Anda di halaman 1dari 10

Esay Mengenai Demokrasi dan Internet

Tugas Kewarganegaraan

Penulis : Nama : Taufiq Ihsan Ismail NIM : 12\336281\TK\40239 Prodi : Teknik Arsitektur

JURUSAN ARSITEKTUR dan PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK UGM YOGYAKARTA 2012

DEMOKRASI dan INTERNET


Internet sudah menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri, menggali informasi, bahkan pergerakan massa. Hal ini terbukti pada gerakan sosial di Tunisia pada tahun 2011 yang lalu ketika internet menjadi penggerak mobilisasi massa yang kemudian menjadi pemicu bagi munculnya demonstrasi besar di Mesir, Libya, dan Syria yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi sosial politik di Timur Tengah. Selain di dunia Arab tersebut, aksi protes juga terjadi di negara Eropa seperti Yunani, Inggris dan negara lainnya akibat krisis ekonomi yang melanda negara-negara tersebut. Sementara di Rusia juga terjadi aksi menentang Putin kembali menjadi presiden dan Amerika Serikat dengan aksi pengepungan wall street yang menginspirasi gerakan occupy di seluruh dunia untuk menduduki pusat-pusat ekonomi. Aksi protes yang terjadi di belahan dunia tersebut merupakan buah dari keterbukaan informasi yang terdapat dalam media internet, sehingga media ini menjadi ruang baru bagi demokrasi rakyat.

Peran Internet dalam Era Demokrasi


Internet bukanlah hal baru dalam dunia komunikasi, jenis media ini masuk kedalam kategori new media yang salah satu fungsinya ialah menyampaikan pesan informasi melalui media internet berupa email, live streaming, mailing list, ataupun telepon genggam. Salah satu karakteristik dari new media adalah kecepatannya dalam menyampaikan informasi dibandingkan media cetak ataupun elektronik. Melalui salah satu bagiannya yaitu media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter serta dukungan telepon pintar membuat orang kapan saja dan dimana saja dapat mengakses serta menyebarkan informasi secara lebih cepat. Kehadiran media sosial tersebut beserta dukungan kecanggihan alat komunikasi membuat interaksi masyarakat di dunia semakin cepat dan up to date sehingga memiliki makna tersendiri dalam arus demokrasi. Mengingat sebagaimana dikemukakan Lesie D. Simon dkk dalam bukunya demokrasi dan internet : Kawan atau Lawan bahwa internet dilahirkan dengan semangat anti-otoritarian dengan keyakinan bahwa net akan memfasilitasi nilai-nilai demokratik seperti kebebasan mengungkapkan pendapat dan berserikat. Dikatakan dalam buku tersebut bahwa kelahiran internet sendiri pada awalnya sebagai alat instrumen bagi departemen pertahanan AS, namun orang-orang yang mendesain dan

mempelopori hardware dan software kebanyakan adalah para intelektual yang muncul pada masa hippe, berpandangan anti-kemampanan dan berjiwa bebas. Seperti John Postel, Jhon Perry Barlow, Mitch Kapor dan Steve Jobs. Sementara timing kepopulerannya sejak akhir 1980-an sampai dengan era 1990-an, berbarengan dengan berakhirnya Perang Dingin dan bangkitnya demokrasi di negara-negara dimulai dari Eropa Timur sampai Amerika Latin. Jadi, bagi sebagaian besar pengamat tampak bahwa Net dan demokrasi saling bergandengan. Sehingga internet menjadi media alternatif untuk memberikan informasi/berita kepada massa apalagi dengan dukungan telepon pintar membuat informasi dan pesan kepada massa semakin cepat tersampaikan dan juga merupakan salah satu pendukung utama bagi berjalannya demokrasi si seluruh belahan dunia. Media berita adalah pilar demokrasi, dengan catatan harus memberi ruang dialog bagi publik, bukan hanya menyampaikan hasil demorasi melalui berita saja, tetapi melibatkan publik dalam proses demokrasi. Benjamin Barber dalam Which Technology and Which Democracy mengungkapkan bahwa internet menawarkan sebuah alternatif komunikasi untuk massa saling berkomunikasi dan bersuara tanpa perantara elit politik sehingga ada wacana menentang pola komunikasi hirarkis dalam politik dengan demikian new mediamendorong demokrasi secara langsung. Melalui pesannya yang begitu cepat tersebar melalui telepon pintar membuat dialog antara massa yang terjalin begitu kuat sehingga institusi politik terkadang terlewatkan oleh proses ini. Secara demokratis proses ini mungkin sangat efektif untuk menjalin relasi yang kuat antara masyarakat sipil sehingga peran institusi politik yang terkadang korup dan elitis tersebut terlimitasi oleh komunitas virtual. Dalam komunitas ini massa bisa saling berinteraksi satu sama lain tanpa takut ekspresi dirinya tidak diakomodir oleh politisi atau pemangku kebijakan.

Pelajaran untuk Indonesia


Kelahiran internet tersebut juga mampu menjangkau Indonesia yang tengah menganut sistem demokrasi. Kebangkitan media online di Indonesia sendiri diawali tahun 1995 yang ditandai dengan hadirnya: Republika.co.id, Kompas.com, Tempointeraktif.com (kini Tempo.co) dan Kemudian pada tahun 1998, media online terus bertambah yang ditandai hadirnya: Detik.com. Tahun selanjutnya, media online makin tumbuh. Bahkan pada 2003

semakin menggeliat yang ditandai hadirnya media online baru, antara lain: Okezone.com, Vivanews.com, Inilah.com, dan Antaranews.com. Media online seperti Detik.com, Kompas.com, Tempo.co, Kapanlagi.com Bagi Indonesia, fenomena demonstrasi yang termediasi oleh media internet serta peran media sosial yang mempengaruhinya bisa menjadi peringatan bagi para elit di negeri ini. Karena sudah ada bukti internet telah menjadi ruang alternatif demokrasi bagi masyarakat yakni Koin untuk Prita, ketika pengumpulan koin untuk Prita ketika menghadapi masalah dengan rumah sakit Omni, dukungan ini mendapat partisipasi luas di masyarakat. Lalu Indonesian Unite. Ada banyak lagi kasus dan kejadian di Indonesia yang menggunakan saluran internet sebagai ruang ekspresinya, karena ada sebagian yang menganggap bahwa melalui ruang media ini maka terjalin komunikasi yang partisipatif antara masyarakat dan ini merupakan suatu tantangan bagi para elit politik di Indonesia. Oleh karena itu, kapan dikatakan bahwa media massa dalam hal ini internet mampu menjalankan proses demokrasi di Indonesia. Apakah ketika portal berita memberi ruang atau space pada para pembacanya untuk berkomentar? Atau apakah ketika portal-portal online menyediakan kanal khusus bagi para pembacanya untuk menuliskan berbagai aspek bidang kehidupan yang tidak terbatas? Atau ketika situs media online mengangkat hasil tulisan atau pendapat masyarakat dalam sebuah beritapernahkah itu terjadi? Sebagaimana dalam buku demokrasi dan internet : Kawan atau Lawan Lesli memberikan kesimpulan bahwa teknologi dan pranata yang mendahului internet- mesin cetak, jasa pos, telepon, siaran radio, komputer- telah dipakai baik untuk kebaikan maupun kejahatan. Meski lawan-lawan demokrasi telah menggunakan semua teknologi tersebut dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi, masing-masing inovasi itu telah membantu memodernkan masyarakat di seluruh dunia dan mempercepat pertumbuhan demokrasi. Komunikasi antar banyak orang, menyebarkan informasi, dan mengembangkan pendidikan, semuanya telah melangkah lebih jauh ketimbang upaya-upaya dari penguasa otoriter untuk menjadikannya sebagai alat represi. Indonesia memiliki komunitas Facebook terbesar kedua di dunia, dan pengguna ketiga terbesar untuk Twitter, dan juga rumah bagi jutaan blog dengan segala macam topik: fotografi, politik, agama, olahraga, dan fashion, yang merupakan topik-topik umum yang

dibaca dan ditulis.

Internet telah menjadi ruang publik paling utama di abad ke-21--telah menjadi tempat bertemu bagi seluruh warga dunia. Bangsa Indonesia hidup di negara bebas di mana undangundang dasar menjamin kebebasan individu seperti kebebasan berkumpul, berhimpun, dan berekspresi. Oleh sebab itu Indonesia tidak mengenal jenis kelamin, agama, etnis, atau latar belakang ekonomi untuk memiliki akses Internet secara terbuka yang akan digunakan untuk mendapatkan informasi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul bersama-sama secara online.

Warga-warga dari seluruh dunia temauk Indonesia setiap hari bertemu dan saling berhubungan lewat Internet untuk melihat berita dan bertukar informasi tentang apa yang terjadi di dunia atau untuk menjamin agar suara mereka didengar.

Dampak-Dampak Demokrasi dari Media Internet di Dunia


1. Jumat malam, 14 Januari 2011, Zine al-Abidine Ben Ali dan keluarganya

terbang dengan jet menuju Saudi Arabia. Presiden Tunisia itu melarikan diri,

meninggalkan negaranya dalam kondisi carut-marut oleh demontrasi melawan rezim yang ia pimpin selama 32 tahun. Tiran itu jatuh setelah sebulan unjuk rasa massal berdarah yang dipicu oleh aksi bakar diri Mohamed Bouazizi, tukang sayur miskin yang tak kuasa melawan kesewang-wenangan polisi yang merampas dagangannya. Untuk mengatasi unjuk rasa nasional itu, sebagaimana rezim penguasa lain, Ben Ali mengendalikan semua media konvensional, baik itu koran, radio maupun teve. Bahkan rezimnya juga menteror wartawan yang meliput demo. Internet pun diawasi ketat, situs-situs yang dianggap berbahaya dan melawan diblokir. Beberapa situs jejaring sosial, terutama video sharing seperti Dailymotion dan Youtube, juga diblokir. Namun, entah kenapa, Facebook justru tidak diblokir. Via jejaring sosial itulah perlawanan digalang, sehingga mendapat dukungan dari banyak pengunjuk rasa lain dan dari aktivis pro demokrasi di luar negeri. Penyebaran informasi, penggalangan aksi yang masif via social media dan jatuhnya rezim Ben Ali setelah 23 tahun berkuasa inilah yang kemudian menimbukan asumsi bagi para penganut faham cyberutopianism: Yang terjadi di Tunisia merupakan Revolusi Twitter pertama di dunia

2.

The Berkman Center for Internet Society di Harvard University mensponsori

telaah tentang bagaimana pengaruh Internet terhadap demokrasi. Paper pertama mengenai Online Citizen Jurnalism dengan studi kasus media terkenal di Korea: OhMyNews.com, yang digerakkan oleh jurnalis warga, bukan jurnalis profesional. Para jurnalis warga ini setiap hari menulis berita di OhMyNews.com selayaknya jurnalis profesional. Tak seperti media tradisional seperti radio, cetak dan tv yang seringkali dikontrol dan disensor pemerintah tiran, jurnalis warga yang dibuat di online tak bisa diintervensi pemerintah. Itu sebabnya, jurnalis warga online ini seringkali mengisahkan hal-hal yang tak (berani) dimuat di koran, radio dan tv, sehingga memberi warna yang berbeda dari suara resmi pemerintah. Contoh nyata terjadi di Korea Selatan. Situs berita berbasis juranis warga (user generated content) OhMyNews.com mempengaruhi pemilihan presiden Korea Selatan pada tahun 2002.

3.

Membahas Orange Revolution di Ukraina yang terjadi pada tahun 2004.

Joshua Goldstein dalam telaahnya yang berjudul The Role of Digital Networked Technologies in the Ukrainian Orange Revolution yang diterbitkan The Berkman

Center for Internet & Society menyodorkan narasi menarik bahwa Revolusi Ukrainia tahun 2004 dimungkinan oleh Internet. Di musim dingin November 2004, ratusan ribu rakyat Ukraina melakukan demo damai, menuntut pemilu ulang karena pemilu sebelumnya dianggap curang dan mendudukkan Victor Yanukovych, kader rezim presiden sebelumnya, Leonid Kuchma, sebagai presiden baru. Kandidat presiden yang diusung oleh rakyat banyak, Victor Yuschenko, ternyata gagal menjadi presiden. Merasa dicurangi, rakyat menuntut pemilu ulang, dan akhirnya Yuschenko terpilih sebagai presiden baru. Revolusi itu disebut sebagai Orange Revolution sesuai warna kampanye My Ukrine Yuschenko. Meski tidak disebut sebagai Digital Revolution atau Internet Revolution, Michael McFaul mencatatnya sebagai revolusi pertama di dunia yang digalang besarbesaran via online. Hampir semua alat digital digunakan untuk revolusi, mulai dari SMS, media online independen, hingga forum diskusi online. Catatan: pada 2004 social media seperti Facebook dan Twitter belum populer di seluruh dunia.

4.

Selain Ukraina, yang menjadi perhatian The Berkman Center for Internet &

Society adalah peran blogger dalam demokrasi di di Iran tahun 2007. John Kelly dan Bruce Etling menulis telaah berjudul Mapping Irans Online Public: Politics and Culture in the Persian Blogosphere. Mereka menggunakan computational social network mapping yang digabung dengan human and automated content analysis untuk menganalisa blogger Iran. Hasilnya mengejutkan. Semula banyak yang mengira bahwa blogger Iran didominasi oleh anak muda yang menyuarakan kekecewaan mereka kepada rezim. Faktanya, topik yang ditulis blogger Iran sangat bervariasi, mulai dari topik sekular, puisi, hak asasi manusia, kultur pop dan agama. John Kelly dan Bruce Etling membagi blogger Iran dalam empat kategori. Pertama sekuler/reformis yang terdiri dari ekspatriat dan warga Iran yang terlibat dalam dialog politik. Blogger yang biasa bersuara keras terhadap pemerintah, biasanya pakai akun anonim, agar tidak dipenjara. Kedua, konservatif/religius, yang membahas tiga hal: agama, politik dan isu-isu terbaru. Ketiga, puisi dan literatur. Keempat, kombinasi ketiganya. Penyebaran konten via blog, keterkaitan antara satu blog dengan blog lainnya, dan diskusi intens di komentar-komentar ini ditengarai berpengaruh besar membuka

wacana demokrasi bagi rakyat Iran. Pemerintah sendiri tidak terlalu semangat memblokir blog-blog ini sehingga mudah diakses rakyat Iran dalam negeri maupun luar negeri. Inilah yang kemudian, dugaan saya, menjadi salah satu faktor protes berdarah terhadap pemilu Iran tahun 2007 yang informasinya kemudian menyebar cepat ke seluruh dunia via Twitter. Dalam beberapa hari, pemilu Iran merajai trending topic (topik yang paling banyak dibicarakan di seluruh dunia) di Twitter. Meski Twitter kemudian diblok oleh rezim Iran, para ekspatriat di Iran masih bisa membanjiri informasi kekerasan pemilu Iran via Twitter sehingga dapat dukungan dari kalangan internasional. Namun revolusi tak terjadi. Rakyat Iran lebih mencintai presidennya, Mahmoud Ahmadinejad daripada aktivis pro demokrasi yang didukung pihak asing via Twitter di seluruh dunia. Dukungan internasional via Twitter ternyata tidak menyingkirkan penguasa. Nah, ketika peran sentral jejaring sosial termasuk Twitter dan Facebook di revolusi Tunisia yang meruntuhkan Ben Ali terlihat nyata, social media pun dianggap sebagai senjata menakutkan negara tetangga. Protes rakyat terhadap rezim penguasa di Tunisia akhirnya merembet juga di Mesir dalam tempo cepat dengan senjata yang sama: Twitter dan jejaring sosial lain. Apakah Mesir akan menjadi negara Revolusi Twitter kedua di dunia? Hingga tulisan ini dibuat, Husni Mubarak masih berusaha keras bertahan di tahta presiden yang sudah ia genggam selama 32 tahun, meski protes yang melibatkan jutaan rakyatnya sudah memakan ratusan korban jiwa dan perang antara pendukung dan penentangnya merebak di mana-mana. Jika Mubarak jatuh, tersingkir oleh revolusi yang dipersenjatai Twitter, maka semakin kuat peluru argumentasi penganut faham Revolusi Twitter. Apapun perdebatan para ahli, banyak negara sudah melihat Twitter dan jejaring sosial lain berbahaya. Mesir sempat memblokir Twitter, Facebook, bahkan mematikan Internet untuk meredam protes yang terus mengalir deras hingga awal Februari ini. China, yang sejak awal sudah mengontrol Internetnya, termasuk memblokir berbagai situs yang dianggap memusuhi pemerintah dan menutup akses Twitter bagi 350 juta pengguna Internetnya, mulai memblokir kata kunci Egypt di semua search engine yang bisa diakses di China. Setelah revolusi di Tunisia menular di Mesir, pemerintah China menutup semua informasi tentang pergolakan di Negeri Sungai Nil itu agar tidak memicu para aktivis pro demokrasi di China melakukan yang sama.

Social media sangat berbeda dengan media komunikasi sebelumnya, termasuk SMS. Pesan pendek, yang disebut-sebut turut berperan dalam revolusi di Filipina, tidak memiliki keterhubungan sosial serumit Twitter, apalagi Facebook. Di Twitter, penyebaran informasi secepat SMS, namun memiliki kelebihan tertaut dengan informasi lain seperti blog, berita, maupun website penting. Twitter juga memiliki kelebihan Trending Topics yang bisa dilihat bukan hanya oleh pengguna di negaranya, tetapi juga di luar negeri, sehingga bisa menaikkan isu lokal, menjadi nasional, dan kemudian menjadi internasional. Ini terlihat dalam kasus Tunisia. Semula lalulintas Twitter masih membahas Mohamed Bouazizi, lalu berkembang menjadi Sidi Bouzid (tempat unjuk rasa pertama) dan memuncak menjadi Tunisia. Begitu menjadi Tunisia, dunia tahu apa yang terjadi di negara itu, dan para simpatisan global pun bergerak membantu, termasuk dengan menyerang situs-situs pemerintah Tunisia.

Pilihan Solusi
Pertama, kebebasan dan keamanan terlalu sering dipandang sebagai sesuatu yang saling berdiri sendiri, tetapi kita harus mempunyai keduanya, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Kita diperingatkan setiap hari akan janji sekaligus bahaya era informasi. Kita harus memiliki keamanan yang cukup untuk mewujudkan kebebasan, tetapi jangan terlalu banyak, hingga akan membahayakan kebebasan. Dalam menyeimbangkan antara kebebasan dan keamanan, tolok ukurnya adalah aturan hukum. Kepatuhan kita pada aturan hukum tidak hilang begitu saja di dunia maya Bukan rahasia lagi bahwa keamanan sering dijadikan pembenaran untuk menghancurkan kebebasan Internet. Pemerintahan yang menangkapi para blogger, yang mencampuri kegiatan warganya, dan yang membatasi atau menutup akses ke informasi dengan alasan menjaga keamanan tidaklah dibenarkan. Membungkam gagasan tidak akan membuat gagasan itu hilang. Kedua, kita wajib melindungi baik transparansi maupun kerahasiaan. Transparansi itu penting. Kita bisa dan harus memberikan warga negara informasi mengenai pemerintah mereka dan membuka pintu bagi mereka untuk berbisnis yang dulunya tertutup bagi sebagian besar orang. Namun, kerahasiaan juga merupakan hal yang penting.

Kerahasiaan menjaga kemampuan organisasi dan pemerintahan dalam menjalankan misi mereka dan dalam melayani kepentingan masyarakat. Pemerintahan memang memiliki standar yang lebih tinggi dalam menjaga kerahasiaan karena mereka melayani kepentingan masyarakat.

Akan tetapi, semua pemerintahan menerapkan derajat kerahasiaan tertentu ketika menangani masalah-masalah seperti keselamatan umum dan keamanan nasional. Sebagai contoh, tidaklah wajar untuk mempublikasikan detail perundingan sensitif antarnegara tentang bagaimana menempatkan dan membuang bahan nuklir, atau bagaimana memerangi kekerasan oleh mafia narkoba

Ketiga, kita harus berusaha untuk melindungi kebebasan berekspresi, dan pada saat yang sama memupuk toleransi. Sama seperti alun-alun kota, Internet adalah rumah bagi setiap jenis pidato: palsu, ofensif, konstruktif dan inovatif. Dengan populasi online lebih dari dua milyar yang berkembang pesat, sifat dan variasi pidato-pidato secara online juga akan berkembang.

Tidak dapat dipungkiri, sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua orang memiliki hak untuk bebas berekspresi. Tantangannya adalah untuk memenuhi komitmen kebebasan berekspresi secara online dengan menekankan pentingnya manfaat Internet untuk memajukan toleransi dan perdamaian.

KESIMPULAN
Internet dan Demokrasi adalah sesuatu hal yang tidak mungkin untuk dipisahkan dijaman modern seperti ini. Keduanya berjalan beriringan sesuai perkembangan jaman dan perkembangan idelogi. Masing-masing saling memberikan dampak positif dan negative dalam perjalanan kehidupan seperti pemberontakan di Tunisia, lalu yang terjadi di Iran dan masih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai