu misalnya berkaitan dengan luas desa, kepadatan penduduk, kapasitas fiskal desa, jumlah penduduk miskin, kerentanan terhadap bencana atau rawan pangan, dan lain sebagainya. Kriteria ini bertujuan menjamin keadilan bagi desa yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Desa berpenduduk

sedikit, misalnya, tak patut menerima dana desa lebih besar ketimbang desa berpenduduk banyak. Mem-PNS-kan perangkat desa? Ada anggapan, tuntutan dana desa terkait dengan keinginan kepala desa dan perangkat desa agar mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Selain keliru, anggapan ini sekaligus juga problematis. Pertama, terkait persoalan prasyarat dasar, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa kita berusia di atas usia masuk PNS dan berpendidikan di bawah SMA. Kedua, dalam struktur pemerintahan kita, desa punya sejarah otonomi yang mencerminkan keunikan desa. Menjadikan perangkat desa sebagai PNS berarti memformalkan desa, mirip struktur sebuah kelurahan. Perangkat desa bisa datang dari luar desa bersangkutan. Dengan mobilitas seperti ini, keterikatan dengan desa bersangkutan cenderung menjadi lebih longgar, hal mana merugikan desa. Implikasi fiskal seperti apa yang mungkin muncul? Dalam skenario baru yang diajukan, kabupaten masih tetap akan berperan sebagai pemangku anggaran sebagaimana diatur dalam sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah kita saat ini. Akan tetapi otonomi pengelolaan dana telah diturunkan kepada tingkat desa. Selanjutnya, dana desa yang diajukan di atas kemudian akan membiayai (a)

belanja perangkat desa dan (b) belanja pembangunan di desa. Berkenaan dengan belanja perangkat desa, gaji dan tunjangan tetap harus menjadi bagian instrumen fiskal yang baru. Hal ini penting dalam merancang alokasi dana untuk desa. Dari hitungan saya, menggunakan data APBD tahun 2010 seluruh kabupaten di Indonesia, secara rata-rata sebesar 60,9 persen dari pendapatan asli kabupaten plus dana perimbangan yang diterima kabupaten dipakai untuk belanja pegawai. Bila dipecah lagi, dari besaran itu 55 persen digunakan untuk belanja pegawai tidak langsung. Contohnya, untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Sisanya, 5,9 persen, digunakan untuk belanja pegawai langsung, misalnya untuk membayar honorarium atau upah kerja. Ada persoalan di sini. Selama ini, gaji dan tunjangan PNS disalurkan melalui mekanisme yang disebut "alokasi dasar". Alokasi dasar ini ditentukan secara bersamaan dengan perhitungan celah fiskal, yakni celah antara kebutuhan dan kapasitas keuangan sebuah daerah, dalam penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi kabupaten. Sementara itu, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kepala desa dan perangkat desa bukan, dan tidak perlu menjadi, PNS. Apa yang mereka butuhkan adalah gaji dan tunjangan

yang tetap; katakanlah, dengan basis setingkat golongan PNS IIA. Menurut hemat saya, kendati memerlukan sejumlah penyesuaian di tingkat praktis, secara konseptual gaji dan tunjangan yang bersifat tetap ini dapat dijadikan landasan untuk menggabungkan alokasi pengeluaran rutin kepala desa dan perangkat desa dalam struktur "alokasi dasar" di penentuan DAU. Pengeluaran rutin ini harus dianggap dan terhitung sebagai bagian dari proporsi keseluruhan yang diajukan untuk dana desa. "Elite capture" Dalam usulan reformasi dana desa, pengawasan penggunaan dana tetap akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten yang, sebagai pemangku anggaran, bakal dituntut tanggung jawabnya terkait penggunaan akhir dana untuk desa. Terkait kapasitas perangkat desa yang terbatas dalam mengelola anggaran dan sumber keuangan yang besar, seperti kerapkali dikhawatirkan banyak pihak selama ini, pemerintah kabupaten dapat memberdayakan pegawai negeri sipil (PNS) pendamping desa untuk membimbing perangkat desa dalam pengelolaan anggaran. Penggunaan dana desa rentan bocor dan tak efisien. Desa kita punya persoalan cukup akut untuk itu. Seperti di tempat lain, korupsi dan inefisiensi sangat mungkin berlangsung juga di desa. Romantisme atas

desa kadang kala mengelabui mata kita dari persoalan elite capture, di mana elit-elit desa yang tampak lugu itu begitu cerdik mengalihkan sumberdaya publik untuk kepentingan diri. Penyusunan anggaran secara partisipatoris dan demokratik, macam mekanisme Musrenbang desa, berguna untuk memastikan efektifitas dan transparansi sepanjang perencanaan, penggangaran, dan penggunaan anggaran. Akhirnya Hal-hal tersebut di atas adalah sumbangan pemikiran dan usulan perubahan kebijakan fiskal yang berpotensi memberdayakan desa. Di aras hukum, sebagian isi usulan politik fiskal yang lebih berpihak pada kepentingan desa ini akan tidak lagi sejalan dengan Pasal 68 (tentang sumber keuangan) dari Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Peraturan ini butuh revisi. Menutup catatan ini, saya jadi ingat Raden Ajeng Kartini. Dulu, puteri bupati Jepara itu menulis banyak sekali surat, artikel dan catatan tentang keterbelakangan bangsanya. Di penghujung Oktober 2010, kalau saja masih hidup, boleh jadi Kartini bakal menulis perihal pertemuan di balai yang panas dan bikin gerah itu. ***

Anda mungkin juga menyukai