Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (sindrom VKH) merupakan kelainan multisistemik yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa dan ablasio retina eksudatif yang sering berhubungan dengan manifestasi neurologi, pendengaran dan kulit.1 Nama Vogt, Koyanagi, dan Harada diambil dari nama-nama pasien yang berumur sekitar 20 tahunan dengan uveitis bilateral, ablasio retina eksudatif, kelainan neurologi, dan kelainan pada kulit. Walaupun terdapat perbedaan pada pasien-pasien tersebut, manifestasi klinis menunjukkan spektrum penyakit, dan beberapa ahli akhirnya menamainya dengan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada.2 Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada merupakan penyakit yang jarang, namun merupakan salah satu dari bentuk uveitis yang paling sering diderita pada ras-ras berkulit gelap, seperti Asia, Hindia Asia, Spanyol, Amerika asli, dan Timur Tengah. Di Jepang sindrom Vogt-Koyanagi-Harada mengenai sekitar 7-8% dari seluruh pasien uveitis, sedangkan kurang lebih 4% dari uveitis di Amerika Serikat. 2 Manifestasi klinis sindrom Vogt-Koyanagi-Harada yang luas meliputi kelainan okuler, neurologi, pendengaran dan kulit membuat penegakan diagnosis menjadi lebih sulit, terutama pada fase prodormal. Sehingga pengetahuan lebih lanjut mengenai sindrom VKH ini dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan dan penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat.

1.2. Tujuan Tujuan dari telaah ilmiah ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diagnosis dan penatalaksanaan pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Traktus Uvealis Traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, corpus siliar, dan koroid.3,4 Iris Iris adalah perpanjangan corpus siliaris ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dengan bili mata belakang, yang masing-masing berisi aquos humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke anterior.4 Pendarahan iris didapat dari sirkulus mayor iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluresens yang disuntikkan secara intravena. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut nervi ciliares.4 Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.4

Gambar 1. Tampilan posterior corpus siliaris, zonula, lensa, dan ora serata

Corpus siliaris Corpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke

pangkal iris (sekitar 6 mm). corpus siliaris terdiri atas zona posterior yang datar, yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Prosesus ciliaris berasal dari pars plicata, yang terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresens yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapisan epitel siliaris, yaitu satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aquos humor.4 Musculus siliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi Zonula Zinni, yang berorigo di lembah-lembah diantara prosesus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai

focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapang pandang. Serat-serat longitudinal musculus siliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar pori-porinya. Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi corpus siliaris berasal dari circulus arteriosus major iris.3,4

Gambar 2. Sudut bilik mata depan dan struktur disekitarnya

Koroid Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Koroid

tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan disebelah luar oleh sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus siliaris.4

Gambar 3. Potongan melintang koroid

2.2. Anatomi Retina Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya.3 Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus siliaris dan berakhir pada ora serata. Pada orang dewasa, ora serata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Swhalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Lapisan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah sehingga dapat terbentuk tuang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Namun pada disku optikus dan ora serata, epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid, dan sklera, yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian, ablasi koroid dapat meluas melampaui ora serata, dibawah pars plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan
6

corpus siliaris dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan pitel pigmen retina ke anterior.4 Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi luarnya, terdiri atas: Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina yang terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid. Lapis plexiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina setralis. Lapis plexiform dalam, merupakan lapis aseluler tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah nervus optikus. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina

- Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan humor
vitreus .

Gambar 4. Potongan melintang lapisan retina

Retina mempunyai ketebalan 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Macula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning (xantofil). Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa diserai lapisan

parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah macula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang optimal. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong cenderung paling besar di macula. Penyakit yang menyebabkan tumpukan bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah ini (edema macula).4,5

Gambar 5. Retina

Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu koriokapilaris yang beraa tepat di luar membrane Bruch, yang memperdarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lpisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteri centralis retinae, yang memperdarahi dua pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya diperdarahi oleh koriokapilaris dan rentan

terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubanglubang. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.

2.3. Sindrom Vogt Koyanagi Harada 2.3.1. Definisi Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) adalah kumpulan gejala yang diduga disebabkan reaksi autoimun yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa yang difus, kronis, dan bilateral, yang disertai kelainan pada kulit, neurologi, dan pendengaran.1

2.3.2. Epidemiologi Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada lebih sering mengenai orang berkulit gelap (Asia, Hindia Asia, Spanyol, Amerika asli, dan Timur Tengah) dan jarang pada orang kulit putih. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada juga jarang pada orangorang Afrika Sahara, hal ini menunjukkan bahwa faktor pigmentasi kulit mungkin berperan pada patogenesis sindrom VKH ini. Insidensi sindrom VKH bervariasi secara geografis, kurang lebih 4% dari uveitis di Amerika Serikat dan 7-8% di Jepang. Di Brazil dan Arab Saudi, sindrom VKH merupakan penyebab utama uveitis non infeksi.1 Wanita lebih banyak menderita sindrom VKH daripada pria dengan perbandingan 2:1, kecuali pada populasi Jepang. Umur onset terjadinya sindrom Vogt-Koyanagi-Harada ini berkisar 3-39 tahun, dengan paling banyak terjadi pada umur 20 tahunan.1,2

10

2.3.3. Etiopatogenesis Etiologi dan patogenesis pasti dari sindrom VKH belum diketahui, namun penelitian klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa proses cell-mediated autoimun yang di perantarai sel limfosit T secara langsung menyerang melanosit dari semua sistem organ pada individu yang rentan secara genetik. Sel T helper1 dan peningkatan regulasi interleukin-2, interleukin-6 dan interferon gamma memegang peranan penting dalam patogenesis sindrom VKH. Sindrom VKH juga berhubungan dengan kelainan autoimun lain, seperti autoimmune poliglandular syndrome type 1, hypothyroidism, ulcerative colitis and diabetes mellitus.1,6 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa interleukin-23 memegang peran dalam mengembangkan dan mempertahankan proses autoimun dengan

menginduksi diferensiasi interleukin-17 yang memproduksi limfosit T helper CD+4. Sensitisasi peptida antigen melanositik oleh kerusakan cutaneus atau infeksi viral diduga sebagai kemungkinan pencetus dari proses autoimun tersebut. Tyrosinase atau protein terkait tyrosinase, sebuah protein 75-kDa yang tidak teridentifikasi, dan protein S-100 merupakan antigen target pada melanosit.1 Predisposisi genetik untuk perkembangan penyakit dan patogenesis disregulasi imun selanjutnya didukung oleh asosiasi yang kuat dengan HLA-DR4 pada pasien-pasien Jepang dengan sindrom VKH; risiko terkait hubungan dengan HLA-DRBI *0405 dan HLA-DRBI *0410 haploid. Diantara pasien-pasien sindrom VKH di Spanyol dan California Selatan, 84% ditemukan mempunyai haploid HLA-DRI atau HLA-DR4, dengan risiko relatif lebih tinggi untuk menderita sindrom VKH.1,2,7 2. 3.4. Manifestasi Klinis Gambaran klinis sindrom VKH bervariasi tergantung dari stadium sindrom VKH. Ada empat stadium pada sindrom VKH, yaitu stadium prodormal, uveitis akut, pemulihan, dan rekuren kronis. Pada stadium prodormal terdapat gejala-gejala seperti flu atau infeksi virus. Pasien mengeluh sakit kepala, mual, meningismus, disakusia, tinnitus,

demam, nyeri orbita, fotofobia, dan hipersensitivitas pada kulit dan rambut

11

beberapa hari sebelum timbul onset gejala-gejala ocular. Adanya tanda neurologi fokal, meliputi neuropati cranial, hemiparese, afasia, myelitis transversal, dan ganglionitis. Analisis cairan cerebrospinal menunjukkan pleositosis limfositik dengan kadar glukosa yang normal pada lebih dari 80% pasien, hal ini mungkin bertahan hingga 8 minggu. Masalah pendengaran didapatkan pada 75% pasien, biasanya timbul bersamaan dengan onset gejala-gejala ocular. Disakusia meliputi tinnitus frekuensi tinggi yang terjadi pada sekitar 30% pasien di awal perjalanan penyakit, biasanya sembuh dalam 2-3 bulan, walaupun demikian defisit persisten mungkin dapat terjadi.1,7 Stadium uveitis akut ditandai dengan penurunan tajam penglihatan yang perlahan pada kedua mata, 1-2 hari setelah onset kelainan system saraf pusat, dan ditandai dengan adanya uveitis anterior granulomatosa bilateral, berbagai derajat vitritis, penebalan koroid posterior dengan peningkatan lapisan koroid retina peripapiler, hiperemia dan edema nervus optikus, serta ablasio retina serosa multipel. Fokal ablasio retina serosa sering dangkal, dengan pola cloverleaf (daun semanggi) disekitar kutub posterior, dan mungkin menyatu dan menjadi ablasio eksudatif bulosa yang besar. Kehilangan penglihatan profunda mungkin terjadi pada fase ini. Walaupun jarang terjadi, pada fase uveitis akut bisa terdapat mutton fat keratic precipitate (KP) dan nodul iris di pinggir pupil. Bilik mata depan dangkal dan tekanan intraokuler meningkat karena penekanan kedepan iris dan lensa oleh edema corpus siliaris atau ablasi koroid anularis, atau malah tekanan intraokuler dapat menurun akibat sekunder dari kerusakan corpus siliaris.1, 8

12

Gambar 6. Hiperemia diskus dan ablasio retina serosa multiple pada kutub posterior mata kiri dari pasien pada stadium uveitis akut sindrom Vogt-KoyanagiHarada

Gambar 7. Ablasio retina eksudatif bulosa pada stadium uveitis akut sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Stadium pemulihan terjadi beberapa minggu kemudian dan ditandai dengan penyembuhan ablasio retina eksudatif dan depigmentasi koroid yang bertahap, sehingga pada fundus dapat terlihat diskolorasi klasik merah-oranye, atau sunset glow fundus. Dapat juga ditemukan lesi depigmentasi diskret, bulat, kecil di inferior fundus perifer dan depigmentasi juxtapapiler. Vitiligo perilimbus (tanda Sugiura) ditemukan pada 85% pasien Jepang namun jarang pada pasien kulit putih. Perubahan pada kulit, termasuk vitiligo, alopesia, dan poliosis, biasanya muncul selama stadium pemulihan pada sekitar 30% pasien dan berhubungan dengan perkembangan depigmentasi fundus. Secara umum, perubahan pada kulit dan rambut terjadi dalam beberapa minggu atau bulan setelah onset inflamasi ocular, tetapi pada beberapa kasus dapat muncul secara bersamaan. Antara 10-63% pasien mengalami vitiligo, tergantung pada latar belakang etnis, dengan insiden manifestasi kulit dan ekstraokuler lainya rendah diantara pasien-pasien Spanyol.1,7

13

Gambar 8. Sunset glow fundus appearance dengan ablasi juxtapapiler pada stadium pemulihan sindrom VKH

Gambar 9. Lesi chorioretina punch-out inferior perifer multiple menunjukkan nodul Dalen-Fuchs yang telah sembuh pada stadium kronis sindrom VKH

Gambar 10. Vitiligo perilimbus pada tanda Sugiura

Stadium rekuren kronis ditandai dengan uveitis anterior granulomatosa yang berulang, KP, sinekia posterior, nodul iris, depigmentasi iris, dan atrofi stroma. Kelainan segmen posterior yang berulang (vitritis, papilitis, koroiditis
14

multifocal, dan ablasio retina eksudatif) dapat terjadi namun jarang pada stadium ini. Kelainan segmen anterior yang berulang dapat terjadi bersamaan dengan inflamasi koroid subklinis. Katarak subkapsular posterior, glaukoma, dan fibrosis subretina dapat terjadi pada stadium ini.1,7

Gambar 11. Vitiligo pada palpebra superior dan poliosis pada stadium rekuren kronis sindrom VKH

Gambar 12. Lesi kulit pada sindrom VKH

2.3.5. Klasifikasi Berdasarkan manifestasi klinis, menurut American Uveitis Society (1978), sindrom Vogt-Koyanagi-Harada dibagi menjadi complete VKH syndrome, incomplete VKH syndrome, probable VKH syndrome.1

Complete VKH syndrome I. Tidak ada riwayat trauma penetrasi okuler atau pembedahan

15

II. Tidak ada manifestasi klinis atau laboratorium adanya penyakit okuler atau sistemik lain III. Penyakit meliputi okuler bilateral

Serta terdapat A atau B dibawah ini: A. Manifestasi awal 1. Koroiditis difusa, dengan manifestasi: a. adanya fokal area yang berisi cairan subretina b. ablasi subretina serosa bulosa

2. Manifestasi fundus equivocal: a. Angiografi fluoresens menunjukkan fokal area perfusi koroid terlambat, kebocoran pinpoint multipel, area hiperfluorosens placoid yang besar, genangan cairan subretina, and pewarnaan nervus optikus. b. Ultrasonografi menunjukkan penebalan koroid yang difus tanpa adanya skleritis posterior

B. Manifestasi lanjut 1. Riwayat sama seperti IIIA, dan terdapat 2 dan 3 dibawah ini, atau tandatanda multipel dari 3

2. Depigmentasi ocular a. Sunset glow fundus appearance , atau b. Tanda Sugiura

3. Tanda okuler lain a. Scar depigmentasi korioretinal nummular, atau b. Epitel pigmen retina clumping dan/atau migrasi, atau c. Uveitis anterior kronis atau berulang

16

IV. Manifestasi neurologi/auditori (bisa saja sudah sembuh saat pemeriksaan dilakukan) A. Meningismus B. Tinnitus C. Pleositosis cairan cerebrospinal

V. Manifestasi Kulit (Tidak mendahului penyakit system saraf penyakit okuler) A. Alopecia B. Poliosis C. Vitiligo

pusat atau

Incomplete VKH syndrome Kriteria I sampai III dan IV atau V di atas

Probable VKH syndrome Kriteria I sampai III diatas harus ada Isolated ocular disease

2.3.6. Diagnosis Secara klinis diagnosis sindrom VH dapat ditegakkan dengan adanya tanda ablasio retina eksudatif selama fase akut dan sunset glow fundus appearance selama fase kronik, yang merupakan gambaran yang spesifik untuk sindrom VKH. Pada pasien yang tidak menunjukkan adanya perubahan ekstraokuler, angiografi fluoresens, angiografi ICG, OCT (Optical Coherence Tomography), pungsi lumbal, dan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan penunjang yang bermanfaat. Selama stadium uveitis akut, angiografi fluoresens menunjukkan multipel pungta hiperfluorosens di epitel pigmen retina pada stadium awal diikuti dengan genangan zat pewarna di ruang subretina pada area ablasi neurosensori. Sebagian besar pasien menunjukkan kebocoran diskus, namun jarang terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Pada stadium pemulihan dan rekuren

17

kronis, kehilangan dan atrofi fokal epitel pigmen retinal menghasilkan defek ruang hiperfluoresens multipel tanpa pewarnaan yang progresif.1, 9 Angiografi ICG terutama untuk melihat patologi koroid, perfusi pembuluh darah koroid, hiperfluoresen dan kebocoran pembuluh darah stroma koroid, serta hiperfluoresen diskus.1 USG membantu dalam menegakkan diagnosis, terutama bila terdapat kekeruhan media refraksi. Manifestasi meliputi penebalan koroid posterior, terutama di area peripapiler dengan perluasan regio ekuator; ablasio retina eksudatif, kekeruhan vitreous, dan penebalan posterior sklera.1, 9 OCT berguna dalam mendiagnosis dan monitoring ablasio macular serosa dan membran neovaskuler koroid. Kombinasi penggunaan pencitraan FAF dan SD-OCT menyediakan penilaian epitel pigmen retina dan perubahan bagian luar retina yang noninvasif pada pasien dengan sindrom VKH yang mungkin tidak tampak pada pemeriksaan klinis.1 Pada kasus-kasus atipik, khususnya pasien yang yang menunjukkan

manifestasi awal dari penyakit dengan tanda neurologis banyak dan manifestasi okuler yang sedikit, pungsi lumbal berguna secara diagnostik. Pada pungsi lumbal dapat terlihat pleositosis limfositik, namun bagaimanapun, pada mayoritas kasus, riwayat dan pemeriksaan klinis yang ditunjang dengan angiografi fluoresens dan/atau ultrasonografi cukup untuk menegakkan diagnosis.1

2.3.7. Diagnosis Banding Diagnosis banding sindrom VKH adalah sympathetic ophthalmia, AMPPE (Acute Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy), sindrom efusi uvea, skleritis posterior, limfoma intraokuler primer, infiltrasi limfoid uvea, dan sarcoidosis.1,7 Sympathetic ophthalmia dibedakan dengan sindrom VKH dengan adanya riwayat trauma atau operasi dan tidak meliputi kelainan sistemik pada penyakit sympathetic ophthalmia. Pada AMPPE gambaran oftalmoskopi dan angiografi fluorosens hamper sama namun inflamasi vitreous lebih sedikit dan tidak melibatkan segmen anterior.2, 10

18

2.3.8. Penatalaksanaan Stadium akut sindrom VKH berespon dengan baik terhadap terapi kortikosteroid, agen-agen siklopegik dan midriatik yang dini dan agresif. Dosis inisial untuk oral prednisone adalah 1-1,5 mg/kg/hari atau 200 mg metilprednisolon intravena untuk 3 hari diikuti dengan kortikosteroid oral dosis tinggi. Pada pasien yang intoleran terhadap steroid sistemik, dapat diberikan kortikosteroid intravitreal, misalnya implan fluosinolon asetonid intravitreal. Dosis kortikosteroid sistemik harus diturunkan secara perlahan tergantung dari respon klinis, kira-kira sekitar 6 bulan, hal ini untuk mencegah progresivitas penyakit menjadi stadium kronis rekuren dan untuk meminimalisir insiden dan keparahan manifestasi ekstraokuler. Walaupun terapi awal dengan kortikosteroid sudah adekuat, biasanya masih banyak pasien yang mengalami episode inflamasi yang berulang sehingga para ahli memilih untuk memulai terapi imunosupresan seperti siklosporin, azathioprine, myccophenolate mofetil, chlorambucil,

siklofosfamid, dan infliximab lebih awal. Hal ini dilakukan untuk mengontrol inflamasi dan membantu penurunan dosis kortikosteroid lebih cepat.1, 2, 8

2.3.9. Prognosis Prognosis visual pada pasien yang diterapi secara adekuat dengan kortikosteroid dan imunosupresan adalah hingga 70% pasien mencapai tajam penglihatan setidaknya 20/40.1, 7

2.3.10. Komplikasi Komplikasi sindrom VKH meliputi kehilangan penglihatan, katarak

(pada 50% pasien), glaucoma (pada 33% pasien), fibrosis subretina. Komplikasi ini lebih besar kemungkinannya untuk terjadi seiring dengan lamanya durasi penyakit, seringnya kekambuhan, dan usia saat onset penyakit.1, 2

19

BAB III KESIMPULAN

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) adalah kumpulan gejala yang diduga disebabkan reaksi autoimun yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa yang difus, kronis, dan bilateral, yang disertai kelainan pada kulit, neurologi, dan pendengaran. Sindrom VKH disebabkan karena adanya reaksi cell-mediated autoimun yang diperantarai oleh sel limfosit T pada seseorang yang rentan secara genetik. Sel limfosit ini menyerang melanosit pada semua organ. Sensitisasi peptida antigen melanositik oleh kerusakan cutaneus atau infeksi viral diduga sebagai kemungkinan pencetus dari proses autoimun tersebut. Adanya hubungan sindrom VKH ini dengan melanosit, sehingga sindrom VKH lebih sering mengenai orangorang berkulit gelap daripada orang kulit putih. Ada empat stadium pada perjalanan sindrom VKH, yaitu stadium prodormal (seperti gejala infeksi virus), uveitis akut (uveitis bilateral difusa dengan papilitis dan ablasio retina eksudativa), pemulihan (depigmentasi jaringan), dan rekuren kronis (uveitis rekuren dan komplikasi okuler). Berdasarkan manifestasi klinisnya, sindrom VKH juga dibagi menjadi complete VKH syndrome, incomplete VKH syndrome,dan probable VKH syndrome. Secara klinis diagnosis sindrom VKH dapat ditegakkan dengan adanya tanda ablasio retina eksudatif selama fase akut dan sunset glow fundus appearance selama fase kronik, yang merupakan gambaran yang spesifik untuk sindrom VKH. Angiografi fluoresens, angiografi ICG, OCT, pencitraan FAF, pungsi lumbal, dan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan penunjang yang bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis. Stadium akut sindrom VKH berespon dengan baik terhadap terapi kortikosteroid, agen-agen siklopegik dan midriatik yang dini dan agresif. Dosis kortikosteroid sistemik harus diturunkan secara perlahan tergantung dari respon

20

klinis, kira-kira sekitar 6 bulan, untuk menurunkan risiko progresivitas penyakit menjadi kronis. Terapi imunosupresan dianjurkan untuk diberikan lebih awal. Hal ini dilakukan untuk mengontrol inflamasi dan membantu penurunan dosis kortikosteroid lebih cepat. Hingga 70% pasien mencapai tajam penglihatan

setidaknya 20/40 dengan penatalaksanaan yang adekuat.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology.

2011. Vogt-Koyanagi-Harada

Syndrome in Noninfectious (Autoimmune) Ocular Inflammatory Disease. Hal. 183-189. 2. Walton, RC. 2012. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Medscape Journal. 3. Ilyas, S. 2002. Ilmu Penyakit Mata edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 6-7. 4. Eva, PR, Whitcher JP. 2010. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum, edisi 17. Jakarta : EGC. Hal 10-14 5. American Academy of Ophthalmology. 2011. Basic Anatomy. Hal. 8-16. 6. Federmen, DG, Kravetz JF, Ruser CB, et al. 2004. Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome and Ulcerative Colitis. Southern Medical Journal. 97 (2) 169-71. 7. Damico FM, Kiss S, Young LH. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Semin Ophthalmol. 2005. Jul-Sep; 20 (3) 183-90. 8. Langston, Pavan and Deborah. 2008. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 9. Nguyen MHT. 2006.Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome, Case Presentation. New England Medical Center Grand Rounds. 10. Ehlers, JP, Shah CP. 2008. The Wills Eye Manual, The Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

22

Anda mungkin juga menyukai