Anda di halaman 1dari 4

Laskar Pelangi

Jenis Tugas

Sinopsis novel remaja (Bahasa Indonesia)

Nama

Salman Haybati

Nomor/Kelas

27/VIII-9

Laskar Pelangi

Sebuah pagi yang indah di Belitung. Hari itu hari pertama masuk SD. Namanya SD Muhammadiyah, SD yang seperti gudang kopra. Aku, Ikal, duduk di sebuah bangku bersama ayahku. Di mulut pintu, berdiri dua orang guru. Mereka adalah Bapak K.A Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah yang berwajah sabar; dan Ibu N.A Muslimah Hafsari, atau Bu Mus. Baru Sembilan orang yang datang pagi itu. Wajah Bu Mus tampak cemas. Sembilan orang baru Sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Akhirnya kami menunggu sampai pukul sebelas. Pukul sebelas lewat lima menit. Kerika Pak Harfan menyiapkan pidato terakhirnya, tiba-tiba seorang murid dating dari kejauhan. Kami bersorak riang. Harun namanya. Ibunya menyekolahkannya disini karena tidak ada SLB di pulau Belitung. Sekolah ini sangat berantakan, hanya mempunyai enam kelas-kelas kecil. Kami kekurangan guru. Kotak P3K pun kami tak punya. Jika sakit, mengandalkan pil APC. Di papan tulis tertulis SDMD, Sekolah Dasar Muhammadiyyah. Tak ada poster yang bersangkutan tentang pelajaran, hanya ada sebuah poster yang aneh. Poster itu memperlihatkan seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan memegang sebuah gitar. Ada dua baris kalimat yang aneh : RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT! Guru kami, N.A Muslimah Hafsari, memiliki sebuah ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Namun, beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya untuk mengobarkan pendidkan Islam di SD Muhammadiyah. Bu Mus adalah guru yang pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau seperti pohon filicium bagi kami, yang memberi banyak pengetahuan bagi kami. Sekolah kami sangat berbeda dengan sekolah PN yang terletak di Gedong. Gedong adalah land mark Belitung. Gedong lebih seperti kota satelit yang dijaga Polsus Timah. Tulisan DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK terpampang di mana-mana. Kawasan warisan Belanda ini berkesan menjaga jarak. Di dalam Gedong ada gedung bioskop, rumah Victoria, dan mobil-mobil mahal. Sangat bertolak belakang dengan daerah di luar Gedong. Sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah PN merupakan Center of Exellence. Murid PN biasanya adalah orang dari luar Belitung. Sekolah PN sering dikunjungi pejabat, tak seperti sekolah kami. Di SD kami, tertanam sebuah pohon Filicium, yaitu pohon pengundang burung. Tingginya sekitar 20 meter. Dahan dahan pohon filicium juga kami gunakan untuk bermain. Ada Syahdan, anak dari seorang nelaya yang miskin; Lintang, anak jenius dan bernasib sama dengan

Syahdan. Lintang akan kuceritakan lagi, karena tak cukup menceritakannya disini. Lalu ada Kucai, ketua kelas yang terobsesi menjadi orang kuat. Pernah aku dibuatnya merana. Ia mempunyai sebuah metode gila untuk membuat otot dadanya bagus. Ia memakai sebuah bola tenis yang dibelah dua, lalu ditempelkan ke dada. Seperti metode bekam. Aku menjadi kelinci percobaanya. Sakit bukan main, aku meronta-ronta. Akhirnya aku terlepas dari bencana itu. Sesampainya di rumah, aku ceritakan kepada Ibu. Dan cerita itu membuatku mempunyai penyakit gila nomor lima dari dua puluh lima nomor. Lintang. Lintang anak pintar dari pesisir. Pernah ia terjebak di perjalanannya menuju sekolah. Dihadang sebuah sungai yang berisi buaya. Dan dia melogika, menhitung kecepatan, massa, dan jarak. Dan pada kahirnya, nyalinya ciut. Dan datanglah bodenga. Bodenga, manusia yang misterius. Pakaiannya ala kadarnya. Jika ia lapar, ia memakan belut mentah di dalam sumur kantor desa. Ia sebatang kara. Ia liar. Tak seorangpun ingin menjadi temannya. Lintang ini adalah homo sapien terpintar di kelas kami. Ia bisa menghitung dalam hitungan detik, dan tak meleset sebiji pun. Bu Mus sampai terkagum kagum melihatnya. Superb, anak pesisir,superb! kata Bu Mus memuji. Ketika Bu Mus member soal matematika, kami hanya tertunduk dan berkecil hati. Tetapi Lintang, tanpa ragu ia menjawab. Kebanyakan orang pintar di dunia ini memakai kepintarannya untuk dismobongkan. Tetapi Lintang, ia tak segan segan membagi kegeniusannya. Ia sekolah hanya memakai sandal cunghai, sandal yang terbuat dari ban hangus. Bermabut gimbal awut-awutan. Lintang selalu terobsesi dengan hal baru. Ketika kami masih bingung dengan memetakan absis dan ordinat pada produk cartesius, Lintang sudah mempelajari materi tingkat lanjutan, bahkan perguruan tinggi. Ia tak hanya pintar dalam matematika, ia pandai dalam segala mata pelajaran. Bahasa inggris, biologi, dan lainnya, semua ia kuasai. Lalu ada Mahar, seorang seniman yang misterius, berwajah tampan, ceking, dan berpenampilan eksentrik. Nasib membawanya menjadi seniman hebat. Pada suatu hari, kami menyanyikan lagu. Mahar menaynyikan lagu Tennesse Waltz. Syair demi syair lagu merambati dinding kelas reyot kami. Kami tersihir oleh aura musik yang indah. Mahar layaknya penyeimbang di kelas kami yang cenedrung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak sebelah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Jika Lintang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, maka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya intelktualitas Lintang. Jika tak ada guru, maka Mahar akan memperlihatkan teknik membuat kapal-kapalan dari pelepah sagu. Kapal ini digerakkan baling baling yang disambungkan dengan motor. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih. Lalu setelah itu Mahar maju. Ia menundukkan kepalanya, lalu dengan manis menyanyikan lagu Leaving on a Jet Plane dengan gitarnya dengan ketukan-ketukan bernuansa hadrah. Mahar juga

membacakan puisi puisi parodi tentang orang Melayu. Persahabatannya dengan penyiar radio AM yang memiliki banyak

Anda mungkin juga menyukai