Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN STAFF RESEARCH GRANT I-MHERE TAHUN 2008/2009

PEMODELAN PERTUMBUHAN VEGETATIF DAN PRODUKSI UMBI PORANG PADA BEBERAPA UMUR TANAMAN, KONDISI VEGETASI, TANAH SERTA IKLIM AGROFORESTRI

Oleh:
Dr. Endang Arisoesilaningsih Dra. Serafinah Indriyani, MSi Dr. Rurini Retnowati, MSi Adji Achmad Rinaldo Fernandes, MSc

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

ii

RINGKASAN Pemodelan Pertumbuhan Vegetatif dan Produksi Umbi Porang pada Beberapa Umur Tanaman, Kondisi Vegetasi, Tanah dan Iklim Agroforestri Endang Arisoesilaningsih1, Serafinah Indriyani1, Rurini Retnowati2, Adji Achmad Rinaldo Fernandes3 1 2 3 Jurusan Biologi, Jurusan Kimia, Jurusan Matematika Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya e-arisoe@brawijaya.ac.id, earisoe@gmail.com Porang atau iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume sin. A. blumei (Scott.) Engler sin. A. oncophyllus Prain), A. rivieri, A. campanulatus (suweg), A. variabilis dan A. albus termasuk famili Araceae. Amorphophallus spp. telah dikenal di Asia dan Amerika sebagai penghasil umbi (corm) bernilai ekonomis tinggi. Di Asia, selain Jepang dan Thailand, Indonesia termasuk negara pengekspor bahan baku dari umbi porang ke berbagai Negara termasuk Australia dan Uni Eropa. Karena mengandung Ca-oksalat tinggi dan protein penyebab rasa gatal, maka umbi porang tidak dapat dikonsumsi secara langsung seperti halnya A. campanulatus (suweg atau elephant yam). Sejalan dengan krisis ekonomi global tiga tahun terakhir maka pemerintah Indonesia mendorong industri dalam negeri menggunakan bahan baku lokal dan mengurangi ketergantungan pada bahan impor. Dengan kelesuan ekonomi global tersebut, produk ekspor Indonesia dialihkan untuk mendorong industri dalam negeri. Salah satu bahan impor yang dibutuhkan untuk industri mie adalah tepung terigu. Sementara itu, mie juga dapat dihasilkan dari polisakarida non trigu, yaitu glukomanan. Dengan menggunakan berbagai teknologi pasca panen, pada saat ini umbi porang telah menjadi sumber glukomanan potensial sebagai bahan baku industri makanan, obat-obatan dan kosmetika. Keunggulan dari glukomanan adalah keunikan karakter sebagai bahan pengental (thickening agent) antara lain adalah memiliki kapasitas penyerapan air lebih dari 100x beratnya sendiri, meningkatkan viskositas larutan dan mudah bersinergi dengan bahan pengental lainnya. Glukomanan dapat digunakan sebagai bahan makanan rendah kalori yang sesuai untuk orang yang diet tanpa cepat lapar. Bahkan pada saat ini glukomanan dari umbi Amorphophallus spp telah mendorong industri biomaterial dan pengembangan nanomedecine. Polimer komposit dan nanoteknologi yang aman telah dikembangkan untuk melapisi berbagai bahan obat. Kebutuhan industri glukomanan luar negeri ini sangat membutuhkan konsistensi produksi dan mutu umbi porang. Salah satu kendala yang dihadapi industri glukomanan adalah produksi umbi dan kandungan glukomanan umbi sangat bervariasi. Umbi porang yang diekspor selama ini berasal dari tanaman yang tumbuh liar di bawah tegakan hutan produksi Perum Perhutani di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Secara alami porang tumbuh di hutan tropika dataran rendah hingga 100-1000 meter di atas permukaan laut. Produksi umbi porang di bawah tegakan hutan Jawa Timur minimal 4 ton per ha dan bila dibudidaya lebih intensif dapat mencapai 8 - 9 ton per ha. Produksi umbi porang juga sangat bergantung pada tahapan siklus hidup selama 38-43 bulan. Umbi mulai berbunga jika telah mencapai berat lebih dari 500 g dan telah memasuki minimal dua kali masa pertumbuhan vegetatif. Pertumbuhan selanjutnya diduga bergantian antara pertumbuhan vegetatif dan generatif. Semakin lebar ukuran garis tengah daun, hasil umbi, maupun kadar glukomanan umbi juga semakin besar. Karena itulah setiap tanaman dapat menghasilkan satu umbi seberat 0,5-3 kg. Tinggi rendahnya kadar glukomanan dalam umbi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, variasi genetis tanaman, umur tanaman, lama waktu setelah panen, perlakuan menjelang pengeringan, bagian yang digiling, serta alat yang digunakan.

iii

Oleh karena itu pula maka kadar glukomanan yang dilaporkan juga bervariasi dari 24,4-58,3% hingga 64,98%. Hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem produksi umbi porang dari berburu di hutan selama ini. Mengingat peluang industri porang dalam dan luar negeri sangat tinggi dan produksi saat ini belum memenuhi kebutuhan lebih dari 3000 ton per tahun, maka masyarakat lebih memilih berburu di hutan-hutan termasuk memperoleh bibit juga mengandalkan pasokan alam daripada membudidayakannya di lahan agroforestri. Akibatnya, populasi porang di alam terancam kelestariannya. Untuk itu penelitian terkait tingkat periode tumbuh sampai menghasilkan umbi siap panen, variasi kadar glukomanan dan kondisi habitat agroforestri, merupakan informasi yang penting. Dengan demikian, untuk menjamin kelestarian porang di alam dan memenuhi kebutuhan industri glukomanan, maka sangat diperlukan sistem produksi agroforestri porang dengan pengelolaan yang tepat. Dari uraian sebelumnya, faktor pertumbuhan porang dan faktor lingkungan masih dianalisis secara parsial (univariate). Kenyataan yang ada di alam, berbagai variabel internal dan eksternal tanaman dapat saling mempengaruhi secara langsung atau tidak dalam mempengaruhi jumlah produksi umbi porang. Pemodelan statistika multivariat pertumbuhan dan produksi umbi porang ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan informasi seberapa besar faktor internal tanaman (umur dan pertumbuhan porang) dan faktor eksternal (vegetasi di sekeliling, iklim dan tanah) secara simultan berpengaruh pada produksi umbi porang. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana pertumbuhan dan produksi umbi porang secara simultan dipengaruhi oleh variasi umur tanaman, kondisi vegetasi, tanah dan iklim agroforestri. Penelitian dibatasi pada pertumbuhan vegetatif dan studi di empat lahan agroforestri di Jawa Timur yaitu KPH Madiun, Nganjuk, Malang dan Bojonegoro. Lokasi dipilih karena memiliki variasi porang (Poerba dan Martanti, 2008) dan kondisi edafo-klimatologi berbeda. Untuk itu, maka penelitian deskriptif eksploratif ini bertujuan untuk : Menentukan rancangan model teoritis (model struktural) yang dibuat berdasarkan pada kajian pustaka yang telah ada dan kondisi lapangan Menentukan model statistika mutivariat untuk menjelaskan besar faktor internal tanaman (umur dan pertumbuhan porang) dan faktor eksternal (vegetasi di sekeliling, iklim dan tanah) secara simultan berpengaruh pada produksi umbi porang Penelitian diharapkan akan mendasari kebijakan pengelolaan agroforestri porang agar lebih menjamin konsistensi produksi porang tiap tahun. Dengan demikian, maka masyarakat akan lebih terdorong untuk tidak lagi berburu porang di alam, namun dapat mengupayakan bibit dan informasi awal teknik budidaya yang lebih menguntungkan. Model produksi umbi porang ini juga akan berguna untuk memetakan potensi produksi umbi porang di Jawa Timur. Selanjutnya berdasarkan informasi yang telah didapat ini, akan bisa dilakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan mutu umbi dan rekayasa optimalisasi mutu umbi porang (kadar glukomanan tinggi dan Ca-oksalat rendah). Secara keseluruhan penelitian disusun menggunakan rancangan penelitian eksploratif deskriptif untuk menguji rancangan model pertumbuhan dan produksi umbi porang. Selanjutnya metode sampling secara acak dilakukan untuk mengamati data kuantitatif berpasangan untuk faktor pertumbuhan porang, ukuran umbi, faktor lingkungan (geografi, vegetasi, iklim dan tanah) di lima lahan agroforestri di Jawa Timur di empat KPH Madiun, Nganjuk, Blitar dan Bojonegoro. Pada setiap lokasi, dilakukan pengamatan contoh tanaman porang pada empat kelas umur fisiologis (tahun ke 1, 2, 3 dan 4) serta kondisi penaungan (% penyinaran). Pada delapan kombinasi variasi tersebut akan diamati tiga contoh tanaman, sehingga diamati 107 individu. Data berpasangan dianalis statistik multivariat menggunakan model struktural Smart Partial Least Square (Smart PLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa porang yang tumbuh di lahan agroforestri dengan tegakan utama jati dan sonokeling memiliki kondisi geografi, tanah, penutupan vegetasi dan iklim mikro berbeda. Petani porang mengaku bahwa bibit dan teknik budidaya dipelajari dari petani Desa Klangon KPH Madiun

iv

sehingga variasi genetis porang minimal. Jika ada perbedaan produksi umbi antar lokasi, maka hal itu terkait faktor umur fisiologi dan lingkungan tanam. Hal ini dibuktikan dengan model PLS yang menunjukkan bahwa kondisi geografis diwakili g1 (ketinggian tempat), kondisi umur tanaman a1 (kelas umur tanaman), kondisi iklim diwakili i2 (suhu rata-rata bulanan), kondisi tanah diwakili s5 (kadar Ca) dan s6 (KTK), kondisi vegetasi diwakili v2 (% penutupan vegetasi), secara nyata (p-value < 0,05) mempengaruhi kondisi pertumbuhan vegetatif porang yang diwakili oleh t2 (jumlah katak), yang selanjutnya menghasilkan kondisi umbi yang diwakili u1 (diameter umbi) dan u3 (volume umbi). Model PLS memiliki nilai predictive-relevance Q2 sebesar 99,87%, sehingga model layak digunakan dan memiliki nilai prediktif yang sangat relevan. Berdasarkan model PLS tersebut, maka optimalisasi diameter dan volume umbi di lahan agroforestri direkomendasikan budidaya porang dengan mengendalikan kondisi lingkungan tanam umbi porang yaitu ketinggian > 400 mdpl, suhu bulanan selama periode vegetatif tidak terlalu rendah, kadar Ca rendah, KTK optimal dan mempertahankan vegetasi penutup tanah. Interaksi langsung dan tidak di antara kondisi tersebut diharapkan akan menghasilkan tajuk daun dengan jumlah katak banyak untuk memenuhi perbanyak tanaman pada musim berikutnya maupun meningkatkan kapasitas produksi umbi porang. Model ini diusulkan mendasari penelitian lanjutan terkait dengan faktor pembatas penentu mutu umbi porang khususnya kadar glukomanan dan kadar Ca-oksalat. Kata kunci: agroforestri, model PLS, pertumbuhan, porang, umbi

SUMMARY MODEL OF VEGETATIVE AND PORANG CORMS GROWTH UNDER AGE, VEGETATION, SOIL AND CLIMATE OF AGROFORESTRY CONDITION Endang Arisoesilaningsih1, Serafinah Indriyani1, Rurini Retnowati2, Adji Achmad Rinaldo Fernandes3 1 2 Biology Department, Chemistry Department, 3Mathematics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Brawijaya e-arisoe@brawijaya.ac.id, earisoe@gmail.com Porang or iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume sin. A. blumei (Scott.) Engler sin. A. oncophyllus Prain), A. rivieri, A. campanulatus, A. variabilis and A. albus are classified into a family of Araceae. Amorphophallus spp. are well known in Asia and North of America as a corm producing an economical carbohydrate. In Asia, Jepang,Thailand, and Indonesia export porang chips as a raw material of konjaku flour to Australia and Erope Union. Because of high irritant Ca-oxalate content associated with protein, therefore porang corm should be processed before edible product as in congeneric corm of A. campanulatus (elephant yam). In face of last three years of global economic crisis, Indonesian goverment promotes domestic industry using local raw material while reduces imported material. Moreover, exported agricultural commodities are then used to support domestic industry. Porang corm produces glucomannan flour as a promising material for several food industries, including noodle industry. After pretreatment of post harvest technology, porang corms are potential raw material of many industries, such as food, beverage, medicine and cosmetics industries. Glucomannan has special characters as a thickening agent, such as absorbing water capacity more than 100 times of its weight, increasing viscosity of solution and easily combining with other thickening agents. Glucomannan of Amorphophallus spp. also becomes dietary supplement and promotes biomaterial and nanomedicine industries. Composite polymer and safety nanotechnology are developed to be used for medical industries. Global market demand of glucomannan needs consistent production and quality of porang corms. One of constraints of glucomannan industry is variable of corm production and glucomannan content. Until now, exported porang corm is produced as agroforestry product from Perum Perhutani in the Province of Jawa Timur, Jawa Tengah and Jawa Barat. Naturally porang plant grows as under storey of and low land humid tropical forest on 100-1000 meter above sea levelt. Jawa Timur teak plantation produces minimally 4 ton per ha but it will achieve 8 - 9 ton per ha under an intensive cultivation. Porang production is influenced by vegetative growth during their life cycle of 38-43 months. Corm will produce a flower after reach weight 500 g and passed two vegetative cycles. Corms and glucomannan productions highly correlate with leaf canopy width, therefore a corm weight is variable from 0.5-3.0 kg. Glucomannan content of corm is influenced by some factors, such as genetics variability, plant age, post harvest period, pretreatment drying, grinded part, as well as grinder. For this purpose, glucomannan content varies from 24.4-58.3% to 64.98%. Until now, it becomes a weakness of porang agricultural system. Considering high and potential market of porang in country or abroad as well as local production have not supplied domestic market demand reacheding 3,000 Mg per year. People then tends to exploit wild porang in nature rather than to cultivate it. Local people also get the bulbils from the wild habitat. It reduces porang population in the wild and significantly threats germ plasm conservation. Therefore consecutive growths to harvest period, glucomannan content relates to their habitat condition are very important to be studied. For this reason, it is important to develop sustainable porang cultivation in sustainable agroforestry without threat porang conservation in the wild. In the previous study, growth and environmental factors were

vi

partially studied by univariate statistical analysis. However, in nature many external or internal factors might perform several significant interactions, which directly or indirectly influenced along porang development. This multivariate statistical modeling for porang growth and corm development will be benefit to provide basic information which internal factors (age and leaf growth indicators) or external factors (plant coverage, climate and soil indicators) influence simultaneously the corm development. Study was held in five porang agroforestry in Jawa Timur and covered for KPH Madiun, Nganjuk, Malang and Bojonegoro. Locations were selected cause of limited genetic variation of porang but they grow in different edapho-climat condition. This explorative and descriptive research was designed to develop and test structural model vegetative and corm porang growth. Paired quantitative data were sampled to record porang growth variable and corm size, environmental variable (geographic, vegetation, climate and soil) in five agroforestry of Jawa Timur, in four KPH Madiun, Nganjuk, Blitar and Bojonegoro. In each agroforestry we observed porang growth on four age clusters (1, 2, 3 or 4 years) and % reduced light intensity. Therefore in each combination we used three replications; however cause of limited observable porang specimen, all sample were 107 plants. Paired data were then statistically analysed to develop structural model using open source program Smart Partial Least Square (Smart PLS). Research result showed that porang grows under coverage of teak or sonokeling trees in agroforestri where geographical, soil, vegetation coverage and microclimate variable were different. All farmers declared that planted bulbil and corm were provided by farmer of Desa Klangon KPH Madiun therefore genetic variability was minimal. The different corm production among agroforestries were influenced by age plant and environmental condition. It was proven by PLS model that geographical condition represented by g1 (altitude), porang age a1 (plant cluster), climate variable represented by i2 (monthly air temperature), soil variable represented by s5 (Ca content) and s6 (Cation Exchange Capacity), vegetation variable represented by v2 (% ground coverage). All variables were then significantly (p-value < 0.05) influenced porang vegetative growth represented by t2 (leaf bulbil number), and then the last variable effected corm variable represented by u1 (corm diameter) and u3 (corm volume). This PLS model showed predictive-relevance value Q2 99.87%, therefore model is relevan. Based on the model we can produce optimal diameter and volume growth of corm in agroforestry by controlling altitude > 400 m dpl, air monthly temperature during periode vegetative growth, low soil of Ca content and optimal CEC, as well as maintaining natural ground coverage. Direct or indirect interactions among variables might produce optimal leaf growth and bulbil number to provide abundant new plants in the next growth season and high capacity of porang corm. The result research can be advantaged to develop a further model to determine porang quality corm especially glucomannan and Ca-oxalate content. Key words: agroforestry, PLS model, growth, porang, corm

Daftar Pustaka Tidak ada

vii

Anda mungkin juga menyukai