Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kasus Perkawinan Usia Muda dan Tua Contoh Kasus Wanita di Tempat Kerja a.

Kasus 1 Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak langsung dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat kanker bisa terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani obat-obatan tersebut, hal ini bisa berdampak serius. Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu risiko kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama bahayanya dengan tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat biasanya langsung mendapat pemeriksaan namun pada obatobat kemoterapi jarang diperhatikan," ungkap salah seorang peneliti, Dr Christopher Friese seperti dikutio dari MSN Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese dan timnya menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker mengaku pernah terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit maupun mata. Data ini diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh Amerika. Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun khusus untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat. b. Kasus 2 Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut adalah tenaga kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ pada janin. Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa memicu keguguran atau abortus spontan. "Menurut penelitian, pekerja di sektor kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011). Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas. Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih banyak mengancam pria,

antara lain memicu ketidaksuburan atau oligospermia serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada juga pejanan fisik yang mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu keguguran atau kelahiran prematur. Meski demikian Dr Astrid mengatakan tidak semua risiko tersebut didukung dengan bukti ilmiah yang kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan. Misalnya gas anestesi, pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi masih inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat antineoplastik pengaruhnya sudah didukung bukti kuat. c. Kasus 3 Taiwan, sebanyak 5 orang penerima donor organ di 2 rumah sakit terkemuka Taiwan tengah diambang terinfeksi virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) setelah sang pendonor organ belakangan diketahui sebagai penderita HIV positif. Kelima orang tersebut melakukan transplantasi organ (cangkok organ tubuh) di 2 rumah sakit terbaik di Taiwan pada 24 Agustus 2011. Empat orang melakukan transplantasi organ di National Taiwan University Hospital (NTUH) dan 1 orang lagi di National Cheng Kung University Hospital untuk transplantasi jantung. Kasus transplantasi organ dari penderita HIV ini membikin geger Taiwan dan kalangan medis dunia. Departemen kesehatan Taiwan melakukan investigasi khusus untuk mengungkap kasus tersebut dan menyelamatkan 5 orang yang kemungkinan besar terkena HIV tersebut. Hasil penyelidikan sementara Departemen Kesehatan Taiwan, kesalahan fatal tersebut akibat human error (kesalahan manusia). Salah seorang petugas yang ikut dalam proses transplantasi tersebut salah mendengar informasi yang diberikan melalui telpon tentang hasil tes darah si pendonor organ. Petugas tersebut percaya ia mendengar kata dalam bahasa Inggris 'non reaktif' dari hasil tes standar si pendonor organ, padahal yang sebenarnya diberitahukan adalah kata 'reaktif'. Informasi tentang hasil tes yang diberikan melalui telpon itu juga tidak diperiksa lagi seperti yang dipersyaratkan dalam prosedur standar. Kemudian hasil tes tidak dikonfirmasikan lagi dengan tim dokter yang akan melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahan itu," bunyi pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari focustaiwannewschannel, Minggu (4/9/2011). Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan akan melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut. Jika ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping denda yang akan diberikan. Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang telah mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paru-paru dan 2 ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang sama. Kepala departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam transplantasi yang dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan. Kota Hsinchu adalah tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan rumah sakit bisa menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis si pendonor di kota asalnya. Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat mungkin tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena selain minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap organ baru, mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di ambang kepanikan.

National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit terbaik dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi organ. Rumah sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset medis yang sangat disegani.

Contoh Kasus Incest 1. Jambi Geger, Seorang Ibu Dihamili Anaknya Peristiwa amoral ini terjadi di Jambi. Seorang ibu hamil akibat berhubungan dengan anak kandungnya sendiri. Perempuan 35 tahun itu kini mengandung delapan bulan. Peristiwa ini menghebohkan warga Karang Solok, Kecamatan Kumpe Ulu, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Perempuan bernama St itu juga anak laki-lakinya, Fy (16), diamankan di kantor polisi. Ini dilakukan untuk menghindari tindakan anarkis dari warga sekitar, kata Kapolsek Kumpeh Ulu Jambi Iptu H Batubara, Rabu (23/7). Kejadian yang membuat malu warga desa itu terungkap setelah ada laporan dari kepala desa. Ia mencurigai St yang hamil tua, sementara perempuan itu sudah menjanda selama 15 tahun. Setelah diselidiki warga, ternyata kehamilan St tersebut akibat berhubungan intim dengan Fy, anak kandungnya sendiri. Hasil pemeriksaan sementara dan dari pengakuan kedua pelaku terungkap, keduanya melakukan perbuatan bejat itu atas dasar suka sama suka. Masing-masing mengaku tidak dipaksa. Mereka mengaku melakukan hubungan suami istri sebanyak empat kali. Semuanya berawal ketika Fy sering melihat film porno melalui ponsel. Film-film itu juga diperlihatkan kepada ibunya. Untuk sementara, penyidikan kepolisian mengarah kepada St. Ia dikenai Pasal 262 KUHP tentang mencabuli anak sendiri. Namun, Fy pun diperiksa secara intensif meski masih di bawah umur atau belum dewasa. Kejadian langka itu memerlukan penyidikan yang cukup hati-hati guna menegakkan keadilan, mengingat keduanya satu keluarga dan anak beranak, kata Kapolsek H Batubara. Sumber : Kompas.com 2. Banyuwangi (jurnalbesuki.com) Tragis dan mengenaskan. Seorang gadis (sebut saja Melati) yang masih berumur 18 tahun di Desa Srono Banyuwangi ternyata kehilangan kegadisannya sejak 5 tahun lalu. Lebih naif lagi, karena yang tega merengut kehormatannya adalah M. Saturi (41), ayah kandungnya sendiri. Kegetiran hidup Melati ternyata tidak berhenti. Sejak kegadisannya terengut, maka sejak itu pula hari-harinya dipenuhi kesedihan yang tidak pernah diucapkan. Lima tahun melati menjalani kehidupan dengan menjadi budak seks sang ayah yang sudah gelap mata. Tetapi, perbuatan nista yang sudah berlangsung sejak tahun 2006 lalu itu akhirnya terbongkar juga. Melatipun akhirnya tak tahan terhadap perbuatan sang ayah. Maka rahasia yang selama 5 tahun itupun dibongkarnya. Saudara, Kerabat, dan para tetanggapun kaget atas pengakuan lulusan SMP itu. Wargapun melaporkan perbuatan Saturi ke Polsek Srono. Sayang, Saturi kabur saat menjalani sidang di hadapan tokoh masyarakat setempat di rumah orangtuanya. Ia menyelinap saat semua orang sibuk menenangkan keluarga korban yang sedang emosi. Kini, pria pengangguran itu menjadi buronan polisi. Ketika sidang berlangsung, Saturi ijin ke belakang sebentar. Katanya mau pipis, gak taunya malah kabur,ujar Handoyo, ketua RT setempat yang memimpin Sidang. Informasi dari Handoyo yang diakui sebagai pengakuan Melati, ia kali pertama dinodai Saturi pada tahun 2006 silam. Saat itu ia masih duduk di kelas 1 SMP. Menurut korban, ia diancam dan dipaksa untuk melayani birahi liar pelaku. Diduga perbuatan cabul itu dilakukan berkali-kali antara kurun waktu 2006-2011. Semuanya dilakukan di rumah mereka. Di sana, korban hanya tinggal bersama pelaku dan adiknya yang masih berusia 9 tahun. Ibunya kerja di Batam, sebelumnya di Bali. Di rumah hanya ada pelaku, korban dan adiknya yang masih kelas tiga SD, ujar Khoirudin, tokoh masyarakat lainnya.

Kasus perkosaan inses (sedarah,red) ini terungkap, Sabtu (17/9/2011) petang. Cempluk menceritakan peristiwa yang menimpanya pada bibinya, Ana. Tak berselang lama, pelaku diamankan warga untuk disidang. Sebelum kabur, pelaku mengakui semua tuduhan padanya. Saat saya tanya Saturi mengaku, tapi katanya hanya mencium-cium paha anaknya, ungkap Handoyo geram. Pembahasan Kasus Perkawinan Usia Muda dan Tua Wanita di Tempat Kerja Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah sakit selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan pengunjung dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan dengan : a. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien), b. Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati), c. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah), d. Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan e. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat darurat dan bangsal penyakit jiwa). Dalam kasus pertama dan kedua telah dijelaskan bahwa ada kecenderungan dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan gas anestesi dapat memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek toksik dari obat kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan dampak negatif pada sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah apabila obat tersebut telah memasuki sirkulasi darah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, obat kemoterapi ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan Beracun) karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus saat melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan yang terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan untuk melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan pemakaian obat kemoterapi. Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain yang bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di Rumah Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat risiko keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial tinggi. Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent untuk cepat diselesaikan. Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas, juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari pekerja itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat komunikasi yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses transplantasi organ terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata terdapat kesalahan yang fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan

prosedur standar yang telah disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ. Bahkan kesalahan tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIV-AIDS yang sebelumnya tidak ia derita. Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan melalui cairan tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter dan perawat tersebut tertular HIV-AIDS meningkat. Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di rumah sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peran SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di rumah sakit mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain itu, SMK3 harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya. Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi setelah identifikasi bahaya potensial di RS untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi. Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang dilakukan. Upaya pengendalian meliputi pengendalian operasional, pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan proses kerja yang aman, dan pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya. Penyelesaian masalah penyelenggaraan K3 di rumah sakit juga dapat efektif jika SMK3 melakukan risk assesment terlebih dahulu terhadap kasus. Setelah itu, maka kebijakan yang sudah terencana dapat diberlakukan sesuai dengan hasil assesment. Penentuan kebijakan yang baik dan efektif juga harus disertai dengan pembuatan program yang mendukung kebijakan itu sendiri. Hal yang tak kalah penting adalah sosialisasi terhadap target yang bersangkutan seperti tenaga medis dan non medis di rumah sakit. Setelah sosialisasi dilakukan maka proses pembudayaan perilaku K3 sudah mulai dapat diprogramkan, seperti pembiasaan memakai APD (sarung tangan, kacamata pelindung, gaun pelindung, dan lain-lain) agar tidak terkena paparan bahan atau gas kimia. Pembinaan dan pengawasan terhadap proses K3 juga harus digencarkan untuk mencegah adanya ketidakdisiplinan yang akan mengakibatkan risiko bahaya. Pencatatan dan pelaporan hasil program juga akan sangat berguna untuk mengetahui proses pelaksanaan K3 setelah dibentuk kebijakan dan program baru. Selain itu, pelaksanaan evaluasi terhadap hasil program harus selalu dilakukan agar pihak SMK3 mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan maupun pengembangan dalam rangka untuk meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap pekerja di Rumah Sakit tersebut. Incest Homeless

Anda mungkin juga menyukai