Anda di halaman 1dari 24

1

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus. Pertama kali dilaporkan oleh Calder pada tahun 1733 yang menemukan kelaian obstruksi kongenital pada duodenum diantaranya : atresia duodenum, stenosis duodenum, dan pankreas anular. 1 Atresia duodenum penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa teori yang menjelaskan bahwa pada saat kehamilan duodenum yang terbentuk kurang mendapatkan suplai darah selama kehamilan menyebabkan hilangnya jaringan, sempit dan akan tersumbat. Prevalensi penderita atresia duodenum adalah sekitar 1 dari 6.000 bayi baru lahir di dunia. Selain itu, terdapat studi yang melaporkan pada penderita sindrom Down sekitar 25 % diantaranya mengalami atresia duodenum. 1,2 Data yang diperoleh dari RSUD Margono Soekardjo melaporkan pada tahun 20062010 terdapat 12 kasus bayi yang mengalami atresia duodenum. Bayi dengan atresia duodenum apabila signifikan tidak ditangani secara cepat dan tepat, kondisinya akan segera menjadi fatal sebagai akibat gangguan cairan dan elektrolit sehinga dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Pada penderita atresia duodenum

penanganan yang dilakukan dengan proses pembedahan, namun terdapat beberapa komplikasi dari proses pembedahan diantaranya : pembekakan duodenum

(megaduodenum), gangguan motilitas usus, dan refluks gastroesofagus. Penderita dengan atresia duodenum memiliki prognosis yang baik selama 50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan pada bidang anastesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhan telah meningkat hingga 95 %. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti kejadian atresia duodenum dengan Lokasi penelitian adalah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto yang merupakan rumah sakit rujukan Jawa Tengah bagian Barat Selatan.

B. Rumusan Masalah Bagaimana karakteristik demografis kasus atresia duodenum dan penatalaksanaannya di RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama tahun 2006-2010 ? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Memperoleh informasi mengenai karakteristik demografis kasus atresia duodenum dan penatalaksanaannya di RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama tahun 2006-2010. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui jumlah penderita atresia duodenum di RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama tahun 2006-2010. b. Mengetahui distribusi penderita atresia duodenum di RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama tahun 2006-2010 menurut umur dan jenis kelamin. c. Mengetahui penatalaksanaan penderita atresia duodenum di RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama tahun 2006-2010. D. Manfaat Manfaat dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Penelitian ini dapat menjadi referensi data bagi RSUD. Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto. 2. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang. 3. Sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi , Fisiologi, dan Histologi Usus Halus Anatomi Usus Halus Usus Halus Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan. Setelah isi lumen meninggalkan usus halus tidak terjadi lagi pencernaan. Walaupun usus besar dapat menyerap sejumlah kecil garam dan air. Usus halus adalah suatu saluran dengan panjang sekitar 6,3 m dengan diameter 2,5 cm. Usus ini berada dalam keadaan bergelung di dalam rongga abdomen dan terentang dari lambung sampai usus besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen, duodenum ( 2,0 m ), jejunum ( 2,5 m ), dan ileum ( 3,6 m ). Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). 3 Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari

(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. 3,4 Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti lapar dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti kosong.3 Usus Penyerapan (illeum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. 4 Fisiologi Usus Halus Motilitas dan sekresi Segmentasi, yaitu metode motilitas utama usus halus, mencampur dan mendorong secara perlahan kimus. Segmentasi terdiri dari kontraksi berbentuk cincin yang berosilasi otot polos sirkuler di sepanjang usus halus; di antara segmen-segmen yang berkontraksi terdapat daerahdaerah yang berisi bolus kecil kimus. Cincin-cincin kontraktil timbul setiap beberapa sentimeter, membagi usus halus menjadi segmen-segmen seperti rantai sosis. Cincin-cincin kontraktil ini tidak menyapu ke seluruh panjang usus seperti yang dilakukan oleh gelombang peristaltik. Segmen-segmen yang berkontraksi setelah jeda singkat melemas dan berkontraksi

berbentuk cincin kemudian muncul di daerah yang semula melemas. Kontraksi-kontraksi baru tersebut mendorong kimus di segmen yang lemas dalam dua arah ke daereh di sebelahnya yang sekarang melemas. Dengan demikian, segmen yang baru melemas menerima kimus dari kedua segmen yang berkontraksi di depan dan dibelakangnya. Segera setelah itu, daerahdaerah yang berkontraksi dan melemas kembali bertukar. Dengan cara ini kimus dihancurkan, dikocok, dan dicampur secara merata. Kontraksi segmentall diawali oleh sel-sel pemacu usus halus, yang menghasilkan irama listrik dasar (BER) serupa dengan BER lambung yang menentukan peristaltik di lambung. Apabila BER membawa lapisan otot polos ke ambang, kontraksi segmental akan terinduksi, dengan frekuensi segmentasi mengikuti frekuensi BER. Sgmentasi tidak saja menyebabkan pencampuran kimus, tetapi juga meruoakan faktor utama yang mendorong kimus secara perlahan melewati usus halus. Kimus berjalan ke depan karena frekuensi segmentasi berkurang seiring dengan panjang usus halus. Sel-sel pemacu di duodenum mengalami depolarisasi spontan lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel serupa di saluran bagian akhir, dengan sel-sel pemacu di ileum terminal memperlihatkan kecepatan depolarisasi spontan yang lebih lambat.kecepatan segmentasi di duodenum adalah dua belas kontraksi permenit, dibandingkan dengan kecepatan di ileum terminal yang hanya sembilan kali permenit. Karena segmentasi terjadi lebih sering di bagian awal usus halus dibandingkan dengan di bagian akhir, lebih banyak kimus yang cenderung terdorong ke depan daripada ke belakang. Akibatnya, kimus secara sangat perlahan bergerak maju dari bagian awal usus halus ke bagian belakang , dan selama proses ini kimus mengalami gerakan maju mundur sehingga dapat terjadi pencampuran dan penyerapan yang optimal.mekanisme propulsif yang lambat ini sangat menguntungkan karena akan tersedia cukup waktu untuk berlangsungnya proses

pencernaan dan penyerapan. Isi usus biasanya memerlukan waktu tiga sampai lima jam untuk melintasi seluruh panjang usus halus. Jika sebagian besar makanan sudah diserap, kontraksi segmental berhenti dan digunakan oleh migrating motility complex (kompleks motilitas migratif atau intestinal housekeeper) yang berlangsung diantara waktu makan. Motilitas diantara waktu makan ini berupa gelombang-gelombang peristaltik repetitif lambat yang berjalan singkat ke arah hulu usus sebelum lenyap. Gelombang berawal di lambung dan bermigrasi ke bawah ke usus halus; jadi setiap gelombang peristaltik baru dimulai di tempat yang terletak sedikit lebih ke bawah di usus halus.gelombang peristaltik singkat ini

memerlukan waktu sekitar 100-150 menit untuk bermigrasi dari lambung ke bagian akhir usus halus. 5 Setiap hari kelenjar-kelenjar eksokrin yang terletak di mukosa usus halus mengeluarkan sekitar 1,5 liter larutan garam dan mukosa cair (yang dikenal sebagai sukus enterikus; succus berarti getah/jus; enterikus berarti tentang usus) ke dalam lumen. Mukus dalam sekresi menghasilkan proteksi dan lubrikasi. Selain itu, sekresi encer ini mnghasilkan banyak H2O untuk ikut serta dalam pencernaan makanan secara enzimatik. Sekresi sukus enterikus tidak meningkat setelah makan. Rangsang paling kuat terhadap sekresi tampaknya adalah stimulasi lokal kimus pada mukosa usus halus. Dari permukaan luminal sel-sel epitel usus halus terbentuk tonjolan-tonjolan seperti rambut yang diperkuat oleh aktin dan disebut juga sebagai brush border. Brush border ini mengandung tiga kategori enzim : (1) enterokinase, yang mengaktifkan enzim pankreas tripsinogen; (2) golongan disakaridase (sukrase, maltase, dan laktase), yang menyelesaikan pencernaan karbohidrat dengan menghidrolisis disakarida yang tersisa (masing-masing untuk sukrosa, maltosa, dan laktosa) menjadi polisakarida penyusunnya, dan (3) golongan aminopeptidase yang menghidrolisis fragmen peptida kecil menjadi komponen-komponen asam aminonya, sehingga pencernaan protein selesai. 7 1.2. Struktur histologi saluran pencernaan bawah Usus halus Usus halus mulai dari ujung pilorus, tempat bersatu dengna lambung, dan berakhir pada batas ileosekal, tempat bersatu dengan usus besar. a) Duodenum Dinding duodenum terdiri atas empat lapisan: 1) Mukosa Didalam mukosa terdapat vili yang merupakan modifikasi dari permukaan mukosa seperti tonjolan mirip jari. Epitel pelapisnya merupakan epitel kolumner simplek. Setiap vili berpusat pada lamina propria, berkas sel otot polos yang berasal dari muskularis mukosa dan sebuah pembuluh limfe sentral yang disebut lakteal. Lamina propria mengandung kelenjar intestinal yang bermuara kedalam ruang antarvili. Lamina propria juga mengandung serat-serta jaringan ikat halus dengan sel retikulum, jaringan limfoid difus, dan/atau limfonoduli.(4) 2) Submukosa

Hampir seluruh submukosa disi oleh kelenjar duodenal tubular yang sangat bercabang. Kelenjar duodenal ini mencurahkan isinya kebagian dasar kelenjar intestinal. (3) 3) Muskularis eksterna Muskularis eksterna terdiri atas lapisan otot polos yang sirkular dalam dan lapisan otot polos longitudinal luar. Selain itu juga tampak sarang sel-sel ganglion parasimpatis pleksus saraf mienterikus auerbach di dalam jaringan ikat di antara kedua lapisan otot muskularis ekaterna. (3) 4) Serosa Bagian serosa ini merupakan lapisan terluar yang mengandung sel-sel jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel-sel lemak. (12) b) Jejunum Histologi dari jeujunum serupa dengan duodenum. Perkecualiannya tidak ada kelenjar duodenal (brunner) yang hanya terdapata pada duodenum. (6) 1) Mukosa Pada permukaan mukosanya menampakkan banyak villi yang terpotong menurut aneka bidang irisan dan sebuah lipatan permanen besar usus halus yaitu plica sirkularis. Epitel pelpisnya merupakan epitel kolumner simpleks dengan mikrivili dan sel goblet, pusat lamina propria dengan jaringn limfoid difus, dan berkas-berkas otot polos muskularis mukosa. Kelenjar intestinal (kripti lieberkhun) meluas kedalam lamina propria. 3 2) Submukosa Bagian submyukosanya mengikuti bentuk plika sirkularis bersama denga mukosa. (3) 3) Muskularis aksterna (3) 4) Serosa (3) c) Ileum Ileum mempunyai keempat lapisan dinding usus seperti jejunum, yaitu: (2) 1) Mukosa 2) Submukosa 3) Muskularis aksterna 4) Serosa. Ciri khas dari ileum adalah kumpulan plak payeri. Setiap plak payeri merupakan gabungan dari 10 atau lebih limfonoduli, yang terdapat pada dinding ileumbehadapan

dengan perlekatan mesenterium. Sebagian besar mempunyai pusat germinal. Noduli ini bersala dari jaringa limfoid difus lamina propria, meluas ke submukosa, menembus muskularis mukosa dan menyebar di jaringa ikat longgar dari mukosa. (3) B. Definisi Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus. Atresia duodenum adalah kelainan bawaan yang disebabkan
7

kegagalan

rekanalisasi pada usia janin 6-7 minggu. 5 Atresia Duodeni adalah obstruksi lumen usus oleh membran utuh, tali fibrosa yang menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara ujung-ujung duodenum yang tidak bersambung.8 C. Etiologi Diduga akibat kegagalan rekanalisani lumen setelah minggu ke 4 dan ke 5.3 atresia juga dapat disebabkan oleh gangguan aliran darah local pada sebagian dinding usus akibat desakan, invaginasi, volvulus, jepitan atau perforasi usus pada massa janin.2 penyebab obstruksi yang tidak lazim adalah jaringan windsock, yakni suatu flap jaringan yang dapat mengembang yang terjadi karena anomaly saluran empedu. Bentuk atresia membranosa paling sering terjadi: obstruksinya terjadi disebelah distal ampula veteri. Atresia duodenum juga dapat disebabkan oleh kompresi ekstrinsik seperti pancreas anulare atau oleh pita-pita ladd pada penderita dengan mal rotasi.9 Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang lempeng usus,shg terdapat sumbatan usus. 9 Seiring pertumbuhan usus, mulai pula proses vakuolisasi shg terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir minggu 8-10. penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia,web/ diafgrama mukosa. Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila vateri. Atresia duodenal disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat hubungan kel perkembangan khususnya denagn pancreas dalam bentuk baji yang interposisi antara bag proksimal dan distal atresia; pancreas anulare. Pancreas bagian ventral duodenum

10

mengadakan putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat putaran berlangsung ujung pancreas bagian ventral melekat pada duodenum maka berbentuk cincin pancreas ( anulare) yang melingkari duodenum. Duodenum tidak tumbuh shg terbentuk stenosis atau atresia. Akhir saluran empedu umumnya duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan bawah atresia sehingga empedu dapat dijumpai baik diproksimal ataupun distal atresia.
9

Adanya

anulare pankreas merupakan anomali yang jarang terjadi dan hal ini diduga berkaitan dengan penyakit jantung konggenital. D. Patogenesis Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepert inya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum .
8

E. Manifestasi klinis Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non -biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi

11

dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung da n duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik

hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. 9,10 Tanda dan gejala atresia duodenum: 10 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu (biliosa) Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium. Pengeluaran meconium tercatat pada 30 % pasien Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen Ikterik

12

F. Diagnosis Diagnosis klinis dilakukan secepatnya untuk mencegah komplikasi pneumonia aspirasi, dehidrasi, atau perforasi. Gambaran udara yang tampak pada foto polos perut cukup untuk mencari patokan mencari letak obstruksi. Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal.

13

Adanya gas pada usus distal mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi. 8,9

Gambar 2.3. Double bubble pada atresia duodenum G. Penatalaksanaan Pemeriksaan pra-bedah 11 a. Pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam posisi tegak akan terlihat gambaran double bubble. b. Bila pada foto hanya terlihat satu gelembung udara, mungkin sekali gelembung duedonum terisi penuh cairan atau gambaran gelembung duedonum da lambung dalam proyeksi tumpang tindih. Foto ulang dengan sebelumnya dilakuka pengisapancairan dalamlambung dn duedonum atau dibuat foto dengan proyeksi lateral. 12

Gambar 2.4. Gambaran hidroamnion pada perut janin

14

Tindakan pra-bedah a. Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung dan dilakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan dan aspirasi b. Tindakan koreksi cairn dan elektrolit serta asam basa darah. Koreksi hiponatremia dan hipokale perlu perhatian khusus. 13 Pembedahan Anastomose duedeno-duedenostomi ujung ke ujung merupakan tindaka terpilih atau anastomoseduedeno-yeyunostomi. H. Prognosis Mortalitas dan morbilitas telah membaik secara bemakna selama 50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan pada bidang anastesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhan telah meningkat hingga 95 %. 13 I. Komplikasi 14 a. Dapat ditemukan kelainan kongeniltal lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama tidak terpasang line intravena. b. Setelah pembedahan dapat terjadi pembengkakan (megaduodenum), ganguan motilitas usus, dan refluks gastroesofageal.

15

16

17

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Peneitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan karakteristik pasien atresia duodeni dan penatalaksanaannya di Rumah Sakit Margono Soekarjo,. B. Populasi dan sampel 1. Populasi 1.1. Populasi Target Semua pasien Atresia duodeni. 1.2. Populasi Terjangkau Semua pasien Atresia duodeni yang ada di Rumah Sakit Margono Soekarjo periode 2006 2010. 2. Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode total sampling, yaitu pengmbilan pasien atresia duodeni secara menyeluruh di Rumah Sakit Margono Soekarjo periode 2006-2010. Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data dari catatan medik (CM). Data di-recall dengan megunakan program computer ICD. Data tahun tahun 2005-2007 menggunakan program computer ICD-9 sedangkan 20082010 menggunakan program computer ICD-10. Metode penelitian yang di lakukan adalah Deskriptif Retrospektif dengan menggunakan total sampling.

18

IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Data hasil penelitian menunjukkan jumlah pasien Atresia duodeni di RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo pada tahun 2006-2010 sebanyak 12 kasus. Berikut gambaran data penderita Atresia duodeni berdasarkan jenis kelamin,gejala klinis, komplikasi dan penatalaksanaan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo tahun 2005-2010. Angka Kejadian atresia duodeni terbanyak pada tahun 2006,2007, dan 2010 yaitu masing masing sebanyak 3 kasus. Berikut ini merupakan tabel distribusi jumlah kasus atresia duodeni berdasarkan tahun : Tabel 4.1. Distribusi frekuensi pasien atresia duodeni di RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Jumlah kasus 3 3 2 1 3 12 Presentase 25 % 25 % 16 % 9% 25% 100 %

2006 2007 2008 2009 2010

Grafik 4.1. Angka Kejadian Atresia duodeni

Angka Kejadian Atresia duodeni lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 59% dibandingkan dengan laki laki sebesar 41%, berikut ini merupakan tabel distribusi kasus atresia duodeni berdasarkan jenis kelamin :

19

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi penderita atresia duodeni berdasarkan jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo tahun 2006-2010 2006 Laki-laki Perempuan 2 1 3 2007 2 1 3 2008 0 2 2 2009 0 1 1 2010 1 2 3 Jumlah (persentase) 5(41%) 7(59 %) 12(100 %)

8 6 4 2 0 Laki-laki Perempuan Series1

Grafik 4.2. Distribusi penderita atresia duodeni berdasarkan jenis kelamin

Pasien atresia duodeni sebesar 12 orang atau 100% lahir spontan. Sebanyak 8 orang pasien atresia duodeni lahir aterm sedangkan 4 diantaranya preterm. Terdapat 3 orang penderita atresia duodeni dengan berat badan lahir rendah. Case fatality rate penderita atresia duodeni di RSMS mencapai 5/12 kasus atau mencapai 41%. Penyebab kematian pasien atresia duodeni di RSMS diantaranya dehidrasi, hipotensi, hipotermia, kejang, dan distress pernafasan. Pasien atresia duodeni di RSMS yang diduga mengalami mongoloid syndrome sebanyak 3 orang atau sebesar 25%. Terdapat 2 orang pasien atresia duodeni yang mengalami ikterus neonatorum. Penatalaksanaan atresia duodeni di RSMS adalah dengan melakukan laparotomi kemudian dilakukan Side to side duodenostomy sebanyak 6 orang. Satu orang

diantaranya dilakukan tindakan bypass duodenojejunostomy. Distribusi penatalaksanaan tindakan bedah pada pasien atreia duodeni pada tabel berikut :

20

Tabel 4.3. Distribusi penatalaksanaan atresia duodeni di Rumah Sakit Margono Soekarjo pada tahun 2006-2010
Jenis Tindakan duodenduodenostomy bypass duodenojejunostomy Konservatif Jumlah 4 orang 12 orang 33% 100% Jumlah 6 orang 2 orang Presentase 50% 17%

21

B. Pembahasan

Angka kejadian atresia duodeni di Rumah sakit margono pada periode 2006-2010 sebanyak 12 kasus per 9836 kelahiran, angka kejadian ini lebih tinggi dari rerata prevalensi atresia duodeni di Amerika Serikat menurut WHO (2009) yang menyatakan bahwa atresia duodeni didapatkan sebanyak 1 dari 6000 kelahiran. Distribusi jumlah Angka kejadian atresia duodeni menurut jenis kelamin di RSMS terjadi hampir sama pada wanita sebanyak 7 orang dan pada laki laki sebanyak 5 orang, hal ini sesuai dengan penelitian Allan (2006) yang menyatakan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor predisposisi terjadinya atresia duodeni. Selain itu faktor ras juga bukan merupakan faktor predisposisi terjadinya atresia duodeni pada neonatus.17 Sebanyak 33% pasien atresia duodeni di RSMS lahir preterm , hal ini lebih sedikit daripada jumlah penderita atresia duodeni di Amerika Serikat lahir preterm sebanyak 4050%. Kelahiran preterm tidak berpegaruh terhadap terjadinya atresia duodeni, karena epitel duodenum telah berproliferasi pada usia 4-5 minggu. Epitel lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kelahiran preterm diduga tidak berhubungan secara langsung dengan terjadinya atresia duodeni,, akan tetapi kelahiran preterm akan menjadi penyulit bagi penatalaksanaan atresia duodeni, karena biasanya kehamilan preterm yang disertai atresia duodeni akan disertai juga oleh gangguan maturitas organ seperti paru dan juga disertai oleh berat bayi lahir rendh (BBLR). 16 Berikut ini merupakan kelaianan konggenital penyerta pada pasien atresia duodeni terdapat pada tabel 4.4. sebagai berikut :

22

Pasien atresia duodeni yang diduga mengalami mongoloid syndrome sebanyak 3 orang atau 25% dari kasus. Hal ini sesuai dengan penelitian Richard (2009) yang menyatakan bahwa 30% penderita atresia duodeni mengalami kelaianan mongoloid syndrome. Sampai saat ini, hubungan antara terjadinya mongoloid syndrome terhadap terjadinya atresia duodeni masih belum jelas. 2 Pasien atresia duodeni yang mengalami ikterus neonatorum sebanyak 2 kasus atau sebanyak 16%. Hal ini sesuai dengan penelitian Touloukian (2003) yang menyatakan bahwa terdapat 40% penderita atresia duodeni yang mengalami ikterus neonatorum. Ikterus

neonatorum dapat terjadi pada atresia duodeni, hal ini disebabkan oleh adanya penyumbatan pada duodenum sehingga mengganggu aliran empedu. Hal ini akan menyebabkan gangguan eksresi bilirubin terkonjugasi ke dalam duodeni yang akan menyebabkan ikterik. 17 Sebanyak 4 dari 12 pasien atresia duodeni di RSMS meninggal dunia, manifestasi klinis pasien atresia duodeni di RSMS sehingga menyebabkan meninggal dunia diantaranya pasien mengalami dehidrasi berat dikarenakan muntah yang sering. Selain itu sebagian pasien mengalami gangguan pernafasan dan hipotermia. Case fatality rate pasien atresia duodeni di

23

RSMS sebesar 25%, hal ini masih lebih tinggi daripada angka kematian akibat atresia duodeni di Inggris sebesar 5%. Hal ini dapat disebakan karena kurangnya deteksi dini pada kasus atresia duodeni. Sebayak 83% penderita atresia duodeni di RSMS baru dirujuk ke RSMS stelah hari ke 7 kelahiran. Ssitem screening prenatal dapat diterapkan untuk deteksi yang lebih dini terhadap terjadinya atresia duodeni diantaranya dengan menggunakan USG. Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.17 Tindakan bedah pada pasien atresia duodeni di RSMS sebagian besar atau sebanyak 6 dari 8 tindakan bedah yang dilakukan adalah duodenoduodenostomy sedangkan tindakan lainnya yaitu bypass duodenojejunostomy sebayak 2 dari 8 tindakan bedah terhadap atresia duodeni. Penatalaksanaan end to end anastomosis duodenoduodenostomy memiliki keuntungan daripada side to side anastomosis duodenoduodenostomy diantaranya peningkatan perbaikan fungsi anastomosis pasca operasi yang lebih cepat dan pemberian makan perenteral pasca operasi yang relative lebih cepat. Penatalaksanaan bypass duodenojejunostomy pada atrsia duodeni dilakukan pada pasien atresia duodeni yang mengalami atresia pada segmen distal dari duodenum. 4 Tindakan pembedahan pada pasien atresia duodeni merupakan tindakan relative emergency, akan tetapi, tindakan ini harus dilakukan apabila keadaan hemodinamik dan elektrolit pasien telah terlebih dahulu stabil. Selama masa perawatan pasien atresia duodeni dijaga keadaan hemodinamik dengan rehidrasi intra vena dan dilakukan dekompresi pada gaster dengan menggunakan naso gastric tube. 14,15 Kompilkasi pasca bedah yang sering timbul pada tindakan duodenduodenostomy diantaranya megaduodenum, gangguan peristaltic usus, dan reflux gastroesophageal, hal ini tidak ditemukan pada pasien atresia duodeni di RSMS yang telah dilakukan tindakan duodenoduodenostomy. 17

24

C. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1.

Terdapat 12 kasus atresia duodeni di Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 2006-2010.

2.

Angka Kejadian Atresia duodeni lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 59% dibandingkan dengan laki laki sebesar 41%.

3.

Angka mortalitas pasien atresia duodeni di RSMS mencapai 25% pada tahun 20062010.

4.

Penatalaksanaan atresia duodeni di RSMS pada tahun 2006-2010 adalah dengan melakukan laparotomi kemudian dilakukan duodenoduodenostomy (Side to side duodenostomy atau End to end anatomosis duodenoduodenostomy) sebanyak 6 orang. Satu orang diantaranya dilakukan tindakan bypass duodenojejunostomy.

B. Saran

1.

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian atresia duodeni di RSMS.

2.

Sebaiknya dilakukan deteksi dini pada neonatus yang mengalami hidramnion mengenai kemungkinan terjadinya atresia duodeni pada neonatus tersebut. Hal ini dikarenakan penanganan yang tepat dan tepat pada pasien atresia duodeni akan memperbaiki prognosis pasien.

Anda mungkin juga menyukai