Anda di halaman 1dari 5

Critical Review Understanding Indonesia - The Role of Economic Nationalism Thee Kian Wie

Nasionalisme Ekonomi Indonesia telah menjadi sebuah alat politik yang digunakan para pemimpin Indonesia, sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, untuk mencapai tujuan mereka masing masing. Pernyataan kamus politik Routledge bahwa nationalism digunakan oleh para pemimpin politik dengan mengedepankan persatuan nasional dan difokuskan kepada ancaman yang datang dari mereka yang secara jelas asing atau berbeda, untuk menjalankan kebijakan kebijakan yang tidak populer, tepat menggambarkan nasionalisme ekonomi yang berjalan di Indonesia. Meskipun serupa dalam dalih pelaksanaanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan golongan pribumi sebagai golongan yang kurang mampu, pemimpin yang berbeda menghadirkan nasionalisme ekonomi dalam bentuk yang berbeda dengan tujuan (implisit) yang berbeda pula. Tidak terdapat kesinambungan yang jelas sepanjang waktu akan kebijakan kebijakan yang diambil pemerintahan orde lama, orde baru dan orde reformasi dalam penanganan nasionalisme ekonomi. Oleh karena itu, dalam tinjauan kritis ini, proses nasionalisme ekonomi Indonesia akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Orde Lama, (2) Orde Baru, (3) Krisis Moneter 1997/1998 dan Orde Reformasi. Orde Lama Dibawah tekanan politik dalam negeri, pemerintahan orde lama memutuskan untuk mengambil alih perekonomian Indonesia dari tangan Belanda melalui program Benteng, yang secara eksplisit berniat untuk menumbuhkan golongan wirausahawan pribumi di Indonesia. Salah satu programnya adalah pengadaan lisensi impor yang hanya diberikan kepada perusahaan perusahaan yang 70% kepemilikannya dikuasai oleh pribumi. Alasan pemerintahan orde lama dalam pelaksanaan program Benteng sebenarnya tidak tepat. Menurut Lindblad (2002), bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, perkembangan wirausahawan pribumi di Indonesia cukup nyata dan akan terus berkembang dengan baik tanpa dibutuhkannya dukungan pemerintah. Sebagai contoh, di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi telah terdapat banyak petani dan pedagang karet dan kopra pribumi yang sukses mengembangkan usahanya. Di daerah Kudus yang terkenal akan kreteknya, Nitisemito yang bersuku Jawa sukses bersaing dengan wirausahawan kretek keturunan Cina. Di Surabaya, Bank Nasional Indonesia (BNI) didirikan oleh seorang pribumi pada tahun 1929. Dari contoh - contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun secara eksplisit program benteng dicanangkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, niatan sebenarnya lebih bersifat politik dibandingkan peningkatan kesejahteraan rakyat pribumi. Dilihat secara teknis ekonomi, pelaksanaan program Benteng juga memiliki banyak kelemahan. Pelaksanaan program Benteng di Indonesia menjauhkan modal, teknologi dan keahlian asing yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semestinya, program benteng dilakukan melalui sebuah proses bertahap agar para wirausahawan Indonesia dapat melalui proses pembelajaran terlebih dahulu sebelum diberikan beban tanggung jawab menjalankan usaha secara mandiri. Sistem lisensi impor juga pada akhirnya tidak tepat sasaran karena kerjasama Ali Baba yang dilakukan antara wirausahawan keturunan cina dan pribumi, dimana usaha tetap dijalankan para wirausahawan Cina tapi lisensi didapatkan oleh warga pribumi. Kantor Pusat Urusan Import (KPUI), yang mengurus lisensi import menjadi terkenal sebagai pusat korupsi dan nepotisme. Menurut Castles (1976), kegagalan program Benteng dan korupsi KPUI mengakibatkan tebentuknya
1

aliansi baru antara pemegang kekuatan politik, baik birokrat dan militer, dengan kapitalis swasta, khususnya para wirausahawan Cina yang terbawa sampai ke pemerintahan orde baru. Ketika Perdana Menteri Burhanuddin Harahap berniat memperbaiki kekurangan teknis dalam pelaksanaan program Benteng di tahun 1956 dan mengembalikan program tersebut pada tujuan aslinya, kebijakan ekonomi nasional sudah menjadi terkait dengan konflik Irian Barat, yang berujung pada pengambilan alihan secara paksa seluruh aset Belanda di Indonesia. Dibalik konfrontasi dengan Belanda, Indonesia juga mengalami masalah yang lebih sensitif dengan masyarakat keturunan Cina yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Presiden Sukarno tak dapat mengambil aset masyarakat Cina sekaligus dengan aset milik Belanda di tahun 1957 karena beberapa alasan. Pertama, hubungan Indonesia dengan Cina di masa orde lama kuat dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, perlakuan diskriminasi terhadap rakyat Cina akan sama dengan perlakuan Belanda terhdapat Indonesia yang secara implisit juga berunsur rasisme. Ketiga, jumlah masyarakat beretnis Cina lebih banyak dari Belanda dan mereka telah berbaur secara sosial dan ekonomi dengan pribumi. Meskipun begitu, tekanan politik dalam negeri yang timbul karena gerakan Asaat yang muncul tahun 1956 pada akhirnya memaksa pemerintahan orde lama mengambil tindakan terhadap penguasaan ekonomi etnis Cina dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959, yang memerintahkan semua warga asing untuk mentransfer bisnisnya ke warga Indonesia. Karena pribumi tidak memiliki kemampuan untuk menggantikan masyarakat etnis Cina dalam mengelola usaha, PP No. 10 Tahun 1959 menimbulkan kekacauan ekonomi di daerah pedesaan. Walaupun secara formal Asaat Datuk Mundo, pemimpin gerakan Asaat memimpin gerakan anti-Cina dengan alasan membela kaum pribumi, secara ekonomi dan sosial gerakan tersebut tidak beralasan. Sebagaimana dijelaskan diatas, wirausahawan pribumi sudah cukup berkembang dan mampu bersaing dengan para pedagang Cina tanpa adanya paksaan pemerintah. Menurut Suryadinata (1981), pendukung gerakan Asaat adalah pedagang pribumi yang merasa tak mampu bersaing secara adil dengan pedagang Cina yang memang superior dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan dalih etnis untuk mengambil alih usaha para wirausahawan beretnis Cina. Pendukung gerakan Asaat tak lebih dari Interest Group yang berusaha mendapatkan ekonomi melalui tangan pemerintah. Orde Baru Peristiwa Malari di tahun 1974 mengakibatkan kebijakan ekonomi pemerintahan orde baru berubah dari terbuka menjadi semi tertutup. Sejak kejadian tersebut, pemerintah menetapkan restriksi terhadap investasi asing dan kebijakan industri berubah menjadi substitusi impor. Industri yang dimiliki oleh pribumi diberikan proteksi terhadap persaingan asing dan impor dikontrol melalui kebijakan lisensi tunggal. Kebijakan kebijakan digunakan oleh para pemegang kekuasaan politik Indonesia di saat itu untuk memperkaya diri mereka. Sebagaimana dijelaskan diatas, aliansi yang dibentuk antara kapitalis Cina dengan para petinggi militer yang pada saat itu telah menguasai kursi pemerintahan semakin berkembang dan mengakibatkan terpusatnya kekuatan ekonomi pada individu individu tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah, khususnya Presiden Suharto. Salah satu contoh adalah Panca Holding yang diberikan lisensi impor satu satunya untuk plastik. Hal ini mengakibatkan melonjaknya harga plastik di Indonesia yang hasilnya meningkatkan kekayaan para pemilik perusahaan tersebut, yaitu Sudwikatmono, saudara dari Presiden Suharto dan duan dari anak Presiden Suharto, Sigit Haryoyudanto dan Bambang Trihatmodjo.
2

Masalah warga pribumi dengan warga keturunan Cina tetap eksis di masa orde baru. Presiden Suharto sadar akan pentingnya keberadaan masyarakat etnis Cina dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Namun begitu, masyarakat pribumi masih memiliki masalah dengan etnis Cina karena beberapa hal. Alasan utama adalah, setelah kejadian G30S/PKI dan pemberantasan komunis di Indonesia, pemerintah Indonesia, khususnya yang memiliki latar belakang militer menjadi sangat anti komunis. Pemerintah Indonesia masih menyimpan rasa curiga dan ketakutan bahwa negara Republik Rakyat Cina (RRC) akan menggunakan rakyat beretnis Cina yang tinggal di Indonesia (yang pada saat itu berjumlah 24% dari populasi), untuk mengembalikan komunisme ke Indonesia. Karena itu, walaupun dalam bidang ekonomi, pemerintahan orde baru membuka kesempatan yang luas untuk masyarakat etnis Cina, dibuat halangan bagi mereka untuk masuk kedalam kancah politik dan budaya di Indonesia. Menurut Suryadinata (2001), segregasi politik dan budaya iniliah yang menghalangi asimilasi total penduduk etnis Cina dengan pribumi Indonesia, sehingga keberhasilan etnis Cina di bidang ekonomi selalu disambut dengan perasaan iri oleh pribumi yang akhirnya muncul secara nyata pada saat krisis moneter, tepatnya Mei 1998 dimana terjadi pemerkosaan wanita wanita etnis Cina di Solo dan Jakarta. Mendekati tahun 1990, pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat mendatangkan keinginan membangun industri berteknologi tinggi yang dipimpin B.J. Habiebie yang saat itu berlaku sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Secara ekonomi, keputusan untuk membangun industri berteknologi tinggi, khususnya industri pesawat terbang yang dipimpin sendiri oleh B.J. Habiebie tidak tepat. Indonesia yang masih dalam proses industrialisasi semestinya tetap fokus kepada mekanisasi industri tradisional seperti agraria dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik dan air yang sangat kurang keberadaannya di luar Pulau Jawa. Krisis Moneter 1997/1998 dan Orde Reformasi Krisis moneter 1997/1998 berdampak besar kepada perekonomian Indonesia. Kebutuhan dana yang besar untuk menanggulangi depresiasi rupiah memaksa Indonesia membuka pasar finansialnya terhadap modal asing atas perintah International Monetary Fund (IMF) sebagai syarat pinjaman dana. Menurut Stiglitz (2002) paksaan IMF kepada Indonesia tidak lepas dari ekonomi politik negara Amerika Serikat. Sejak tahun 1970, kawasan Asia timur, termasuk Korea Selatan, Indonesia dan Thailand, merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang paling pesat di dunia. Pada saat era orde baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata rata mencapai angka diatas 7% setiap tahunnya. Namun begitu, investor Amerika Serikat mengalami kesulitan untuk menanamkan modalnya di kawasan tersebut karena struktur pasar modal negara negara kawasan tersebut yang relatif tertutup terhadap investor asing. Para pemegang modal Amerika Serikat, selaku interest group yang selalu mencari lokasi penanaman modal, melihat krisis moneter yang menimpa Asia sebagai sebuah kesempatan, dan melalui pengaruh yang mereka miliki, memasukkan syarat liberalisasi pasar modal sebagai salah satu syarat pinjaman IMF kepada negara negara di kawasan tersebut, termasuk Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat yang baru saja memenangkan perang dingin dengan Rusia (yang juga merupakan perang ideologi komunis melawan pasar bebas), melihat keadaan di Asia sebagai sebuah kesempatan untuk memperluah ideologi pasar bebas kepada negara negara berkembang. Dilihat dari sisi ekonomi, keputusan Indonesa tunduk pada tuntutan IMF dalam meliberalisasi pasar finansialnya tidak tepat. Mantan Managing Director IMF, Dominique Strauss Kahn mengakui bahwa segala tuntutan - tuntutan IMF kepada Indonesia, termasuk
3

penutupan 16 bank pada saat itu adalah sebuah kesalahan yang hanya mendatangkan kesulitan khususnya pada kaum tidak mampu di Indonesia. Menurut Stiglitz (2002), pada saat terjadinya krisis, semestinya dilakukan restrukturisasi hutang yang disertai dengan implementasi proses pernyataan pailit yang dipermudah agar perusahaan dapat melakukan reorganisasi secara efisien dan melanjutkan kembali kegiatannya. Dengan demikian dapat diambil keuntungan dari depresiasi rupiah yang ekstrim dengan meningkatkan ekspor. Selain itu, restrukturisasi hutang juga akan menghindari pelucutan aset oleh pihak asing yang pada saat itu banyak terjadi di Indonesia. Lima belas tahun setelah krisis moneter berlalu, nasionalisme ekonomi tetap eksis di Indonesia, khususnya di bidang sumber daya alam. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan sikap yang tidak konsisten terhadap kebijakan pemerintah mengenai kepemilikan asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Pada tahun 2009, dikeluarkan undang undang yang mengizinkan warga asing memiliki lisensi pertambangan tanpa membutuhkan rekan warga Indonesia. Namun begitu pada bulan Maret 2012, dikeluarkan undang undang yang memaksa warga asing untuk mendivestasikan minimal 51% saham mereka kepada warga Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun. Tidak konsistennya kebijakan terkait sumber daya tidak lepas dari politik dan kepentingan elit masyarakat Indonesia. Contohnya, sebuah tambang batu bara ditemukan oleh perusahaan Inggris di Kalimantan yang setelah diverifikasi dapat menghasilkan $1 miliar setiap tahunnya selama 25 tahun kedepan. Setelah perusahaan Inggris tersebut mempublikasikan hasil temuannya, izin pertambangan yang sudah mereka dapatkan secara sah ditarik oleh pemerintah Kutai Timur dan diberikan kepada perusahaan Nusantara Group. Nusantara Group dimiliki oleh Prabowo Subianto mantan kepala Kopassus dan mantan suami anak perempuan Presiden Suharto, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Suharto). Kejadian kejadian seperti contoh diatas banyak terjadi di Indonesia dan mengakibatkan enggannya investor asing untuk menanamkan modal dan berbagi ilmu pengetahuan dan teknologinya dengan Indonesia. Regulasi yang tidak konsisten dan berubah ubah dengan alasan nasionalisme ekonomi merugikan rakyat dengan mencegah pertumbuhan ekonomi yang optimal. Kesimpulan Kecemburuan rakyat pribumi Indonesia terhadap non pribumi telah dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan demi keuntungan mereka sendiri. Kebijakan - kebijakan nasionalisme yang muncul sejak era orde lama tak lebih dari kelanjutan politik pecah belah atau divide et impera, yang dijalankan Belanda untuk mencegah persatuan Indonesia. Secara ekonomi, tindakan diskriminasi dan perlindungan terhadap para wirausahawan pribumi tidak mendatangkan keuntungan bagi pembangunan bangsa Indonesia. Bahkan di masa masa tertentu, seperti yang sedang kita alami di era orde reformasi, nasionalisme justru menghambat pertumbuhan ekonomi yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat.

Daftar Pustaka Castles, L. (1976). Religion, Politics and Economic Behaviour in Java. New Haven, CT :
4

Yale University Press. Lindblad, J Thomas (2002). The Importance of Indonesianisasi During The Transition From The 1930s to The 1960s. Leiden : KITLV Press. Siddique, S. dan Suryadinata, L. (1981). Bumiputra and Pribumi : Economic Nationalism (Indiginism) in Malaysia and Indonesia. Pacific Affairs. Stiglitz, J. (2002). Globalization and Its Discontents. London : Penguin Press Suryadinata, L. (2001). Chinese Politics in Post Suhartos Indonesia. Beyond The Ethnic Approach? University of California Press. Wie, T.K. (2010). Understanding Indonesia : The Role of Economic Nationalism. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities.

Anda mungkin juga menyukai