Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

Fistula ani (fistula in ano) atau sering juga disebut fistula perinanal merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal. Hubungan ini berupa sebuah traktus yang terbentuk oleh jaringan granulasi. Bukaan primernya terletak pada kanalis anal dan bukaan sekundernya terletak pada kulit perianalis. Bukaan sekundernya dapat multipel yang berasal dari satu bukaan primer saja.1 Apabila tidak ditutup secara permanen dengan tindakan bedah, fistula akan tetap terbuka sehingga dapat terinfeksi ulang dari anal atau rektum yang berakibat terbentuknya pus terus menerus. Traktus yang terbentuk oleh abses, dapat juga tidak berhubungan dengan anal atau rektum dan secara definisi disebut sebagai sinus, bukan fistula.1,2 Fistula ani adalah bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh sehingga membentuk traktus akibat inflamasi. Akibat dari keterkaitan ini dikatakanlah bahwa abses anorektal dan fistula ani menggambarkan stadium yang berbeda dari suatu keadaan patologis yang berkelanjutan. Abses menggambarkan fase inflamasi akut dan fistula proses kronik.1 Fistula ani suatu kondisi yang telah tergambarkan sebelum mulainya sejarah kedokteran. Pada sekitar tahun 430 sebelum masehi, Hippocrates mengemukakan bahwa fistula ini disebabkan akibat kontusi dari seringnya berkuda atau mendayung. Dia juga orang pertama yang menyarankan penggunaan seton untuk penatalaksanaannya. Usaha mencari penanganan yang tepat telah tercatat dalam buku-buku selama lebih dari 2000 tahun. Bahkan rumah sakit St.Mark di London, dibangun khusus untuk menangani pasien-pasien dengan fistula ani dan kondisi rektal lainnya.2 Sejak jaman Hippocrates itu, sedikit yang berubah mengenai pengertian proses penyakit ini. Pada 1976, dikemukakan klasifikasi fistula ani yang tetap digunakan secara luas hingga saat ini. Dalam 30 tahun terakhir, banyak penulis telah mempresentasikan teknik-teknik baru dan sejumlah kasus dalam usaha

mengurangi angka rekurens dan komplikasi inkontinensia. Walau dengan pengalaman lebih 2500 tahun, fistula ani tetap menjadi suatu penyakit bedah yang membingungkan.2 Suatu hal yang perlu dimengerti bahwa fistula ani bukan kondisi yang membahayakan jiwa pasien, namun lebih memberi penderitaan akibat pus yang keluar atau saat defekasi. Dan hal ini juga berujung pada keadaan psikososial dari penderita.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Kanalis Anal Kanalis anal merupakan bagian akhir dari usus besar dan rektum, yang berawal dari diafragma pelvis yang melewati otot levator ani dan berakhir pada pinggiran anal. Kanalis ini mempunyai panjang sekitar 4 cm. Dinding otot dari kanalis anal merupakan kelanjutan dari lapisan otot sirkuler rektum yang kemudian menebal dan membentuk sfingter internal. 3 Secara anatomis kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke linea dentata. Akan tetapi untuk alasan praktis, ahli bedah terkadang mendefinisikan kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke cincin anorektal. Cincin anorektal sendiri teraba saat pemeriksaan rektal sekitar 1-1,5 cm di atas linea dentata.2,3

Gambar 2.1 Anatomi Kanalis Anal2 Pinggiran anal adalah pertemuan antara anoderm dan kulit perianal. Anoderm merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam hal perangkat kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat). Linea dentata atau linea pectinata yang merupakan pertemuan mukokutaneus sebenarnya, terletak 1 1,5 di atas pinggiran anal. Terdapat zona transisional atau cloacogenik sebesar 6

12 mm di atas linea dentata, yang merupakan peralihan epitel skuamosa anoderm menjadi kuboidal dan kemudian epitel kolumnar.1-3 Kanalis anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal, yang keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfingter internal merupakan kelanjutan dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum. Juga merupakan otot involunter dan normalnya berkontraksi saat istirahat. Bidang intersfingterik menggambarkan kelanjutan fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum.2,3 Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi tiga putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda) namun bekerja sebagai satu kesatuan. Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot levator dari dasar pubis, khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas terbentuk oleh otot puborektalis, yang berasal dari pubis. Putaran di tengah terbentuk oleh otot sfingter eksternal superfisial, yang berasal dari ujung coccyx atau ligamentum anococcygeal. Putaran yang paling bawah tersusun oleh lapisan subkutaneus dari otot sfingter eksternal. Otot puborektalis berasal dari pubis dan menyatu pada posterior dari rektum. Normalnya sfingter berkontraksi menghasilkan penyudutan 80 dari sudut pertemuan anorektal.2,3 Dari area setinggi cincin anorectal ke arah distal dan antara otot sfingter internal dan eksternal, lapisan otot longitudinal rektum menyatu dengan serat dari levator ani dan otot puborektalis yang kemudian membentuk otot longitudinal conjoined. Serat-serat otot ini, yang dapat memotong bagian bawah dari sfingter eksternal untuk kemudian masuk ke dalam kulit perianal dan mengerutkan pinggiran anal, disebut sebagai corrugator cutis ani.3 Kolumna Morgagni terdiri dari 814 lipatan mukosa longitudinal yang terletak tepat di atas linea dentata dan membentuk kripta analis pada ujung distalnya. Kelenjar-kelenjar rudimenter kecil membuka pada kripta-kripta ini. Saluran dari kelenjar-kelenjar ini menembus sfingter internal dan badan dari kelenjar ini terletak pada bagian intersfingterik.2,3

2.2

Epidemiologi dan Etiologi Angka prevalensi penyakit ini adalah 8,6 kasus tiap 100.000 populasi. Prevalensi pada pria adalah 12,3 dari 100.000 populasi. Pada wanita, berkisar 5,6 kasus per 100.000 populasi. Rasio antara pria dan wanita adalah 1,8:1, menggambarkan lebih seringnya penyakit ini pada pria. Umur rata-rata penderita fistel ani adalah 38 tahun.2 Fistula ani hampir selalu disebabkan oleh abses anorektal yang mendahului. Kelenjar anal yang terletak pada linea dentata menyediakan jalan bagi organisme patogen untuk mencapai ruang intersfingterik. Fistula ani juga dapat terjadi pada pasien dengan kondisi inflamasi berkepanjangan pada usus, seperti pada Irritable Bowel Syndrome (IBS), diverticulitis, colitis ulseratif, dan penyakit crohn, kanker rectum, tuberculosis usus, HIV-AIDS, dan infeksi lain pada daerah ano-rektal.2

2.3

Patofisiologi dan Klasifikasi Fistula Ani Hipotesis yang paling jelas adalah kriptoglandular, yang menjelaskan bahwa fistula in ano merupakan abses anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan membentuk traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi melalui sfingter internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata. Kelenjar dapat terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan itu, terperangkap juga feses dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat terjadi setelah trauma, pengeluaran feses yang keras, atau proses inflamasi. Apabila kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal, maka akan terbentuk abses di dalam rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan menghasilkan jalan keluar dengan meninggalkan fistula.2,3 Pada kasus-kasus mudah, aturan Goodsall dapat membantu untuk mengantisipasi keadaan anatomi dari fistula ani. Aturan ini menyatakan bahwa fistula dengan bukaan eksternal yang terletak anterior dari garis transversal tengah anus akan mengikuti garis radial lurus menuju linea dentata. Fistula dengan bukaan posterior dari garis transversal akan mengikuti garis membelok menuju garis tengah posterior. Pengecualian untuk aturan ini bila bukaan eksternal berjarak lebih dari tiga sentimeter dari pinggiran anus. Gambaran yang terakhir ini

hampir selalu berasal dari traktus primer atau sekunder dari garis tengah posterior yang konsisten dengan abses tapal kuda sebelumnya.2,4,5

Gambar 2.2 Penampang yang menunjukkan Goodsalls rule5 Klasifikasi yang paling membantu namun tetap rumit dikemukakan oleh Parks et al. Empat bentuk dasar dari fistula in ano digambarkan dalam klasifikasi ini, yang berdasarkan pada hubungan antara fistula dan otot-otot sfingter. 4 1) Fistula intersfingterik Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses perianal. Traktus berjalan di dalam ruang intersfingterik. Jenis juga merupakan tipe yang paling sering dengan kisaran 70% dari semua fistula in ano. Pada fistula intersfingterik juga dapat didapatkan sebuah traktus buntu yang tinggi dengan arah ke atas dari ruang intersfingterik menuju ruang supralevator. Bukaan eksternalnya biasanya pada kulit perianal yang dekat dengan pinggiran anal.2,4 2) Fistula Transsfingterik Merupakan fistula kedua yang tersering, mencakup 23% dari semua fistula yang didapatkan. Umumnya hasil dari abses ischiorektal. Traktus fistula berjalan dari ruang intersfingterik melewati sfingter eksternal, menuju ke dalam fossa ischiorektal, dan kemudian berakhir pada kulit. Ketinggian traktus melewati sfingter eksternal agak bervariasi. Fistula transsfingterik dapat melibatkan hampir seluruh sfingter eksternal atau hanya bagian superfisialnya saja. Fistula jenis ini juga dapat mempunyai traktus buntu yang tinggi dan dapat mencapai apeks dari fossa ischiorectal atau dapat memanjang melalui otot levator ani dan ke dalam pelvis. 2,4

Gambar 2.3 Fistula intersfingterik, fistula transfingterik, dan fistula transfingterik yang memanjang ke atas4 3) Fistula Suprasfingterik Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses supralevator dan mencakup 5% dari semua jenis fistula. Traktus berjalan di atas dari puborektalis setelah naik seperti abses intersfingterik. Traktus kemudian berbelok ke arah bawah lateral menuju sfingter eksternal dalam ruang ischioanal dan kulit perianal. Traktus buntu dapat juga timbul pada jenis ini dan mengakibatkan pemanjangan bentuk tapal kuda. 2,4 4) Fistel Ekstrasfingterik Merupakan jenis yang paling jarang dan hanya 2% dari semua fistula. Pada jenis ini traktus terdapat di luar dari kompleks sfingter. Traktus berjalan dari rektum di atas dari levator ani dan melewatinya untuk menuju ke kulit perianal via ruang ischioanal. Fistul ini dapat terjadi akibat penetrasi benda asing pada rektum disertai drainase melalui levator, akibat cedera penetrasi pada perineum, akibat penyakit Crohn, atau kanker serta penatalaksanaannya. Akan tetapi, penyebab yang paling sering mungkin akibat iatrogenik sekunder setelah pemeriksaan yang terlalu berlebih saat operasi fistula. 2,4

Gambar 2.4 Fistula suprasfingterik, fistula ekstrasfingterik, dan fistula tapal kuda4

Gambar 2.5 Klasifikasi fistula perianal menurut Parks4 2.4 Manifestasi Klinis Umumnya, gejala utama yang tersering adalah keluarnya pus seropuruluen yang mengiritasi kulit di sekitarnya dan menyebabkan perasaan tidak enak. Terkadang anamnesis mengatakan gejala ini sudah menahun. Abses perianal yang rekurens menunjukkan adanya fistula ani. Selama bukaannya cukup besar untuk pus keluar, maka nyeri belum menjadi gejala. Tapi bila bukaan tersumbat maka nyeri akan timbul meningkat hingga pus dapat keluar. Biasanya bukaan hanya soliter, terletak 3,54 cm dari anus, memberi gambaran elevasi kecil dengan jaringan granulasi

warna merah pada mulut lubang. Bila elevasi ditekan akan keluar pus. Pada fistula sederhana atau superfisial, traktus dapat teraba sebagai jalinan yang keras.2-5 Terkadang terjadi penyembuhan superfisial yang kemudian menyebabkan pus terakumulasi dan abses terbentuk kembali. Abses kemudian akan pecah lagi melalui lubang yang sama atau lubang baru. Oleh sebab ini terkadang ditemukan dua atau lebih bukaan eksternal, yang biasanya terkelompok bersama pada sisi kiri atau kanan dari garis tengah pantat. Tapi bila kedua fossa ischiorektal terkait maka bukaan akan terlihat pada kedua sisi.3 2.5 Diagnosis Dengan keluhan yang beragam dan hampir serupa dengan beberapa penyakit lain. Maka penegakan diagnosis fistula ani membutuhkan anamnesis yang terperinci, pemeriksaan fisik yang mendetail, serta dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien dengan fistula ani, keluhan-keluhan yang sering adalah pengeluaran pus dari lubang pantat, nyeri pada daerah pantat, bengkak, perdarahan, diare, ekskoriasi kulit pantat, dan lubang yang terlihat di daerah dekat lubang pantat. Pada riwayat penyakit terdahulu dapat ditemukan hal-hal penting seperti riwayat inflammatory bowel disease, diverticulitis, radiasi untuk kanker prostat atau rektal, terapi steroid, infeksi HIV. Perlu juga ditanyakan mengenai ada tidaknya nyeri perut, kehilangan berat badan yang berarti, serta perubahan dari pola defekasi.2 Pemeriksaan fisik yang mendetail merupakan cara diagnosis yang paling penting dan tepat pada fistula ani. Pemeriksa harus memeriksa keseluruhan perineum untuk mencari bukaan eksternal yang akan tampak seperti sinus terbuka atau elevasi jaringan granulasi. Pada rectal touche dapat ditemukan traktus fibrosa atau uliran di bawah kulit. Pengeluaran pus secara spontan dapat terlihat atau terjadi saat penekanan dengan jari tangan.2,3 Anoskopi harus dilakukan untuk mengidentifikasi bukaan internalnya. Pemeriksa harus menentukan hubungan antara cincin anorektal dan posisi dari traktus sebelum pasien direlaksasi dengan anestesi. Proctoskopi atau

sigmoidoskopi fleksibel dilakukan untuk menyingkarkan lesi lainnya atau

inflammatory bowel disease. Probe fistula dimasukkan ke dalam traktus fistula untuk menentukan arah dan bukaan internalnya. Namun tidak selalu probe dapat tembus keluar dari bukaan internalnya.2,3,5,6 2.6 Diagnosis Banding Ada beberapa kelainan yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding fistula anal. Hidradenitis supurativa merupakan radang kelenjar keringat apokrin yang biasanya membentuk fistula multiple subkutan yang kadang ditemukan di perineum dan perianal. Penyakit ini biasanya ditemukan di ketiak dan umumnya tidak meluas ke struktur yang lebih dalam.2,3,7 Sinus pilonidalis terdapat hanya dilipatan sakro-koksigeal dan berasal dari sarang rambut dorsal dari tulang koksigeus atau ujung tulang sacrum. 2,3,7 Fistel proktitis dapat terjadi pada morbus crohn, TBC, amubiasis, infeksi jamur dan diverticulitis. Kadang fistula koloperineal disebabkan oleh benda asing atau trauma. 2,3,7 2.7 Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit ini. Yang biasa dilakukan hanya pemeriksaan preoperatif sesuai umur dan komorbiditas. Pemeriksaan radiologi bukanlah pemeriksaan rutin untuk evaluasi fistula. Pemeriksaan dilakukan untuk membantu jika bukaan primer/internal sulit diidentifikasi atau pada kasus fistula berulang atau fistula multipel untuk mengidentifikasi traktus sekunder atau bukaan primer yang terlewatkan. 2,3,7 Fistulografi dapat dilakukan dengan menginjeksi zat kontras melalui bukaan internal yang kemudian diikuti dengan x-ray anteroposterior, lateral, dan oblik untuk melihat jalannya traktus fistula. Prosedur ini mempunyai tingkat akurasi 16-48 % dan membutuhkan kemampuan untuk memvisualisasi bukaan internal. Jaringan granulosa dan materi purulen di dalam traktus fistula seringkali mengobstruksi aliran kontras menuju perpanjangan fistula sehingga dapat memberikan gambaran yang salah. Yang lebih menambah kesulitan adalah tidak adanya patokan anatomis dalam melihat fistula pada pemeriksaan ini. 2,3,7

10

CT-scan yang dilakuan dengan kontras intravena dan rektal merupkan metode noninvasif untuk melihat ruang perirektal. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi abses-abses anorektal dengan letak dalam, tapi jarang digunakan sebagai evaluasi preoperatif fistula ani. CT-scan mempunyai resolusi yang kurang baik dalam memberi gambaran jaringan lunak sehingga sulit memberikan gambaran fistula berkaitan dengan otototot levator dan sfingter khususnya pada potongan aksial. 2,3,7 USG endo anal dilakukan untuk menentukan hubungan antara traktus primer dengan sfingter anal, untuk menentukan apakah fistula sederhana atau kompleks dengan perpanjangan, dan untuk menentukan lokasi bukaan primer. Transduser dimasukkan ke dalam kanalis analis kemudian hidrogen peroksida dapat dimasukkan melalui bukaan eksternal. USG endo anal memberikan gambaran yang baik dari daerah anal dan sangat akurat dalam mengidentifikasi pengumpulan cairan dan traktus fistula. Akan tetapi identifikasi dari bukaan internal masih sukar. Bahkan dengan penggunaan hidrogen peroksida yang masih sering terasa agak sulit. Pada beberapa penelitian, pemeriksaan ini 50% lebih baik dalam menemukan bukaan internal yang sulit daripada pemeriksaan fisik saja. 2,3,7 MRI mempunyai resolusi jaringan yang bagus dan kapabilitas multiplanar sehingga sangat akurat dalam mengidentifikasi bukaan internal dan traktus fistula. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil MRI 80-90% mendekati penemuan saat operasi. Hal ini membuat MRI menjadi pilihan utama dalam mengidentifikasi fistulae yang kompleks. Walaupun terlihat lebih baik daripada USG dalam mengevaluasi fistula ani, namun USG lebih murah dan dapat digunakan saat operasi sedang berlangsung dalam kamar operasi. 2,3,7 2.8 Penatalaksanaan Prinsip umum dalam penanganan bedah fistula ani adalah untuk menghilangkan fistula, mencegah rekurens, dan untuk memelihara fungsi sfingter. Keberhasilan biasanya ditentukan oleh identifikasi bukaan primer dan memotong otot dengan jumlah yang paling minimal.2

11

Beberapa metode telah diperkenalkan untuk mengidentifikasi bukaan saat berada di kamar operasi: 2-7 1. Memasukkan probe melalui bukaan eksternal sampai ke bukaan internal, atau sebaliknya. 2. Menginjeksi cairan warna seperti methylene blue, susu, atau hidrogen peroksida, dan memperhatikan titik keluarnya di linea dentata. Walaupun methylene blue dapat mewarnai jaringan sekitarnya, namun mencairkannya dengan saline atau hidrogen peroksida akan mengatasi masalah ini. 3. Mengikuti jaringan granulasi pada traktus fistula. 4. Memperhatikan lipatan kripta anal saat traksi dilakukan pada traktus. Hal ini dapat berguna pada fistula sederhana namun kurang berhasil pada varian yang kompleks. Kesulitan dari penanganan fistula ani terlihat dari banyaknya teknik berbeda yang berkembang. Teknik lay-open dengan pembelahan semua jaringan yang distal dari traktus primer, merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan fistula. Namun efektifitasnya harus diseimbangkan dengan risiko inkontinensia ani yang mengganggu. Teknik ini yang disebut juga sebagai fistulotomi ini mengandung risiko yang sebanding dengan jumlah otot sfingter yang terkait dengan fistula. Maka kriteria tunggal yang sangat penting dalam pemilihan penanganan bedah adalah hubungan antara traktus fistula dan kompleks sfingter. 2-7 Pada prosedurnya pasien dibaringkan dengan posisi jackknife prone setelah diinduksi dengan anestesi regional. Setelah insersi spekulum anal, anestesi lokal lidokain dengan epinefrin diinjeksi sepanjang traktus fistula untuk hemostasis. Probe dimasukkan sepanjang fistula, kemudiang jaringan kulit, subkutaneus, otot sfingter di atas probe diinsisi dengan pisau bedah atau kauter listrik dan jaringan granulasi dikuretase serta dikirim untuk evaluasi patologis. Probe yang lembut dimasukkan untuk mengidentifikasi adanya traktus buntu yang tersembunyi atau adanya pemanjangan. Bila ada, dilanjutkan dengan insisi untuk membuka. 2-7

12

Gambar 2.6 Fistulotomi3 Pada daerah yang rendah di anus, sfingter internal dan subkutaneus sfingter eksternal dapat dibelah pada sudut yang tepat dari jaringan di atas tanpa mengganggu kontinensia. Tapi hal ini tidak berlaku apabila fistulotomi dilakukan anterior pada pasien wanita. Apabila lajur traktus terletak tinggi dari mekanisme sfingter, maka pemasangan seton harus dilakukan. 2-7 Seton dapat berupa benda asing apapun yang dapat dimasukkan ke dalam fistula untuk mengelilingi otot sfingter. Materi yang sering digunakan adalah sutera atau bahan lain yang tidak terserap, karet, kateter silastik. Seton dapat digunakan secara tunggal, dikombinasikan dengan fistulotomi, atau digunakan secara bertahap. Penggunaannya sangat berguna pada pasien dengan kondisikondisi berikut: 2-7 - Fistulae yang kompleks (transsfingterik tinggi, suprasfingterik, extrasfingterik atau multipel fistulae - Fistulae rekuren setelah fistulotomi - Fistulae anterior pada pasien wanita - Tekanan sfingter yang buruk pada preoperatif - Pasien dengan penyakit Crohn atau dengan imunosupresi Penggunaan seton mempunyai dua tujuan selain memberikan identifikasi visual terhadap banyaknya otot sfingter yang terlibat. Pertama untuk mengalirkan dan memajukan fibrosis dan kedua untuk memotong fistula. Penggunaannya dapat satu tahap atau dua tahap. 2-7

13

Gambar 2.7 Penggunaan Seton3 Penggunaan satu tahap (cutting seton) dilakukan dengan memasukkan seton ke dalam traktus fistula sekitar sfingter eksternal yang dalam setelah membelah kulit, jaringan subkutaneus, otot sfingter interna, dan subkutaneus otot sfingter eksterna. Seton kemudian diikat dan diamankan dengan ikatan sutera yang berbeda. Dengan berjalannya waktu, fibrosis akan muncul di atas dari seton seiring dengan pemotongan otot sfingter oleh seton yang akhirnya mengeluarkan traktus tersebut. Seton diperkuat tiap kunjungan poliklinik sampai dilepas yaitu 6 8 minggu kemudian. Cutting seton dapat juga digunakan tanpa berbarengan dengan fistulotomi. 2,3,5,6 Penggunaan dua tahap (draining/fibrosing) dilakukan dilakukan dengan memasukkan seton ke dalam traktus fistula sekitar sfingter eksternal yang dalam setelah membelah kulit, jaringan subkutaneus, otot sfingter interna, dan subkutaneus otot sfingter eksterna. Tidak seperti cutting seton, seton dibiarkan lepas untuk mengosongkan ruang intersfingterik dan memajukan fibrosi pada otot sfingter yang dalam. Ketika luka superfisial telah sembuh sempurna ( 2 3 bulan kemudian), otot sfingter yang masih dilingkari seton dibelah. 2,3,5,6 Saat fistulotomi tidak tepat, sebagai contoh pada pasien wanita dengan fistula anterior, pasien dengan inflammatory bowel disease, pada pasien dengan fistula transfingterik dan suprasfingterik, begitu juga dengan pasien yang telah menjalani operasi sfingter sebelumnya, dan fistula kompleks, maka penggunaan anorectal
14

advancement flap disarankan. Keuntungan dari teknik ini termasuk reduksi dari waktu penyembuhan, reduksi dari rasa tidak nyaman, kurangnya deformitas dari kanalis anal, dan kurangnya kerusakan tambahan pada otot sfingter karena tidak ada otot yang dibelah. Setelah identifikasi, bukaan internal dieksisi. Kemudian bukaan eksterna diperbesar untuk memudahkan drainase. Lipatan tebal dari mukosa rektal, submukosa, dan sebagian sfingter interna diangkat. Bukaan internal yang tersisa ditutup dengan jahitan mudah serap. Lipatan kemudian ditarik sampai 1 cm di bawah bukaan internal. Ujung bukaan yang mengandung jaringan fistula dieksisi dan lipatan dijahit dengan jahitan mudah serap sambil menjaga garis jahitan otot dan mukosa tidak bertumpang tindih. Dasar dari lipatan harus dua kali lebar bagian atas untuk menjaga aliran darah yang baik. Keberhasilan dilaporkan pada 90% pasien. 2,3,5,6

Gambar 2.8 Mucosal advancement flap2 Saat ini penggunaan lem fibrin sebagai penatalaksanaan tunggal maupun kombinasi dengan advancement flap telah digemari. Penggunaannya menarik karena pendekatan noninvasif yang tidak berisiko inkontinensia. Apabila gagal, dapat diulang beberapa kali tanpa mengganggu kontinensia. Serupa dengan fistulotomi, jalur fistula diidentifikasi dengan bukaan interna dan eksternanya dikuret. Kemudian lem fibrin diinjeksikan ke dalam traktus fistula melalui konektor-Y hingga seluruh traktus terisi dan lem dapat terlihat keluar pada bukaan interna. Secara pelan, kateter injeksi ditarik sehingga seluruh traktus terisi. Lem fibrin sedang dipertimbangkan untuk menjadi terapi lini pertama untuk fistula ani kompleks. 2,3,5,6
15

Setelah operasi pilihan dilakukan, pasien diberikan diet normal, obat pengumpul feses, dan analgesik non codein. Pasien diberi instruksi sitz bath secara rutin untuk menjaga higienitas perianal. Pasien dievaluasi dengan interval 2 minggu untuk menjaga penyembuhan terjadi dari dalam traktus. Jaringan granulasi dapat dikauterisasi dengan nitrat perak dan batang kapas digunakan untuk memeriksa kedalaman agar penyembuhan yang secukupnya tetap jalan. Pada operasi advancement flap, kateter foley dilepas sehari setelah operasi. Dan disarankan untuk menjaga pasien dengan terapi intravena dan tanpa nutrisi oral untuk menginjinkan penyembuhan yang adekuat dari flap. 2,3,5,6 2.9 Komplikasi Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda. Komplikasi yang dapat langsung terjadi antara lain: 2 - Perdarahan - Impaksi fecal - Hemorrhoid Komplikasi yang tertunda antara lain adalah: 2-7 - Inkontinensia Munculnya inkontinensia berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang terpotong, khususnya pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak tinggi dan letak posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja dapat merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih banyak. Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat tidak rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas dan feses. Risiko ini juga meningkat seiring menua dan pada wanita. 2,3,5,6 - Rekurens Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi dari bukaan interna dan eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab persistennya fistula. Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada wanita. 2,3,5,6

16

- Stenosis analis Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. 2,3,5,6 - Penyembuhan luka yang lambat Penyembuhan luka membutuhkan waktus 12 minggu, kecuali ada penyakit lain yang menyertai (seperti penyakit Crohn). 2,3,5,6 2.10 Prognosis Prognosis dari penyakit ini sangat baik setelah sumber infeksi dan fistula teridentifikasi. Fistula akan menetap bila tidak didrainase dengan benar. Dengan tindakan yang tepat dan mengikuti anjuran yang, maka prognosis dari fistula ani baik. Komplikasi pun dapat terhindarkan.2 Pada pasien yang telah menjalani fistulotomi standar, dilaporkan angka rekurensnya berkisar antara 0-18% dan angka inkontinensia antara 3-7%. Pasien yang menjalani penggunaan seton, angka rekurensnya 0-17% dan angka inkontinensia antara 0-17%. Sedangkan yang menjalani advancement flap, angka rekurensnya berkisar antara 1-10% dan angka inkontinensia antara 6-8%.2

17

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pekerjaan Status : : Laki-laki : : : Pegawai Swasta : Sudah Menikah

3.2

Anamnesis Keluhan Utama : Bisul di dekat lubang pantat Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RSUD Sanjiwani Gianyar dengan keluhan terdapat bisul pada daerah sekitar lubang pantat sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Pasien mengaku bisul tersebut hilang timbul, setelah pecah dan mengeluarkan nanah kemudian timbul lagi. Menurut pengakuan pasien, bisul tersebut biasanya pecah setiap selang waktu 1 minggu, berisi nanah dan darah. Saat ini keluhan nyeri disangkal pasien namun keluhan nyeri dirasakan pasien saat bisul belum pecah. Pasien mengatakan tidak ada penurunan nafsu makan, mual, dan muntah. Pasien mengaku saat buang air besar tidak ada gangguan dengan frekuensi setiap pagi. Pasien menyangkal sering mengedan saat buamg air besar. Buang air besar bercampur darah dan lendir disangkal pasien. Pasien juga mengatakan tidak ada gangguan saat buang air kecil dengan pancaran normal. Keluhan sering terbangun malam hari untuk buang air kecil, nyeri saat buang air kecil, bercampur darah disangkal oleh pasien. Riwayat demam, batuk lama, mencret, luka/infeksi pada alat kelamin disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma disangkal oleh pasien.

18

Riwayat Penyakit Keluarga : Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang serupa. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma dalam keluarga disangkal oleh pasien.. Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku sempat ke dokter spesialis kulit dan disarankan untuk ke rumah sakit. Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat alergi pada makanan dan obatobatan tertentu. 3.3 Pemeriksaan Fisik Tanda Vital Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu : : Baik : Compos mentis : 120/80 mmHg : 84 x/menit : 20 x/menit : 36,5 C

Status Generalis : Kepala : Normochepali Mata : Konjungtiva anemis -/-, seklera ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor THT : Sekret (-), massa (-) Leher : Pembesaran kelenjar (-), kelenjar tiroid T1/T1, massa (-) Thorax Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-), massa (-) Palpasi : Simetris kanan-kiri, focal premitus (+) normal, massa (-), iktus kordis teraba sejajar linea mid klavikula ICS 5 Perkusi : Pulmo : sonor, Cor : pekak Batas paru-jantung : Batas atas : ICS 2 sejajar linea parasternalis sinistra Batas kanan : ICS 4 sejajar linea parasternalis dextra Batas kiri Auskultasi Cor Pulmo : ICS 5 sejajar linea midklavikula sinistra : : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-) : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

19

Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Pelvic-Inguinal

: : : : : :

Uro-Genital Anal-Perianal : Rectal Toucher: Tonus sphincter ani adequat, mukosa licin, ampula recti tidak kolap, massa (-), nyeri (-), darah (-), teraba indurasi arah jam 6 Perianal dengan jarak 0,6 cm dari tepi anus. : Massa (-), Abses (-), outlet (+), tanda-tanda radang(-).

Distensi (-), massa (-) Bising usus (+) normal. Massa (-), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba Timpani massa (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), nyeri tekan (-). : Dalam batas normal

Ekstremitas : edema (-), hangat (+) Status lokalis : Inspeksi : Tampak outlet pada regio perianal sinistra arah jam 4, tanda-tanda radang (-), abses (-), massa (-). Palpasi : RT : Tonus sphincter ani adequat, mukosa licin, ampula recti tidak kolap, massa (), nyeri (-), darah (-), teraba indurasi arah jam 6 dengan jarak 0,6 cm dari tepi anus. 3.4 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : DL : WBC 9,49 ; HGB 15,7 ; HCT 45,3; PLT; 310, HCT 45,3 Kimia darah : SGPT 33; SGOT 35; BUN 21; SC ; 1,15 2. Radiologi : Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal 3.5 Diagnosis Fistula Perianal 3.6 Terapi Fistulotomy

20

21

Anda mungkin juga menyukai