Anda di halaman 1dari 6

Nama : Chotimah Kelas : XI IPA 2 No : 7

PSSI Vs. KPSI, Tanggung Jawab Siapakah?

Latar Belakang Konflik klasik antara PSSI dan KPSI tumbuh saat Oktober 2010, Liga Primer Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium dan 17 perwakilan klub tidak direstui dan dianggap ilegal. PSSI menyerukan bahwa organisasi tersebut illegal sebab tak memiliki surat izin dari FIFA maupun AFC dan menyebut LPI sebagai "kompetisi ecek-ecek". Meski begitu, LPI akhirnya mendapatkan izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Kesewenang- wenangan PSSI semakin nyata tampak ketika mengeluarkan peraturan yang terkesan subjektif. Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasi dan tidak diundang dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari

PSSI tidak dapat ditentukan hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal 3/4 anggota yang hadir.

Kejanggalan Organisasi Kejanggalan terhadap pengelolaan PSSI sebenarnya sudah mulai tumbuh ke permukaan saat ketua umum Nurdin Halim divonis penjara 2 tahun pada 13 Agustus 2007 karena kasus sengketa gula. Letak kesalahan bukanlah ada pada dipenjaranya ketua umum PSSI, namun lebih menjurus kepada kepemimpinan Nurdin Halim yang masih dipertahankan dibalik jeruji penjara. Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan FIFA yang melarang ketua umum suatu organisasi sepak bola harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal. Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" diubah.

Upaya pemerintah Pemerintah terus berkonsultasi dengan FIFA dan AFC, dalam upaya memediasi konflik sepakbola Indonesia yang terjadi antara PSSI dan KPSI. Sambil menunggu arahan dari FIFA dan AFC, pemerintah juga berupaya melakukan pendekatan kepada kedua pihak yang bertikai tersebut. Penyelesaian konflik sepakbola nasional dipastikan tidak akan bisa tercapai tanpa adanya keterlibatan atau partisipasi langsung dari anggota-anggota (stakeholder)

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai pemegang kedaulatan organisasi. Hal tersebutlah yang menjadi sorotan tajam pengamat sepakbola nasional, Tubagus Adhi. Menurut Tubagus Adhi, mayoritas anggota PSSI sudah mengamputasi kepengurusan PSSI periode 2011-2015 pimpinan Djohar Arifin Husin. "Djohar dan kawan-kawan masih bertahan karena merasa mendapat perlindungan dari AFC, bahkan dari FIFA. Di samping itu, Djohar sudah kehilangan rasa kepekaannya," terang Adhi. Meski demikian, menurut wartawan senior tersebut, FIFA kini sudah tidak bisa lagi memberikan toleransi kepada PSSI Djohar hasil Kongres Luar Biasa (KLB), 9 Juli 2011 di Solo tersebut. "Pandangan FIFA semakin terbuka terhadap keberadaan PSSI hasil KLB 18 Maret 2012 di Ancol, yang di pimpin La Nyalla Mahmud Mattalitti. Surat FIFA terakhir, 18 Desember 2012, dengan jelas mengindikasikan tidak ada lagi kelonggaran yang akan diberikan kepada Indonesia," tukas mantan anggota Komite Media PSSI periode 2007-2011 tersebut. Adhi menambahkan, FIFA sudah memberikan kewenangan kepada AFC untuk menyelesaikan konflik PSSI hingga Maret 2013. Karena itu, jika tidak ada penyelesaian maka sudah tidak ada ampun lagi bagi Indonesia. "Yang membuat FIFA tidak bisa memberi toleransi lagi adalah karena kepengurusan PSSI KLB di Ancol tersebut benar-benar sudah berjalan," kata Adhi. "Di sepakbola, kedaulatan organisasi itu berada di tangan anggota, bukan merekamereka yang menjadi pengurus," imbuhnya.

Disinggung tentang langkah anggota pemilik suara (voters) PSSI yang memberikan dukungannya kepada Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dalam upaya penyelesaian konflik, Adhi menyatakan bahwa hal tersebut sangat logis. "Voters Solo berkomitmen untuk mengapresiasi keputusan AFC sebelumnya, sebab itu memang yang terbaik," jelas Adhi. Apa yang dilakukan voters Solo, menurut Adhi, merupakan bagian dari proses untuk dukungan penyelesaian konflik. Sebagai pemegang mandat organisasi, pemilik suara organisasi tentunya memiliki hak untuk bersuara dan berpendapat. Karena itu, apa pun langkah yang coba dilakukan oleh Djohar dan kawan-kawan sekarang ini, tidak akan terealisasi jika tidak mendapat dukungan dari anggota, termasuk terkait rencana kerja sama dengan News Corp. "Rencana kerja sama dengan News Corp itu tak akan berhasil jika tidak memperoleh persetujuan dari anggota PSSI melalui Kongres," tutupnya. Konflik sepak bola Indonesia harus cepat diselesaikan. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas yang akan muncul pemain-pemainnya. Indonesia masih rendah di mata dunia dalam sepakbola, dan yang lebih mencoreng nama negeri ini adalah bermunculannya konflik-konflik yang seharusnya tidak perlu. Tujuan utama dalam sebuah organisasi sepak bola adalah untuk mengayomi anggotanya dalam rangka membuat prestasi di bidang sepak bola. Bukanlah hanya sekedar ajang untuk menunjukkan kekuasaan masing-masing. Dalam mengatasi konflik ini, diperlukan pikiran dingin dan terbuka terhadap sesama. Semoga dikemudian hari hal ini tak akan terulang kembali.

Anda mungkin juga menyukai