Anda di halaman 1dari 5

Ketika pertama kali masuk kelas filsafat, kebingungan dan ketakutan merambah ke seluruh dendrit dan abstraksi perasaan

yang tak bisa diukur berapa besar kuantitasnya. Serentak ingatan ini tertuju pada lembaran resume buku Ibnu Qayyim yang berjudul Berbicara Tentang Tuhan, salah satu resume yang saya tulis adalah tentang hadits laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Berbagai

interpretasi tersebar dalam memaknai hadits tersebut, ada yang menafsirkan bahwa laki-laki itu adalah bukan hanya berarti jenis kelamin tetapi juga perempuan yang memiliki kapasitas jiwa kepemimpinan seperti layaknya pemimpin lakai-laki. Hal itu adalah salah satu buah pikir rasional yang berbentuk analogi, dengan kata lain qiyas di atas nash. Padahal sahabat nabi tidak pernah mentawilkan nama, sifat, dan

perbuatan Allah Taala. Tidak juga pernah mengubah dari tempat-NYA, menciptakan perumpamaan untuk-NYA, mengalihkan dari hakikat asalnya atau membawanya ke arti majazi. Akan tetapi mereka menerima segalanya dengan tanpa bertanya-tanya, tidak seperti yang telah dilakukan oleh ahli bidah dan hawa nafsu. Dimana mereka telah mengakui sebagian dan mengingkari sebagian lain tanpa landasan yang jelas. Begitupun prinsip Ibnu Qayyim dalam karya-karyanya, beliau sangat menentang dan menghindari rasionalitas, analogi, intuisi dan politik. Contoh lain, bersemayam itu suatu hal yang sudah maklum adanya. Sedangkan bagaimana caranya pada dzat Allah tidak dapat dipikirkan. Mengimaninya adalah suatu hal yang wajib dan mempertanyakannya adalah bidah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang terbatas (manusia) tidak akan mampu memikirkan sesuatu yang tidak terbatas (Tuhan). Dalam hal ini, saya juga berfikir

batasan itu tentu ada, namun bukan berarti mengkerdilkan akal yang Allah karuniakan, tetapi lebih pada sikap kehati-hatian dalam menggunakan akal agar tidak termasuk pada golongan pemuja rasio. Lalu muncul pertanyaan, adakah batasan untuk berasionalitas? Sampai manakah kita diizinkan berfikir dan menggunakan akal? Adanya pencipta menunjukkan adanya yang diciptakan, adanya yang berbuat menunjukkan adanya perbuatan. Hal tersebut akan terasa lebih jelas bagi orang yang dapat berpikir secara jernih dan benar. Orang-orang yang arif berdalil dengan Tuhan itu sendiri untuk menunjukkan keberadaan perbuatan-NYA. Sedangkan orang-orang awam berdalil dengan sebaliknya. Hal yang tak kalah membuat saya tersentak adalah perkataan bapak, Belajar mengawinkan 2 konsep, sedikitnya 10 konsep maka akan mendapat kebenaran dan mendapat teori. Bayangkan jika bisa mengawinkan ayat-ayat Al-Quran 6.666 ayat, jadi 2
6.666

=? yang menjadi masalah adalah bagaimana untuk menepis ketakutan

untuk mendapat kebenaran nash dalam kata yang lebih sederhana untuk dipahami sebagai buah karya pemikiran sendiri? Dan yang lebih jauhnya lagi adalah untuk menjadi muslim moderat, mukmin demokrat, muhsin diplomat yang siap menyebarkan kalimat-kalimat Allah di muka bumi dengan bahasa yang moderat dan nalar yang sistematis tetapi tidak keluar dari makna sebenarnya.

Sebenarnya ada beberapa pemikiran atau celoteh saya terhadap diri sendiri yang menurut saya sudah masuk ranah filsafat namun itu tadi takut untuk melanjutkan karena takut keluar dari kebenaran-NYA, seperti : Ijtihad v.s berfilsafat Dalam aktivitas mencari kebenaran terkadang terhalang oleh pengalaman mental dan akal, bisa jadi akal melangkah lebih maju daripada mental. Sedang untuk menghasilkan nalar yang dapat diandalkan adalah

keseimbangan antara keduanya. Yang lebih dulu telur atau ayam? Terbit atau tenggelam? Jawabannya, takkan ada telur jika tidak ayam, begitu sebaliknya. Dan takkan ada terbit jika tidak ada terbenam, begitupun sebaliknya. Sehingga, adanya sesuatu sebab adanya sesuatu yang lain. Begtulah sifat makhluk yang fana, berbanding terbalik dengan dzat Allah yang qadim yang tanpa permulaan dan akhir. Puisi : (I made it when I very proud of my Boarding School and my sacrifices_2011) SATYAGRAHA SAHARA ILMU Langkah baru di balik getirnya sang silam Dalam hela nafas ku bergeming Tuk merajut hari dalam pelarian panjang Hari-hari penuh retorika ziryab Ketika sembab membasahi upuk mata

Dengan raut yang seakan jera Ku jatuhkan raga dalam pangkuan alam Kini ku berduka Segala rasa terbuncah Bayangan dan kenyataan bak sekte raut sendu Rupawan namun tetap samar Merdu namun tetap memekakan Itulah aku dalam alegori nista itu Jika kau bayangkan Mentari ciptakan berjuta warna pada biasnya Kelelawar yang bisa berjalan dalam kegelapan Tidakkah aku ciptakan kesempurnaan sepertinya Bentuk sempurna raga anugerah-NYA Akankah hanya indah yang tak terlihat Dan risau yang tak terlepaskan Waktupun mampu berevolusi Sedang ku hidup dalam lingkaran-NYA Begitupun seluruh bagian kehidupan Tercipta dan musnah dalam genggaman-NYA Relakah hti dalam lenggangan tak berdaya? Rekaman zaman ah.merasa semakin tercekik Memang Ku tak mampu mencipta keadaan 4

Namun ku mampu mengubahnya Ku tak mampu mencipta kebaikan Namun ku mampu mengikutinya Ku memang dalam keterbatasan Namun ku miliki jaminan atas janji-NYA Janji kebahagiaan dalam kalam-NYA Sebab getir berbuah keindahan Lihatlahsaudaraku Setitik berlian tetap berharga Setetes air menjadi kehidupan Sebutir padi menjadi buruan Lalu tidakkah ribuan dendrit pada otak ini mendatangkan manfaat Tidakkah indera sempurna ini mampu merangkul dasyatnya ilmu Ilahi Sungguh seluruhnya tercipta tak lepas dari hikmah

Anda mungkin juga menyukai