Anda di halaman 1dari 2

ENGLISH AND ME Dari judulnya jelas, tapi bukan maksud saya menggurui, cuma sekedar sharing mengenai pengalaman

bergulat dengan bahasa Inggris. Pengen bisa bahasa Inggris tapi nda ada sparing-nya atau Kalo denger sih ngerti tapi mbalesnya nda bisa adalah dua contoh permasalahan dari beberapa teman yang katanya ingin bisa berbahasa Inggris, baik secara pasif maupun aktif (maksudnya tingkat fluency). Beberapa tahapan yang saya lalui dalam menguasai bahasa Inggris (meskipun sampai saat ini masih belajar): 1. SD sampai SMP: tahap pengenalan di bangku sekolah. Asal sudah bisa menceritakan nama, tempat tanggal lahir sampai cerita keluarga, wah rasanya udah fasih. Di sini peran guru sangat terasa untuk membangkitkan rasa percaya diri dan berani berbahasa Inggris. 2. SMA: hampir sama seperti di SMP, tapi lebih punya kesadaran akan pentingnya bahasa ini sebagai bahasa pergaulan dunia. English day sangat membantu, meskipun kalau ada pengumuman yang sulit maka tinggal bilang, Because it is hard to say in English, I will say it in Indonesia. Not the best solution, but at least we try! 3. Kuliah: karena ilmu pengetahuan kita ketinggalan beberapa periode dari bangsa lain (termasuk juga budaya menulis nenek moyang kita terasa kurang, atau belum ditemukan peninggalannya), maka banyak literatur yang berasal dari bahasa asing (baca: Inggris). Mau nda mau, literatur tebal di bawa ke kelas bareng kamus Oxford (English > English). Terima kasih buat beberapa teman (terutama Charles, Donal, Erich) yang sudah menjadi murid sekaligus guru dalam suatu periode English day di kampus. Bawa bahan dari koran, opini, dll. terus kita cas cis cus, banyak salah awalnya, lama-lama tambah banyak, hehe ... at least kita sudah nda di tangga yang sama. 4. Kursus: bukan cerita baru, tapi saya lebih suka ambil conversation karena pasti terpaksa menguasai grammar yang baik dan benar. Kalau mau bisa berenang yang harus nyemplung, tapi jangan dalam-dalam, sama liat-liat ada yang bisa nolong nda :)

5. mIRC ... ini media chatting yang populer di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Seiring perkembangan Internet, so jangkauan jelajah pertemanan juga semakin luas, bahasa Inggris mutlak perlu. Zaman itu masih belum ada google translate tapi babelfish.altavista. 6. Pekerjaan: mulai dari jaga warnet sampai ngurusin kapal dan tower, semua berpeluang memberikan kita dorongan semangat (karena kebutuhan kerja) untuk bisa berbahasa Inggris. Paling ribet kalau percakapan berbahasa Inggris dilakukan lewat telepon (dalam hati: kowe ngomong opo kumur-kumur seh?). Kalau lewat e-mail atau chatting mah dah gape (waktu berpikir agak lebih panjang). Nah jelas di sini, practice makes perfect nda diragukan lagi. 7. Koleksi DVD: paling rese beli DVD (pasti bajakan) kalo subtitle-nya nda nyambung sama adegannya. Tips: cari penjual DVD yang boleh tes filmnya, minta subtitle di set English terus perhatikan teks dengan adegan di bagian awal, tengah dan akhir. Kalo OK baru saya beli, puas deh nontonnya (kalo kagok sama bahasa Inggrisnya, rewind, pindah ke subtitle Indonesia, sebentar aja terus balik lagi ke English) ... belajar jangan nanggung-nanggung. 8. Jadi mana yang lebih penting buat memotivasi belajar berbahasa Inggris, kesukaan atau kebutuhan? Saya berpegang pada prinsip paling enak melakukan hobi yang dibayar (jadi karena kita suka dan dibutuhkan, ya jadi duit), misalnya apa, jadi penerjemah ... meskipun saat ini perang tarifnya gilagilaan dan sedikit terancam dengan google translate. Tapi sentuhan manusia tetap dibutuhkan walaupun google translate bisa membantu, tapi berdasarkan pengalaman sih nda lebih dari 20% job terjemahan. 9. Kesimpulan: practice makes perfect! Jangan lagi malu untuk cas cis cus sama teman-teman, mending diketawain di kampus daripada dimaki bos/klien :( Tuesday, December 14, 2010 To be uploaded as Notes in Tumpak Legi FB http://www.facebook.com/note.php?note_id=173599172670870

Anda mungkin juga menyukai