Anda di halaman 1dari 8

1

KESEHATAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk
tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.

Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata afiat dipersamakan dengan sehat. Afiat diartikan
sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik
segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu
kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan
kesehatan masyarakat.
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi
satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh
kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati
diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-
masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata
sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti dan adalah kata penghubung yang
sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang
disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara
keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian
banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk
hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak
dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-
petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: berfungsinya anggota tubuh
manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka
agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat
maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang
dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan
dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis
kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama
tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial
yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan
(tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:



2

Terjemah:
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bertanya
(kepadaku): Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu berjaga di malam
hari? Aku pun menjawab: ya (benar) ya Rasulullah.Rasulullah saw pun lalu bersabda:
Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah
kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas
dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu. (Hadis Riwayat al-Bukhari dari
Abdullah bin Amr bin al-Ash)

Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas
dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan
meletakkan prinsip: Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci
dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga
kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222:

C4^OU4*OEC4 ^}4N ^*1E^- W
~ 4O- O+O W-O7jO4;N
47.=Og)4- O) ^*1E^- W 4
O}-O+4O^> _/4EO 4pO_;C4C W
-O) 4pOO_C> ;-O> ;}g` +^OEO
N74O4` +.- _ Ep) -.- OUg47
4-)O+-- OUg474
-@O)-_C4^- ^ggg

Terjemah:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS al-Baqarah
[2]: 222)

Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan
kesehatan fisik.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:

El44Og4 O)-_C ^j
4O;_OO-4 Ou- ^)
Terjemah:
Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS
al-Muddatstsir [74]: 4-5).

Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan
membesarkan nama Allah Swt.
Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi:



Terjemah:
Kebersihan adalah bagian dari iman.


3
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dhaif. Kendati begitu, terdapat
sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:



Terjemah:
Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan Tiada
Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu
itu adalah sebagian dari iman (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi,
larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir
atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam
dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi
Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya:



Terjemah:
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah
itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat
al-Bukhari dari Usamah bin Zaid)

Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-
Midt Bait Add. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan baik dari al-Quran
maupun hadis Nabi Saw. yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan:

/j_4:4C 4E1-47 W-7O
74-4[C)e ELgN ]7 lO4`
W-OU4 W-O+4O'=-4 4
W-EO)O;O _ +O^^) OUg47
4-g)O;O^- ^@

Terjemah:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. (QS al-Arf [7]: 31)

Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:



Terjemah:
Dari Miqdam bin Madi Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada
perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya.
Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk
minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat at-Tirmidzi).


4
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan,
berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali
(wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.

~ } O) .4` =/^q O)
`OO4` _O>4N gNC +OE;C4C
) p ]O74C O4-^14` u 4`E1
~OOE` u = OCjO6=
+O^^) +w;_jO u Og Eg-q
)OO4g *.- gO) _ ^}E O7C;-
4OOEN ^4 4 l14N Ep) C+4O
EOOEN _OgOO ^j)

Terjemah:
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Anm [6]: 145).

Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental.
Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi
Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and Education, yang mengutip pendapat
Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang
kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan
terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena
belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan
bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqai
dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.:



Terjemah:
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-
Nya.

Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia
yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat
ditimpa penyakit.



Terjemah:
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-
Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).


5
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat,
maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan
dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia.
Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan
dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:
Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat
manusia.
Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya
untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia,
tanpa membedakan ras atau agama.
Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.
Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat,
maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi
dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia yang
hidup maupun yang mati terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan
adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam)
bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan kesehatannya,
dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi pemilik organ (jenazah), atau orang
yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima.
Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut
pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:


Terjemah:
Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu.
(Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di
samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata
menghilangkan kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu
sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan
disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa.
Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan,
maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:

;}g` ;_ ElgO E44 _O>4N
/j_4 Cg74O) +O^^ }4` 4~
-O^4^ )OO4) `^4^ u l1=O O)
^O- E^^E: 4~ "EEL-
4OgE_ ;}4`4 E-41;O
.4^^E: 41;O "EE4-
4OgE_ _ ;4 _^>47.E_
4LUc+O ge4L)O4l^) O
Ep) -LOOg1E _u4g)` Eu4 CgO
O) ^O- ]O)O;O ^@g
Terjemah:

6
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah [5]: 32).

Menghidupkan di sini bukan saja yang berarti memelihara kehidupan, tetapi
juga dapat mencakup upaya memperpanjang harapan hidup dengan cara apa pun yang tidak
melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami dalam konteks
peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah sebab,
sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti
ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran dalam QS al-Syuar [26]: 80:
-O)4 e;@O4` 4O_ --g;=EC ^g

Terjemah:
Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.

KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena
gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya
setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw:



Terjemah:
Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w lalu
berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau
[minum] madu! Setelah lelaki itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi
kepada Nabi s.a.w. dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut
beliau bertambah memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang
keempat, Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih
lagi menyatakan: Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau
bertambah mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah
berfirman: Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya,
di dalam minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu,
mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah s.a.w.
sendiri yang memberikan minum madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis Riwayat al-
Bukhari dan Muslim)

Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang
lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan
tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks
(pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana
tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan,

7
sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak
mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong,
kemudian pipis [kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut
dengan kasar. Namun Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda:



Terjemah:
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan
dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan
kasar)?

Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian kompleksitas
gejala sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya adalah
pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit
mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu
kesehatan modern.
Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah f qulbihim maradh.
Kata qalb atau qulb dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata
maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris
mendefinisikan kata tersebut sebagai segala sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik,
mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang.
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan,
dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit
yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam
kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat
kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda.
Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya
menderita penyakit akal-ganda (jhil murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan
kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-
tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain
disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas,
pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang
terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam QS al-Syuar
[26]: 88-89,
4O4C 7EL4C 4` 4 4pONL4 ^gg
) ;}4` O4 -.- UU) 1)UEc
^g_

Terjemah:
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari segala macam
penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah). Karena
itulah Allah berfirman:




8
Terjemah:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS al-Rad
[13]: 28).

Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai