3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan 4. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, usaha di perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air. Sedangkan berdasarkan mutu air, dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 klasifikasinya dibagi menjadi empat kelas yaitu sebagai berikut : 1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Menurut Effendi (2003), air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut 1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0o C (32oF) 100o C, air berwujud cair. Suhu 0o C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100o C merupakan titik didih (boiling point) air. Tanpa sifat tersebut, air yang ada di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang terdapat di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang terdapat di laut, sungai, danau dan badan air yang lain akan berada dalam bentuk gas atau padatan, sehingga tidak terdapat kehidupan di muka bumi ini, karena sekitar 60% - 90% bagian sel makhluk hidup adalah air.
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin dalam seketika. Perubahan suhu air yang lambat mencegah terjadiya stress pada makhluk hidup karena adanya perubahan suhu yang mendadak dan memelihara suhu bumi agar sesuai bagi makhluk hidup. 3. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, proses perubahan uap air menjadi cairan (kondensasi) melepaskan energi panas dalam jumlah yang besar. Sifat ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyebaran panas secara baik di bumi. 4. Air merupakan pelarut yang baik. Air mampu melarutkan berbagai jenis senyawa kimia. Air hujan mengandung senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan air laut dapat mengandung senyawa kimia hingga 35.000 mg/liter. Sifat ini memungkinkan unsur hara (nutrien) terlarut diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan memungkinkan bahan-bahan toksik yang masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup dilarutkan kembali. Sifat ini juga memungkinkan air digunakan sebagai pencuci yang baik dan pengencer bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan air. 5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Suatu cairan dikatakan memiliki tegangan permukaan yang tinggi jika tekanan antar molekul cairan tersebut tinggi. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan air memiliki sifat membasahi suatu bahan secara baik. Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan untuk bergerak dalam pipa kapiler (pipa dengan lubang yang kecil). Dengan adanya sistem kapiler dan sifat sebagai pelarut yang baik, air dapat membawa nutrient dari dalam tanah ke jaringan tumbuhan (akar, batang, dan daun). Adanya tegangan permukaan memungkinkan beberapa organisme, misalnya jenis-jenis serangga dapat merayap dipermukaan air. 6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang sehingga es memiliki nilai densitas (massa/volume) yang lebih rendah daripada air. Dengan demikian, es akan mengapung di air. Sifat ini mengakibatkan danau-danau di daerah yang 7
beriklim dingin hanya membeku pada bagian permukaan (bagian di bawah permukaan masih berupa cairan) sehingga kehidupan organisme air tetap berlangsung.
3. Konduktivitas Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai konduktivitasnya. Konduktivitas dinyatakan dengan satuan mhos/cm atau Siemens/cm (Effendi, 2003) 4. Padatan Total, Terlarut dan Tersuspensi Menurut Effendi (2003), padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Residu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992). Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas berdiameter 0, 45 m (Effendi, 2003). 5. Salinitas Pada perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat di konversi menjadi bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (%o) (Effendi, 2003)
menjadi lebih menderita. Menurut Sastrawijaya (2009), jika tingkat oksigen terlarut selalu rendah, maka organisme anaerob mungkin mati dan mungkin organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat itulah yang menyebabkan air berbau busuk. 3. Kesadahan Menurut Effendi (2003), kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalent (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan maupun anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada logam. Said (2008) mengatakan bahwa kesadahan air dapat dibedakan atas dua macam,, yaitu kesadahan sementara (temporer) dan kesadahan tetap (permanen). Kesadahan sementara disebabkan oleh garam-garam karbonat (CO32-) dan bikarbonat (HCO3-) dari kalsium dan magnesium, kesadahan ini dapat dihilangkan dengan cara pemanasan atau pembubuhan kapur tohor. Kesadahan tetap disebabkan oleh adanya garamgaram khlorida (Cl-) dan sulfat (SO42-) dari kalsium dan magnesium, kesadahan ini dapat dihilangkan dengan cara pertukaran ion. Menurut Effendi (2003) kesadahan pada awalnya ditentukan dengan titrasi menggunakan sabun standar yang dapat bereaksi dengan ion penyusun kesadahan. Dalam perkembangannya, kesadahan ditentukan dengan titrasi menggunakan EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid) atau senyawa lain yang dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium. Fardiaz (1992) mengatakan bahwa air yang mempunyai tingkat kesadahan terlalu tinggi sangat merugikan karena beberapa hal di antaranya dapat menimbulkan karatan/korosi pada alat-alat yang terbuat dari besi, menyebabkan sabun kurang membusa sehingga meningkatkan konsumsi sabun, dan dapat menimbulkan endapan atau kerak di dalam tempat-tempat pengolahan. 4. BOD (Biological Oxygen Demand) Effendi (2003) mengatakan bahwa BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Menurut Fardiaz (1992), nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk 11
mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. BOD hanya menggambarakan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri (Effendi, 2003). Menurut Jenie dan Rahayu (1993) uji BOD distandarisasi pada periode lima hari, suhu 20o C, sampel disimpan dalam botol yang kedap udara. Stabilisasi yang sempurna dapat membutuhkan waktu lebih dari 100 hari pada suhu 20oC. periode inkubasi yang lama ini tidak praktis untuk penentuan rutin. Oleh karena itu prosedur yang disarankan oleh AOAC (Association of Official Analytical Chemists) adalah periode inkubasi 5 hari dan disebut BOD5. Nilai ini hanya merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologis bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik. Menurut Fardiaz (1992), uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah, a. Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand b. Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari c. Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68% dari total BOD d. Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat dalam air tersebut 5. COD (Chemical Oxygen Demand) Effendi (2003) mengatakan, COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegdradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Menurut Jenie dan Rahayu (1993) uji COD adalah suatu pembakaran kimia secara basah dari bahan organik dalam sampel. Uji COD merupakan analisis kimia, uji ini mengukur senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah seperti pelarut pembersih
12
dan bahan yang dapat dipecah secara biologis seperti yang diukur dalam uji BOD. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel. Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Dengan menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi (Effendi, 2003) Menurut Jenie dan Rahayu (1993), analisis BOD dan COD akan menghasilkan nilai-nilai yang berbeda karena kedua uji mengukur bahan yang berbeda. Nilainilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD, perbedaan diantara kedua nilai disebabkan oleh banyaknya faktor seperti bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokima tetapi tidak tahan terhadap oksidasi kimia. Walaupun metode COD tidak mampu mengukur bahan yang dioksidasi secara biologis, metode COD mempunyai nilai praktis.
memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan (run off) pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri, dan lain-lain. Fardiaz (1992) mengatakan bahwa ciri-ciri air yang mengalami polusi sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan polutannya atau komponen yang mengakibatkan polusi. Sebagai contoh air minum yang terpolusi mungkin rasanya akan berubah meskipun perubahan baunya mungkin sukar dideteksi, bau yang menyengat mungkin akan timbul pada pantai laut, sungai dan danau yang terpolusi berat, atau minyak yang terlihat terapung pada permukaan air laut menunjukkan adanya polusi atau pencemaran. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatau lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan fenomena alam yang lain. Polutan yang memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan), maupun kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi, 2003) Polutan yang memasuki perairan terdiri atas campuran berbagai jenis polutan. Menurut Effendi (2003), jika di perairan terdapat lebih dari dua jenis polutan maka kombinasi pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut, 1. Additive , pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan merupakan penjumlahan dari pengaruh masing-masing polutan. Misalnya, pengaruh kombinasi zinc dan kadmium terhadap ikan 2. Synergism, pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan lebih besar daripada penjumlahan pengaruh dari masing-masing polutan. Misalnya, pengaruh kombinasi copper dan klorin atau pengaruh kombinasi copper dan surfaktan. 14
3. Antagonism, pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan saling mengganggu sehingga pengaruh secara kumulatif lebih kecil atau mungkin hilang. Misalnya, pengaruh kombinasi kalsium dan timbal atau zinc atau alumunium.
15
Menurut Siregar (2005), pada air limbah, warna biasanya disebabkan oleh kehadiran materi-materi dissolved, suspended, dan senyawa-senyawa koloidal, yang dapat dilihat dari spektrum warna yang terjadi. Effendi (2003) mengatakan bahwa warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut. Pada penentuan warna sesungguhnya, bahan-bahan tersuspensi yang dapat menyebabkan kekeruhan dipisahkan terlebih dahulu. Warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Padatan yang terdapat di dalam air limbah dapat diklasifikasikan menjadi floating, settleable, suspended, dan senyawa-senyawa koloidal, yang dapat
dilihat dari spektrum warna yang terjadi. Padatan-padatan, yaitu TS (Total Solid), SS (Suspended Solid), dan DS (Dissolved Solid), serta kondisinya sebagai fraksi volatile dan fixed dapat digunakan untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses, dan beban unit proses (Siregar, 2005). 2. Karakter Kimia Menurut Siregar (2005), karakter kimia air limbah meliputi senyawa organik dan senyawa anorganik. Senyawa organik adalah karbon yang dikombinasi dengan satu atau lebih elemen-elemen lain (O, N, P, H). Penyusun utama senyawa organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein), lemak (fats), dan asam nukleat (nucleid acid). Selain jenis senyawa organik tersebut, limbah organik juga mengandung bahan-bahan organik sintesis yang toksik terhadap organisme air antara lain seperti minyak, fenol, pestisida, surfaktan, dan polychlorinated biphenyl (PCBs). Senyawa organik sintetis pada umumnya tidak dapat diuraikan secara biologis (non biodegradable) dan bersifat bertahan dalam waktu yang lama di dalam badan air serta bersifat kumulatif (Effendi, 2003). Menurut Siregar (2005), senyawa anorganik terdiri atas semua kombinasi elemen yang bukan tersusun dari karbon organik. Karbon anorganik dalam air limbah pada umumnya terdiri atas sand, grit, dan mineral-mineral, baik suspended maupun dissolved. 16
Senyawa anorganik terdiri atas logam dan logam berat yang pada umumnya bersifat toksik, bahan anorganik yang dianggap toksik adalah Arsen (As), barium (Ba), cadmium (Cd), kromium (Cr), lead (Pb), merkuri (Hg), selenium (Se) dan silver (Ag). Senyawa anorganik berasal dari limbah domestik dan industri (Effendi, 2003). 3. Karakter Biologis Pitojo dan Purwantoyo (2002) mengatakan bahwa pencemar biologis pada air terdiri atas mikroorganisme yang dapat berupa bakteri dan virus. Menurut Siregar (2005), mikroorganisme ditentukan dalam jenis yang sangat bervariasi hampir dalam semua bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108 organisme/ml. Kebanyakan merupakan sel tunggal yang bebas ataupun berkelompok dan mampu melakukan proses-proses kehidupan (tumbuh, metabolism, dan reproduksi). Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme yang penting pada penanganan air limbah. Bakteri adalah jasad renik sederhana, tidak berwarna, satu sel, berukuran antara 0,5-6 Um, berkembang biak dengan cara membelah diri setiap 15-30 menit pada lingkungan yang ideal (Pitojo dan Purwantoyo, 2002). Menurut Jenie dan Rahayu (1993), kebanyakan bakteri adalah kemoheterotrofik yaitu menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan karbon. Beberapa spesies mengoksidasi senyawa-senyawa anorganik tereduksi seperti NH3 untuk energi dan menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Bakteri ini disebut kemoautrotrof. Sebagian bakteri bersifat fotosintetik dan menggunakan sinar sebagai sumber energi dan karbon dioksida sebagai sumber karbon. Bakteri kemoheterotrofik merupakan bakteri terpenting dalam penanganan air limbah karena bakteri-bakteri ini akan memecah bahan organik Virus adalah berupa makhluk yang bukan organisme sempurna, antara benda hidup dan tidak hidup, berukuran sangat kecil antara 20-100 nanometer atau sebesar 1/50 kali ukuran bakteri. Virus terdiri dari lapisan pelindung protein yang mengelilingi serabut asam nukleat dan bersifat parasit (Pitojo dan Purwantoyo, 2002). Jenie dan Rahayu (1993) mengemukakan bahwa semua virus adalah parasit obligat karena cara reproduksinya melibatkan sel-sel hidup yang terinfeksi dan 17
mengarahkan reaksi-reaksi sintesis dari sel hidup tersebut untuk memproduksi partikel virus baru. Perhatian utama pada virus bila terdapat dalam air adalah terhadap kesehatan masyarakat. Sejumlah penyakit virus digolongkan sebagai berasal dari atau ditularkan melalui air (waterborne), termasuk infeksi polio, hepatitis, dan virus Coxsackie (Jenie dan Rahayu, 1993).
2.6 Deterjen
Secara umum istilah dari deterjen digunakan untuk bahan atau produk yang mempunyai fungsi meningkatkan kemampuan pemisahan suatu materi dari permukaan benda, misalnya kotoran dari pakaian, sisa makanan dari piring atau buih sabun dari permukaan benda serta mendispersi dan menstabilisasi dalam matriks seperti suspense butiran minyak dalam fase seperti air (Showell, 2006). Menurut Fardiaz (1992), deterjen dalam arti luas adalah bahan yang digunakan pembersih, termasuk sabun cuci piring alkali dan cairan pembersih lainnya. Definisi yang lebih spesifik dari deterjen adalah bahan pembersih yang mengandung senyawa petrokimia atau surfaktan sintetik lainnya. Surfaktan merupakan bahan pembersih utama yang terdapat didalam deterjen. Deterjen yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan industri menggunakan formula yang sangat kompleks yaitu lebih dari 25 bahan. Namun secara umum penyusun deterjen dikelompokan menjadi empat, yaitu surfaktan, builders, bleaching agent dan bahan aditif (Smulders, 2002 dalam Hudori 2008) Surfaktan berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Setelah surfaktan, kandungan lain yang penting adalah penguat (builders) yang meningkatkan efisiensi surfaktan. Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berfungsi dengan lebih baik. Builders juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung dengan baik serta membantu mendispersikan kotoran yang telah lepas. Senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit dan fluorescent sering digunakan dalam builders (Hudori, 2008) 18
Deterjen juga mengandung bahan-bahan lain seperti bahan pencerah, parfum, antiredeposisi, dan enzim-enzim. Bahan pencerah adalah pewarna yang mengabsorbsi sinar ultraviolet tidak tampak dan mengemisi sinar putih atau biru. Anti redeposisi mempertahankan kotoran supaya tetap di dalam suspense sekali kotoran tersebut sudah terlepas dari kain atau bahan lain yang dicuci. Bahan yang sering digunakan sebagai antiredeposisi adalah karbonsimetilselulose (Fardiaz, 1992). Permasalahan yang ditimbulkan oleh deterjen tidak hanya menyangkut surfaktan, akan tetapi juga berkaitan dengan banyaknya polifosfat yang juga merupakan penyusun deterjen, yang masuk ke badan air. Polifosfat dari deterjen ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50% dari seluruh fosfat yang terdapat diperairan. Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir terjadinya eutrofikasi perairan. Fosfat di perairan juga mengakibatkan perairan menjadi lunak (soft water) dan kurang produktif, karena ion fosfat bereaksi dengan Ca2+, Mg2+, dan Fe3+ yang merupakan penyusun kesadahan. Sebagai pengganti fosfat pada deterjen, sering digunakan borat, akan tetapi borat bersifat toksik (Effendi 2003).
2.7 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehinga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Surfaktan digunakan sebagai bahan penyusun deterjen yang paling umum bersama builders, bleaching agent dan bahan aditif ( Smulders, 2002). Menurut Effendi (2003), surfaktan atau surface active agents atau wetting agents merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun, dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air. Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Menurut Broze (1999) berdasarkan sifat ionisasi senyawa aktifnya, surfaktan diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 19
a. Surfaktan anionik Jenis ini memiliki sisi permukaan aktif negatif. Secara umum gugusnya adalah sulfat dan sulfonat yang dapat larut dalam air. Surfaktan yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah sodium dodecylbenzene sulphonate (SDS). Surfaktan anionik banyak digunakan dalam produk pembersih pakaian dan peralatan rumah tangga, serta produk pembersih pribadi. Surfaktan jenis ini merupakan produk terbesar hingga saat ini. b. Surfaktan kationik Jenis ini memiliki sisi permukaan positif. Senyawa utamanya yaitu alkil degan gugus utama ammonium. Surfaktan yang tergolong jenis ini adalah dialkyldimenthylammonium chlorides. c. Surfaktan nonionic Jenis ini merupakan produk kondensasi alkilfenol atau alkohol lemak denan etilenoksida. Surfaktan jenis nonionik banyak pula digunakan sebagai pembersih pakaian. Sedangkan menurut Effendi (2003), Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amphoteric (zwitterionic) beberapa jenis surfaktan ditunjukkan dalam tabel 2.1
Tabel 2.1 Beberapa jenis surfaktan Surfaktan Anionik Natrium linear alkyl benzene sulphonate Linear alkylbenzene sulphonate Petroleum sulphonate Natrium lauryl ether sulphate Alkyl sulphate Alcohol sulphate
Sumber : Effendi (2003)
Surfaktan Kationik Stearalkonium chloride Benzalkonium chloride Quatemary ammonium compounds Amine compounds
Coco diethanolamide
Selain digunakan sebagai sabun, surfaktan juga digunakan dalam industri tekstil dan pertambangan, baik sebagai lubrikan, emulsi, maupun flokulan. Komposisi surfaktan 20
dalam deterjen berkisar antara 10% - 30%, disamping polifosfat dan pemutih. Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa di perairan. Keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorbsi oksigen di perairan (Effendi, 2003). Pada awalnya surfaktan (senyawa aktif) yang digunakan dalam komposisi deterjen yaitu BAS (Branched Alkylbenzene Sulphonate) yang memiliki rantai karbon bercabang. BAS ini dikenal sebagai hard detergent karena sifatnya yang tahan penguraian biologis. Oleh karena itu BAS dikenal sebagai senyawa pencemar yang toksik terhadap biota perairan (Broze, 1999). Effendi (2003) mengemukakan bahwa para ahli terus berusaha menemukan bahan aktif deterjen sintesis baru yang mudah terurai, hingga tahun 1965, jenis surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen adalah alkylbenzene sulphonate (ABS) yang bersifat resisten terhadap dekomposisi biologis. Kemudian, jenis surfaktan ini diganti dengan linear alkyl sulphonate (LAS) yang dapat diuraikan secara biologis (biodegradable) Seperti halnya BAS, senyawa ini pun dibuat dari senyawa hidrokarbon minyak bumi. Senyawa aktif LAS termasuk ke dalam kriteria surfaktan anionik yang memiliki rantai alkil lurus. Dengan struktur demikian LAS ini bila tidak segera terurai seluruhnya akibat akumulasi yang terus-menerus maka akan bersifat lebih toksik dibandingkan BAS. Struktur rantai alkilnya yang lurus membuat senyawa LAS ini lebih bersifat lipofilik sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran sel (Hudori, 2008).
Padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TSS) adalah berat zat padat dalam air yang tertahan pada penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang memiliki diameter pori-pori sebesar 0,45 m dan telah dikeringkan pada suhu tertentu dan diukur dalam satuan ppm. Penentuan TSS dilakukan dengan menimbang berat residu yang tertinggal pada kertas saring 0,45 m dan telah dikeringkan pada suhu 103-105o C (Effendi, 2003) Menurut Sastrawijaya (2009), padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, dan limbah industri. Padatan tersuspensi total suatu contoh air adalah jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu. Padatan tersuspensi maupun padatan terlarut dapat mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas. Transparan air yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi. Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi. Warna air juga ada hubungan dengan kualitas air itu sendiri. Seperti yang diketahui, kendaraan yang berada dipencucian yang kotor tidak hanya akibat debu yang menempel, namun juga dikarenakan banyak lumpur yang mengering pada bagian kendaraan, sehingga air limbah dari pencucian kendaraan bermotor tidak hanya mengandung padatan tersuspensi, namun juga mengandung padatan terendap atau sedimen. Menurut Fardiaz (1992), sedimen adalah padatan yang langsung dapat mengendap jika air didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap dari partikel-partikel padatan tersebut yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Adanya sedimen dalam jumlah yang tinggi di dalam air akan sangat merugikan karena hal-hal sebagai berikut : 1. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan saluran air dan selokan, dan dapat mengendap di dalam bak penampungan maupun saluran air. Sehingga mengurangi volume air yang dapat ditampung dalam saluran air tersebut 2. Sedimen yang mengendap di dasar sungai atau danau dapat mengurangi polusi ikan dan hewan-hewan air lainnya, karena telur-telur ikan dan sumber-sumber makanan mungkin terendam didalam sedimen. 3. Adanya sedimen mengurangi penetrasi sinar ke dalam air sehingga dapat mengurangi kecepatan fotosintesis oleh tanaman air. 22
4. Sedimen menyebabkan air menjadi keruh sehingga menambah biaya penjernihan air jika air tersebut akan digunakan untuk keperluan industri Padatan terendap biasanya terdiri dari pasir dan lumpur. Berbeda dengan tanah liat yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya, lumpur merupakan padatan yang dapat mengendap dengan sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang (Fardiaz, 1992).
Gambar 2.1 Tahapan proses pengolahan air limbah (Said, 2008) Pengolahan primer merupakan proses pengolahan pendahuluan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, koloid, serta penetralan yang umumnya menggunakan proses fisika atau proses kimia. Menurut Fardiaz (1992), proses penanganan air limbah secara primer pada prinsipnya terdiri dari tahap-tahap untuk memisahkan air limbah padatan, yaitu 23
dengan cara membiarkan padatan tersebut mengendap atau memisahkan bagian-bagian padatan yang mengapung seperti daun, plastik, kertas dan sebagainya. Proses penanganan primer terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut ; a. Penyaringan, bahan-bahan buangan dalam air limbah yang megapung dan berukuran besar dihilangkan dari air buangan dengan cara mengalirkan air tersebut melalui saringan. Dalam tahap ini dapat juga digunakan suatu alat yang disebut kominutor, yaitu suatu alat yang dapat menyaring sambil
menghancurkan limbah padatan. b. Pengendapan dan pemisahan benda-benda kecil, pasir maupun benda-benda kecil dan hasil hancuran padatan dari tahap pertama dibiarkan mengendap pada dasar suatu tabung. Endapan yang dihasilkan dari proses ini dipisahkan dan dapat digunakan untuk menutup tanah pertanian atau keperluan lain. c. Pemisahan endapan, setelah dipisahkan dari benda-benda kecil, air limbah masih mengandung padatan tersuspensi. Padatan ini dapat mengendap jika aliran air buangan diperlambat, dan proses ini dilakukan di dalam tangki sedimentasi. Padatan tersuspensi yang mengendap disebut lumpur mentah dan dikumpulkan untuk dibuang. Menurut Said (2008), pengolahan sekunder merupakan proses untuk menghilangkan senyawa polutan organik terlarut yang umumnya dilakukan secara proses biologis. Fardiaz (1992) mengatakan dalam proses penanganan sekunder dikenal dua macam proses yang biasa digunakan, yaitu proses penyaringan trikel dan lumpur aktif. Suatu sistem lumpur aktif yang efisien dapat menghilangkan padatan tersuspensi dan BOD sampai 90%, sedangkan suatu sistem penyaring trikel yang baik dapat menghilangkan padatan tersuspensi dan BOD sampai 80-85%, tetapi dalam praktek biasanya hanya mencapai 75%. Menurut Fardiaz (1992), proses penanganan primer dan sekunder terhadap air limbah dapat menurunkan nilai BOD air dan menghilangkan bakteri berbahaya. Tetapi kedua proses tersebut tidak dapat menghilangkan komponen-komponen organik dan anorganik yang terlarut. Jika air limbah tersebut harus memenuhi standar mutu air yang ada, maka bahan-bahan terlarut tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu yaitu dengan melakukan 24
proses penanganan tersier atau penanganan lanjut. Proses pengolahan lanjut adalah proses yang digunakan untuk menghasilkan air olahan dengan kualitas yang lebih bagus sesuai dengan yang diharapkan. Prosesnya dapat dilakukan baik secara biologis, secara fisika, kimia atau kombinasi ke tiga proses tersebut (Said, 2008). Siregar (2005) mengatakan bahwa berdasarkan proses pengolahan air limbah, unit pengolahan air limbah pada umumnya terdiri atas kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi. Seluruh proses tersebut bertujuan untuk menghilangkan kandungan padatan tersuspensi, koloid, dan bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut. a. Proses pengolahan fisika. Proses pengolahan yang termasuk pengolahan fisika antara lain pengolahan dengan menggunakan screen, filter, pemisahan dengan memanfaatkan gaya gravitasi (sedimentasi atau oil/water separator) serta flotasi maupun adsorpsi. Pemisahan padatan-padatan dari cairan atau air limbah merupakan tahapan pengolahan yang sangat penting untuk mengurangi beban dan mengembalikan bahan-bahan yang sangat bermanfaat serta mengurangi resiko rusaknya peralatan akibat adanya kebuntuan (clogging) pada pipa, valve dan pompa. b. Proses pengolahan kimia. Proses pengolahan kimia pada IPAL biasanya digunakan untuk netralisasi limbah asam maupun basa, memperbaiki proses pemisahan lumpur, memisahkan padatan yang tak terlarut, mengurangi konsentrasi minyak dan lemak, meningkatkan efisiensi instalasi flotasi dan filtrasi, serta mengoksidasi warna dan racun. Beberapa kelebihan proses pengolahan kimia antara lain dapat menangani hampir seluruh polutan anorganik, tidak terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak tergantung pada perubahan-perubahan konsentrasi. Namun, pengolahan kimia dapat meningkatkan jumlah garam pada effluent dan meningkatkan jumlah lumpur. c. Proses pengolahan biologis. Unit proses biologi adalah proses-proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan aktivitas kehidupan mikroorganisme untuk memindahkan polutan. Dalam unit proses pengolahan air limbah secara biologi, diharapkan terjadi proses penguraian secara alami untuk membersihkan air sebelum dibuang. Unit proses biologi diperlukan untuk membersihkan zat-zat 25
organik dari air limbah domestik dan industri. Beberapa tipe dan variasi proses disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Meskipun banyak terdapat variasi proses, namun semuanya didasarkan pada prinsip dasar metabolisme mikroba. Unit proses biologi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu aerobik dan anaerobik. Keduanya ditandai oleh reaksi biokimia yang spesifik. Said (2008) menegaskan bahwa dalam memilih jenis teknologi atau proses yang akan digunakan untuk pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah karakteristik air limbah, jumlah limbah serta standar kualitas air olahan yang diharapkan. Pemilihan teknologi air limbah juga harus mempertimbangkan beberapa hal yakni antara lain jumlah air limbah yang akan diolah, kualitas air hasil olahan yang diharapkan, kemudahan dalam hal pengelolaan, ketersediaan lahan dan sumber energi, serta biaya operasi dan perawatan diupayakan serendah mungkin. Setiap jenis teknologi pengolahan air limbah mempunyai keunggulan dan
kekurangannya masing-masing, oleh karena itu dalam hal pemilihan jenis teknologi tersebut perlu diperhatikan aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek lingkungan, serta sumber daya manusia yang akan mengelola fasilitas tersebut.
26
Settling tipe I merupakan pengendapan partikel dikret, partikel mengendap secara individual dan tidak ada interaksi antar partikel
Settling tipe II merupakan pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antar partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan bertambah
Settling tipe III merupakan pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antar partike saling menahan partikel lainnya untuk mengendap
Settling tipe IV merupakan pengendapan yang terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap yang terjadi karena berat partikel
Dalam proses pengendapan, ukuran partikel mempengaruhi kecepatan proses pengendapan itu sendiri, namun pada kenyataannya ukuran partikel yang tersuspensi dalam air itu banyak sekali jumlahnya. Karena itu, diperlukan satu ukuran partikel sebagai acuan, sebut saja d0, yang mempunyai kecepatan pengendapan sebesar V0 atau yang biasa juga disebut overflow rate. Dengan acuan tersebut, maka dapat dibuat pernyataan sebagai berikut : a. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih besar dari V0, maka 100% akan mengendap dalam jumlah waktu yang sama. b. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih kecil dari V0, maka tidak semua akan mengendap dalam waktu yang sama. Masduqi dan Slamet (2002) mengatakan jumlah dari keseluruhan partikel yang mengendap disebut penyisihan total (total removal). Besarnya partikel yang mengendap dapat diperoleh dari uji laboratorium dengan column settling test. Overflow rate dapat dihitung dengan persamaan : .. dimana : V0 H t : Kecepatan pengendapan : Tinggi column settling test hingga titik sampling : waktu pengambilan sampel pada titik sampling (2.1)
( dimana : R F0 V dF
..
(2.2)
: besarnya fraksi pengendapan total (removal total) : fraksi partikel tersisa pada kecepatan V0 : kecepatan pengendapan (m/detik) : selisih fraksi partikel tersisa
Data yang diperoleh dari percobaan laboratorium adalah jumlah (konsentrasi) partikel yang terdapat dalam sampel yang diambil pada interval waktu tertentu, Konsentrasi pada berbagai waktu tersebut dirubah kedalam bentuk fraksi. Fraksi merupakan perbandingan antara konsentrasi partikel pada waktu ke-t terhadap konsentrasi partikel mula-mula. Selanjutnya dihitung kecepatan pengendapan partikel pada tiap waktu pengambilan. Plot ke dalam grafik hubungan antara fraksi partikel tersisa dengan kecepatan pengendapan. Setelah itu diambil nilai kecepatan pengendapan tertentu sebagai acuan atau V0. Dari nilai V0 tersebut dapat diperoleh nilai F0, yaitu merupakan batas fraksi partikel besar yang semuanya mengendap dan fraksi partikel lebih kecil yang mengendap sebagian saja. Setelah didapatkan nilai removal total (R) pada kecepatan pengendapan tertentu (V0), waktu detensi pada bak sedimentasi dapat dicari dengan persamaan :
(4.2)
2.11 Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya alumunium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen (Holt et al, 2004). Sedangkan menurut Mollah (2004), 28
elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang melibatkan fenomena kimia dan fisik dengan menggunakan elektroda untuk menghasilkan ion yang digunakan untuk mengolah air limbah. Menurut Prabowo (2011), elektrokoagulasi merupakan suatu proses koagulasi kontinyu dengan menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elektrolit, dimana salah satu elektrodanya adalah alumunium ataupun besi. Dalam proses ini akan terjadi proses reaksi reduksi dimana logam-logam akan direduksi dan diendapkan di kutub negatif, sedangkan elektroda positif (Al3+) akan teroksidasi menjadi [Al(OH)3] yang berfungsi sebagai koagulan. Menurut Hudori (2008), elektrokoagulasi bukan merupakan teknologi baru, namun pada masa sekarang penggunaan teknologi elektrokoagulasi mulai dikembangkan kembali untuk meningkatkan kualitas effluent air limbah. Elektrokoagulasi digunakan untuk mengolah effluent dari beberapa air limbah yang berasal dari industri makanan, limbah tekstil, limbah rumah makan, limbah yang mengandung senyawa arsenik air yang mengandung flourida, dan air yang mengandung partikel yang sangat halus, betonit dan kaolinit. Dalam sistem pengolahan limbah yang konvensional, reaktor elektrokoagulasi dapat menggantikan beberapa unit pengolahan sehinga menghasilkan instalasi pengolahan yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan lahan yang luas (Hudori 2008). Menurut Niam et al (2007) elektrokoagulasi telah diusulkan dalam beberapa tahun terakhir sebagai metode pengolahan yang efektif untuk pengolahan berbagai air limbah seperti pengolahan lindi TPA, limbah restoran, air limbah perkotaan, air limbah laundry dan lain sebagainya. Selain itu elektrokoagulasi juga dapat menurunkan dengan baik kandungan COD, kekeruhan, dan padatan terlarut maupun tersuspensi. Dalam penelitian yang dilakukan Niam et al (2007) dengan menggunakan air limbah buatan yang dibuat dari tepung susu, elektrokoagulasi dapat menurunkan kandungan COD dan kekeruhan menjadi 65% dan 95% dan menurut penelitian yang dilakukan Othman et al (2006) elektrokoagulasi dapat menurunkan Suspended solid hingga 30,14 % dan COD hingga 75,79 %. Sedangkan dengan menggunakan air limbah laundry menurut Ge (2004) eleketrokoagulasi menurunkan kekeruhan dan menyisihkan surfaktan dan fosfat mencapai 90% sedangkan penyisihan COD mencapai 70%. 29
2.11.1 Keuntungan dan Kerugian Elektrokoagulasi Sebagai pertimbangan dalam penentuan penggunaan elektrokoagulasi maka Mollah (2001) telah memberikan gambaran tentang keuntungan dan kerugiannya. Keuntungan dari penggunaan elektrokoagulasi adalah sebagai berikut : 1. Elektrokoagulasi dioperasikan. 2. Air limbah yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan effluent yang jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. 3. Lumpur yang dihasilkan elektrokoagulasi relatif lebih stabil dan mudah dipisahkan karena terutama berasal dari oksida logam. Selain itu jumlah lumpur yang dihasilkan sedikit. 4. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan flok yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit, lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi. 5. Elektrokoagulasi menghasilkan effluent yang mengandung TDS dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pengolahan kimiawi. Jika air hasil pengolahan ini digunakan kembali, kandungan TDS yang rendah akan mengurangi biaya recovery. 6. Proses elektrokoagulasi mempunyai keuntungan dalam mengolah partikel koloid yang berukuran sangat kecil karena dengan pemakaian arus listrik menyebabkan proses koagulasi lebih mudah terjadi dan lebih cepat. 7. Proses elektrokoagulasi tidak memerlukan pemakaian bahan kimia sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia dan tidak membutuhkan kemungkinan pengolahan berikutnya jika terjadi penambahan senyawa kimia yang terlalu tinggi seperti pada penggunaan bahan kimia. 8. Gelembung gas yang dihasilkan selama proses elektrolisis membawa polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (flotasi) dimana flok tersebut dengan mudah terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan 9. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis yang terjadi cukup dikontrol dari pemakaian listrik tanpa perlu memindahkan bagian dalamnya. 30 membutuhkan peralatan yang sederhana dan mudah
10. Teknologi elektrokoagulasi dapat dengan mudah diaplikasikan di daerah yang tidak terjangkau layanan listrik yakni dengan menggunakan panel matahari yang cukup untuk terjadinya proses pengolahan. Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah : 1. Elektroda yang digunakan dalam proses ini harus diganti secara teratur 2. Penggunaan listrik kadang kala lebih mahal pada beberapa daerah 3. Terbentuknya lapisan di elektroda dapat mengurangi efisiensi pengolahan 4. Teknologi ini membutuhkan konduktivitas yang tinggi pada air limbah yang diolah 5. Hidroksida seperti gelatin cenderung solubize pada beberapa kasus
2.11.2 Mekanisme Proses Elektrokoagulasi Menurut Hudori (2008), elektrokoagulasi mempunyai kemampuan untuk mengolah berbagai macam polutan termasuk padatan tersuspensi, logam berat, tinta, bahan organik (seperti air limbah domestik), minyak dan lemak, ion dan radionuklida. Proses elektrokoagulasi merupakan gabungan dari proses elektrokima dan proses koagulasiflokulasi. Dalam Susetyaningsih (2008), pada proses elektrokimia akan terjadi pelepasan Al3+ dari plat elektroda (anoda) sehingga membentuk flok Al(OH)3 yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah. Apabila dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit dimana pada reaksi ini terjadi pergerakan dari ion-ion yaitu ion positif (disebut kation) yang bergerak pada katoda yang bermuatan negatif. Sedangkan ion-ion negatif yang kemudian ion-ion tersebut dinamakan sebagai anion bergerak menuju anoda yang bermuatan positif menyerahkan elektron yang dioksidasi (Sunardi, 2007). Dalam reaktor elektrokoagulasi yang merupakan sel elektrokima, dimana dalam reaktor tersebut disusun elektroda-elektroda yang akan kontak dengan air yang akan diolah. Elektroda dalam proses elektrokoagulasi merupakan salah satu alat untuk
menghantarkan atau menyampaikan arus listrik ke dalam larutan agar larutan tersebut 31
terjadi suatu reaksi (perubahan kimia). Elektroda tempat terjadinya reaksi reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut anoda (Prabowo, 2011). Menurut Susetyaningsih (2008), pada katoda, ion H+ dari suatu asam akan direduksi menjadi gas hidrogen yang akan bebas sebagai gelembung-gelembung gas. 2H+ + 2e H2 .. (2.1)
Larutan yang mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hidrogen (H2) pada katoda 2H2O + 2e 2OH+ H2 .. (2.2)
Pada Anoda yang biasanya terbuat dari logam alumunium akan mengalami oksidasi Alo + 3H2O Al(OH)3 + 3e .. (2.3)
Ion OH- dari basa akan mengalami oksidasi membentuk gas oksigen (O2) 4OH2H2O + O2 + 4e . (2.4)
Jika dalam larutan limbah mengandung ion-ion logam lain maka ion-ion logam akan direduksi menjadi logamnya dan terdapat pada batang katoda. Prabowo (2011) mengatakan bahwa dari reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses elektrokoagulasi, maka pada katoda akan menghasilkan gas hidrogen dan reaksi ion logamnya. Sedang pada anoda akan menghasilkan gas halogen dan pengendapan flokflok yang terbentuk. Pada gambar dibawah ini memperlihatkan proses elektrokoagulasi yang sangat kompleks. Dimana koagulan dan produk hidrolisis saling berinteraksi dengan polutan atau dengan ion yang lain atau dengan gas hydrogen
32
Gambar 2.2 Mekanisme dalam elektrokoagulasi (Holt, 2001 dalam Hudori, 2008) Karena dalam proses elektrokoagulasi ini menghasilkan gelembung-gelembung gas, maka kotoran-kotoran yang terbentuk didalam air akan terangkat ke atas permukaan air. Flok-flok terbentuk mempunyai ukuran yang relatif kecil sehingga flok-flok yang terbentuk tadi lama-kelamaan akan bertambah besar ukurannya (Sunardi, 2007). Menurut Mollah (2004) mekanisme penyisihan yang umum terjadi di dalam elektrokoagulasi terbagi dalam tiga faktor utama yaitu : (a) terbentuknya koagulan akibat proses oksidasi elektrolisis pada elektroda, (b) destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi dan pemecahan emulsi, dan (c) agregatisasi dari hasil destabilisasi untuk membentuk flok. Menurut Koparal dan Ogutveren (2002) dalam Hudori (2008), elektrokoagulasi dapat dibandingkan dengan koagulasi kimiawi untuk menunjukkan efisiensi dan
keuntungannya. Pada koagulasi kimiawi, bahan kimia yang ditambahkan sebagai koagulan yang berbentuk garam dan didalam larutan akan mengalami disosiasi melalui hidrolisis dari kation alumunium (dan berhubungan dengan anion larutan) yang diukur dengan kondisi larutan dan nilai pH. Penambahan alumunium sulfat pada koagulasi kimiawi akan membuat air menjadi asam sedangkan pada penambahan alumunium pada elektrokoagulasi yang tidak menyebabkan disosiasi pada anion garam dilarutan, akan menyebabkan nilai pH relatif stabil dalam kisaran basa. 33
2.11.3 Reaktor Elektrokoagulasi Menurut Hudori (2008) pada bentuk yang sederhana, reaktor elektrokoagulasi berupa reaktor elektrokimia dengan satu anoda dan satu katoda. Ketika dihubungkan dengan sumber listrik maka bahan anoda akan mengalami korosi akibat oksidasi sedangkan katoda menjadi subjek yang pasif. Namun susunan seperti ini tidak mencukupi untuk pengolahan air limbah dikarenakan kebutuhan laju pelepasan ion logam yang besar menuntut permukaan elektroda yang luas. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan reaktor yang memakai konfigurasi elektroda monopolar dengan rangkaian paralel. Susunan reaktor elektrokoagulasi dengan konfigurasi monopolar menggunakan rangkaian paralel dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Reaktor elektrokoagulasi dengan konfigurasi monopolar (Mollah, 2001 dalam Hudori 2008) Selain konfigurasi secara monopolar, reaktor elektrokoagulasi dapat mempergunakan konfigurasi biopolar. Pada konfigurasi ini, hanya satu elektroda yang dihubungkan dengan kutub positif (anoda) dan satu elektroda dihubungkan dengan kutub negatif (katoda). Rangkaian elektrokoagulasi biopolar lebih sederhana dan mudah
perawatannya (Mollah, 2004). Ketika arus listrik dialirkan melalui dua elektroda, maka elektroda yang tidak dialiri akan berubah dari kondisi netral menjadi dua kutub yang berbeda pada masing-masing sisi, yaitu sisi yang menghadap kutub positif menjadi negatif dan sisi yang menghadap kutub negatif menjadi positif. Elektroda yang memiliki sifat seperti ini disebut biopolar (Hudori, 2008). 34
Gambar 2.4 Reaktor elektrokoagulasi dengan konfigurasi biopolar (Mollah, 2001 dalam Hudori, 2008) Menurut Hudori (2008), sebagai bagian dari reaktor elektrokimia maka reaktor elektrokoagulasi dapat dibedakan berdasarkan mode pengoperasian, yaitu reaktor batch single (SBR), reaktor aliran tersumbat dan reaktor kontinu (CSTR). Skema dari reactor tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.5 Skema reaktor elektrokimia (a) single batch reactor, (b) Continuous Stirred Tank Reactor (c)Plug Flow Reactor (Hudori, 2008) Sunardi (2007) mengatakan bahwa proses elektrokoagulasi dapat disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia, sedimentasi dan proses filtrasi. Proses equalisasi dimaksudkan untuk menyeragamkan limbah cair yang akan diolah terutama kondisi pH, pada tahap ini tidak terjadi reaksi kimia dan tahap ini juga dapat membantu sebagai 35
proses pengendapan awal. Dari reaksi yang terjadi flok yang terbentuk pada proses elektrokimia akan cenderung mengendap dan hal tersebut dapat diendapkan pada bak sedimentasi dan sisa buih akan terpisahkan pada unit filtrasi. Menurut Charoenlarp (2009), dalam setiap proses elektrokimia, bahan elektroda memiliki pengaruh terhadap kinerja dari proses elektrokima tersebut. Oleh karena itu, pemilihan bahan yang tepat juga penting dilakukan. Bahan yang digunakan sebagai elektroda dalam proses pengolahan air bersih maupun air limbah harus yang tidak berbahaya dan menyebabkan racun bagi manusia maupun lingkungan. Besi dan alumunium dipilih sebagai bahan elektroda karena tidak beracun dan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
36
Dalam proses pencucian kendaraan bermotor digunakan air bersih dengan tingkat kebutuhan yang sangat besar, hal ini menciptakan air limbah pencucian yang cukup besar pula. Berdasarkan hasil pengamatan secara fisik air limbah pencucian kendaraan memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi, mengandung padatan tersuspensi yang tinggi dan karena menggunakan deterjen ataupun shampoo dalam tahapan pencucian maka air limbah juga mengandung surfaktan. Menurut Effendi (2003), surfaktan merupakan bahan aktif utama dalam pembuatan deterjen dan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorbsi oksigen di perairan.