Anda di halaman 1dari 22

A. Esensi teori belajar Manusia tidak pernah terlepas dari kegiatan belajar dalam setiap aktifitas kehidupannya.

Belajar dapat diartikan sebagai proses dari tidak tahu menjadi tahu yang dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku. Perubahan perilaku itulah yang menjadi inti dari belajar itu sendiri, atau bisa disebut juga sebagai hasil belajar. Perubahan perilaku tersebut relatif menetap, namun dapat berubah apabila ada proses belajar yang lain. Perubahan perilaku melalui hasil latihan dan pengalaman yang merupakan pengaruh dari proses belajar dapat muncul pada saat itu juga, atau bisa menjadi potensi yang muncul tidak pada saat itu juga. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. A. BEHAVIORISME Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect),dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.

1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner. a. Percobaan Pavlov Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur. Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian. b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil

mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).

1) Fase Akuisisi Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisisebagai contoh, anjing belajar mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utamasebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyiconditioning jarang terjadi. 2) Fase Eliminasi Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing telah belajar mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya. 3) Generalisasi Setelah seekor hewan telah belajar respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil. 4) Diskriminasi Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.

2. Teori Stimulus-Respons John Watson Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri. Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R(stimulus-response). a. Percobaan John Watson Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks. Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.

b. Kesimpulan Watson. Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat belajar takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasanyaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai

contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.

Teori Belajar Koneksionisme Sekitar tahun 1913 Thorndike (Slavin, 1994, Elliott, dkk, 2000) mengemukakan bahwa cara belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Belajar dapat terjadi kalau ada stimulus. Karena itu teori belajar ini disebut teori stimulus dan respon (S-R). Dalam pembelajaran di sekolah teori ini banyak digunakan. Guru mengajukan pertanyaan (S), Siswa menjawab pertanyaan guru (R). Guru memberi PR (S), siswa mengerjakannya (R), Dengan demikian belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya, sehingga paham ini disebut paham koneksionism. Dalam teori belajar koneksionisme dikemukakan hukum-hukum sebagai berikut (Slavin, dkk 1994 dan Elliott, dkk. 200) :

a. Hukum Kesiapan (Law of Readiness) Menurut hukum kesiapan, hubungan antara stimulus dan respon mudah terbentuk kalau ada kesiapan pada diri seseorang. Siswa akan mudah mempelajari perkalian kalau ia telah menguasai penjumlahan. Anak usia satu tahun akan mudah belajar berjalan kalau otot-otot kakinya telah kuat untuk menahan berat badannya. Secara rinsi hukum kesiapan itu meliputi :

1) Jika seseorang telah siap merespon atau bertindak, maka tindakan atau respon yang dilakukan akan memberi kepuasan, dan akan mengakibatkan orang tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan lain. 2) Jika seseorang memiliki kesiapan untuk merespon, tetapi kemudian tidak dilakukan, maka hal itu dapat mengakibatkan ketidakpuasan, dan akibatnya orang tersebut akan melakukan tindakan-tindakan lain. 3) Jika seseorang belum mempunyai kesiapan merespon, maka respon yang diberikan akan mengakibatkan ketidakpuasan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat bergantung pada ada tidaknya kesiapan.

b. Hukum Latihan (Law of Exercise) Hukum latihan ini menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi lebih kuat karena latihan. Hubungan antara stimulus dan respon itu menjadi lemah karena latihan tidak diteruskan atau dihentikan. Implikasi hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka pelajaran itu akan semakin dikuasai. Kalau pelajaran itu tidak pernah diulang-ulang maka pelajaran itu akan dilupakan. c. Hukum Akibat (Law of Effect) Hukum ini menyatakan bahwa suatu tindakan yang diikuti oleh akibat yang menyenangkan akan cenderung diulang-ulang, sebaliknya kalau tindakan itu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan maka tindakan itu cenderung kurang diulangi lagi. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar siswa mau mengulangi respon yang sama, maka siswa itu harus diusahakan agar merasa senang, misalnya dengan cara memberi hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila kita menghendaki agar siswa tidak mengulangi respon yang tidak baik, maka ia harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya siswa itu diberi hukuman d. Transfer Latihan (Transfer of Training) Menurut Thorndike apa yang pernah dipelajari anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal-hal lain di masa yang akan datang. Implikasinya bagi pembelajaran adalah bahwa apa yang dipelajari siswa di sekolah harus berguna dan dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Contoh, siswa di sekolah belajar membaca, maka keterampilan membaca yang telah dikuasainya itu harus dapat digunakan di luar sekolah. Walaupun di sekolah tidak diajarkan cara membaca petunjuk pemakaian obat, tetapi dengan keterampilan membaca yang diperoleh selama bersekolah, ia bisa membaca petunjuk pemakaian obat, membaca surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Beberapa tahun lamanya, Thorndike (Elliott, dkk. 2000) mempunyai pengaruh yang besar dalam praktek pendidikan karena jasanya dalam meletakkan landasan ilmiah bagi pendidikan. Misalnya, penjelasan tetang transfer belajar masih sangat berarti. Belajar dapat diterapkan terhadap situasi baru hanya jika ada elemen-elemen yang sama dalam kedua situasi misalnya materi belajar yang sama. Thorndike juga berkeyakinan bahwa pengajaran yang baik dimulai dengan mengetahui apa yang anda ingin ajarkan (rangsangan). Anda juga harus mengidentifikasi respon-respon yang ingin anda hubungkan terhadap rangsangan dan saatnya kepuasan yang tepat. Thorndike mengatakan hal ini sebagai berikut : pertimbangkan lingkungan murid, pertimbangkan respon yang ingin anda hubungkan, dan buatlah hubungan itu menyenangkan. Karya Thorndike tentang low of effect merupakan statmen awal dari konsep penguatan positif yang disebar luaskan oleh Skinner.

Penerapan di Kelas Eggen dan Kauchak (1997) mengingatkan untuk memperhatikan baikbaik bentuk belajar fakta yang ditugaskan pada siswa. 3.Teori Kondisioning Operan Menurut B.F.Skiner. Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948. Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant conditioning. Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari. a. Percobaan Skinner Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari perilakukebanyakan tikus atau merpatidi dalam ruangan kecil yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan. b. Prinsip-prinsip Operant Conditioning Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).

1) Penguatan Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilakuyaitu, memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement, yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk manusia, penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses karir seseorang. Bergantung pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima dari orang tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian, mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya, atau mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan penerimaan dari kelompok sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu, uangdapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak. Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda dan hukuman, dan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk 2) Hukuman Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua macam hukuman, positif dan negatif. Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku yang buruk. Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau memenjarakan seseorang yang melanggar hukum. Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif. Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika hukuman digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif

dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah, agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis. 3) Pembentukan Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas. Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang parah dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang mereka keluarkan, dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binatang menggunakan shaping ini untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja, harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui lingkaran. 4) Eliminasi Penguatan Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di dalam operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction (eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali jika makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda dengan memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara berangsurangsur akan berkurang. 5) Generalisasi dan Diskriminasi Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya sama. Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi pernikahan. Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan

diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning. c. Penerapan Operant Conditioning Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya. Pakar psikologi yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping untuk mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat terlarang, perilaku dan konsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah lainnya. B. Kognitivisme

Kognitivisme berpendapat bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Menurut kognitivisme, belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Kognitivisme tidak menolak seluruh gagasan dari behaviorisme namun lebih pada perluasan, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses belajar. Berbeda dengan Behaviorisme yang menganggap manusia bersifat statis, dan dibentuk oleh lingkungan. Dalam kognitivisme manusia dianggap mampu mengendalikan diri dari pengaruh lingkungan. Teori Belajar Sosial Disebut juga teori belajar mencontoh, atau social kognitif. Dalam teori belajar sosial ini suatu perilaku yang diinginkan atau ingin dibentuk dapat dihasilkan dengan peniruan/modeling dengan cara observasi.

Teori belajar kognitif teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas.

C. Konstruktivisme Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses dimana pembelajar secara aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Konstruktivisme berpendapat belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri. Jadi, belajar merupakan usaha keras yang sangat personal, sedangkan internalisasi konsep hukum, dan prinsip-prinsip umum sebagai konsekuensinya seharusnya diaplikasikan dalam konteks dunia nyata.

B.Esensi teori pembelajaran Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu: 1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan. Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat

diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai pemahaman yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan pengetahuan yang ada pada tingkatan pertama.

Domain Kognitif Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan Pengetahuan (Knowledge) Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk, dsb. Aplikasi (Application) Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.

Analisis (Analysis) Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membandingbandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan. Sintesis (Synthesis) Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.

Evaluasi (Evaluation) Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb

Domain Afektif Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol. Penerimaan (Receiving/Attending) Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya. Tanggapan (Responding) Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan. Penghargaan (Valuing) Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku. Pengorganisasian (Organization) Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex) Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya.

Domain Psikomotor Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom. Presepsi (Perception) Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan. Kesiapan (Set) Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.

Guided Response (Respon Terpimpin) Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan gerakan coba-coba. Mekanisme (Mechanism) Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap. Respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response) Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks. Penyesuaian (Adaptation) Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi. Penciptaan (Origination) Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu. Prinsip-prinsip pembelajaran Perhatian dan Motivasi Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya. Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran yang dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya. Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan; melihat masalahmasalah yang akan diberikan; memilih dan memberikan fokus pada masalah yang harus diselesaikan. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasi untuk mempelajarinya. Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan merasa senang belajar matematika dan terdorong untuk belajar lebih giat, karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri siswa terhadap mata

pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan bersungguh-sungguh menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar; berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut; Terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan.

Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang tua, teman dan sebagainya. Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu: memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi. Keaktifan Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa mengadakan tansformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan "manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu". Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.

Keterlibatan Langsung/Pengalaman Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak hanya mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai contoh seseorang yang belajar membuat tempe yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam pembuatan, bukan hanya melihat bagaimana orang membuat tempe, apalagi hanya mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa belajar sambil bekerja, karena dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengalaman serta dapat mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat. Hal ini juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean Jacques Rousseau bahwa anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri. Pembelajaran itu akan lebih bermakna jika siswa "mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui" dari informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi bahwa siswa akan belajar dngan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Dari berbagai pandangan para ahli tersebut menunjukkan berapa pentingnya keterlibatan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh siswa secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan proporsional, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep. Modus Pengalaman belajar adalah sebagai berikut: kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik akan mengingat hanya 20% karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru meminta peserta didik untuk melakukan sesuatu dan melaporkan nya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang filsof Cina Confocius, bahwa: apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham. Dari kata-kata bijak ini kita dapat mengetahui betapa pentingnya keterlibatan langsung dalam pembelajaran.

Pengulangan

Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berfikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna. Dalam proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka semakin ingat dan melekat pelajaran itu dalam diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan" akan tetap tertanam dalam otak seseorang. Mengulang dapat secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting adalah mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan membuat ringkasan. Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar. Tantangan Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan dalam mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Menurut teori ini belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Agar pada diri anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik, maka bahan pelajaran harus menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bersemangat untuk mengatasinya. Bahan pelajaran yang baru yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya. Penggunaan metode eksperimen, inquiri, discovery juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif dan negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukuman yang tidak menyenangkan. Balikan dan Penguatan

Prinsip belajar yang berkaiatan dengan balikan dan penguatan adalah teori belajar operant conditioning dari B.F. Skinner.Kunci dari teori ini adalah hukum effeknya Thordike, hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat, jika disertai perasaan senang atau puas dan sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak senang. Artinya jika suatu perbuatan

itu menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu cenderung diulangi. Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka cenderung untuk ditinggalkan atau tidak diulangi lagi. Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapat hasil yang baik. Apabila hasilnya baik akan menjadi balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Namun dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan, atau dengan kata lain adanya penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar. Siswa yang belajar sungguhsungguh akan mendapat nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operan conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang mendapat nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong untuk belajar yang lebih giat. Di sini nilai jelek dan takut tidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar lebih giat, inilah yang disebut penguatan negatif. Perbedaan Individual

Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus memahami perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Setiap siswa juga memiliki tempo perkembangan sendiri-sendiri, maka guru dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan kalsik yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.

Macam-Macam Metode pembelajaran : 1. Metode Ceramah Metode pembelajaran ceramah adalah penerangan secara lisan atas bahan pembelajaran kepada sekelompok pendengar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jumlah yang relatif besar. Seperti ditunjukkan oleh Mc Leish (1976), melalui ceramah, dapat dicapai beberapa tujuan. Dengan metode ceramah, guru dapat mendorong timbulnya inspirasi bagi pendengarnya. Gage dan Berliner (1981:457), menyatakan metode ceramah cocok untuk digunakan dalam pembelajaran dengan ciri-ciri tertentu. Ceramah cocok untuk penyampaian bahan belajar yang berupa informasi dan jika bahan belajar tersebut sukar didapatkan. 2. Metode Diskusi Metode pembelajaran diskusi adalah proses pelibatan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksisaling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif (Gagne & Briggs. 1979: 251). Menurut Mc. Keachie-Kulik dari hasil penelitiannya, dibanding metode ceramah, metode diskusi dapat meningkatkan anak dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah. Tetapi dalam transformasi pengetahuan, penggunaan metode diskusi hasilnya lambat dibanding penggunaan ceramah. Sehingga metode ceramah lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas pengetahuan anak dari pada metode diskusi. 3. Metode Demonstrasi Metode pembelajaran demontrasi merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif untuk menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana cara mengaturnya? Bagaimana proses bekerjanya? Bagaimana proses mengerjakannya. Demonstrasi sebagai metode pembelajaran adalah bilamana seorang guru atau seorang demonstrator (orang luar yang sengaja diminta) atau seorang siswa memperlihatkan kepada seluruh kelas sesuatau proses. Misalnya bekerjanya suatu alat pencuci otomatis, cara membuat kue, dan sebagainya. Kelebihan Metode Demonstrasi : a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan. b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa. Kelemahan metode Demonstrasi : a. Siswa kadang kala sukar melihat dengan jelas benda yang diperagakan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan. c. Sukar dimengerti jika didemonstrasikan oleh pengajar yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan. 4. Metode Ceramah Plus Metode Pembelajaran Ceramah Plus adalah metode pengajaran yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni metode ceramah yang dikombinasikan dengan metode lainnya. Ada tiga macam metode ceramah plus, diantaranya yaitu: a. Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas b. Metode ceramah plus diskusi dan tugas c. Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL)

5. Metode Resitasi Metode Pembelajaran Resitasi adalah suatu metode pengajaran dengan mengharuskan siswa membuat resume dengan kalimat sendiri. Kelebihan Metode Resitasi adalah : a. Pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama. b. Peserta didik memiliki peluang untuk meningkatkan keberanian, inisiatif, bertanggung jawab dan mandiri. Kelemahan Metode Resitasi adalah : a. Kadang kala peserta didik melakukan penipuan yakni peserta didik hanya meniru hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri. b. Kadang kala tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan. c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual. 6. Metode Eksperimental Metode pembelajaran eksperimental adalah suatu cara pengelolaan pembelajaran di mana siswa melakukan aktivitas percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri suatu yang dipelajarinya. Dalam metode ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri dengan mengikuti suatu proses, mengamati suatu obyek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang obyek yang dipelajarinya. 7. Metode Study Tour (Karya wisata) Metode study tour Study tour (karya wisata) adalah metode mengajar dengan mengajak peserta didik mengunjungi suatu objek guna memperluas pengetahuan dan selanjutnya peserta didik membuat laporan dan mendiskusikan serta membukukan hasil kunjungan tersebut dengan didampingi oleh pendidik. 8. Metode Latihan Keterampilan Metode latihan keterampilan (drill method) adalah suatu metode mengajar dengan memberikan pelatihan keterampilan secara berulang kepada peserta didik, dan mengajaknya langsung ketempat latihan keterampilan untuk melihat proses tujuan, fungsi, kegunaan dan manfaat sesuatu (misal: membuat tas dari mute). Metode latihan keterampilan ini bertujuan membentuk kebiasaan atau pola yang otomatis pada peserta didik. 9. Metode Pengajaran Beregu Metode pembelajaran beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas.Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya,setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiapsiswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut 10. Peer Theaching Method Metode Peer Theaching sama juga dengan mengajar sesama teman, yaitu suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri. 11. Metode Pemecahan Masalah (problem solving method) Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanyasekadar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebabdalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulaidengan mencari data sampai pada menarik kesimpulan. Metode problem solving merupakan metode yang merangsang berfikir danmenggunakan wawasan tanpa melihat kualitas pendapat yang disampaikan olehsiswa. Seorang guru harus pandai-pandai merangsang siswanya untuk mencobamengeluarkan pendapatnya.

12. Project Method Project Method adalah metode perancangan adalah suatu metode mengajar dengan meminta peserta didik merancang suatu proyek yang akan diteliti sebagai obyek kajian. 13. Taileren Method Teileren Method yaitu suatu metode mengajar dengan menggunakan sebagiansebagian,misalnya ayat per ayat kemudian disambung lagi dengan ayat lainnya yang tentusaja berkaitan dengan masalahnya 14. Metode Global (ganze method) Metode Global yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisaridari materi tersebut. KAITAN TEORI BELAJAR DENGAN PEMBELAJARAN teori belajar adalah konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat teoritis dan telah teruji kebenarannya melalui eksperimen. Teori belajar itu berasal dari teori psikologi dan terutama menyangkut masalah situasi belajar. Sebagai salah satu cabang ilmu deskriptif, maka teori belajar berfungsi menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana proses belajar terjadi pada si belajar. Karena para pakar psikologi mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana belajar itu terjadi, maka menimbulkan beberapa teori belajar seperti teori behavioristik, kognitif, humanistik, sibernetik dan sebagianya. Teori pembelajaran tidak menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi, tetapi lebih merupakan implementasi prinsip-prinsip teori belajar dan berfungsi untuk memecahkan masalah praktis dalam pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran selalu akan mempersoalkan bagaimana prosedur pembelajaran yang efektif, maka bersifat preskriptif dan normatif. Teori pembelajaran akan menjelaskan bagaimana menimbulkan pengalaman belajar dan bagaimana pula menilai dan memperbaiki metode dan teknik yang tepat. Teori pembelajaran yang demikian itu memungkinkan guru untuk : (1) Mengusahakan lingkungan yang optimal untuk belajar (2) Menyusun bahan ajar dan megurutkannya (3) Memilih strategi mengajar yang optimal dan apa alasannya (4) Membedakan antara jenis alat AVA yang sifatnya pilihan dan AVA lain yang sifatnya esensial untuk membelajarkan para siswa. Demikian halnya teori belajar yang bersifat deskriptif itu, akan mampu menjelaskan, memprediksi dan mengontrol peristiwa belajar. Sehingga prinsip-prinsip dan hukum belajar akan dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Maka teori belajar tertentu dengan sendirinya akan berimplikasi pada pembelajaran tertentu pula atau tergantung dari sudut pandang mana proses belajar itu terjadi. Dengan demikian jelaslah bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara teori belajar dengan teori pembelajaran.

KAITAN TEORI BELAJAR DENGAN PEMBELAJARAN

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah belajar pembelajaran yang dibimbing oleh Dr.Syarif Suhartadi,M.Pd.,M.M

OLEH Dadang f.k Rahibul Syahrullah

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK MESIN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK MESIN Maret,2012

Anda mungkin juga menyukai