Anda di halaman 1dari 25

Dermatosis Eritroskuamosa

Dermatosis eritroskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama oleh adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa kemerahan yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat reversibel. Skuama merupakan lapisan dari stratum korneum yang terlepas dari kulit. Maka, kelainan kulit yang terutama terdapat pada dermatosis eritroskuamosa adalah berupa kemerahan dan sisik/terkelupasnya kulit. Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari beberapa penyakit kulit yang digolongkan di dalamnya, antara lain: psoriasis, parapsoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan eritroderma. PSORIASIS Definisi Psoriasis ialah sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini terkadang untuk jangka waktu lama dan berulang (kronik residif), penyakit ini secara klinis sifatnya tidak mengancam jiwa, tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup serta menggangu kekuatan mental seseorang bila tidak dirawat dengan baik. Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang biasanya berlangsung selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 24 hari, (bahkan bisa terjadi lebih cepat) pergantian sel kulit yang banyak dan menebal. Sampai saat ini penyakit Psoriasis belum diketahui penyebabnya secara pasti, sehingga belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total penyakit ini. Epidemiologi Psoriasis dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dengan angka kesakitan (insiden rate) yang berbeda. Pada orang kulit putih lebih tinggi dibanding kulit berwarna. Sedangkan dari segi umur, Psoriasis dapat mengenai semua usia, namun biasanya lebih kerap dijumpai pada dewasa.

Etiologi Penyebab Psoriasis hingga kini belum diketahui secara pasti. Diduga beberapa faktor sebagai pencetus timbulnya Psoriasis, antara lain: Faktor herediter (genetik). Disebutkan bahwa seseorang beresiko menderita Psoriasis sekitar 34-39% jika salah satu orang tuanya menderita Psoriasis, dan sekitar 12% jika kedua orang tuanya tidak menderita Psoriasis. Faktor psikis. Sebagian penderita diduga mengalami Psoriasis karena dipicu oleh faktor psikis. Sedangkan stress, gelisah, cemas dan gangguan emosi lainnya berperan menimbulkan kekambuhan. Padahal penderita Psoriasis pada umumnya stress lantaran melihat bercak di kulitnya yang tak kunjung hilang. Faktor infeksi fokal. Beberapa infeksi menahun (kronis) diduga berperan pada timbulnya Psoriasis. Penyakit metabolik (misalnya diabetus melitus laten). Faktor cuaca. Pada beberapa penderita mempunyai kecenderungan membaik saat musim panas dan kambuh pada musim hujan. Silang pendapat seputar faktor-faktor pemicu timbulnya Psoriasis masih berlangsung. Karenanya tak perlu heran jika kita mendengar berbagai perbedaan terkait pencetus Psoriasis. Gambaran klinis Pada tahap permulaan, mirip dengan penyakit-penyakit kulit dermatosis eritroskuamosa (penyakit kulit yang memberikan gambaran bercak merah bersisik). Namun gambaran klinis akan makin jelas seiring dengan waktu lantaran penyakit ini bersifat menahun (kronis). Gejala-gejala Psoriasis adalah sebagai berikut, awalnya, psoriasis ditandai dengan bercak merah, kadang gatal, berbatas jelas yang tiba-tiba muncul di kulit, terutama di siku, lutut, daerah tulang ekor (lumbosakral), kepala dan daerah genital. Di permukaan bercak terdapat sisik (skuama) berwarna putih mirip mika atau putih keperakan, kering, berlapis, kasar dan transparan. Selanjutnya, bercak merah membesar, dan beberapa bercak bergabung membentuk

bercak yang lebih lebar. Bercak pada umumnya berbentuk bulat atau oval, berukuran satu hingga beberapa sentimeter dan menetap dalam waktu yang lama. Selain di kulit, psoriasis dapat mengenai kuku dan sendi (jarang). Berdasarkan bentuk klinis, psoriasis dibedakan menjadi beberapa macam, yakni: 1. Psoriasis vulgaris Bentuk ini ialah yang lazim ditemukan, karena itu disebut vulgaris. Dinamakan juga tipe plak karena lesinya pada umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya seperti yang telah diterangkan di atas. 2. Psoriasis pustulosa Ada 2 pendapat mengenai psoriasis jenis ini, pertama dianggap sebagai penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata. Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber). Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch). a. Psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber) Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal. b. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch) Sebagai faktor provokatif banyak, misalnya obat yang tersering karena penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya (ampisilin dan amoksisilin) serta antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin, kalium jodida, morfin, sulfapiridin, sulfonamida, kodein, fenilbutason dan salisilat. Faktor lain selain obat, ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi bakterial dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah menderita psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah menderita psoriasis. Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul milier pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran beberapa cm. 3

Kelainan-kelainan semacam itu akan berlangsung terus menerus dan dapat menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukositosis (dapat mencapai 20.000/l), kultur pus dari pustul steril. 3. Psoriasis arthritis Timbul dengan peradangan sendi, sehingga sendi terasa nyeri, membengkak dan kaku, sama persis seperti gejala rematik. Pada tahap ini, penderita harus segera ditolong agar sendi-sendinya tidak sampai terjadi keropos. 4. Psoriasis gutata Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbul mendadak dan diseminata, umumnya setelah infeksi streptococcus di saluran napas bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral. 5. Psoriasis inversa Disebut juga psoriasis fleksural karena mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor sesuai dengan namanya. 6. Psoriasis eritroderma Dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi. Penatalaksanaan Mengingat bahwa hingga kini belum dapat diberikan pengobatan kausal (menghilangkan penyebabnya), maka pengobatan yang dilakukan adalah upaya untuk meminimalisir keluhan, yakni: 1. Menekan atau menghilangkan faktor pencetus (stress, infeksi fokal, menghindari gesekan mekanik, dll). 2. Mengobati bercak-bercak psoriasis. Pengobatan topikal (obat luar: salep, krim, pasta, larutan) merupakan pilihan utama untuk pengobatan psoriasis. Obat-obat yang lazim digunakan, antara lain: Kortikosteroid (misalnya: triamsinolon asetonid, fluosinolon asetonid, betamethason valerat, betamethason benzoat), Ter (misalnya, LCD 2-5%), antralin 0,1-0,8%, Kalsipotriol, dll. Selain itu, pada beberapa penderita tertentu dilakukan

pengobatan penyinaran dengan ultraviolet. Pengobatan sistemik (obat minum, suntikan). Cara ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan karena adanya kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya pada pemakaian jangka panjang. Obat-obat yang biasa digunakan diantaranya: kortikosteroid, metotreksat (MTX), retinoid, siklosporin. Pengobatan kombinasi, cara ini meliputi: kombinasi psoralen dengan penyinaran ultraviolet (PUVA), kombinasi obat topikal dan sistemik. Prognosis Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini bersifat kronik residif. Belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total karena penyebab pasti psoriasis belum diketahui. Namun, psoriasis dapat dikendalikan agar tidak mudah kambuh dengan cara menghindari faktor-faktor pencetusnya. PARAPSORIASIS Definisi Parapsoriasis adalah suatu kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema dan skuama, pada umumnya tanpa keluhan dan berkembang secara perlahan-lahan dan kronik. Tahun 1902, Brocq pertama kali menggambarkan 3 tanda utama yaitu Pityriasis lichenoides (akut dan kronik), Parapsoriasis plak yang kecil dan Parapsoriasis plak yang luas (parapsoriasis dan plak). Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Parapsoriasis gutata Parapsoriasis variegata Parapsoriasis en plaques Parapsoriasis menggambarkan kelompok penyakit yang sulit dipahami dan dibedakan gambaran klinisnya. Ada 2 bentuk umum: tipe plak kecil, yang biasanya bersifat ringan dan tipe plak besar yang merupakan precursor dari cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). Beberapa pasien dengan parapsoriasis tipe plak kecil akhirnya berkembang menjadi CTCL. Epidemiologi Tidak ada data statistik tentang insiden dan frekuensi parapsoriasis. Pasien dengan

parapsoriasis plak besar bisa tidak diketahui bila terjadinya secara asimptomatik. Insiden parapsoriasis bisa lebih besar dari insiden MF yang dilaporkan, yang mana kasusnya paling banyak 3 kasus per juta populasi per tahun. Kematian telah dilaporkan pada parapsoriasis. Morbiditas dibatasi dengan gejala yang masih minimal, untuk parasporiasis plak besar, mortalitas bisa dihubungkan dengan progresifitas CTCL. Tahap patch MF bisa di dapat pada tahap awal CTCL, dan harapan hidup selama 5 tahun lebih 90%. Harapan hidup jangka panjang tidak berbeda dari populasi yang terkontrol. Gambaran penyakit ini jarang terjadi pada orang kulit hitam. Distribusi geografi berbeda. Hal ini umum terjadi pada bagian selatan daripada bagian utara Inggris dan jarang ditemukan di Amerika. Psoriasis plak kecil banyak terdapat pada laki-laki. Rasio laki-laki dengan perempuan 3:1. Untuk kedua parapsoriasis, kebanyakan terjadi pada umur pertengahan, insiden puncaknya pada dekade kelima kehidupan. Patogenesis Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada umumnya tanpa keluhan(kadang-kadang gatal ringan), perjalanannya perlahan-lahan dan menahun. Namun, penyakit ini mempunyai tahap yang berbeda pada gangguan lymphoproliferative yang berlanjut dari kronik dermatitis ke cutaneous T-cell lymphoma (CTCL). Parapsoriasis plak kecil merupakan proses reaktif dari sebagian besar sel T CD4+. Pola genotip diobservasi pada parapsoriasis plak kecil sama dengan yang diobservasi pada dermatitis kronik dan pola klonalitas sel T sama dengan respon sel T subset spesifik yang telah distimulasi oleh antigen. Klone multiple dominant dapat dideteksi oleh reaksi rantai polymerase (PCR) dari penggunaan gen reseptor sel-T, yang mendukung proses reaktif. Limfosit tidak menunjukkan gambaran khas histologis untuk memperkirakan perubahan terjadinya keganasan. Beberapa ahli percaya bahwa parapsoriasis plak kecil merupakan lymphoma sel-T yang hancur; bagaimanapun, sampai saat ini belum ada bukti yang jelas, seperti perubahan genetik (contohnya, mutasi TP53) yang diobservasi pada keganasan yang lain yang terdapat untuk mendukung hal ini. Namun, pencarian untuk memverifikasi hipotesis ini adalah identifikasi terbaru dari peningkatan aktivitas telomerase pada sel T dari CTCL stadium awal, lymphoma stadium lanjut dan pada parapsoriasis, yang mana aktivitasnya tidak terdapat pada sel-T normal. Parapsoriasis plak besar merupakan gangguan inflamasi kronik, dan patofisiologinya telah dispekulasi menjadi stimulasi antigen jangka panjang. Gangguan 6

ini dihubungkan dengan penggandaan sel-T dominan, salah satunya bisa terdapat diatas 50% dari infiltrasi sel-T. Jika gambaran histologisnya benigna tanpa atipikal limfosit, klasifikasi dari parapsoriasis plak besar dibuat. Jika terdapat atipikal limfosit, maka pasien bisa diklasifikasikan sebagai CTCL tahap patch. Gambaran klinis Parapsoriasis Gutata Lesi dari parapsoriasis gutata adalah makulopapul yang mirip dengan psoriasis gutata, dengan skuama berwarna keabu-abuan. Tidak seperti psoriasis, parapsoriasis gutata tidak berespon terhadap terapi antipsoriatik. Lesi muncul terutama pada badan, terjadi pada umur berapa saja dan kedua jenis kelamin, dan bersifat kronik (bertahan sampai bulan hingga tahun). Parapsoriasis Likenoid Parapsoriasis likenoid digambarkan dengan eritem, skuama, papul likenoid, terutama pada badan, yang cenderung bergabung dan membentuk retiform appearance. Erupsi lebih menyeluruh dibanding pada parapsoriasis gutata dan menyerang leher, badan, dan lengan. Biasanya tidak terdapat pruritus, dan tidak mempengaruhi kesehatan pasien secara umum. Parapsoriasis en Plaque Lesi dari parapsoriasis en plaque biasanya lebih besar dari parapsoriasis gutata atau parapsoriasis likenoid. Lesinya rata dibandingkan psoriasis dan mungkin berhubungan dengan poikiloderma pada tempat lain. Plak mencakup warna merah kekuningan sampai kecoklatan dengan skuama yang berbatas tegas, dan terjadi biasanya terutama pada badan, gluteus, dan paha. Pemeriksaan Penunjang Histopatologis parapsoriasis plak kecil menunjukkan infiltrat limfosit perivaskular superfisial ringan dengan infiltrat inflamasi nonspesifik sel-T CD4+ dan CD8+. Bagaimanapun, sebagian besar sel merupakan CD4+. Pada epidermis bisa menunjukkan spongiosis ringan, hiperkeratosis fokal, krusta, parakeratosis dan eksositosis. Selalunya polanya tidak terdiagnosis dan tidak spesifik. Limfositnya kecil dan tidak menunjukkan gambaran atipikal. Parapsoriasis plak besar, infiltrat inflamasi dermal superfisial sebagian besar

adalah limfosit. Beberapa limfosit junction epidermal-dermal dan limfosit tunggal dapat diobservasi pada epidermis. Limfosit biasanya kecil dan tidak menunjukkan nuclei yang atipikal. Pembuluh darah melebar, dan terdapat melanophages. Epidermis menunjukkan pendataran rete ridges ketika terjadi atropi epidermal yang menonjol pada uji klinis. Terdapat achantosis dari epidermis dan hiperkeratosis irregular dari lapisan cornified. Pada parapsoriasis plak kecil tidak terdapat spongiosis. Penatalaksanaan Penyinaran dengan lampu ultraviolet merupakan terapi yang paling sering mendatangkan banyak manfaat dan dapat membersihkan sementara ataupun menetap, atau bahkan hanya meninggalkan scar yang minimal. Penyakit ini juga dapat membaik dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada pengobatan psoriasis. Meskipun demikian hasilnya bersifat sementara dan sering kambuh. Obat yang digunakan diantaranya : kalsiferol, preparat ter, obat antimalaria, derivat sulfon, obat sitostatik, dan vitamin E. Adapun pengobatan parapsoriasis gutata akut dengan eritromisin (40 mg/kg berat badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek menghambat kemotaksis neutrofil. Diagnosis banding Sebagai diagnosis banding adalah ptiriasis rosea dan psoriasis. Psoriasis berbeda dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal,kasar, berlapis-lapis, dan terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu gambaran histopatologiknya berbeda. Ruam pada pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya tidak menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain adalah pada pitiriasis rosea susunan ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Pitiriasis rosea ditandai dengan suatu lesi yang berukuran 2-10 cm. Biasanya pitiriasis rosea berawal sebagai suatu bercak tunggal dengan ukuran yang lebih besar, yang disebut herald patch atau mother patch. Beberapa hari kemudian akan muncul bercak lainnya yang lebih kecil. Bercak sekunder ini paling banyak ditemukan di batang tubuh, terutama di sepanjang tulang belakang dan penyebabnya tidak diketahui. Komplikasi 8

Perkembangan dari dermatitis kontak berhubungan dengan penggunaan agen kemoterapi. Mortalitas belum pernah dilaporkan pada small plaque parapsoriasis. morbiditas terbatas pada gejala, yang hanya berefek minimal. Untuk large plaque parapsoriasis, mortalitas mungkin berubungan dengan progresi ke MF (CTCL). Pada tingkatan tertentu dari MF menunjukkan stage awal dari CTCL, dan tingkat survive lebih dari 90%. Prognosis Parapsoriasis secara khusus memiliki perjalanan penyakit yang kronik dan lama, kecuali parapsoriasis en plaque yang berpotensi untuk menjadi mikosis fungoides, yang berpotensi lebih fatal. DERMATITIS SEBOROIK Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea. Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5% populasi. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun. Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-kanak. Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini menderita dermatitis seboroik ringan. Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi. Definisi Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial, didasari oleh faktor konstitusi. Etiologi Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai 9

macam faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik. Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas. Pada bayi dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun. Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal. Ragi genus ini dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen. Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bisa terjadi. Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsy, major truncal paralysis) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu, seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui. Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seboroik. Obat-obat tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin, ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa, phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, dan trioxsalen. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan 10

jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan anogenital. Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pada remaja dan dewasa Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang telinga. Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea (misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae), kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi. Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling (ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur. 2. Pada bayi Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks kulit kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada anak-anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan oleh oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala klinik pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran. Dermatitis dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan eksudat seperti keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi general. Dermatitis seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita dermatitis seboroik general sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese). Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem imunnya. Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga: 11

1. Seboroik kepala Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuningkuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe). Pasien mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin memburuk. Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi, disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi disebut Cradle cap. Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial. 2. Seboroik muka Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis barbae. 3. Seboroik badan dan sela-sela Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus, krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder. Diagnosis 12

1. Anamnesis Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/dandruft. Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain. 2. Pemeriksaan fisik Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya tidak disertai rasa gatal. Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras. Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga. Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental dapat terjadi. 3. Histologis Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis. Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis. Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites dengan pengecatan khusus. Diagnosis Banding 1. Dermatitis atopik Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitea. Bayi dapat menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu (misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai dermatitis seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya berdasarkan gejala klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada dermatitis atopik tidak spesifik. 2. Kandidiasis Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohifa. 13

3. Langerhans cell histiocytosis Bayi jarang menderita Langerhans cell histiocytosis. Langerhans cell histiocytosis cirinya seborrhoic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam. 4. Psoriasis Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis. Tanda lain dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu membedakan. 5. Pitiriasis rosea Pitiriaris rosea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik. Meskipun rosea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi. Pada pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan garis kulit. 6. Tinea Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia kapitis dan tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida. Penatalaksanaan Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi, keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif. 1. Obat anti inflamasi Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit kepala atau krim pada kulit. Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses

14

inflamasi seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel. Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu). Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral. Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu. 2. Keratolitik Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti wajah. 3. Anti fungi Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai. Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti inflamasi juga. Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik. 4. Pengobatan Alternatif Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan 15

minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%. Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya. Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala. Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya. Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit. Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh secara spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada kepala, skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi kemudian dibilas. 16

Penatalaksanaan pada wajah Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali. Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk dermatitis seboroik. Penatalaksaan pada tubuh Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim ketokonazole 2 % dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 12 kali sehari. Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh. Pasien harus membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut. Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum. Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 0,3 mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek samping mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH). Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi 17

harus dihentikan setelah dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua minggu, obat harus di stop sesegera mungkin. Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment. Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih baik. Edukasi Penderita harus diberitahu bahwa penyakit berlangsung kronik dan sering kambuh. Harus dihindari factor pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak dan sebagainya. Prognosis Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan. PITIRIASIS ROSEA Definisi Pitiriasis rosea adalah salah satu penyakit kulit yang digambarkan oleh Camille Melchior Gilbert (tahun 1860) sebagai penyakit kulit papulosquamous (Robert A Allen, MD), yakni penyakit kulit dengan tanda bercak bersisik halus, berbentuk oval dan berwarna kemerahan. Sementara Richard Lichenstein, MD, menyebutkan bahwa Pitiriasis rosea sudah dikenal sejak lebih dari 2 abad yang lalu. Pitiriasis rosea bersifat self limited atau sembuh sendiri dalam 3-8 minggu. Etiologi Penyebab pitiriasis rosea masih belum pasti, tetapi banyak gambaran klinis dan epidemiologi yang menunjukkan bahwa agen penginfeksi bisa terlibat. Epidemik sejati belum dilaporkan, dan kemungkinan bahwa pengalaman klinis terbaru dengan penyakit ini dapat meningkatkan kecenderungan untuk mendiagnosa kasus-kasus selanjutnya bisa mengarah pada kesan yang keliru bahwa penyakit ini menular. Akan tetapi, bukti epidemiologi yang dilaporkan untuk keterlibatan infeksi (meskipun rendah) mencakup 18

perjangkitan yang jarang dalam keluarga atau rumah tangga, dengan fluktuasi musiman dan dari tahun ke tahun, bukti statistik untuk pengelompokan dalam ruang dan waktu, dan kejadian yang lebih tinggi diantara para ahli dermatologi dibanding para juru bedah telinga, hidung dan tenggorokan dan ahli-dermatologi pra-spesialisasi. Riwayat alami penyakit, yakni lesi utama yang bisa terdapat pada tempat inokulasi, erupsi sekunder menular setelah interval tertentu dan tidak seringnya serangan kedua, menunjukkan ciriciri yang sama dengan banyak penyakit yang penyebabnya telah dipastikan infeksi. Gejala-gejala konstitusional ringan yang sesekali telah dilaporkan dan bisa mendukung keterlibatan infeksi pada penyakit ini, tetapi tidak sering ditemukan pada 108 pasien yang mengalami pitiriasis rosea dibanding dengan kontrol yang jumlahnya sama. Perburukan kondisi yang menyertai terapi steroid oral ditemukan pada beberapa kasus dan erupsierupsi mirip pitiriasis rosea telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang, walaupun beberapa efek etiologi bisa terlibat pada situasi seperti ini. Pencarian mikroorganisme yang kemungkinan terlibat terus berlanjut. Kecurigaankecurigaan awal terhadap jamur, streptococci, spirochaetes dan Legionella belum dapat dikuatkan, dan kebanyakan spekulasi sekarang ini berfokus pada etilogi virus. Berbagai upaya untuk mengkulturkan virus dari kulit yang terkena tidak membuahkan hasil. Partikel-partikel mirip virus yang dideteksi secara ultrastruktural beberapa tahun yang lalu dan partikel-partikel mirip herpes virus yang baru-baru dilaporkan telah ditemukan pada 71% lesi pitiriasis rosea. Keterlibatan dua herpes virus, HHV-6 dan HHV-7, telah diduga sebagai penyebab untuk erupsi. DNA virus dilaporkan terdapat pada sel-sel mononuklear darah perifer dan kulit berlesi dan kulit yang tidak terkena pada kebanyakan (80-100%) orang yang mengalami pitiriasis rosea akut. HHV-7 dideteksi sedikit lebih sering dibanding HHV-6, tetapi seringkali kedua virus ini ditemukan bersamaan. Akan tetapi, bukti untuk keberadaan dan aktivitas HHV-6 atau HHV-7 juga ditemukan pada beberapa (10-44%) orang yang tidak terkena, sehingga menunjukkan bahwa jika ada hubungan sebab-akibat, maka infeksi dengan virus tidak selamanya mengarah pada penyakit. Tidak semua peneliti yang telah meneliti di bidang ini menemukan adanya virus-virus ini pada pasien yang mengalami pitiriasis rosea atau menemukan adanya hubungan meski hubungan yang tidak signifikan. Ada beberapa laporan yang mengkaitkan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea dengan obat. Ruam-ruam yang disebabkan oleh arsenik, bismuth, emas dan metopromazin tampaknya lebih besar kemungkinannya memiliki reaksi lichenoid atipikal. Obat-obat lain yang terlibat mencakup antara lain metronidazol, barbiturat, klonidin, captopril dan 19

ketotifen. Pada beberapa laporan, kemiripan erupsi dengan pityriasis rosea tidak terlalu dekat, dan pada beberapa laporan lainnya kemiripan yang kebetulan ini bisa menjelaskan hubungan tersebut. Sehingga, meskipun beberapa erupsi obat bisa menyerupai kondisi ini, belum ada bukti meyakinkan bahwa pityriasis rosea tipikal bisa disebabkan oleh obat. Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan timbulnya Pitiriasis rosea, diantaranya: Faktor cuaca hal ini karena Pitiriasis rosea lebih sering ditemukan pada musim semi dan musim gugur. Faktor penggunaan obat-obat tertentu seperti bismuth, barbiturat, captopril, merkuri, methoxypromazine, metronidazole, D-penicillamine, isotretinoin, tripelennamine hydrochloride, ketotifen, dan salvarsan. Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis atopi, seborrheic dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pitiriasis rosea dijumpai pada penderita penyakit dengan dermatitis atopik, dermatitis seboroik, acne vulgaris dan ketombe. Gejala klinis Tahap awal Pitiriasis rosea ditandai dengan lesi (ruam) tunggal (soliter) berbentuk oval, berwarna pink dan di bagian tepi bersisik halus. Diameter sekitar 1-3 cm. Kadang bentuknya tidak beraturan dengan variasi ukuran 2-10 cm. Tanda awal ini disebut herald patch yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Rasa gatal ringan dialami oleh sekitar 75 % penderita dan 25 % mengeluh gatal berat. Tahap berikutnya timbul sekitar 1-2 minggu (rata-rata 4-10 hari) setelah lesi awal, ditandai dengan kumpulan lesi (ruam) yang berbentuk seperti pohon cemara terbalik (Christmas tree pattern). Tempat tersering (predileksi) adalah badan, lengan atas dan paha atas. Pada tahap ini Pitiriasis rosea berlangsung selama beberapa minggu. Selanjutnya akan sembuh sendiri dalam 3-8 minggu. Selain bentuk ruam kemerahan bersisik halus, variasi bentuk yang tidak khas (atipik) dapat dijumpai pada sebagian penderita Pitiriasis rosea, terutama pada anak-anak, berupa urtikaria, vesikel dan papul. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Pemeriksaan darah rutin tidak dianjurkan karena biasanya memberikan hasil yang normal.

20

Diagnosis banding 1. Sifilis sekunder Riwayat timbulnya chancre, tidak terdapat herald patch, lesi terdapat pada telapak tangan dan kaki, dapat disertai oleh kondiloma lata, umumnya disertai keluhan sistemik dan adanya limfadenopati. Apabila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan serologi (VDRL) untuk menyingkirkan diagnosis sifilis sekunder. 2. Tinea korporis Gambaran klinis mirip yaitu berupa eritema dan skuama di pinggir serta bentuknya anular. Perbedaanny yaitu pada pitiriasis rosea rasa gatal tidak begitu berat jika dibandingkan dengan tinea korporis, dan skuama pada tinea korporis lebih kasar. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan KOH. 3. Dermatitis numularis Lesi berbentuk bulat bukan oval, berupa vesikel atau papulovesikel yang penyembuhannya dimulai dari tengah. Lesi lama berupa likenifikasi dan skuama. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan biopsy. 4. Psoriasis guttata Plak umumnya lebih kecil dibandingkan plak pada pitiriasis rosea, skuama tipis, diagnosis dipastikan dengan biopsy. 5. Pitiriasis likenoid kronis Perjalanan panyakit yang berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, skuama lebih tipis, tidak terdapat herald patch, dan lesi banyak ditemukan pada ekstremitas. Penatalaksanaan Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatis, untuk gatal dapat diberikan sedativa, sedangkan sebagai obat topical dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 1/2 1 %. Edukasi Walaupun Pitiriasis rosea bersifat self limited ( sembuh sendiri ), bukan tidak mungkin penderita merasa risau dan sangat terganggu. Untuk itu diperlukan penjelasan kepada penderita tentang penyakit yang dideritanya, antara lain: Menjelaskan kepada penderita dan keluarganya bahwa Pitiriasis rosea akan sembuh

21

dalam waktu lama. Lesi kedua rata-rata berlangsung 2 minggu, kemudian menetap selama sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa Pitiriasis rosea berlangsung hingga 3-4 bulan. ERITRODERMA Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut (keduanya boleh digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian besar kulit berwarna merah, meradang dan berskuama. Definisi Terdapat beberapa definisi yang sering digunakan untuk menjelaskan eritroderma, antara lain : Eritroderma (dermatitis eksfoliativa) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama. Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau di seluruh tubuh. Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh. Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang kurang lebih menyeluruh. Etiologi Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok : 1. Eritroderma eksfoliativa primer Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum. 2. Eritroderma eksfoliativa sekunder a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya, sulfonamide, analgetik / antipiretik dan tetrasiklin. b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh, dapat terjadi pada liken planus, psoriasis,

22

pitiriasis rubra pilaris, pemfigus foliaseus, dermatitis seboroik dan dermatitis atopik. c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma. Patofisiologi Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum (lapisan kulit yang paling luar) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler, hipoproteinemia dan keseimbangan nitrogen yang negatif. Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas, sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliativa memberikan efek yang nyata pada keseluruh tubuh. Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel-sel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik / plak jaringan epidermis. Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat / metaboliknya yang berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan, serum / protein dari membran sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Manifestasi klinis Eritroderma akibat alergi obat, biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh, sedangkan skuama baru muncul saat penyembuhan. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering addalah psoriasis dan dermatitis seboroik pada bayi (Penyakit Leiner). - Eritroderma karena psoriasisDitemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan pitting nail.

23

- Penyakit Leiner (eritroderma deskuamativum)Usia pasien antara 4-20 minggu keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh tubuh disertai skuama kasar. - Eritroderma akibat penyakit sistemik, termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya penyakit pada alat dalam, infeksi dalam dan infeksi fokal. Pengobatan 1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya penyakit ini. 2. Rawat pasien di ruangan yang hangat. 3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya dehidrasi, gagal jantung, dan infeksi). 4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti. 5. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat didiagnosis adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis. 6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang melatarbelakanginya. Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I. Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10%. Prognosis 24

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma kortikosteroid. yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, 2007, Edisi 5, Adhi Juanda, Dermatosis Eritroskuamosa, 189-202, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2. http://medlinux.blogspot.com/2007/08/dermatitis-seboroik.html 3. http://cakmoki86.wordpress.com/2010/02/08/pityriasis-rosea/ 4. http://www.pajjakadoi.co.tv/2010/04/pityriasis-rosea.html 5. http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/05/parapsoriasis.html 6. http://rusari.com/askep_eritroderma.html

25

Anda mungkin juga menyukai