Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

NYERI YANG SULIT DIATASI

Disusun oleh :

Bening Rahimi Titisari, S.Ked G9911112031 Annisa Hidayati, S.Ked G9911112019 Abiseka Panji Baskoro , S.Ked G9911112002 Muhamad Nadim, S.Ked G9911112099 Digdo Aji Raharjo, S.Ked G9911112052 Rifki Effendi Suyono, S.Ked G9911112123

Fahmi Wahyu Rakhmanda, S.Ked G9911112068 Artha Wahyu Wardana, S.Ked G9911112023 Eka Dewi Pratitissari, S.Ked G9911112060 Cahyaning Gusti Agriani, S.Ked G9911112034 Ahmad Alfin Nurdiana, S.Ked G9911112008

Pembimbing : dr. F. X. Soetedjo W., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013

Sekitar 80-90% dari rasa sakit yang diakibatkan kanker dapat relatif berkurang dengan terapi analgesik oral dan obat-obatan adjuvan sesuai dengan pedoman WHO. Pada 10-20% kasus lainnya sulit untuk diobati. Terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan nyeri yang tidak mudah diatasi dengan analgesik opioid ternyata masih membingungkan. Hal ini terjadi karena jarang ditemukan kasus nyeri yang tidak berespon terhadap analgesik opioid dan umumnya tidak menunjukkan fenomena yang khas. Biasanya nyeri pada kanker setidaknya berespon minimum terhadap penggunaan opioid dan merujuk kepada istilah nyeri yang berespon buruk terhadap opioid. Terdapat definisi klinis pragmatis bahwa nyeri tersebut bahkan berespon tidak adekuat dengan opioid pada dosis yang optimum. Contoh yang paling umum adalah nyeri neuropati.

Nyeri Neuropati
Nyeri neuropati berawal dari jaringan saraf yang rusak, sedangkan nyeri nosiseptif adalah hasil dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri neuropatik dapat disebabkan karena infiltrasi tumor atau kompresi jaringan saraf, baik sentral atau perifer dan mungkin juga disebabkan oleh operasi, radioterapi, kemoterapi, atau infeksi virus. Pasien mungkin menggambarkan rasa nyeri seperti terbakar, tertusuk, tersengat, ataupun kesakitan. Mungkin juga terasa dangkal atau sangat sakit dan mungkin terasa konstan atau intermiten. Nyeri dapat muncul secara spontan atau terakumulasi setelah diberikan rangsangan, yang beberapa diantaranya tidak selalu menyakitkan (allodynia) seperti sentuhan ringan atau kedinginan. Tatalaksana Obat Untuk kebanyakan pasien uji opioid yang bernilai sementara biasanya berhubungan dengan analgesik adjuvant. Analgesik adjuvant adalah obat dengan indikasi utama untuk meredakan rasa nyeri tetapi juga pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kondisi yang menyakitkan. Metode Non-Pengobatan Metode ini digunakan dalam hubungannya dengan pengobatan yang menggunakan obat, tetapi tidak semua pasien cocok dengan metode ini. Sebagian besar

pengobatan dengan metode ini bergantung pada couter yang mengiritasi dan berkisar dari penggosokan secara sistematis dari bagian yang terkena melalui aplikasi panas, dingin, atau bahkan kimia untuk akupunktur atau rangsangan stimulasi dari nervus transkutaneus. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) menggunakan permukaan elektroda yang terhubung ke baterai portabel kecil untuk cepat merangsang diameter saraf di kulit dan jaringan subkutan. Kesuksesan metode ini bergantung pada posisi elektroda yang benar dan penyesuaian yang optimal dari output listrik. Dan hal ini berbeda pada setiap orang. Metode ini relatif bebas dari efek samping tapi sulit untuk memprediksi apakah akan menguntungkan pasien atau tidak. Keefektifan metode ini sering menurun selama beberapa minggu. Akupunktur dapat menjadi metode alternatif yang berguna untuk beberapa pasien tetapi metode ini bergantung ketersediaan lokal dari praktisi yang terampil. Fisioterapi dapat meringankan atau mencegah terjadinya masalah pada muskuloskeletal yang mungkin dapat menyertai nyeri neuropati. Terapi pekerjaan dapat mengajarkan kepada pasien bagaimana mengembalikan fungsi yang ada tanpa menimbulkan episode yang menyakitkan. Kegunaan analgesik adjuvant untuk nyeri neuropati Praktik kami adalah untuk memulai dengan penggunaan amitriptilin dan menambahkan antikonvulsan jika terdapat gejala yang tidak dapat disembuhkan atau untuk menggantikan antikonvulsan jika terdapat toleransi yang buruk terhadap golongan trisiklik. Jika nyeri masih tidak dapat dikendalikan pada tahap ini, maka sebagai perawatan paliatif yang dianjurkan dari sebuah klinik adalah dengan merujuk ke spesialis. Antidepresan Golongan Trisiklik Efek independen dari analgesik trisiklik adalah efek dari antidepresan campuran reuptake inhibitor seperti amitriptilin menjadi pilihan golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor). Dosis awal yang digunakan seharusnya rendah (seperti penggunaan amitriptilin 10-25mg saat malam hari) kemudian ditingkatkan titrasinya mencapai dosis dasar

mingguan hingga kontrol nyeri berangsur-angsur membaik atau efek samping menjadi intoleransi. Respon dari suatu analgesik dapat ditemukan pada amitriptilin dengan dosis antara 25-75mg tetapi pada penambahan dosis harus diperhatikan juga efek yang tidak diinginkan (bukti bahwa aktivitas analgesik lebih kuat dalam obat daripada menggunakan amitriptilin). Antikonvulsan Penggunaan seharusnya dimulai dari dosis rendah kemudian dinaikkan titrasinya. Sodium valproate (200mg 2x sehari hingga 1600mg dalam sehari) sering memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan Karbamazepine (200mg saat malam hari hingga 400mg 2x sehari). Obat Anti-Aritmia Pegobatan ini merupakan lini kedua atau ketiga ketiga pengobatan menggunakan antidepresan atau antikonvulsan maupun pengobatan keduanya dinyatakan gagal. Mexiletine (50-200mg 3x sehari) biasa merupakan pilihan pertama pada golongan ini, kortikosteroid (contohnya Dexamethason 8mg sehari) mungkin digunakan untuk mengurangi inflamasi dan udema di sekitar benjolan jika penyebabnya kompresi dari saraf. Kortikosteroid Sebagai contoh, dexametason 8mg per hari dapat digunakan untuk mengurangi peradangan dan udem di sekitar tumor bila menyebabkan kompresi saraf.

Gambar 2.1 Penggunaan TENS untuk penanganan neuropati yang tidak berespon terhadap opioid

Nyeri Mendadak
Nyeri mendadak merupakan rasa nyeri yang timbul dalam waktu singkat disebabkan karena gerakan yang mendadak, seperti posisi mengangkat beban atau gerakan pada pasien dengan nyeri karena metastase ke tulang. Hal ini berlawanan dengan latar belakang dari nyeri yang cukup terkontrol. Peningkatan dosis reguler opioid untuk mengobati nyeri mendadak, meningkat pula efek samping dari obat tersebut, terutama efek sedasi, ketika pasien beristirahat dan dengan demikian nyeri tersebut hilang. Pengobatan Nyeri mendadak dapat mengganggu kemampuan fungsional dari pasien. Manajemen nyeri mengandalkan pada penilaian yang seksama, pengobatan pada penyebab yang mendasari terjadinya nyeri jika memungkinkan (seperti radioterapi untuk metastase tulang), dan mengoptimalkan penggunaan preparat analgesik dengan opioid dan ajuvan yang tepat yang berarti dosis terobosan untuk mengantisipasi nyeri. Pada beberapa pasien dengan nyeri mendadak, penyuntikan lewat spinal dengan opioid dikombinasikan dengan lokal anestesi bisa sangat berguna, ketika penggunaan pilihan obat lain sangat terbatas. Fisioterapi dan terapi okupasi- Rehabilitasi spesifik yang berhubungan dengan level mobilisasi yang tepat, pemeliharaan tonus otot dan fungsi, nasihat ergonomik dan pertolongan yang relevan, dan perlu mengubah gaya hidup pelengkap pengobatan serta sebagai tambahan untuk menghindari apa yang bisa menyebabkan munculnya masalah. Bedah- Stabilisasi spinal secara efektif dapat mengatasi nyeri dari ketidakstabilan spinal disebabkan karena kerusakan vertebra pada pasien yang sehat dengan prognosis yang pantas (perkiraan harapan hidup kurang lebih 3 bulan). Stabilisasi internal pada tulang panjang atau penggantian sendi mendapatkan keuntungan yang besar bahkan untuk pasien dengan penyakit yang parah.

Gambar 2.2 lesi listik pada femur (kiri) dam stabilisasi internal tulang (kanan)

Nyeri Visceral (Dalam)


Nyeri visceral umumnya sulit dilokalisasi dan digambarkan, terutama pada fase awal, sehingga sering mengacaukan diagnose pokok. Lokalisasi nyeri biasanya terjadi bila terdapat penjalaran ke struktur yang diinervasi secara somatic seperti peritoneum parietal. Nyeri visceral abdomen biasanya dihubungkan dengan sensasi tidak nyaman seperti kembung dan mual. Pasien biasanya sulit untuk menggambarkan sensasi lainnya yang berhubungan nyeri yang mereka rasakan. Walaupun demikian, terdapat lokasi terntentu yang secara klasik menggambarkan penjalaran nyeri-seperti pada nyeri epigastrium pada ulkus peptikum. Penjalaran nyeri juga terjadi pada peradangan diafragma yang sifat nyerinya menjalar hingga ke ujung bahu. Tata laksana Seperti pada jenis nyeri lainnya, nyeri visceral dapat diatasi dengan analgesik terlebih dahulu. Akan tetapi, teknik invasif dapat dilakukan bila ada indikasi. Blokade pleksus coeliac bersamaan dengan analgesik harus dipertimbangkan pada pasien dengan kanker pankreas, bukan sebagai pilihan fase akhir. Pada kelainan abdominal atas lainnya seperti kanker abdomen dapat juga dipertimbangkan. Nyeri visceral merupakan nyeri nosiseptif dan seharusnya berespon terhadap analgesik konvensional. Namun, efeknya dapat

berkurang seiring dengan berkembangnya penyakit yang kemudian membutuhkan terapi lain untuk mendapat hasil terbaik. Tumor pelvis biasanya sulit dibedakan dengan nyeri paad tenesmus kandung kemih maupun rectal, nyeri perineal sentral berat, dan terkadang spasme episodik rectal yang berat seperti pada proctalgia fugax. Nyeri ini berespon minim terhadap analgesik opioid dan obat-obatan lain seperti muscle relaxan, obat sedative, dan antikolinergik. Terapi farmakologis sulit member hasil yang baik. Penyebab umum nyeri visceral pada pasien kanker Pertumbuhan tumor dengan regangan kapsul organ (seperti pada metastase Invasi permukaan parietal tumor Peregangan dan spasme otot akibat blokade oleh tumor Inflamasi lokal akibat pelepasan substansi nyeri Perforasi viskus Terkadang, pelepasan enzim pankreas hepar)

Gambar 2.3 CT menunjukkan pembesaran hepar akibat metastase tumor

Teknik Anestesi
Pada sebagian kecil pasien yang diterapi menggunakan obat saja maupun dengan radiasi, kemoterapi, gagal terbebas dari nyeri. Atau hanya mendapatkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Pada pasien tersebut, teknik anestesi mungkin dibutuhkan. Spinal Anestesi

Pada saat ini sudah umum menggunakan teknik pemberian obat langsung pada Sistem saraf pusat (SSP) lewat kateter yang dimasukkan pada spatium epidural atau lewat cairan cerebrospinalis pada spatium subarachnoid. Penggunaan teknik tersebut tidak selalu sulit, kadang membutuhkan amestesi lokal. Kateter mungkin melewati lapisan subkutaneus untuk sampai pada target. Kateter dihubungkan dengan filter antibakteri untuk memasukkan obat secara langsung atau sebagian. Dapat juga dengan cara lain yaitu menghubungkan pada alat yang ditanam subkutan atau sistem pompa. Sehingga dapat digunakan selama seminggu ataupun sebulan. Obat. Obat yang sering digunakan adalah opioid. Diamorphine cocok bagi tubuh dan mempunyai karakteristik kimia sebagai penghilang nyeri yang menyebabkan efek depresi pernapasan minimal setelah dimasukkan lewat cairan cerebrospinal. Atau obat lain contohnya obat anestesi cair dan clonidin dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan opioid untuk mengontrol nyeri. Dosis untuk efek 24 jam anestesi epidural, 2025 % lebih besar dari pada dosis oral, dan dosis untuk spatium subarachnoid hanya 10% nya. Obat yang dimasukkan secara epidural harus melewati duramater untuk mencapai corda spinalis. Dan jumlah obat yang diserap secara sistemik baik sebelum maupun selama difusi. Komplikasi. Infeksi dan kegagalan teknik anestesi jarang terjadi. Tetapi kateter mungkin keluar dari subarachnoid ataupun spatium epidural. Alat yang ditanam secara subkutan atau sistem pompa dapat terputus juga dari kateter. Kerusakan Jaringan Saraf Prosedur infasif neurolytic, telah banyak ditinggalkan oleh karena kemajuan sisi farmakologis dan beberapa efek samping yang merugikan. Meskipun teknik destruktif dapat mengurangi nyeri lebih baik pada pasien tertentu. Blokade Pleksus Coeliac, innervasi splanchnic dari organ abdomen bagian atas, terutama pankreas, termasuk ke dalam pleksus coeliac. Penempatan dari jarum secara perkutaneus, dipandu menggunakan x-ray atau computed tomographic image dan diawali dengan injeksi alkohol atau fenol ke dalam saraf pleksus tersebut. Nyeri mungkin berkurang dalam beberapa bulan terakhir. Efek samping yang pertama kali muncul berupa hipotensi postural, gangguan kontrol dari sphincter, dan diare. Paralisis

merupakan komplikasi yang jarang dijumpai dan hal tersebut sering muncul karena kerusakan suplai arteri ke corda spinalis. Disfungsi seksual lebih sering dijumpai. Neurolysis Subarachnoid. Zat kimia yang dimasukkan pada jaringan saraf sesuai dengan innervasi dari dermatom nyeri somatik, mengubah fungsi saraf secara irreversibel. Salah satu contoh adalah blok neurolytic pinggang pada pasien malignansi pelvis. Lesi Cordotomy terbentuk di traktus anterolateral dari corda spinalis pada sisi berlawanan lokasi nyeri. Lesi terbentuk secara operasi ( cordotomy terbuka), atau secara perkutaneus dengan penelusuran radiofrekuensi yang melewati spinal dengan petunjuk dari gambar x-ray. Cordotomy dipertimbangkan sesuai untuk nyeri somatik unilateral dibawah dermatom cervikal kelima dan saat harapan hidup kurang dari sembilan bulan. Perubahan sensorik konstan, beriringan, dan kelemahan motorik, gangguan sfingter lebih sering dijumpai. Saat operasi dilakukan setelah pemilihan yang tepat, nyeri akan berkurang selama beberapa bulan. Mengetahui saat dimana nyeri sulit dikontrol sangatlah penting. Pendekatan multidisiplin dan rujukan ke spesialis pada tahap awal dapat memberikan peningkatan secara paliatif pada pasien tersebut. Opiod spinal diindikasikan untuk pasien dengan nyeri yang berespon dengan opiod, sewaktu obat melewati aliran sistemik, mempunyai efek samping yang tidak dapat ditoleransi untuk analgesi yang adekuat. Penambahan anestesi lokal mungkin beberapa kali berguna untuk penatalaksanaan nyeri terkait gerakan atau nyeri akibat kecelakaan.

Prasyarat untuk melakukan teknik neurolitik.


1. Kegagalan terapi primer nyeri. 2. Diagnosis akurat penyebab nyeri. 3. Kondisi yang merespon teknik neurodestruktif. 4. Perbandingan risiko dan keuntungan dari pasien maupun klinisi. 5. Ketersediaan fasilitas dan tenaga ahli. 6. Lokasi dilakukannya anestesi lokal, sebelum menggunakan teknik neurodestruktif.

Gambar 2.4 Blok Pleksus Coeliac.

Anda mungkin juga menyukai