Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1 2.1.1.1

Tinjauan Teori Pengetahuan Pengertian Menurut Sarwono (2004), tingkat pengetahuan itu lebih bersifat pengenalan terhadap sesuatu benda atau hal secara obyektif. Tingkat pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Gazalba dalam Bakhtiar (2006), pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.

2.1.1.2

Tingkatan Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan: 1). Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itutahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Sedangkan kata kerja yang mengukur tentang seseorang tahu tentang apa yang dipelajari adalah: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. 2). Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajarinya. 3). Aplikasi (Application) Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hokum-hokum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lainnya. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam penghitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus, pemecahan masalah (problem solving) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

3). Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 4). Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Atau kemampuan untuk menyusun formulasi yang baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun,

merencanakan, meringkas, menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 5). Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan criteria yang ditentukan. Penilaian- penilaian berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria kriteria yang telah ada. 2.1.1.3 Faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh : 1). Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah serta berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Menurut Notoatmojo, pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Wiet Hari, dalam Notoatmojo menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Menurut Azhar, pengetahuan akan menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap suatu objek sikap. 2). Pengalaman Pengalaman memberikan belajar dalam dan bekerja yang dikembangkan serta

pengetahuan

keterampilan

profesional

pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan.

Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapan dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masa lalu. 3). Usia Semakin tua semakin bijak, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran fisik dan mental (Hanna, 2009). Menurut Singgih D. Gunarso, makin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun. Selain itu Abu Ahmadi juga

mengemukakan bahwa memori atau daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada bertambahnya pengetahuan yang diperoleh. Tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau daya ingat suatu pengetahuan akan berkurang.

4). Informasi Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih luas pula. Salah satu sumber informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media massa. Pengetahuan masyarakat khususnya tentang kesehatan bias didapat dari beberapa sumber antara lain media cetak, tulis, elektronik, pendidikan sekolah, penyuluhan (Oktarina, 2009). Menurut Wiet Hari dalam Notoatmojo, informasi akan

mememberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya televise, radio atau surat kabar. Maka pengetahuannya akan dapat lebih baik. 5). Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh sosial bagi seseorang di mana dapat mempelajari hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan

memeperoleh pengalaman yang berpengaruh pada caara berfikir seseorang. Dalam hal ini faktor keturunan dan bagaimana orang tua mendidik sejak kecil mendasari pengetahuan yang dimiliki oleh remaja dalam berfikir selama jenjang hidupnya.

6). Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan biaya untuk menempuh pendidikan, sehingga pengetahuannya pun rendah (Notoatmodjo, 2007). 7). Intelegensi Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dan situasi yang baru. Intelegensi merupakan salah satu factor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengelola informasi secara terarah sehingga mampu menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan. 2.1.1.4 Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat tingkat tersebut. (Notoatmodjo, 2007)

2.1.2 2.1.2.1

Kesehatan Reproduksi Pengertian Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial secara utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi. (Departemen Kesehatan RI dan WHO, 2000). Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Widyastuti, 2009).

2.1.2.2

Tujuan Kesehatan Reproduksi 1). Tujuan Umum Meningkatkan kemandirian dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya sehingga hak-hak reproduksi dapat terpenuhi. 2). Tujuan Khusus a. Meningkatkan kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya. b. Meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak antara kelahiran.

c. Meningkatkan peran dan tanggung jawab sosial laki-laki terhadap akibat dari perilakuu seksnya. d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksinya. 2.1.2.3 Sasaran Kesehatan Reproduksi 1. Remaja (Pubertas) a. Memberikan penjelasan masalah kesehatan reproduksi yang diawali dengan pemberian pendidikan seks. b. Membantu remaja dalam menghadapi menarche secara fisik, psikis, sosial dan hygiene sanitasinya. 2. Wanita a. Wanita Usia Subur (WUS) Penurunan 33% angka prevalensi anemia pada wanita (usia 15-

49 tahun). - Peningkatan jumlah wanita yang bebas dari kecacatan/gangguan sepanjang hidupnya sebesar 15% diseluruh lapisan masyarakat. b. Pasangan Usia Subur (PUS) - Terpenuhinya kebutuhan nutrisi dengan baik - Terpenuhinya kebutuhan ber-KB - Penurunan angka kematian ibu hingga 50%

- Penurunan proporsi BBLR menjadi < 10% - Pemberantasan tetanus neonatorum - Semua individu dan pasangan mendapatkan akses informasi dan pelayanan pencegahan kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat jaraknya, terlalu tua, dan telalu banyak. 3. Lansia a. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk

pemeriksaan dan pengobatan penyakit menular seksual minimal 70% b. Pemberian makanan yang banyak mengandung zat kalsium untuk mencegah osteoporosis c. Memberi persiapan secara benar dan pemikiran yang positif dalam menyongsong masa menopause. (Romauli, 2011). 2.1.2.4 Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja Kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000). Menurut Notoadmodjo (2007), terdapat enam faktor yang mempengaruhi status kesehatan reproduksi remaja. Faktor-faktor

tersebut adalah faktor sosial ekonomi dan demografi, budaya dan lingkungan, psikologis, biologis, teknologi dan institusi pendidikan. Faktor yang pertama adalah faktor sosial-ekonomi dan

demografi. Faktor ini berhubungan dengan kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan mengenai perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil. Faktor yang kedua adalah factor budaya dan lingkungan, antara lain adalah praktik tradisional yang berdampak buruk terhadap kesehatan reproduksi, keyakinan banyak anak banyak rezeki, dan informasi yang membingungkan anak dan remaja mengenai fungsi dan proses reproduksi. Faktor yang ketiga adalah faktor psikologis. Keretakan orang tua akan memberikan dampak pada kehidupan remaja, depresi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharganya wanita dimata pria yang membeli kebebasan dengan materi. Faktor yang keempat adalah faktor biologis, antara lain cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi. Faktor yang kelima adalah faktor teknologi. Semakin majunya teknologi dan membaiknya sarana komunikasi mengakibatkan membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi. Faktor yang keenam adalah faktor institusi pendidikan langsung, yaitu orang tua dan guru sekolah kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan tepat waktu. Berbagai kendala diantaranya adalah ketidaktahuan dan anggapan di sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan seks adalah tabu (Sugiharta, 2004).

2.1.3 2.1.3.1

Remaja Pengertian Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan (Ali, 2009). Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang merupakan usia antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal proses reproduksi, sehingga perlu dipersiapkan sejak dini (Romauli, 2009). Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN adalah 10 sampai 19 tahun (Widyastuti, 2009). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis dan sosio ekonomi. Berdasarkan kematangan psikoseksual dan seksual, remaja akan melewati tahapan remaja awal ( 11-13 tahun ), remaja pertengahan ( 1416 tahun ), dan remaja lanjut ( 17-20 tahun ). Pada tahap remaja lanjut ini, remaja sudah mengalami perkembangan seperti orang dewasa.

Mereka mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan mereka mulai mengembangkannya dalam bentuk pacaran. (Soetjiningsih, 2004). Remaja adalah suatu masa ketika: 1) Individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual 2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa 3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri (Sarwono, 2006). 2.1.3.2 Perubahan Fisik pada Remaja Menurut Sarwono (2006), urutan perubahan-perubahan fisik sebagai berikut : 1) Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang). Pinggul pun menjadi berkembang, membesar dan membulat. Hal ini sebagai akibat membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya lemak di bawah kulit (Widyastuti, 2009). 2) Pertumbuhan payudara, seiring pinggul membesar, maka payudara juga membesar dan puting susu menonjol. Hal ini terjadi secara harmonis sesuai pula dengan berkembang dan makin besarnya kelenjar

susu sehingga payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat (Widyastuti, 2009). 3) Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan. Rambut kemaluan yang tumbuh ini terjadi setelah pinggul dan payudara mulai berkembang (Widyastuti, 2009). 4) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya. 5) Bulu kemaluan menjadi keriting 6) Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2006). 7) Tumbuh bulu-bulu ketiak 2.1.3.3 Perubahan Psikologi pada Remaja Tertarik pada lawan jenis, cemas, mudah sedih, lebih perasa, menarik diri, pemalu dan pemarah (Romauli, 2009). Sensitif atau peka misalnya mudah menangis, cemas, frustasi dan sebaliknya bisa tertawa tanpa alasan yang jelas. Utamanya sering terjadi pada remaja puteri, lebih lebih sebelum menstruasi (Widyastuti, 2009). 2.1.4 Pacaran Berpacaran merupakan wujud dari interaksi sosial yang begitu kuat sebagai akibat dari pergaulannya dengan teman sebaya maupun masyarakat luas. Adanya interaksi sosial tersebut dapat memunculkan

informasi global yang dapat mengancam terwujudnya remaja yang sehat dan berkualitas (PKBI, 1999). Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan antara dua individu yang membuat kesepakatan bersama yang terdiri dari komitmen, intimacy, dan passion, hubungan pacaran merupakan dasar dari perjalanan menuju jenjang pernikahan (Stenberg,2003). Tujuan dari pacaran itu sendiri adalah untuk menemukan dan mencari pasangan yang benar-benar tepat untuk dirinya dan kelak akan menjadi pasangan hidupnya (Dusek,2001). Satu hal yang sangat penting dari kehidupan emosional para remaja adalah kemampuannya untuk memberikan kasih sayagnya pada orang lain, di samping kemampuannya untuk menerima kasih sayang tersebut dari orang lain. Hal yang dramatis terjadi apabila mereka jatuh cinta terhadap lawan jenisnya dan mereka yakin bahwa itu adalah cinta sejati. (Hamalik, 2005) Sebagian besar remaja dipastikan akan mengalami fase dimana mereka akan membina hubungan cinta dengan lawan jenisnya. Beberapa orang bahkan akan mengalami hubungan pacaran lebih dari satu kali. Berkencan bagi remaja ialah suatu konteks di mana harapanharapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat. Laki-laki merasakan untuk tampil secara maskulin dan perempuan merasakan tekanan untuk tampil secara feminin. Kaum laki-laki mengikuti suatu

skenario berkencan yang proaktif, kaum perempuan mengikuti suatu skenario reaktif. Skenario proaktif laki-laki mencakup; memprakarsai kencan (meminta dan merencanakannya), mengendalikan bidang umum (mengendarai dan membuka pintu), dan memprakarsai interaksi seksual (melakukan kontak fisik, merayu, dan mencium). Skenario reaktif perempuan berfokus pada bidang pribadi (memperhatikan penampilan, menikmati kencan), berpartisipasi dalam struktur kencan yang diberikan oleh kaum laki-laki (dijemput, dibukakan pintu) dan menanggapi gerakan seksual kaum laki-laki. Perbedaan-perbedaan gender ini member kaum laki-laki kekuasaan yang lebih besar pada suatu relasi. (Santrock, 2002). 2.1.5 2.1.5.1 Kekerasan Dalam Pacaran Pengertian Menurut Iyus Yosep ( 2009 ) perilaku kekerasan atau agresi adalah sikap atau perilaku kasar atau kata-kata yang menggambarkan perilaku amuk, permusuhan dan potensi untuk merusak secara fisik. Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan ( Nita Fitria, 2009 ). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secra fisik maupun psikologis. (Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, 2009).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu tindakan kekerasan atau katakata kasar yang menggambarkan perilaku amuk, permusuhan dan potensi untuk merusak secara fisik maupun psikologis yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan percintaan (Dianawati, 2010). Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu kekerasan yang terjadi saat salah satu pihak merasa tersinggung, tersakiti, ataupun terpaksa melakukan sesuatu ketika berada dalam hubungan berpacaran. Kekerasan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kekerasan dalam rumah tangga, yang membedakan hanya karena belum terikat dalam status perkawinan. (Fakih, 2004). 2.1.5.2 Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran 1). Kekerasan fisik, berupa tindakan seperti pemukulan, penyiksaan dan lain sebagainya yang menimbulkan deraan fisik bagi perempuan yang menjadi korban, contohnya memukul, menampar, mencekik,

menendang, dan sebagainya. 2). Kekerasan psikologis, yaitu suatu tindakan penyiksaan secara verbalseperti menghina, berteriak, menyumpah, mengancam,

melecehkan, berkata kasar dan kotor yang mengakibatkan menurunnya

rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. 3). Kekerasan seksual, tindakan agresi seksual seperti melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya. 4). Kekerasan finansial, seperti mengambil barang korban, memaksa pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya. 5.1.3.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan Sistem patriarki yang kemudian mendasari pola-pola hubungan gender dalam masyarakat mengontrol bidang-bidang kehidupan

perempuan. Nilai-nilai dan norma yang mendefinisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki, menyebabkan laki-laki mempunyai kontrol terhadap perempuan dapat ditemukan di setiap lingkungan pergaulan yaitu dalam keluarga, pergaulan sosial, agama, hukum, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. Sehingga perempuan sering tidak dapat menyebutkan posisi yang tidak menguntungkan dari dirinya terhadap laki-laki, karena sudah menjadi ideology dalam hidupnya (Sulaeman, 2011). Salah satu hal yang menjadi isu dalam perspektif jender yakni mengenai kekerasan. Kekerasan adalah penyerangan ( invasi ) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis laki-laki dan perempuan yang

disebabkan oleh anggapan jender atau acap kali disebut dengan gender related violence, kekerasan terjadi baik dalam ranah publik

(pemerkosaan dan pelecehan seksual ) maupun dalam kehidupan pribadi seperti hubungan pacaran. Sebagian besar hubungan cinta remaja rmemiliki titik lemah di dalam masalah keseimbangan, kesetaraan dalam berpendapat, bersikap dan berbuat. Ketika dominasi terjadi tanpa ada perlawanan, cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence, kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan pacaran. (Sony Set, 2009). 2.2 Kerangka Pemikiran
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga namun masih sedikit sekali yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja terutama kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran, hal ini didasarkan pada anggapan masyarakat bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan karena pada masa ini hanya diwarnai oleh hal-hal yang indah dimana setiap hari hanya merasakan katakata manis dan tingkah laku yang dilakukan oleh sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi. Kekerasan dalam berpacaran menurut Harry Kurniawan adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran (Idham, 2007). Sasaran kekerasan fisik misalnya

pemukulan terhadap tubuh, belaian atau jamahan terhadap tubuh yang tidak dikehendaki dan memaksa atau merayu untuk berhubungan seksual sedangkan kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan, ancaman, tekanan dan cacian baik lewat perkataan maupun perbuatan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak. Kekerasan dalam berpacaran tidak hanya dialami oleh perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki namun dalam sepengetahuan masyarakat perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan

dibandingkan dengan laki-laki, hal ini didasarkan karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang umumnya dianut oleh masyarakat luas. Penguasaan tersebut pun terjadi dalam hubungan pacaran dimana seseorang yang sudah mempunyai pacar biasanya akan menganggap bahwa pacarnya tersebut hanya miliknya sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mendekatinya, perasaan memiliki yang berlebihan tersebut kerap kali menimbulkan kekerasan. Hal ini senada dengan pendapat Fromm (2005) yang mengemukakan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa dan pengaturan yang mengaburkan definisi dari cinta itu sendiri, cinta bukan lagi sebuah pengorbanan tetapi tuntutan yang apabila tidak dipenuhi maka akan berujung pada kekerasan. Pada masyarakat sekarang cinta didasarkan pada modus memiliki atau menjadi. Seseorang yang mencintai atas dasar ingin memiliki pada mulanya akan mati-matian menutupi segala keburukan dan kekurangan yang ada dalam dirinya, namun setelah sang pujaan hati dimiliki sedikit

demi sedikit hal-hal yang negatif yang ada dalam dirinya akan terungkap. Di sisi lain, cinta dengan modus memiliki hanya akan memunculkan kesewenang-wenangan, kekuasaan, pemaksaan dan kediktatoran.

Anda mungkin juga menyukai