Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa depan. Hadits adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah Al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lilalamin. Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalahmakalah selanjutnya.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits. Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan. 1. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadits Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis talim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia.1 Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari
1

Mushtafa al-Subai. Assunnah. (Kairo: Dar-Assalam. 2003) hlm. 66.

jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz) 2 2. Keadaan Para Sahabat Dalam Menerima Dan Menguasai Hadits Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.3 Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan alQuran.4 3. Larangan Menulis Hadits Dimasa Nabi Muhammad SAW Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;

2 3 4

Mushtafa al-Subai. Assunnah. (Kairo: Dar-Assalam. 2003) hlm. 66 Ibid .hlm. 67. Mana al-Qathan. Tarikh al-Tasyri al-Islami. (Kairo: Maktabah Wahbah. 1989) hlm. 106

a. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. b. karena adanya larangan menulis hadis nabi. Abu said al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:


Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Quaan, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim ) Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Quran, atau mereka bisa melalaikan al-Quran, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan. 4. Aktifitas Menulis Hadits Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.5 Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada

Subhi al-Shalih. Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. (Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin. 1997) hlm. 23-30.

larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:

.
jangan menulis apa-apa selain Al-Quran dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Quran hendaklah menghapusnya. (HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry) Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda


tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak.(Sunan al-Darimi) Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama

mengkompromikannya sebagai berikut: a. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal AlQuran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya. b. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga 5

dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash. c. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.6

B. Hadits Pada Masa Sahabat Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar. Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:

Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnahku (H.R Malik).7

Muhammad Ajjaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Kairo: Maktabah wahbah. 1998) hlm. 303-309.

Perlu diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini, tapi untuk sekedar informasi untuk teman-teman bahwa hadist ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw 1. Abu Bakar Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti Aisyah ra., ia berkata: Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali, setelah itu ia membakarnya. 8 2. Umar bin khatab Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki.9 Kemudian ia berkata: Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.10 Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh kehati-hatian, diantaranya Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, abu Musa dll, penulis tidak akan menjelaskan itu semua dalam makalah yang singat ini.

7 8 9 10

Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900. Muhammad Ajjaj al-Khatib. hlm 309-310. .M Abu Syuhbah. Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. 1999. Surabaya: Pustaka Progressif. hlm. 23 Muhammad Ajjaj al-Khatib.

C. Hadits Pada Masa Tabiin 1. Pengertian Tabi'in Di dalam kitab al-Hadits wa al-Muhadditsuun, menyetir pendapat al-Khatib, dikatakan bahwa Tabi'in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup hanya bertemu saja seperti batasan arti sahabat, mereka cukup dengan hanya bertemu saja dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang, sedangkan bertemu dengan orang lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.11 Sedangkan kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa, Tabi'in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Oleh karena itu Imam Muslim dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa al-A'masy termasuk dalam golongan Tabi'in, karena ia bertemu sahabat dan dan penghafal hadits. Al-Hafidz Abdul Ghany memberikan batasan bahwa Yahya Ibn Abi Katsir adalah termasuk golongan Tabi'in, karena ia bertemu dengan Anas Ibn Malik. Juga Musa Ibn Abi 'Aisyah, karena ia bertemu dengan Amr Ibnu Harits. Ibnu Hibban mensyaratkan adanya tamyiz (mumayyiz) ketika bertemu sahabat. Jika mereka masih kecil, maka tidak termasuk kategori tabi'in, seperti kholaf Ibn Kholifah. Ibnu Hibban melihat bahwa ia termasuk golongan tabi'it tabi'in, meskipun ia bertemu dengan Amr Ibn Harits.

11

Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsuun, Daar al-Kitab al-'Araby, (Beirut, Libanon, 1984) hlm. 172

Al-'Iraqy mengatakan bahwa apa yang disyaratkan oleh Ibnu Hibban mempunyai kriteria tertentu seperti pada sahabat, yakni mereka melihat Nabi pada waktu mereka sudah mumayyiz. Ia menambahkan bahwa Nabi Muhammad Saw telah memberikan isyarat kepada para sahabat dan Tabi'in dengan mengatakan: "Beruntunglah orang yang melihat dan beriman kepadaku, juga beruntunglah orang yang melihat orang lain yang melihatku al-Hadits. Jadi, kriteria keduanya hanya cukup dengan melihat saja. (al-Tadrib, hlm. 212). Lain halnya dengan batasan alHakim, ia mendefinisikan tabi'in sebagai orang yang menjumpai sahabat dan pernah meriwayatkan daripadanya.12 2. Perkembangan Dan Penyebaran Hadits Seperti kita ketahui bahwa hadits difungsikan sebagai penyebar nilai-nilai yang terkandung al-Qur'an, maka usaha para sahabat dan tabi'in dalam menyebarluaskan hadits bisa dinilai sebagai usaha yang punya nilai positif implementatif. Pembelaan umat Islam terhadap keontetikan hadits bisa terlihat dari sikap Abu Bakar ash-Shiddiq ketika menolak periwayatan al-Mughirah perihal hak waris nenek 1/6 bagian, sampai ia minta didatangkan saksi. Periwayatan sama sekali tidak mempengaruhi pemasyarakatan hadits itu sendiri, bahkan dia sendiri yang rujuk dan menetapkan seperti kandungan hadits.13

12

M. Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm 165. 13 Ibnu Taimiyah, Raf'ul Malam 'an Aimmatil A'lam, (Riyadh: Darul Ifta', tt), hlm. 7

Dari berbagai fakta sejarah, kita mengakui bahwa masa khulafaurrasyidin, sahabat dan tabi'in-lah masa di mana mereka dengan gigih membela kebenaran alHadits. Mereka dengan hati-hati menyebarluaskannya, sehingga sikap inilah yang oleh para sejarahwan dinilai kurang semarak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenyataan ini seperti yang dituturkan oleh Suhudi Ismail, yaitu: a. Kesibukan masa transisi kekholifahan Abu Bakar b. Kebutuhan hadits tidak sebanyak masa sesudahnya c. Tenggang waktu yang relatif singkat. d. Pada masa Abu Bakar, umat Islam dihadapkan berbagai ancaman.14 Sikap Umar Ibn Khattab kepada Abu Hurairah dan lainnya juga bukan dalam konotasi menghambat penyebarluasan hadits, melainkan karena kehatihatian mereka dalam menjaga keaslian dan/atau keontetikan hadits. Oleh karena itu umat pada waktu itu lebih memfokuskan pada kajian al-Qur'an. Demikian halnya dengan penyebaran di masa Utsman dan Ali, di mana banyak tersebar sahabat yang melancong ke beberapa negara, seperti Muadz Ibn Jabal dan Musa al-Asy'ari ke Yaman, Musa Ibnu Nushair ke Andalusia, Uqbah ibn Amir ke Mesir, Umar Ibn Khattab ke Palestina dan banyak lagi yang lainnya. Dari sejumlah 120.000 sahabat, ada 12.000 jenazah yang dimakamkan di Baqi' (Madinah), 8.000 di Ma'la (Makkah), dan selebihnya tersebar di muka bumi Allah untuk terlibat langsung dalam penyebarluasan as-Sunnah.

14

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 40.

10

Beban yang diemban oleh kalangan Tabi'in tidak seberat yang dipikul oleh para sahabat, artinya karena al-Qur'an pada waktu itu sudah menjadi satu mushaf yang sudah dibukukan, maka komitment mereka lebih tertuju pada usaha pemurnian al-Kitab dan as-Sunnah. Penyebarluasan hadits pada masa ini terlihat lebih marak lagi. Hal itu terbukti dengan adanya kegiatan ar-Rihlah yang menyebar di masyarakat.15 Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Mekkah, Madinah, Bashrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, yang berarti juga meningkatkan penyebaran hadits. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits. Hadits-hadits yang diterima para tabi'in, seperti yang telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatancatatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, di samping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam bentuk ibadah dan amaliyah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi sehingga tidak ada satu haditspun yang tercecer dan terlupakan.16 3. Pusat-pusat Pembinaan Hadits Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabiin dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al15 16

Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1971), hlm. 485. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 61-62

11

Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup banyak,antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Said al-Khudri.17 Pusat pembinaan pertama adalah Madinah ,karena di sinilah Rasul SAW menetap setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah. Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu,Muadz ibn Jabal, Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan Utbah ibn AlHaris.18 Di antara para Tabiin yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.19 Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah yaitu, Ali bin Abi Thalib,Saad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Masud. Di antara para tabiin yaitu, Al-Rabi ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakhai dan Abu Ishaq Al-Sabi.20 Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu,Anas ibn Malik,Abdullah ibn Abbas,Imran ibn Husain, Maqal ibn Yasar,Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Said Al-Anshari. Di antara para Tabiin yaitu,Hasan Al-Bishri,

17

Ajjaj Al-Khathib, hlm.130. Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t) hlm.111 18 Al-Hakim, hlm.192 19 Ajjaj Al-Khatib,hlm.111-118 20 Al-Hakim,hlm.243

12

Muhammad ibn Sirrin,Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn Ubaid, Abdullah ibn Aun,Kahatadah ibn Duamah Al-Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.21 Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam yaitu,Abu Ubaidah AlJarrah,Bilal ibn Rabbah, Ubadah ibn Shamid, Muadz ibn Jabal,Saad ibn Ubaidah,Abu Darda Surahbil ibn Hasanah,Khalid ibn Walid dan Iyad ibn Ghanam. Di antara para tabiin yaitu Salim ibn Abdillah al-Muharibi,Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani dan Umar ibn Hanai.22 Para sahabat yang membina di Mesir yaitu,Amr ibn Al-Ash,Uqbal ibn Amr, Kharisah ibn Huzafah dan Abdullah ibn Al-Haris. Para tabi;in diantaranya Amr ibn Haris, Khair ibn Nuaimi Al-Hadrami,Yazid ibn Abi Habib,Abdullah ibn Abi Jafar dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.23 Di Maghribi dan Andalus yaitu,Masud ibn Al-Aswad Al-Balwi,Bilal ibn Haris ibn Ashim Al-Muzani,Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn Uqbah ibn Abi Muid. Para tabiin yaitu, Ziyad ibn Anam Al-Muarif,Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansyur,Al-Mughirah ibn Abi Burdah,Rifaaf ibn Rafi dan Muslim ibn Yasar.24 Para sahabat yang terjun di Yaman yaitu,Muadz ibn Jabal,dan Abu Musa AlAsari. Para Tabiin diantaranya yaitu, Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn

21 22

Al-Hakim., hlm.192 dan 242. Ibid., hlm.193 dan 242 23 Ibid., hlm.193 dan 241 24 Ajjaj Al-Khthib

13

Munabah, Thawus dan Mamar ibn Rasyid.25 Sedang para tabiin yaitu, Muhammad ibn Ziyad, Muhammad ibn Tsabit Al-Anshari dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.26 4. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat,setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib. Langsung atau tidak dari pergolakan politik di atas,cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu(maudhu) untung mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.

25 26

Ajjaj Al-Khthib Al-Hakam, hlm.249

14

BAB III SIMPULAN

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya. 1. Hadist Pada Masa Rasul SAW Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu: a. Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain. b. Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan. 2. Hadist Pada Masa Sahabat Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah : a. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Quran. b. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam. c. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. 3. Hadist pada masa tabiin Pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga belum ada hadist yang terkodifikasi. karena para tabiin mengangggap bahwa nabi masih tidak

15

secara jelas menyuruh untuk menulis hadis, sehingga ap yang dilakukan para tabin sama dengan para sahabat. Jadi, para sahabat maupun tabiiin sama-sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis hadis tapi itu Cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi setelah itu disuruh membakarnya.begitulalh perjalanan prakodifikasi baik pada masa sahabat maupun tabiin tidak banyak perubahan, merka masih ,mengandalkan hafalan.

16

DAFTAR PUSTAKA

Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.130.Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t. Ibnu Taimiyah, Raf'ul Malam 'an Aimmatil A'lam, Riyadh: Darul Ifta', tt. Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2. Imam malik,al-Muwattha,j.2. Khathib, ,. A.-M. 1997. 'Ajjaj al- Sunnah Qabla At-Tadwin. Beirut: Dar Al- Fikr. M. Hasbi ash-Shiddiqy,1974, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang. Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah. , 1971. as-Sunnah Qabla Tadwin, Beirut: Darul Fikr. Muhammad Abu Zahw,1984, al-Hadits wa al-Muhadditsuun, Daar al-Kitab al'Araby, Beirut, Libanon. Mushtafa as-Subai. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam. Mana al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah. Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li almalayin. Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif.

17

Syuhudi Ismail, 1988, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang. Utang Ranuwijaya, 1996, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama.

18

Anda mungkin juga menyukai