JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
Disusun dalam rangka memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Teori Politik Internasional.
Teori Politik Internasional memiliki tiga kategori pemikiran yang berbeda-beda memandang nilai moralitas. Ketiga pemikiran tersebut antara lain, (1) Skeptisme moral, (2) Negara otonomi dan moralitas, (3) Kosmopolitan dan kemanusiaan global. Dalam mengulas bagaimana ketiga ketiga kategori pemikiran tersebut dalam memandang nilai moralitas, perlu penjabaran satu per satu. Kategori pertama adalah skepitisisme moral yang dalam hubungan internasional diwakili oleh beberapa pemikir, antara lain, Thomas Hobbes, Ronald Niebuhr, dan Thucydides. Mereka memandang bahwa nilai moralitas itu mustahil (non-exist) dalam hubungan internasional, karena sistem internasional bersifat anarkhi, yang dipicu oleh hasrat manusia untuk berkuasa. Negara menjadi aktor utama untuk meraih kekuasaan (struggle for power) sebagai misi utama. Situasi hubungan internasional yang konfliktif tersebut akan menemukan jalan perdamaian, apabila terjadi keseimbangan kekuatan (balance of power) antara negara-negara. Akibatnya, negara di dunia akan berlomba-lomba dalam meningkatkan kapabilitas militernnya, menyebakan pengaruh ideologis ke negara lain (high politics), dan cenderung akan mengabaikan isu-isu ringan seperti pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial masyarakat, isu HAM dan demokrasi (low politics). Beberapa tokoh seperti Thucydides menggambarkan bagaimana Perang Pelopponesian di zaman Yunani Kuno terjadi. Negara saling berkompetisi untuk mencari kejayaan, sehingga kompetisi tersebut melahirkan asumsi bahwa jika ingin kepentingan nasional diraih, maka suatu negara harus siap berperang. Negara yang kuat dapat mengalahkan negara lemah, begitu juga sebaliknya, negara lemah juga berpotensi mengalahkan negara yang lebih kuat (men are equal). Skeptisisme moral melahirkan perskpektif realisme yang menjadi salah satu teori paling berpengaruh dalam ilmu hubungan internasional hingga saat ini. Kategori pemikiran kedua yakni negara otonomi dan moralitas. Dalam kategori ini, pola hubungan internasional didominasi oleh perilaku negara, sehingga aspirasi berbagai negara di dunia telah menjadi norma internasional. Hal ini menyiratkan bahwa negara dari dahulu hingga saat ini begitu dominan, sebagai contoh, dalam periode
kolonialisme/imperialisme, praktik kolonialisasi oleh Bangsa Eropa adalah sesuatu yang wajar, dan bukan bersifat immoral. Karena, pada saat itu, wilayah koloni masih berupa tanah yang tidak bertuan. Dengan norma internasional tersebut, negara menjadi institusi legal dalam menentukan standard moralitas hubungan internasional, walaupun pada kenyataannya penyalahgunaan standard moralitas tersebut masih menggunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan juga secara legal dimiliki oleh negara. Pernyataan ini bermakna bahwa pengaturan
perang disusun bedasarkan kesepakatan antarnegara, tanpa melibatkan aktor lain (seperti LSM, Individu) yang berpengaruh dalam kesepakatan perang dan perdamaian internasional. Sedangkan, kategori pemikiran terakhir yaitu kosmopolitan dan kemanusiaan global. Ketika kategori pemikiran skeptisme moral berasumsi bahwa nilai moralitas itu mustahil dalam politik internasional, dan kategori pemikiran negara otonomi menganggap bahwa negara sebagai standard moralitas yang berwenang dalam mengatur penggunaan kekerasan. Kosmopolitanisme melandaskan standard moralitas bedasarkan pada manusia sebagai individu yang merdeka. Menurut pemikiran kosmopolitan, hubungan internasional tidak hanya berbicara masalah perebutan kekuasaan (power) saja, tetapi juga nilai moralitas. Kosmopolitan memandang bahwa teori politik internasional sebagai wadah manusia dalam dinamika global. Individu manusia berarti cukup signifikan dalam ruang internasional, karena individu menjadi bagian integratif dari institusi yang disebut negara. Perilaku negara berasal dari nilai bahwa peran manusia sebagai human being. Kosmopolitanisme sebagai kategori teori politik internasional yang paling benar, karena menganggap bahwa manusia sebagai nilai moralitas paling maju, asalkan terciptanya prinsip kesetaraan hak bagi seluruh umat manusia. Manusia sebagai identitas tunggal yang tetap akan peduli dengan sesamanya, agar tercipta dunia internasional yang harmonis. Kosmopolitanisme percaya bahwa manusia itu berbeda-beda, mulai dari perilaku, norma sosial, sampai dengan nilai budaya dan tradisinya. Tetapi, pada dasarnya manusia itu sama/seragam sebagai human being. Negara terkadang menjadi identitas politik yang justru menghalangi cita-cita kosmopolitanisme itu sendiri, jika individu manusia tidak bermakna signifikan dalam perilaku negara. Menurut
kosmopolitanisme, relasi negara seharusnya bersifat progresif, yang membahas isu-isu pembangunan, berbicara demokrasi di arena global. Dengan begitu, perilaku negara dapat dimanifestasikan sebagai identitas politik yang memuliakan manusia (mengandung nilai moralitas). Kesimpulannya adalah bahwa kosmopolitanisme selaras dengan nilai-nilai moralitas yang menempatkan manusia sebagai subyek utama. Sebuah perspektif dalam hubungan internasional penting adanya sebagai pisau analisis yang mampu menjelaskan fenomena politik internasional, sehingga mampu menghasilkan argumentasi yang dapat diuji secara scientific, begitu juga dengan teori politik internasional. Teori politik internasional yang dijadikan basis kebijakan memiliki implikasi yang cukup luas dalam HI. Pada bagian ini, tulisan ini akan menjelaskanapa implikasi dari pemahaman tersebut jika dijadikan basis kebijakan dengan penggunaan studi kasus untuk
mendukung argumen ini. Implikasi dari ketiga kategori pemikiran tersebut jika dijadikan basis kebijakan, antara lain, 1) Skeptisme moral. Apabila skeptisme moral menjadi basis kebijakan akan menyebabkan pola hubungan internasional yang konfliktif dan mengabaikan penegakan nilai-nilai moralitas. Sebagai contoh, bagaimana Perang Dunia II terjadi pada tahun 1939-1945. Perang Dunia II terjadi ketika dua blok (blok poros dan blok sekutu) berperang untuk mempertahankan kehormatan negaranya dan ekspansi wilayah teritorial. Apabila diulas dengan pendekatan skeptisme moral, perang ini mengakibatkan negara yang terlibat berlomba-lomba mencari kemenangan, dan mengembangkan wilayah kedaulatannya. Upaya kemenangan tersebut diraih melalui ekspansi dan invasi negara yang terlibat perang terhadap negara yang memiliki sumber daya strategis. Kita dapat melihat bagaimana perilaku Jepang yang ekspansionis menginvasi negara-negara di Asia Timur dan Tenggara. Invasi ini bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas militer Jepang dalam menghadapi sekutu. Akibatnya, invasi itu menjatuhkan korban manusia dan materiil yang banyak di negara-negara pendudukannya. Isu moralitas nampaknya diabaikan oleh negara yang terlibat perang demi mencapai misi utamanya yakni kepentingan nasional. 2) Negara otonomi dan moralitas. Apabila negara otonomi dan moralitas menjadi basis kebijakan, maka pola hubungan internasionalakan bergantung kepada perilaku negara. Secara politik, negara menjadi akor dominan dalam hubungan internasional. Secara moral, negara tidak hanya menjadi institusi legal dalam mengunakan kekerasan, tetapi juga sebagai standard moralitas dalam hubungan internasional. Dalam kaitannya sebagai standard moralitas, terdapat pengaturan tentang bagaimana pelaksanaan perang yang bedasarkan pada kesepakatan antarnegara. Sebagai contoh, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa terbentuk, tentunya lahir dari kesepakatan negara-negara yang terlibat di dalamnya (baik negara pemerakarsa maupun negara anggota) dalam mengatur hubungan internasional melalui berbagai konsensus. Contoh nyata kontemporer adalah bagaimana peran Dewan Keamanan PBB menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Libya pada tahun 2011. DK PBB yang terdiri atas negara pemegang hak veto memutuskan untuk mengeluarkan resolusi 1973 yang berisi tentang kebijakan No Fly Zone atas kedaulatan Libya, serta berusaha untuk
mengintervensi secara militer krisis politik Libya melalui bantuan NATO.1 Hal ini menunjukkan bahwa keputusan perang dan perdamaian saat ini telah
terinstitusionalisasi melalui PBB sebagai representasi dari himpunan negara otonom untuk menghukum pemimpin Libya yang dituduh telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam Krisis Politik Libya 2011. 3) Kosmopolitanisme dan nilai moralitas.Pola hubungan harmonis akan mewarnai politik internasional jika kosmopolitanisme menjadi basis kebijakan. Dunia kosmopolitan akan cenderung menggunakan konsensus global sebagai jalan untuk mencapai legitimasi agenda kosmopolitanisme tersebut. Peran LSM sebagai perwakilan civil society semakin terlihat.Sebagai contoh, bagaimana LSM dunia tergabung dalam satu misi khusus yang dianggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan bersama. LSM percaya bahwa penyebaran pendidikan demokrasi termasuk kontrol demokratis dalam kebijakan luar negeri akan memberdayakan opini publik dunia. Demokrasi membuatnya menjadi kekuatan yang kuat bahwa pemerintah tidak bisa menolak. Sehingga, kebijakan luar negeri suatu negara di dunia, mampu diawasi oleh LSM global melalui proses check and balance, supaya dapat memastikan bahwa politik internasional berjalan demokratis dan menjunjung tinggi nilai moral. Mereka percaya bahwa perang sebagai suatu penyakit dalam tubuh politik internasional, bertentangan dengan kepentingan individu/rakyat. Dari ketiga kategori pemikiran politik tersebut,menurut pendapat saya, yang paling baik digunakan sebagai basis kebijakan yaitu kosmopolitan dan kemanusiaan global. Mengapa ? karena kosmpolitanis menganggap bahwa negara adalah refleksi kebebasan individu/rakyat. Namun, pada kenyataannya negara adalah identitas politik yang mendorong manusia untuk menjadi musuh satu sama lain (immoral). Kosmopolitanisme memiliki citacita yakni hubungan internasional yang menekankan pada progresivitas kehidupan manusia. Progresivitas tersebut dibentuk dengan berbagai upaya pembangunan, membicarakan isu demokrasi dan pluralisme. Basis kebijakan kosmopolitan dapat menjamin kebebasan manusia dalam dinamika global. Untuk mendeskripisikan lebih jelasnya, kita ambil satu contoh yakni bagaimana ICC (International Criminal Court) mengadili individu yang terbukti secara
UN, Security Council Approves No-Fly Zone over Libya, Authorizing All Necessary Measures to Protect Civilians, by Vote of 10 in Favour with 5 Abstentions (online), published in March 17, 2011, http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada 29 Desember 2012.
hukum bersalah melanggar norma kemanusiaan(immoral) tanpa imunitas negara. Omar AlBashir, mantan presiden Sudan yang diadili oleh ICC karena terbukti sebagai pihak yang terlibat dalam pembantaian di Darfur. Seorang presiden pun tidak memiliki imunitas di mata hukum internasional apabila terbukti melakukan tindakan kriminal berat.2 Mengapa kategori kosmopolitanisme dinilai paling tepat? Apabila dibandingkan dengan dua kategori pemikiran lainnya, skeptisme moral jelas menentang nilai-nilai moral yang tidak berlaku dalam hubungan internasional. Sedangkan, kategori pemikiran negara otonom dan moralitas kurang relevan apabila diaplikasi sebagai basis kebijakan, sebab dasar mereka adalah perilaku negara sebagai subyek utama. Perilaku negara dalam arena internasional pada kenyataannya masih didominasi oleh kehendak elit pembuat keputusan. Sebaga contoh, ketika Amerika Serikat melancarkan program War On Terrorism, dengan mudah melakukan invasi secara brutal di beberapa negara Timur Tengah. Kebijakan itu adalah hasil kebijakan sepihak administrasi presiden George W. Bush, tanpa melibatkan kehendak rakyat melalui keputusan kongress. Hasil kebijakan WOTtersebut justru immoral dan melanggar kemanusiaan. Apakah kebijakan WOT ini dapat disebut sebagai Just War ?, tentu saja tidak. Di lain pihak, kosmopolitanisme sangat menghargai persamaan hak asasi manusia, tanpa memandang atribut kewarganegaraan sebagai identitas politiknya. Menurut kosmopolitanisme, nilai-nilai moralitas berlaku universal dan tetap memerlukan negara sebagai instrumen pelindung nilai-nilai moralitas.
Reuters, FACTBOX - Sudan's President Omar Hassan al-Bashir (online), edisi 14 Juli 2008, http://www.reuters.com/article/2008/07/14/uk-warcrimes-sudan-bashir-profile-idUKL1435274220080714, diakses pada 31 Januari 2012.