Anda di halaman 1dari 13

Article for IWGIA Year Book Human Rights and Democracy Faces Its Real Problem Local Autonomy

and Governments efforts to lift Local Revenues One of the main effects of Regional Autonomy in Indonesia was surely the efforts of Local Government to bring up its regional revenues. These efforts have been clearly demonstrated in growing relationship and collaboration between Local Governments and various investors and development agencies. The companionshop between these two government and bussiness sector have driven the local policy to be ironically contraproductive from the presepective of peoples prosperity. In Central Kalimantan, where the population is only 15 peoples per square kilometer, most of the people are still living in poverty. This condition is definitely clear in the probelem of access to land and natural resources. In 2003 Local Government of Central Kalimantan issued the Perda (Local Regulation) No. 8 of the year 2003 on Provincial Spatial Planning. The Perda states that there are only two kinds of land utilization that provide the chance for peoples to work within, i.e Production Development Area or Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) and Settlement Area or Kawasan Pemukiman dan Peruntukan Lainnya (KPPL). Total area of KPP and KPPL is 4.709.162.88 ha, but most of these lands - about 2.5 million ha - have been given to big plantation corporations particularly palm oil plantation companies. Only 2.2 million ha is left for 1.9 million peoples of Central Kalimantan. This condition can be campared to macro condition of Indonesia which shows a similarity in natural and social degradation of Indonesia. Responding to the impact of development project that put serious impact to their living space manifest in a bundle of criminalisation of indigenous peoples by state apparatus -, the indigenous peoples of Central Kalimantan held their congress on 6 8 November 2006. The central message came out of the congress was about the importance of power consolidation of civil society to stand against the violation of human rights, particularly indigenou rights. The participants came from various districts in the Province, who then delivered the resolution of the congress. Some of 12 twelve points of the resolution addressed the importance of promoting local value and indigenous customary law systems; of the peace and harmony in social realtionship between various social groups in Central Kalimantan; of the ending of natural degradation in Central Kalimantan; and of the promotion of gender equality among indigenous peoples in Central Kalimantan. Data from JATAM (Mining Network) demonstrated that 35 % of 1.9 km2 of lands or about 67 million ha, have been delivered legally to mining concession. HPH and HTI (Forest concession and industrial timber plantation) got 44 million ha and HGU (right for bussiness use of lands) 15 million ha. While the allocation of lands for other sectors such as education and health, agriculture and settlement was very limited that was about 70 million ha only for more than 210 million peoples. Data from Consortium for Agrarian Reform shows that there is only 0.5 ha lands for each peasant family in Indonesia. Hoe can the Government to deal with poverty with such condition?

Foreign Debt and its impact It was known well that Annual Meeting of Governors Central Bank with World Bank and IMF in September 2006, was the space for Indonesian Government to get new loan from the Bank and IMF and all its derivatives. This situation has lead Indonesian State to be longer trapped in the loan scenario which put Indonesia under the control almost totally controlled of the Bank. The impact of various loan funded mega project has created serious human rights violations in Indonesia while the government has no power to prevent that to happened. But the most fatal impact of the projects would be seen in the education and health sectors. In rural areas many children can not go to school, while adults are the generation of poor education as well. Sanitation of State Hospital such as in Larantuka, East Flores District is very poor so the patient can get no water from hospital service. The family has to bring clean water for patients from home. All these description just to explain that with so much loan from those development agencies lead by WB and IMF, the target of the loan has never been the question to address for them. They only care about big plantation and big hidropower and dams. But not micro porject for most of the Indonesiona peoples. One of the big infrastructure for energy project funded by WB and ADB is the gas pipeline in Sumatera. While JBIC funds Kotopanjang Dam in West Sumatera and Riau, and Bili-Bili Dam in South Sulawesi. Those project have driven peoples to raise hard protest. Palm Oil Plantation and Indigenous Rights Tanggal 9 Agustus diperingati sebagai The International Day of Worlds Indigenous Peoples atau Hari Masyarakat Adat Se-Dunia. Perayaan peringatan Hari tersebut secara besar dan ramai telah diselenggarakan oleh Sub Komisi Ekosob Komnas HAM dengan dukungan Mahkamah Konstitusi, Departemen Sosial, dan Departemen Dalam Negeri dan UNDP Regional Center, Bangkok. Inti dari acara tersebut adalah (i) Penjelasan tentang Kebijakan PBB tentang masyarakat adat; (ii) Pembacaan Deklarasi Pembentukan Sekretariat Bersama Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat; dan (iii) Amanat Presiden Republik Indonesia. Dalam sambutannya, hal yang penting untuk ditindak-lanjuti adalah seruan Presiden untuk memperkuat upaya perlindungan hak-hak masyarakat (hukum) adat. Hal yang tidak jauh berbeda diserukan dalam sambutan Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara SH. LLM. Pertemuan tersebut menurut Hakim, memiliki makna khusus karena dua bulan sebelumnya, Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang baru dibentuk, telah menyetujui Deklarasi Hak Masyarakat (Hukum) Adat yang telah dirancang dan dibahas selama Dekade Masyarakat Adat yang pertama (1994 2004) dan yang diharapkan akan disetujui oleh Majelis Umum PBB dalam Sidangnya, yang direncanakan akan berlangsung September 2006 mendatang. Hal lain yang sangat penting untuk dicermati adalah (i) pentingnya dilakukan inventarisasi masyarakat (hukum) adat sesuai dengan yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi agar mereka dapat mempunyai legal standing sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; (ii) Perlindungan hak masyarakat (hukum) adat sudah saatnya dilakukan secara lebih sistematis dan lebih struktural oleh karena

pelanggaran yang terjadi juga bersifat sistematik dan struktural; (iii) Penting untuk merealisasikan konsep dan semangat yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang daerah yang bersifat istimewa dengan hak asal-usulnya yang meskipun secara konseptual diakui namun secara konstitusional belum mendapatkan perwujudan yang memadai dalam hal pengakuan dan perlindungannya; (iv) Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Komnas HAM, maka beberapa Provinsi menyatakan bahwa di daerahnya tidak ada lagi masyarakat (hukum) adat sementara di sejumlah Provinsi menyatakan masih ada masyarakat (hukum) adat; (v) Inventarisasi ini dilakukan guna melengkapi daftar komunitas adat terpencil yang sudah dikelola oleh Departemen Sosial berdasarkan SK Presiden Nomor 11 Tahun 1999; dan (vi) Pentingnya harmonisasi hukum dilakukan dalam rangka penguatan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat (hukum) adat. Jika kita mencermati isi dari sambutan Ketua Komnas HAM ini, maka nampak bahwa secara eksplisit atau tersurat memang dinyatakan mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat (hukum) adat. Namun yang penting diwaspadai adalah pernyataan bahwa hal itu perlu dilakukan secara lebih sistematik dan struktural sebagaimana bagian yang diberi cetak tebal di atas. Mengapa ini perlu diwaspadai? Marilah kita berandai-andai. Pengandaian pertama adalah menduga secara positif bahwa semua upaya ini akan berjalan sebagaimana yang kita bayangkan selama ini dalam upaya gerakan masyarakat adat. Ada dua hal dalam gerakan masyarakat adat yang penting untuk menjadi pegangan dalam menilai inisiatif-inisiatif lain yang berkembang di luar jaringan gerakan yang terwadahi dalam AMAN. Pertama adalah soal otonomi komunitas masyarakat adat dan kedua adalah adanya ruang untuk prinsip egaliter dan self-determination. Jika memang arah dari inisiatif yang didorong di Komnas HAM memang mengarah kepada otonomi komunitas dan dengan itu juga memberi atau mengakui otoritas di komunitas untuk mengurus diri sendiri (self-determination dalam wujud self-governance system), maka berterima kasihlah kepada Komnas dan semua institusi negara yang telah mendorong ke arah tersebut. Cara untuk mengujinya adalah menawarkan agenda-agenda yang telah ada di AMAN yang bertujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan tersebut dan melihat apakah tawaran tersebut menemukan sambutan yang diharapkan atau tidak. Apakah arah yang dimaksud dalam gerakan masyarakat adat yang diusung oleh AMAN memang dipandang tepat oleh para pengusung inisiatif inventarisasi masyarakat (hukum) adat yang ada di Komnas dan lembaga-lembaga negara disebutkan di atas? Pengandaian kedua adalah memandang bahwa seluruh inisiatif tersebut memang diarahkan untuk membunuh konsep masyarakat adat dan wacana gerakan untuk kedaulatan komunitas atas sumber-sumber agraria/sumberdaya alam. Jika memang arahnya ke sana maka kita harus menolak dengan segala upaya inisiatif yang telah dicetuskan melalui pertemuan di Taman Mini Indonesia Indah pada peringatan Hari Masyarakat Adat Se-Dunia tersebut. Beberapa hal yang perlu untuk dipelajari lebih lanjut dapat dirumuskan berupa pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Perlu diperiksa apakah inisiatif tersebut merupakan negaraisasi masyarakat adat dalam arti menempatkan masyarakat adat sebagai sebuah struktur yang secara keseluruhannya merupakan sebuah struktur terendah dalam bangunan Negara

Republik Indonesia? Hal ini penting, karena jika demikian yang terjadi, maka tidak ada ruang kewenangan masyarakat, karena yang ada hanyalah kewenangan negara; Pembentukan Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, dari judulnya dalah sebuah konsep yang menarik. Namun dari situ dapat terjadi sebuah upaya kontra wacana terhadap seluruh konsep gerakan masyarakat adat yang diusung AMAN. Mengapa? Karena Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat ini dari konsepnya adalah mengenai masyarakat hukum adat, yang per definisi akan mengarah kepada komunitas-komunitas yang oleh Departemen Sosial diidentifikasikan sebagai Komunitas Adat Terpencil, yang seluruh konsep dasarnya tidak merujuk kepada pendekatan hak-hak dasar masyarakat adat untuk mengurus diri sendiri dan terutama hak atas sumberdaya agraria di dalam wilayah yang dikenal sebagai ruang hidup mereka. Konsolidasi Sekretariat ini telah menunjukkan gejala akan dilakukan melalui Pemda dan sangat efektif dalam memobilisasi masyarakat karena menggunakan fasilitas dan kelengkapan struktur negara. Pelemahan gerakan itu bisa terjadi melalui pendekatan kultural, dan targetnya adalah para elit-elit adat yang feodal, dan ini akan didorong menjadi konsep dengan nama lain dan kemudian membunuh isu masyarakat adat dengan menuduh gerakan masyarakat adat sebagai sebuah konsep kembali ke feodalisme. Hal ini akan kembali menguatkan konsep memasukan masyarakat adat ke dalam struktur negara agar dapat diatur sesuai dengan perkembangan jaman dan tidak bertentangan dengan prinsip negara Indonesia. Terkait dengan konsep otonomi komunitas masyarakat adat yang didorong oleh AMAN, inisiatif ini akan membunuh itu. Karena setelah memobilisasi wacana bahwa masyarakat adat adalah para elit feodal dan setelah itu membunuh konsep masyarakat adat sebagai komunitas otonom maka otonomi yang kemudian didorong adalah yang berhenti di Kabupaten.

Point Indonesia and International day of Worlds IPs Krisis energi yang melanda dunia dekade terakhir, memaksa negara-negara maju mencoba mencari sumber-sumber energi alternatif. Hasil riset menyimpulkan bahwa CPO dapat dikonversi menjadi energi biodiesel untuk menghadapi krisis energi di dunia. Merujuk pada potensi CPO tersebut, kebutuhan dan permintaan energi nonfosil akan meningkat, terutama energi biofuel dan biodiesel. Indikasi ini terlihat ketika pemerintah Indonesia akan menginvestasikan setidaknya US 1 milliar dollar untuk industri energi alternatif. Namun apakah benar hanya minyak sawit mentah (CPO) sebagai satu-satunya sumber energi nabati sebagai bahan utama produksi biodiesel? Perlu diketahui bahwa Minyak kelapa sawit hanya berfungsi sebagai pencampur terhadap solar. Disamping itu, ada sekitar 40 sampai 60 jenis tanaman yang dapat dikonversi menjadi bahan bakar nabati (BBN) termasuk tanaman jarak yang dapat diolah menjadi bahan bakar nabati murni seratus persen pengganti solar mesin diesel (Sawit Watch). Sehingga kesimpulannya, propaganda energi alternatif ini ditiupkan untuk melegitimasi rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit 1,8 juta hektar diperbatasan Kalimantan-Malaysia.

Implikasi dari pergerakan investasi tersebut adalah ketersediaan lahan untuk memperluas areal perkebunan kelapa sawit yang akan memproduksi CPO. Olehnya, pemerintah Indonesia telah menggulirkan proyek pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seluas 1 juta hektar di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Malaysia. Proyek mercusuar ini seketika direspon dengan antusias oleh pemerintah daerah disepanjang wilayah perbatasan tersebut. Pemerintah Kalimantan Barat misalnya, dengan giat melobby pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan PERPRES pengelolaan perbatasan. Dengan PERPRES, pemerintah daerah akan memiliki kekuatan hukum untuk bergerak membuka kawasan diwilayah perbatasan guna dikonversi menjadi areal perkebunan sawit. Padahal kenyataan saat ini, menurut Kadisbun Provinsi Kalbar, luas lahan yang menjadi areal perkebunan Sawit telah mencapai 2.513.770 Ha. Penghancuran Hak-Hak Masyarakat Adat Lantas, apa yang dikhawatirkan dari rencana proyek pembukaan lahan dikawasan perbatasan tersebut, jika dikaitkan dengan kehidupan komunitas-komunitas adat? Jawabannya sangat mudah! Industri perkebunan merupakan industri yang rakus tanah dan merusak ekologi. Kerakusan sektor perkebunan terhadap tanah tersebut jelas akan mengancam kehidupan komunitas-komunitas adat yang mempunya relasi sosial budaya dan ikatan kultural dengan tanah dan alamnya. Di Propinsi Kalimantan Barat, ada 5 (lima) Kabupaten yang berada disepanjang wilayah perbatasan (berbatasan langsung dengan Malaysia), yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Bengkayang dan Sambas, terdapat 15 Kecamatan dan 111 desa didalamnya (Walhi Kalbar : 2006). Pada 5 wilayah tersebut, ada ribuan komunitas adat dan tak kurang dari 5 sub suku besar (suku Tamam Baloh, Iban, Sebaruk, Bakati dan Melayu) hidup dan tersebar disepanjang perbatasan itu. Komunitas-komunitas adat itu secara sosial ekonomi sangat tergantung dengan tanah dan sumber daya hutan. Tanah dan hutan dipandang sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga, dikelola dan dilindungi dengan aturan-aturan lokal warisan para leluhur. Walaupun berbagai kearifan lokal tersebut dibeberapa tempat mulai tergerus oleh nilai-nilai konsumtif yang dipasok paham modernisasi yang kapitalistik. Kehadiran proyek perkebunan sawit diperbatasan diprediksikan akan mengancam kehidupan komunitas adat disana. Sebelumnya, kehidupan mereka sudah terancam dengan kehadiran beberapa HPH yang mengeksploitasi sumber daya hutan, dan selanjutnya menghilangkan akses terhadap sumber daya alam dan hutan. Akhirnya, hutan yang selama ini memberi kehidupan tak kuasa lagi memberikan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan. Padahal melalui kebijakan-nya, Negara selama ini telah mengabaikan hak-hak ekonomi, sosial, budaya komunitas-komunitas adat melalui berbagai kebijakan-nya. Misalnya, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, hak mendapatkan pendidikan gratis dsb-nya, lenyap tersapu oleh kebijakan pemotongan subsidi BBM, listrik, pendidikan dan subsidi-subsidi lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana daya tahan dan kehidupan komunitas-komunitas adat disepanjang perbatasan, ketika sumber-sumber kehidupan mereka seperti tanah dan hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sementara pada waktu yang bersamaan, negara tidak memberikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan buat rakyatnya. Ironis!

Berbagai prediksi dan analisis dari rencana mega proyek tersebut ternyata tidak menyurutkan langkah penguasa. Buktinya adalah pemberian izin operasi perkebunan sawit untuk PT. Makmur Jaya Malindo seluas 20.000 Ha di Desa Sepiluk, Kecamatan Ketungau Hulu, Sintang. Satu perusahaan lagi, PT. Ledo Lestari sedang dalam tahap tebang tebas, di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Bengkayang seluas 20.000 Ha. Beroperasinya perusahaan itu sontak memantik perlawanan masyarakat adat. Komunitas adat Dayak Iban di Semunying Jaya menyita alat berat dan Chainsaw dan membuat patok tapal batas tanah adat. Perlawanan terhadap rencana mega proyek tersebut juga terjadi di Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, masyarakat dari Kecamatan Ketunggau Hulu dan Kapuas Hulu membuat surat penolakan secara tertulis dan membuat tapal batas kampung. Kemudian diawal Mei 2006, masyarakat adat Kabupaten Sanggau melakukan penguatan komunitas yang difasilitasi Gerakan rakyat pulang kampung (GRPK) bersama Lembaga Bela Banua Talinu (LBBT) melaksanakan ritual dan membangun semangat kebersamaan di Perbatasan yang di dukung oleh sub-suku lainnya. Pertemuan tersebut berupa ziarah Tampun Juah. Watak pemerintah yang membudak pada modal tanpa pernah memikirkan kehidupan rakyat-nya, telah disadari oleh komunitas adat di Kalimantan Barat, terutama komunitas adat disekitar wilayah perbatasan. Kesadaran itu yang mendorong muncul-nya inisiatif untuk melakukan konsolidasi. Konsolidasi tersebut berlangsung di hotel Merpati Pontianak (27-28 Juli 2006). Dari hasil konsolidasi tersebut, terumuskan satu pandangan dan sikap yang tertuang dalam sebuah deklarasi bersama rakyat perbatasan, yakni Bahwa Kawasan Perbatasan Bukan Untuk Sawit, Masyarakat Berdaulat Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam. Agenda lain yang dihasilkan adalah: 1. Melakukan Pertemuan Besar; 2. Pertemuan Masyarakat Perbatasan ditingkat Kecamatan; 3. Gerakan ritual adat penyelamatan wilayah perbatasan pada tanggal 15 Oktober 2006; 4. Gerakan Penanaman Tanaman Lokal ; 5. Pernyataan Sikap Politik terhadap Pilkada 2007 yang isinya menolak calon gubernur yang setuju investasi perkebunan sawit ; Rangkaian agenda perlawanan diatas akan dilakukan dimasing-masing kampung, dan ini merupakan langkah berani yang lahir dari komunitas adat untuk melawan bentuk baru dari kolonialisme. Point Palm Oil and IPs 4 (empat) fase zaman diatas, memberikan gambaran kehidupan dan posisi masyarakat adat dihadapan Negara dan modal. Keterpurukan dilapangan sosial, hukum, politik, ekonomi, budaya tersebut harus segera dirubah. Ada banyak cara untuk merubahnya, tapi yang terpenting adalah perubahan sejati hanya bisa tercapai kalau kekuasaan politik dikendalikan langsung oleh kelompok-kelompok sosial yang selama ini dimarjinalkan. Kelompok-kelompok sosial ini, seperti buruh, petani, masyarakat adat, kaum miskin kota harus membentuk persatuan yang diarahkan untuk mengambilalih kekuasaan politik. Kiranya, masalah inilah salah satu di antara berbagai soal penting yang perlu direnungkan bersama dalam memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Dalam rangka ini perlu diingat pula bahwa untuk menuju ke perubahan kekuasaan politik yang benar-benar pro-rakyat itu kita bersama harus berusaha meneruskan apa-apa yang sudah diperjuangkan oleh Bung Karno. Singkat-padatnya, seperti yang sering dikatakan Bung Karno : revolusi belum selesai !!!

Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Dalam konteks pelanggaran HAM, terutama pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik, peristiwa kekerasan terakhir di Papua telah melanggar hak hak sipil dan politik dari beberapa subjek hukum sekaligus. Pertama, adalah hak berpendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 19, Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut jelas terlihat dengan tindakan represi oleh aparat terhadap massa aksi. Stigmatisasi terhadap rakyat Papua sebagai pemberontak, meskipun dilakukan dalam skala yang kecil dan tidak terbuka, merupakan pelanggaran terhadap Kovenan ini. Dalam Pasal 20 ayat (2) Kovenan ini disebutkan bahwa Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Kedua, penganiayaan terhadap beberapa wartawan oleh aparat juga merupakan pelanggaran terhadap Kovenan ini terutama Pasal 7 yang berkenaan dengan larangan penyiksaan atau perlakuan yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Jika dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia beserta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya maka sejarah bisu itu akan terkait dengan warna buram kehidupan sehari-hari rakyat Papua, yakni : Pertama, Tingginya eskalasi kekerasan akibat operasi militer dengan alasan menghancurkan gerakan separatis di Papua. Praktek-praktek kekerasan berlangsung dengan mengangkangi HAM rakyat Papua dan dicatat memori kolektif bangsa Papua sebagai suatu bentuk pelanggaran haknya. Beberapa lembaga nasional maupun internasional telah menerbitkan laporan menyangkut pelanggaran HAM di Papua. Akibat situasi tersebut, selama puluhan tahun, struktur mental bangsa Papua dididik dalam ketakutan. Kedua, Tergerusnya nilai-nilai budaya orang Papua, dimana sistem budaya orang Papua dipersempit oleh pihak luar menjadi hasil kesenian serta kerajinan tradisional sematamata. Sistem budaya tidak dilihat sebagai sebuah filsafat hidup yang lengkap dengan persepsi terhadap dunia dan sejarahnya. Misalnya, pandangan terhadap alam yang membuat kelestarian lingkungan hidup terjaga secara tradisional, egalitarisme yang mendasari relasi antar pihak dan antar pribadi, sistem pertanian yang adaptif terhadap keadaan alam pegunungan dll.

Ketiga, Arus migrasi ke Papua, baik yang terprogram maupun spontan, telah mengakibatkan pergeseran komposisi penduduk. Namun soal yang lebih mendasar adalah semakin terbangunnya kesenjangan antara penduduk asli dengan pendatang yang berakar pada ketidakseimbangan kemajuan ekonomi, tidak adanya proses akulturasi budaya pendatang dengan budaya asli dll. Kesenjangan tersebut berpotensi menjadi konflik yang rawan; apalagi ditambah pada perasaan serta kekecewaan masyarakat adat terhadap pemerintah yang begitu saja mengambil alih tanah-tanah adat tanpa mempedulikan rasa keadilan masyarakat. Dengan alasan hukum dan pembangunan: bahwa tanah dikuasai negara, bahwa pembangunan nasional harus didahulukan, maka pemerintah merampas tanah-tanah adat yang dalam sistem budaya Papua bukanlah sebuah komoditi melainkan sistem budaya bangsa. Inilah yang menjadi salah satu trauma. Keempat, Sumber daya alam bangsa Papua dieksploitasi habishabisan oleh kekuatan modal tanpa menyisakan sedikitpun keuntungan yang diraih kepada pemiliknya yang sah yakni Rakyat Papua. Ironisnya, perusahaan yang bercokol di tanah Papua hampir semua bersifat ekstraktif: kayu gelondongan, kayu lapis, kayu gaharu, perkebunan kelapa sawit, perikanan skala besar, tambang-tambang emas dan tembaga, sehingga tidak menumbuhkan struktur ekonomi rakyat yang berdaya saing. Sikap kewirausahaan (entrepreneurship) rakyat setempat kurang dikembangkan, padahal mereka kehilangan tanah karena telah dikonsesikan kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif itu. Kelima, Penumpulan sumber daya manusia. Hak untuk mendapatkan pendidikan gratis dengan mutu yang baik tidak diberikan oleh Pemerintah. Di pedalaman Papua, banyak SD-SD (sebagai pondasi pendidikan) nyaris roboh, satu dua guru harus mengajar di 6 kelas, atau mendengar keluhan guru yang gajinya terus terlambat beberapa bulan, orangtua yang tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya, buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ditentukan. Selain pendidikan, layanan kesehatan masyarakat juga sulit dijangkau oleh rakyat biasa. Kenyataan diatas tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa itu hanya menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa Papua. Ingatan itulah yang diwariskan turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma-trauma korban. Ingatan itu mengandung energi, tenaga, kekuatan yang terakumulasi hari demi hari. Terbukti

dengan hembusan angin gerakan reformasi mahasiswa, magma itu mulai lepas dari kekang. Point ICCPR & ICESCR and IPs Mencari solusi ditengah kusutnya situasi Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara II di Lombok pada 2003, tercantum dalam resolusi kongres point 8 (delapan), dengan tegas AMAN mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog nasional yang melibatkan masyarakat adat di Papua. Resolusi kongres tersebut merupakan rumusan dari situasi sosial politik di Papua yang tak kunjung kondusif. Olehnya, pemerintah SBY-JK harus segera mengakomodasi berbagai tuntutan, keinginan dan harapan orang Papua. Upaya-upaya menciptakan perdamaian dan dialogis perlu segera dilakukan bagi penyelesaian masalah kekerasan di tanah Papua. Karena itu, wajar bila penambahan pasukan Polri/TNI ke bumi Papua dikhawatirkan oleh banyak kalangan nantinya hanya akan menambah rumit persoalan. Karena itu, semua pihak yang terkait dengan masalah ini perlu duduk bersama untuk turut serta memberikan kontribusi dan merumuskan upaya terbaik guna mengakhiri masalah ini secara arif dan bijaksana. Negara Lalai Memenuhi Hak Masyarakat Adat atas Kesejahteraan Bagaimana kesejahteraan itu sampai tidak menyentuh masyarakat adat adalah pertanyaan yang berkaitan dengan tanggung jawab negara sebagai pelayan rakyat dalam pemenuhan atas kesejahteraan ini. Dalam posisi ini dapat dilihat bahwa berbagai kebijakan negara tidak menggambarkan arah yang jelas dalam rangka pemenuhan tanggung jawabnya. SDA yang sebagian besar berada di wilayah masyarakat adat dan merupakan syarat untuk tercapainya hidup sejahtera bagi mereka, oleh negara diserahkan kepada investor baik asing maupun dalam negeri. Berbagai kemudahan diciptakan untuk para investor ini sembari mempersempit ruang gerak dan akses masyarakat adat terhadap SDA. Dalam posisinya sebagai pelayan rakyat, pemerintah (negara) telah melakukan pelanggaran terhadap instrumen hukum nasional dan internasional. Kovenan Ecosoc, dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial adalah beberapa saja dari sekian instrumen internasional yang dilanggar negara terkait dengan kesejahteraan ini. Dalam Kovenan Ecosoc misalnya disebutkan tentang kewajiban negara untuk pemenuhan hak atas standar kehidupan yang layak (Pasal 11), hak atas pendidikan (Pasal 13) hak atas kesehatan (pasal 12) hak atas jaminan sosial (Pasal 9). Pemenuhan terhadap hak hak dalam Kovenan ini merupakan tanggung jawab negara yang dilakukan dengan cara cara progresif dan sesuai termasuk dengan langkah-langkah legislatif (Pasal 2). Sementara

Konvensi Anti Diskriminasi (Rasial Pasal 5) ada jaminan dari Negara untuk melarang, dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras; menjamin hak-hak dasar setiap orang tanpa melihat ras, warna kulit, asal bangsa atau suku untuk menikmati hak-hak di bidang sipil dan politik dan juga hak hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak atas perumahan, hak atas pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan semua pelayanan sosial lainnya, hak untuk bekerja, dan hak hak lainnya. Dalam instrumen hukum nasional, UU No. 29 thn 1999 tentang HAM menyebutkan dalam Pasal 36 tentang Hak atas Kesejahteraan ini. Pemenuhan terhadap salah satunya hak atas kesejahteraan ini dijelaskan dalam Pasal 71 yang menyebutkan bahwa pemerintah (negara) bertanggung jawab terhadap penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia yang meliputi langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. MA Harus Melawan dan Berbenah Diri untuk Mencapai Kesejahteraan Masyarakat adat yang selalu sulit mencapai taraf kesejahteraan hidup bukan tidak pernah bangkit melawan ketidakadilan yang mereka terima. Dalam berbagai aksi terlihat mereka sangat berkepentingan terhadap hak atas SDA yang merupakan pangkal hidup sejahtera, namun kesejahteraan itu masih jauh panggang dari api. Mereka membangkitkan dan menyuarakan kesadaran bahwa SDA yang dikeruk dari wilayah mereka seharusnya membawa manfaat bagi mereka, dan bahwa penguasaan dan pengelolaan terhadap SDA tersebut seharusnya menjadi hak mereka. Klaim-klaim hak terhadap masyarakat adat atas SDA ini kemudian dibangun mulai dari klaim historis maupun klaim yang didasarkan pada hak asasi manusia. Suara-suara perlawanan masyarakat adat juga selalu terdengar pada setiap Rapat Kerja (RAKER) Dewan AMAN yang merupakan agenda rutin tiap tahun AMAN. Salah Raker Dewan AMAN yang juga menyuarakan perlawanan ini adalah Raker yang diselenggarakan di P. Weh pada bulan Desember 2005 lalu. Pada Raker ini, selain memberi kualifikasi terhadap apa yang mereka maksud sebagai kesejahteraan, Dewan AMAN juga mengeluarkan berbagai Surat Keputusan (SK) dan pernyataan politik. Salah satu point penting dalam pernyataan politik ini adalah desakan terhadap negara untuk menghentikan pemiskinan terhadap masyarakat adat. Ini jelas merupakan tanggapan dan kritikan mereka atas kelalaian negara dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk mencapai kesejahteraan rakyat (masyarakat adat). Target dan kriteria pencapaian tertuang dalam Deklarasi Milenium (Millennium Declaration), yakni : 1. Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan. Target untuk 2015: Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 US$ sehari dan mengalami kelaparan.

2. Mencapai Pendidikan Dasar secara Universal. Target 2015: Memastikan bahwa setiap anak laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar. 3. Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. 4. Mengurangi tingkat kematian anak. Target 2015: Mengurangi tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun hingga duapertiga 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu. Target 2015: Mengurangi rasio kematian ibu hingga 75% dalam proses melahirkan 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Target 2015: Menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS dan gejala malaria dan penyakit berat lainnya. 7. Menjamin keberkelanjutan lingkungan. Target: (1) Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta merehabilitasi sumber daya lingkungan yang hilang; (2)Pada tahun 2015 mendatang diharapkan jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang layak dikonsumsi berkurang setengahnya dan; (4)Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai perbaikan kehidupan yang signifikan bagi sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Target: (1) Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang melibatkan komitmen terhadap pengaturan manajemen yang jujur dan bersih, pembangunan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional; (2)Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara tertinggal, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil; (3) Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negaranegara berkembang; (4) Mengembangkan usaha produktif yang baik dijalankan untuk kaum muda; (5) Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Pada prinsipnya TPM sudah ideal, namun pertanyaan besarnya adalah bagaimana implementasi-nya hingga mencapai target-target tersebut? Kritik dan keprihatinan pun bermunculan dari kelompok masyarakat adat di seluruh dunia sebagai respon terhadap target tersebut. Dalam sebuah tulisan berjudul Indigenous Peoples and MDGs/Masyarakat Adat dan TPM, Victoria Tauli Corpuz, salah satu Anggota Forum Permanen PBB untuk Isu-isu Masyarakat Adat, menyampaikan : bahwa

jika TPM tercapai, maka akan berdampak terhadap kehidupan sekitar 350 juta jiwa masyarakat adat di seluruh dunia, yang saat ini sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan. Hingga bagaimana pemerintah, masyarakat internasional, masyarakat adat dan sektor swasta dapat mencapai MDGs tetap akan menjadi pertanyaan. Yang mungkin terjadi adalah masyarakat adat akan menjadi korban dalam proyek-proyek yang mengatas namakan pengentasan kemiskinan. Untuk mengantisipasi persoalan itu, maka pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia merupakan keharusan dalam rangka pencapaian MDGs. Karenanya, beliau menganggap Masyarakat Adat tidak nampak dalam skenarioTPM. Beberapa hal yang sangat perlu dicermati adalah pandangan yang memiliki kecenderungan sama dengan ekonomi mainstream, yang menekankan peran individu, dan bukan komunitas. Sumatera misalnya, menekankan aspek aman secara finansial yang diukur dari tabungan di bank. Kalimantan menekankan kepastian pendapatan dalam aspek ekonomi dan adanya wilayah kelola. Dan Sulawesi menekankan adanya model pengelolaan yang produktif dan berlanjut sampai ke generasi berikutnya yang disertai adanya kesetaraan gender dalam pengelolaan. Jawa menekankan kecukupan dalam sandang, pangan dan perumahan. Semua ini adalah persoalan dasar ekonomi mainstream yang mengarah ke kesejahteraan individu warga negara. Artinya, dari aspek ekonomi saja sudah terlihat bahwa inilah yang terutama menjadi pendorong utama dalam melihat diri dan komunitasnya. Adanya pergeseran-pergeseran nilai dalam pandangan tentang wilayah kelola sudah dapat dilihat dengan jelas. Ada kecenderungan kuat untuk pemerataan secara individu dalam komunitas. Pandangan tentang komunitas sebagai sebuah kesatuan komunal sebagian besar masih terlihat dalam unsur sosial budaya setempat. Namun ada catatan tentang itu. Dalam bidang sosial terlihat betapa akses ke dunia luar menjadi perhatian utama dari para peserta. Ini mencerminkan sebuah masyarakat yang makin membuka diri. Bahkan penekanan pada adanya fasilitas umum yang baik dan terjamin adalah sebuah kecenderungan masyarakat komunitarian dalam dunia publik yang sedang berkembang saat ini. Dalam bidang budaya, terlihat penekanan pada pendidikan formal dan informal yang baik dan bermutu. Ini semua tentu diarahkan pada tanggung jawab negara kepada warga negaranya. Satu hal yang mencerminkan adanya unsur komunitas komunal yang kuat adalah jaminan kebebasan menjalankan kepercayaan, yang merupakan unsur utama dalam identitas budaya komunitas-komunitas masyarakat adat. Dalam bidang politik ada kecenderungan yang selaras dengan dunia publik, yaitu kebebasan berorganisasi. Pertanyaan penting di sini adalah organisasi yang mengarah ke

penguatan dasar-dasar organisasi komunitas yang sudah ada atau organisasi modern yang mengarah ke otonomi individu? Jika yang terakhir yang menjadi jawaban, maka semua hasil ini mencerminkan secara jelas bahwa ada perubahan yang cepat dan masif dalam pandangan tentang diri di kalangan komunitas masyarakat adat. Satu hal yang pasti adalah pengertian sebagai sebuah satuan sosial terus bergerak dan berubah. Inilah yang harus diantisipasi dalam perjuangan menuju keadilan bagi seluruh masyarakat adat yang tersebar di kampung-kampung. Analisis singkat ini tentu hanya berdasarkan hasil Raker dan belum dibenturkan dengan hasil-hasil pengamatan, data dan hasil studi yang selama ini dilakukan oleh banyak pihak di berbagai komunitas masyarakat adat. Hal ini penting untuk melihat ke arah mana perkembangan komunitas masyarakat adat sehingga perjuangan politiknya akan selaras dan diperkuat oleh argumen-argumen sosial budayanya. Salam AMAN. Point Possible way out

Anda mungkin juga menyukai