Anda di halaman 1dari 6

MENGENAL FIKIH NAWAZIL http://almanhaj.or.

id/content/3461/slash/0/mengenal-fikih-nawazil-sebab-terjadinya-nawazil/ Fiqh nawzil terangkai dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu fiqh dan nawzil. Sebelum kita mengetahui makna fiqh nawzil setelah dirangkai menjadi satu dan menjadi sebuah nama, maka terlebih dahulu kita sebaiknya mengetahui makna dua kata tersebut. Fiqh, secara bahasa berarti memahami, sedangkan menurut istilah artinya memahami hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan amal perbuatan berdasarkan dalil-dalil rinci dari al-Qur'n dan hadits. Nawzil adalah bentuk plural dari kata nzilah yang memiliki makna asal "yang turun atau yang mampir." Namun kata ini sudah menjadi sebuah nama bagi bencana yang menimpa. Dari sini kemudian kita kenal qunut nzilah. Kemudian kata ini terkenal penggunaannya di kalangan Ulama ahli fiqh untuk menggambarkan suatu permasalahan baru yang terjadi di tengah umat dan menuntut adanya ijtihd dan penjabaran hukum. Makna ini terfahami dari perkataan beberapa Ulama, misalnya, perkataan Ibnu Abdil Barr rahimahullah, dalam kitab Jmi' Baynil 'ilmi wa fadhluhu :

Sebuah bab tentang berijtihd dengan akal berdasarkan kaidah-kaidah pokok saat tidak ada (keterangan) dari nash-nash (al-Qur'n dan Sunnah) ketika nzilah (permasalahan baru yang menuntut ijtihd dan penjabaran hukum-pent) terjadi. Juga perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan salah satu sabda Rasulullh Shallallahu alaihi wa sallam : ... dalam hadits ini terdapat (pelajaran) tentang kebolehan para pemimpin melakukan ijtihad pada masalah-masalah baru dan mengembalikan permasalahan ini kepada kaidah-kaidah pokok[1]

Juga Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : "Ini sebuah fasal yang menjelaskan bahwa para Sahabat Rasulullh Shallallahu alaihi wa sallam melakukan ijtihd pada nawzil (perkara-perkara baru yang sedang terjadi)[2] . Makna inilah yang diinginkan dalam kalimat fiqih nawzil. Jadi fikih nawzil adalah

memahami hukum-hukum syari'at terkait dengan kejadian-kejadian baru yang mendesak. Kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa sebuah permasalahan dapat dikategorikan nawzil apabila : a. Sudah terjadi. Ini berarti permasalahan yang belum terjadi tidak bisa dikategorikan nawzil. Namun permasalahan yang ditengarai besar mungkinan akan terjadi sebaiknya dibahas dan diperhatikan. b. Baru, maksudnya permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya, tidak bisa dimasukkan nawzil. c. Syiddah, maksudnya permasalahan ini menuntut segera ditetapkan hukum syari'at [3] . Kejadian-kejadian baru tidak dikategorikan nawzil jika tidak menuntut dan memerlukan hukum syari'at. Misalnya kejadian-kejadian baru, yang hanya memerlukan analisa tenaga medis, seperti keberadaan penyakit baru. Juga terkait dengan kekacauan ekonomi dan suhu politik suatu negara. Kedua contoh ini tidak bisa dikategorikan nawzil. Juga, kejadian-kejadian baru yang tidak terjadi di tengah masyarakat Muslim. Ini juga tidak bisa dikategorikan nawzil, kecuali jika jika dikhawatirkan akan terjadi di tengah masyarakat Muslim. (Diangkat oleh Ahmad Nusadi dari kitab Nawazil 1/18-25 karya Muhamamad Husain al-Jizani)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] _______ Footnote [1]. Syarah Shahh Muslim 1/213. perkataan ini disebutkan saat menjelaskan sabda Rasulullh Shallallahu 'alaihi wa sallam :

... [2]. I'lmul Muwaqqi'n 1/203 [3]. Yang perlu diperhatikan

SEBAB TERJADINYA NAWAZIL

Setiap zaman memiliki nawzil (kasus-kaus baru) yang khusus. Pada zaman ini perkembangan nawzil begitu cepat. Kemungkinan penyebabnya kembali kepada dua perkara: Pertama: Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Tekhnologi. Abad ini telah terjadi revolusi teknologi yang sangat besar. Dengan adanya penemuan tenaga listrik maka sarana-sarana transportsi-pun berubah, yaitu dengan diciptakan mobil, pesawat terbang dan kereta api. Berkembang pula sarana-sarana komunikasi, informasi, dan pengajaran; ditandai denan pengadaan telepon, radio, komputer, parabola dan internet. Dikembangkan pula alat-alat medis modern yang belum dikenal sebelumnya, Sebagaimana juga ditemukan juga berbagai nutrisi dan obat-obat baru yang bisa dipergunakan pada manusia, hewan dan tanaman. Berbagai perkembangan yang mengagumkan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya nawzil dan masalah-masalah yang muncul. Kedua: Penyimpangan. Yaitu sikap manusia yang kurang konsekwen dalam menjalankan hukum-hukum agama. Akibat dari perbuatan mereka yang kurang konsekwen itu atau bahkan ini merupakan wujud dari tidak konsekwenan mereka yaitu bermewah-mewah dalam berbagai kenikmatan seperti ; makanan, perumahan, kendaraan, pakaian; tersibukkan dengan berbagai permainan, usaha memperbanyak pemasukan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang

kafir. Kondisi seperti ini telah diisyaratkan dalam perkataan Umar bin Abdul Azz rahimahullah : Permasalahan-permasalahan akan bermunculan seukuran dengan penyimpangan yang dilakukan manusia.*1+ HUKUM IJTIHAD PADA NAWAZIL Melakukan Ijtihd dalam nawzil hukumnya wajib kifayah bagi umat ini. Namun terkadang menjadi wajib ain bagi orang-orang (Ulama-pent) yang ditugaskan untuk mengkaji berbagai nawzil. Bagi orang-orang ini, mengkaji nawazil hukumnya wajib ain pada mereka itu.*2+ Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas Ulama tidak suka memikirkan masalah-masalah yang belum terjadi, dan (membenci) memperpanjang pembicaraan tentang sesuatu yang belum terjadi. Mereka menilainya sebagai perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.[3] Tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ad-Drimi di dalam Sunannya, 1/49, dari Wahb bin Umair, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah kamu tergesa-gesa (membicarakan) suatu masalah sebelum masalah itu terjadi ! Sesungguhnya jika kamu tidak tergesa-gesa (membicarakan) masalah sebelum masalah itu terjadi, maka ketika masalah itu terjadi, di kalangan kaum Muslimin itu akan selalu ada orang yang diberi taufiq dan benar jika dia berbicara. Namun jika kalian tergesa-gesa (membicarakan) masalah itu (sebelum terjadi -pent), maka hawa nafsu-hawa nafsu akan menjadikan kalian saling berselisih. Kalina akan diseret ke sana dan ke sana. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menunjuk ke arah depan, ke kanan, dan ke kiri. Oleh karena itu di antara syarat-syarat permasalahan yang boleh diijtihdkan, adalah masalah-masalah tersebut telah terjadi di kalangan kaum Muslimin. Sedangkan masalah-masalah yang belum terjadi, maka terkadang melakukan ijtihd pada masalah itu hukumnya makruh, dan

terkadang haram. Demikian pula tidak wajib mengkaji masalah-masalah yang hanya terjadi di tengah masyarakat kafir, seperti masalah bank sperma. URGENSI IJTIHAD PADA NAWAZIL Melakukan Ijtihd pada nawzil zaman sekarang ini terlihat urgensinya pada point-point berikut ini : 1. Menjelaskan bahwa syariat ini cocok untuk setiap zaman dan tempat, dan menjelaskan bahwa syariat Islam ini merupakan syariat yang kekal serta bisa memberikan solusi yang mujarab terhadap semua problem dan masalah yang rumit. 2. Membangkitkan dan mengingatkan umat ini terhadap bahaya berbagai masalah yang menimpa kaum Muslimin. Juga hal-hal yang sangat bertentangan dengan kaedah-kaedah dan tujuan-tujuan agama Islam. Dan Sangat disayangkan bahwa permasalahan-permasalahan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam sedangkan hakekat (hukum) syariat terhadap permasalahan-permasalahan itu telah hilang dari mayoritas kaum Muslimin di zaman ini. 3. Memberikan hukum-hukum syariat yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul tersebut merupakan tuntutan dan seruan yang tegas menuju penerapan hukum syariat di dalam seluruh sisi kehidupan. Hal itu merupakan penerapan praktis yang akan menampakkan keindahan Islam dan menunjukkan ketinggian aturan-aturannya. 4. Adanya kebutuhan untuk mewujudkan informasi lengkap berdasarkan petunjuk syariat Islam yang mencakup permasalahan-permasalahan zaman ini dan masalah-masalah yang baru. 5. Tidak diragukan bahwa dengan memberikan hukum-hukum syariat yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul di setiap zaman tersebut merupakan tugas utama dalam tajdd agama (pembaharuan menuju syariat), dan menghidupkan rambu-rambu tajdd yang telah pudar. (Diterjemahkan dari kitab Fikih Nawazil 1/23-34 oleh Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari) [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______ Footnote [1]. Lihat: Al-Muntaqa Syarhul Muwath-tha, karya al-Bji, 6/140 [2]. Lihat: Al-Majm Syarhul Muhadz-dzab, 1/28, 45 *3+. Lihat: Jmi Baynil Ilmi wa Fadh-lihi, 2/139; Ilmul Muwaqqin, 1/69; Jmiul Ulm wal Hikam, 1/240-252; dan Syarhul Kaukabil Munr, 4/584-588

Anda mungkin juga menyukai