Anda di halaman 1dari 17

PERITONITIS ANATOMI Peritoneum adalah sebuah membran serosa transparan yang berkilau dan melapisi rongga abdominopelvikal serta

meliputi visera organ. Peritoneum terbagi menjadi dua lapisan, yaitu peritoneum parietalis yang melapisi bagian dalam dinding abdominopelvikal dan peritoneum viseralis yang meliputi visera seperti pada lambung dan usus. Kedua lapisan peritoneum terdiri atas mesotelium, yang merupakan lapisan sel-sel epitel skuamosa sederhana. Peritoneum parietalis mendapatkan vaskularisasi dan persarafan yang sama dengan regio dinding yang dilapisinya. Peritoneum viseralis dan organ yang dilapisinya mendapatkan vaskularisasi dan persarafan yang sama. Peritoneum dan visera berada dalam rongga abdomen, yang berlanjut sampai rongga pelvis. Di antara lapisan parietal dan viseral peritoneum terdapat sebuah rongga potensial yang disebut rongga peritoneum. Tidak ada organ yang terdapat dalam rongga peritoneum. Rongga ini biasanya hanya berisi lapisan tipis cairan serosa steril yang berfungsi sebagai pelumas dan pelembab permukaan peritoneum, selain itu cairan ini juga mengandung leukosit dan antibodi yang dapat melawan infeksi. Cairan peritoneum diabsorpsi oleh pembuluh limfe yang berada di permukaan inferior dari difragma. Rongga peritoneum tertutup sempurna pada laki-laki, sedangkan pada wanita terdapat saluran yang menghubungkan rongga peritoneum dengan bagian luar tubuh melalui tuba uteri, rongga uterus dan vagina. Saluran ini merupakan saluran yang potensial untuk terjadinya infeksi dari luar tubuh. Peritoneum melipat dan meliputi visera abdomen dengan sempurna. Namanama khusus telah diberikan pada lipatan-lipatan ini. Mesenterium merupakan lipatan peritoneum yang lebar, menyerupai kipas yang menggantung jejunum dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa. Mesenterium menyokong pembuluh darah dan limfe yang mensuplai usus. Omentum mayus merupakan lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari kurvatura mayor lambung dan berjalan turun di depan visera abdomen seperti celemek. Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi rongga peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentang dari kurvatura minor lambung dan bagian atas duodenum, menuju ke hati, membentuk ligamentum hepatogastrikum dan ligamentum hepatoduodenale. INFEKSI INTRAABDOMINAL Infeksi intraabdominal adalah respon inflamasi pada peritoneum terhadap mikroorganisme dan toksinnya yang menghasilkan eksudat purulen pada rongga peritoneum. Infeksi ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting, di mana pada era antibiotika tingkat mortalitasnya mencapai 10-20 % Infeksi intraabdominal pada umumnya terjadi karena terganggunya sawar anatomis normal. Penyebabnya bervariasi sesuai geografinya. Gangguan ini dapat terjadi ketika apendiks, divertikulum, atau abses ruptur; ketika dinding abdomen menjadi lemah karena iskemia, tumor atau inflamasi; atau adanya proses inflamasi pada organ yang berdekatan, seperti pankreatitis atau pelvic inflamatory disease, yang dapat menyebabkan bocornya enzim atau organisme ke dalam rongga peritoneum. Kepekaan peritoneum terhadap cairan tubuh berbeda-beda mulai dari yang paling merangsang sampai yang kurang merangasang berturut-turut adalah: cairan gaster, cairan duodenum, cairan empedu, feses, urine dan darah. Apapun pemicunya, begitu inflamasi terjadi dan organisme dari saluran pencernaan memasuki rongga peritoneum yang steril, peristiwa-peritiwa yang dapat diprediksi akan terjadi. Di Indonesia sendiri penyebab tersering adalah perforasi apendisitis, perforasi typhus abdominalis dan trauma organ hollow viscus.

Infeksi intraabdominal jika terjadi secara difus akan menyebabkan peritonitis, sedangkan jika terjadi secara fokal akan menyebabkan abses intraperitoneal atau abses intraabdominal. PERITONITIS Peritonitis adalah peradangan peritoneum. Peritonitis dapat terjadi secara primer, sekunder atau tersier. Peritonitis primer terjadi melalui penyebaran hematogen atau limfatik (tanpa sumber kontaminasi yang jelas. Peritonitis sekunder terjadi akibat proses biologis yang lain, seperti: perforasi bilioenterik, kebocoran anastomosis atau pankreatitis terinfeksi. Peritonitis tersier terjadi karena terdapat infeksi intraabdominal persisten yang berespon terhadap operasi atau infeksi nosokomial. Berdasarkan lama terjadinya, peritonitis dibagi menjadi peritonitis akut dan peritonitis kronis. PATOFISIOLOGI PERITONITIS Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptura apendiks, sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar. Masuknya mikroorganisme ke dalam rongga peritoneum yang steril memicu beberapa mekanisme antimikrobial host yang terspesialisasi dan poten yang meliputi klirens, fagositosis dan sekuestrasi. Klirens bakterial, yang juga disebut absorpsi translimfatik, terjadi melalui struktur khusus yang hanya ditemukan di mesotelium peritoneum di bagian bawah diafragma yang berfungsi sebagai saluran untuk cairan dan partikel-partikel padat. Stomata (10-16 mm) di antara sel-sel mesotelial mengarah ke struktur limfatik (lakuna), yang selanjutnya mengalir ke pembuluh limfe mediastinal yang lebih besar. Pembuluh ini kemudian mengalirkannya ke duktus torasikus dan akhirnya ke dalam sirkulasi vena. Partikel-partikel, termasuk bakteri, secara cepat dibersihkan dari rongga peritoneum ke dalam sirkulasi sistemik. Inokulasi bakteri ke dalam peritoneum dapat menyebabkan bakteremia dalam hitungan menit. Mikroba-mikroba yang tidak dapat dibersihkan secara cepat dimakan oleh sel-sel fagosit residen yang sudah ada maupun yang direkrut. Pada tahap awal infeksi, makrofag residen berfungsi sebagai mekanisme pertahanan lini pertama peritoneum bersamaan dengan mekanisme klirens untuk mengurangi jumlah bakteri. Setelah beberapa jam pertama, terjadi influks PMN ke dalam rongga peritoneal. Sel-sel ini memiliki fungsi untuk memakan mikroba-mikroba yang berhasil lolos dari mekanisme pertahanan yang lainnya. Terdapat batasan kuantitatif terhadap kapasitas dari masing-masing mekanisme ini dalam menghadapi kontaminasi, walaupun demikian batasannya pada manusia belum dapat ditentukan. Mikroba-mikroba yang berhasil lolos dari proses klirens dan fagositosis akhirnya harus berhadapan dengan mekanisme pertahanan (sekuestrasi) akhir primitif yang berfungsi untuk melindungi host dari bakteri yang masuk. Eksudat fibrinosa keluar dan terbentuk perlekatan-perlekatan fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus. Walaupun mekanisme pertahanan ini berfungsi dengan baik dalam rongga peritoneum yang terkungkung, reaksi sistemik yang merugikan dapat terjadi yang berhubungan dengan proses-proses ini, bakteremia dapat terjadi dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi sistemik dan pada akhirnya dapat menyebabkan multi-organ system failure. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian

menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlengkatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat menggangu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. PERITONITIS AKUT Etiologi 1. Bakterial Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi (secara inokulasi kecilkecil) bekteria; kontaminasi yang terus menerus, bakteri virulen, resistensi yang menurun, dan adanya asites, benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. a. Peritonitis bakterial primer, merupakan akibat kontaminasi bakterial secara hematogen atau limfogen pada ruang peritoneum. Organisme yang umum adalah streptokokus dan pneumokokus. Keadaan ini umumnya terjadi pada penderita asites. b. Peritonitis bakterial sekunder, mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi saluran pencernaan atau saluran kemih, dan peritonitis jenis ini lebih sering terjadi dibandingkan jenis primer. 2. Kimiawi a. Cairan lambung dan pankreas. Cairan-cairan ini dapat mengiritasi peritoneum dengan hebat dan dapat menyebabkan syok dalam waktu singkat. Iritasi kimiawi ini dapat ditunggangi peritonitios bakterial sekunder. b. Empedu. Ketika bakteri dan cairan pankreas tidak ada, empedu dapat menimbulkan reaksi peritonitis kecil. Bila bakteri dan cairan pankreas ada akan menambah hebta peritonitis yang terjadi. c. Darah. Merupakan iritan yang ringan bagi rongga peritoneum. Bila terdapat bakteri atau benda asing lainnya, dapat menyebabkan peradangan. d. Urin. Urin sendiri sebenarnya tak terlalu mengiritasi, tetapi bila tercemar dengan bakteri dapat menyebabkan peritonitis hebat. Diagnosa Gambaran klinisnya tergantung pada penyebabnya, perluasan peradangan, dan waktu mulai timbulnya. Peritonitis dapat lokal, menyebar atau umum. Keadaan-keadaan di bawah ini berlaku bagi peritonitis kimiawi atau peritonitis bakterial sekunder. 1. Gejala a. Nyeri abdomen akut merupakan gejala yang khas. Nyeri ini dapat terjadi tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (mis. perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar ke seluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (mis. apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi, dan bila pertahanan tubuh cukup baik, peritonitis tidak berlanjut menjadi peritonitis umum.

b.
2. terjadi. c. Tanda

Nausea, vomitus perut kembung, tidak bisa b.a.b., flatus biasa Kolaps yang tiba-tiba dapat terjadi pada awal peritonitis kimiawi

a.

Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberapa penderita peritonitis umum ( kesadaran menurun, tekanan darah arteri rata-rata (MAP) menurun, takipneu, takikardi, produksi urin berkurang). b. Pada peritonitis lanjut biasanya didapatkan demam, tetapi pada penderita yang sudah agak lanjut usia demam ini dapat ringan atau tidak ada sama sekali. c. Distensi abdomen menjadi semakin nyata

d. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang dapat lokal, difus atau umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitisnya. e. Secara klasik, bising usus tak terdengar pada peritonitis umum, walaupun pada peritonitis lokal bising usus ini masih dapat terdengar pada daerah-daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya. Colok Dubur: Sphincter lemah, nyeri tekan. Thoraks: dapat ditemukan tanda-tanda pneumoni, empiema. 3. Tes laboratorik Mungkin anemi, leukosistosis/leukopeni, hematokrit yang meningkat (hemokonsentrasi) dan metabolok asidosis. Pada peritonitis yang tidak diterapi, dapat terjadi kegagalan-kegagalan: pernapasan, hepatik dan renal. Karenanya diperlukan juga pemeriksaan ureum, kreatinin, gula darah, natrium, kalium dan AGD. Kultur : cairan peritoneum/ pus (abses/peritonitis tersier). 4. Diagnostik pencitraan Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. Pemeriksaan yang biasa dilakukan dalam kasus peritonitis adalah foto 3 posisi (terdapat free air, dilatasi, preperitoneal fat tidak terlihat), CT-Scan, USG (koleksi cairan untuk abses). 5. Tes khusus Parasentesis atau lavase peritoneal dapat berguna pada kasus-kasus yang meragukan. Diagnosa banding Pankreatitis udematus akut, salpingitis dan gastroenteritis merupakan penyakit yang dapat menyerupai peritonitis, yang tidak memerlukan pembedahan segera. Diagnosa banding peritonitis, harus dipikirkan pada keadaan akut abdomen. Komplikasi Hipovolemia pada penderita peritonitis kimiawi dan sepsis pada penderita peritonitis bakterial, dapat menyebabkan kematian. Kegagalan organ-organ tubuh (pulmoner, kardial, hepatik, renal), mendahului kematian beberapa hari sebelumnya. Penyulit yang lain adalah abses abdominal dan perlengketan yang dapat menyebabkan obstruksi usus di kemudian hari. Terapi g.

f.

Peritonitis primer diobati dengan antibiotika secara empirik bila diagnosa sudah ditegakkan. Obat tunggal: Cefotixin (8-16 g/hari), Cefotetan (4 g/hari), Ceftizoxime (4-6 g/hari), Ampicillin/sulbactam (12-18 g/hari), Ticarcillin /clavulanate (12.4-18.6 g/hari). Kombinasi dua obat: Gentamicin (5 mg/kgBB) + Clindamycin (2.4-3.6 g/hari) atau Metronidazole (2 g/hari). Kombinasi tiga obat: Gentamicin + Clindamycin + Metronidazole. Terapi peritonitis sekunder bergantung pada penyakit dasarnya, dan kebanyakan memerlukan tindakan pembedahan. o Atasi syok dan koreksi cairan dan elektrolit. o Antibiotika berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. o Penyakit yang berhubungan dan akibat umum peritonitis harus diobati juga (misalnya insufisiensi pernapasan atau renal). o Pembedahan dengan prinsip koreksi penyakit dasarnya dan cairan peritoneumnya diaspirasi dan rongganya dibilas dengan salin. Pembilasan dengan menggunakan antibiotika atau antiseptik masih diperdebatkan hingga saat ini. (Bila peritonitisnya lokal lebih baik tidak dilakukan pembedahan karena dapat menyebarkan infeksi ke tempat lain). Drainase pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa pengalirannya dengan segera menjadi terisolasi/terpisah dari ruangan yang dimaksudkan semula, mempengaruhi

pertahanan peritoneum dan dapat menggangu organ-organ dalam. Pipa pengalir ini berguna pada keadaan abses lokal atau pada keadaan dimana terdapat kontaminasi yang terus menerus. o Perawatan paska bedah harus sangat seksama pada penderita yang keadaannya gawat. Antibiotika harus diberikan dan kalau perlu diganti. Pembentukan abses harus diwaspadai. Posisi setengah duduk (semi-Fowler) dapat mengumpulkan pus yang terbentuk pada rongga pelvis, tetapi kegunaan posisi ini tak sebesar yang dibayangkan. Prognosa Tergantung pada lamanya peritonitis (<24 jam: >90 %; 24- 48 jam: 60%; >48 jam: 20 %) usia, penyakit yang berhubungan (komplikasi), sebab peritonitis, serta daya guna dan kesigapan tindakan bedahnya. PERITONITIS KRONIS Asites khilus a. Asites khilus bawaan, dikarenakan adanya hubungan abnormal antara aliran limfatik abdomen dengan rongga peritoneum. Pada beberapa penderita, khilus mengalir ke arah bawah. Ligasi bedah pada keadaan ini sangat berguna. b. Asites khilus didapat, dapat terjadi karena obstruksi aliran limfatik utama (mis. duktus torasikus) oleh karena tumor, tindakan diseksi bedah, atau idiopatik. Beberapa kasus dapat hilang spontan, walaupun masih ada sumbatan keganasan hingga penderita meninggal karena tumornya. Peritonitis Tuberkulosa Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestin atau saluran kemih. Diagnosa dapat ditegakkan dengan adanya riwayat kelemahan, keringat malam, berat badan menurun dan distensi abdominal yang terjadi selama beberapa minggu atau bulan. Dapat terjadi asites, masa liat seperti adonan donat dapat teraba di abdomen dan fenomena papan catur. Cairan peritoneum mengandung banyak protein (>3 g/ 100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkulosa dapat diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum perkutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil kultur didapatkan. Terapi yang diberikan sesuai dengan terapi untuk tuberkulosis. Peritonitis talk dan tepung Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk atau tepung yang terdapat di sarung tangan dokter. Talk kini sudah tidak digunakan lagi, tetapi tepung ternyata memiliki efek samping sama. Keadaan di atas dapat dicegah dengan mencuci sarung tangan bedah, sebelum menangani rongga peritoneum. Nyeri abdomen yang hebat, demam dan tanda-tanda peritonitis mulai ada setelah 2 minggu paska bedah. Bila penyebab peritonitis yang lain berhasil disingkirkan (selain peritonitis talk/tepung), maka pembedahan ulang tak perlu dilakukan. Pemberian kortikosteroid atau indometasin dapat memberikan perbaikan dengan segera. APPENDISITIS I. II. Definisi Appendisitis didefinisikan sebagai peradangan appendiks vermiformis.(1)

Etiologi Penyebab pasti terjadinya appendisitis masih belum diketahui, akan tetapi ada teori yang mengatakan bahwa appendisitis terjadi karena adanya obstruksi/blokade pada appendiks. Blokade appendiks disebabkan oleh(2,3,4,5): Fecalith

Fecalith dibentuk dari mukus dalam appendiks atau masuknya feses dari caecum ke appendiks, yang kemudian akan mengeras, menjadi seperti batu, dan menghambat appendiks. Proliferasi jaringan limfatik Infeksi virus akan merangsang respon tubuh yakni dengan terjadinya proliferasi jaringan limfatik pada dinding appendiks sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi. Trauma abdomen Genetik Berdasarkan penelitian, adanya kasus appendisitis dalam keluarga merupakan faktor predisposisi terjadinya obstruksi lumen appendiks. Obstruksi karena penyebab lain Obstruksi dapat pula disebabkan oleh suatu striktura (tumor), bekuan darah, corpus alienum, atau parasit. III. Epidemiologi Semua orang dengan segala usia dapat terkena appendisitis, akan tetapi apendisitis paling sering mengenai usia 10 30 tahun.(6) Appendisitis lebih sering terjadi pada pria dengan perbandingan 1,3 : 1 (terutama pada saat pubertas).(5) Insidensi appendisitis lebih rendah pada masyarakat dengan pola makan banyak serat. Appendisitis dapat pula terjadi pada wanita hamil, terutama pada trimester pertama, dengan mortalitas fetus meningkat 3 8 %.(5) Kematian karena appendisitis meningkat pada orang tua dengan usia > 70 tahun, hal ini terutama terjadi karena terlambatnya diagnosis dan terapi. Perforasi appendiks lebih banyak pada usia < 18 tahun atau > 70 tahun diperkirakan karena hal yang sama pula.(7) IV. Anatomi Appendiks vermiformis merupakan pipa buntu yang berbentuk seperti cacing, dan dasarnya berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal (illeocaecal junction). Bagian lainnya bebas. Panjangnya berbeda-beda, yaitu sekitar 8 13 cm. Appendiks mengandung banyak jaringan limfoid. Appendiks mempunyai penutup peritoneum yang lengkap yang melekat pada lapisan bawah mesenterium usus halus untuk membentuk mesenteriumnya yang disebut dengan mesoappendiks. Letak appendiks adalah pada regio iliaca kanan. Pangkalnya berada pada sepertiga dari garis yang menghubungkan SIAS kanan dengan umbilikus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendiks mudah ditemukan dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai dasar appendiks, di mana taenia ini bersatu membentuk selubung otot longitudinal yang lengkap. Ujung appendiks yang bebas, mudah bergerak, sehingga posisinya dapat bermacam-macam, antara lain: 1. Tergantung pada pelvis berhadapan dengan dinding kanan pelvis. 2. Melekuk di belakang caecum pada fossa retrocaecalis 3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum 4. Di depan atau di belakang bagian terminal ileum Yang paling sering dijumpai adalah posisi nomor 1 dan 2. Appendiks vermiformis diperdarahi oleh arteri appendikularis yang merupakan cabang dari arteri illeocolica. Arteri besarnya adalah arteri mesenterica superior. Vena illeocolica, anak cabang vena mesenterica superior, mengantar balik darah dari caecum dan appendiks vermiformis. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua nodus limfatikus yang terletak pada mesoappendiks. Dari sini, cairan limfe berjalan melalui sejumlah nodus limfatikus mesenterikus untuk mencapai nodus limfatikus mesenterikus superior.

Persarafan appendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (n. Vagus) dari pleksus mesenterikus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri viseral dari appendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen vertebra T-10.

V.

Klasifikasi Appendisitis akut Appendisitis akut komplikata: gangrenosa, infiltrat, abses, perforasi disertai peritonitis lokal atau difus Appendisitis kronis VI. Patologi Berdasarkan keadaan sewaktu operasi dan gambaran histologiknya, apendisitis akuta dibagi menjadi simpel, gangrenosa dan perforasi. Pada bentuk simpel ditemukan apendiks yang masih utuh tapi meradang. Adanya nekrosis fokal atau luas merupakan ciri khas untuk bentuk gangrenosa di mana sering pula ditemukan perforasi mikroskopik. Apendisitis perforata ditandai dengan apendiks yang pecah atau bahkan hancur. Pada bentuk simpel mula-mula ditemukan edema dan teleangiektasi serosa. Pada stadium lebih lanjut apendiks menjadi sangat teregang dan pucat, kemudian pada serosa tampak bercak-bercak eksudat fibrin. Adanya gangren atau perforasi, saat operasi akan mudah dikenal. Secara mikroskopik, pada stadium awal didapatkan bertambahnya leukosit PMN di seluruh lapisan. VII. Patofisiologi

Obstruksi pada lumen appendiks sekresi normal dari mukosa appendiks menghasilkan distensi pada usus buntu stimulasi saraf pada viseral aferen fiber nyeri dan stimulasi peristaltik usus nyeri yang difus dan dull pada epigastrium dan cramping distensi meningkat dan bakteri berproliferasi di appendiks peningkatan tekanan pada appendiks dan tekanan vena oklusi pada kapiler dan venula kongesti pada vaskuler mual, muntah, dan nyeri yang hebat proses inflamasi berterusan sehingga menginfiltrasi ke serosa appendiks dan peritoneum parietal perubahan nyeri ke kuadran kanan bawah abdomen proses inflamasi dan infeksi berlanjut sehingga membentuk abses suplai darah berkurang di daerah antimesenterik menyebabkan gangren ruptur di daerah yang nekrosis peritonitis VIII. a. Gambaran Klinis Anamnesis Urutan keluhan yang klasik pada appendisitis akut adalah : 1) sakit perut; 2) mual dan muntah;

rasa ngilu dan sakit tekan di daerah appendiks 4) badan panas. Perasaan sakit merupakan keluhan awal pada 97 - 100 % kasus, walaupun beberapa kasus mengeluh gangguan pencernaan satu atau dua hari sebelumnya. Biasanya penderita terbangun malam hari karena sakit perut di epigastrium atau daerah periumbilikal. Rasa sakit ini kadang-kadang difus di seluruh perut, atau bahkan terlokalisir di perut kanan bawah sejak awal sakit. Sifat sakit seperti kolik, biasanya tidak terlalu berat, bahkan kadang-kadang tidak terlalu mengganggu sehingga sering dikacaukan dengan keluhan lambung. Intensitas sakit mencapai puncaknya dalam 4 6 jam dan secara perlahan-lahan menghilang untuk kemudian timbul rasa sakit di perut kanan bawah yang makin hebat dan setiap gerakan badan terutama batuk dan ekstensi ekstremitas akan menambah rasa sakit. Perpindahan lokasi sakit ini merupakan tanda yang penting sekali untuk diagnostik. Rasa sakit yang pertama, merupakan sakit viseral yang menjalar dari appendiks ke organ-organ sekitarnya. Rasa sakit yang kedua di daerah kanan bawah, merupakan sakit somatik akibat peradangan jaringan periappendiks. Rasa sakit ini sering disertai perasaan ingin defekasi. Biasanya penderita berobat dalam waktu 12 - 48 jam setelah ada sakit, tapi kadang-kadang baru beberapa hari kemudian.

3)

Kira-kira 95 % kasus mengeluh anoreksia, mual atau muntah-muntah. Penderita muntah hanya 1 atau 2 kali dalam beberapa jam sesudah timbul rasa sakit, tetapi anoreksia tetap ada walaupun mual sudah tidak ada lagi. Pada saat ini biasanya ada demam ringan. Perasaan seperti konstipasi sering ditemukan yang tidak akan menghilang walaupun sudah minum laksansia. b. Pemeriksaan Fisik Panas badan bervariasi, pada appendisitis simpel biasanya sekitar 37,8C. Temperatur di atas 38,5C mencurigakan adanya perforasi. Gejala pada abdomen tergantung dari berapa lama waktu sejak awal penyakit, dan juga tergantung dari lokasi appendiks. Pada bentuk klasik terdapat sakit di perut kanan bawah, dan penderita memilih berbaring terlentang dengan paha (terutama kanan) ditekuk mendekati perut (fleksi). Gerakan dan ekstensi kaki kanan akan menambah rasa sakit. Perasaan ngilu dan sakit tekan ditemukan di daerah Mc Burney. Didapatkan nyeri lepas direk dan indirek yang menunjukkan adanya peritonitis setempat. Pada appendiks letak retrosekal atau letak pelvik mungkin tidak ditemukan nyeri tekan abdomen. Rasa sakit mungkin terdapat pada pinggang kanan atau pada pemeriksaan rektal/vaginal. Perasaan ngilu/hiperestesia pada kulit abdomen yang sesuai dengan dermatom T10-T12, tidak selalu ditemukan, tetapi bila ada, merupakan gejala yang penting. Adanya defense musculaire dan sakit tekan yang makin menghebat di daerah appendiks akan ditemukan bila penyakit semakin progresif ke arah perforasi dan peritonitis lokal/difus. Mungkin dapat ditemukan adanya massa bila telah terjadi perforasi lokal kira-kira 3 hari sebeiumnya. Perforasi jarang terjadi pada 24 jam pertama sejak awal sakit tetapi bisa ditemukan sampai 8r1% sesudah 48 jam sakit. Appendisitis atipikal Seringkali ditemukan kasus appendisitis atipikai yang berkaitan dengan posisi appendiks, usia penderita , atau keadaan-keadaan lain yang rnenyertai apendisitis misalnya kehamilan. Appendisitis retrosekal dan retroileal berbeda dalam beberapa hal dari bentuk klasik. Appendiks yang meradang, terlindung dari dinding anterior abdomen oleh caecum dan ileum. Rasa sakit tidak begitu hebat, batuk dan berjalan tidak menambah rasa sakit. Rasa sakit yang klasik pindah dari epigastrium ke perut kanan bawah tidak ditemukan, tetapi lokalisasi sakit ini tidak jelas sehingga menyulitkan diagnosis. Terdapat kecenderungan buang air kecil semakin sering akibat iritasi langsung pada ureter. Nyeri tekan pada perut juga minimal apalagi defense musculaire. Kadang-kadang ditemukan sakit tekan pinggang kanan sehingga menimbulkan dugaan gangguan renoureteral atau muskuloskeletal. Appendisitis pelvik menimbulkan sakit yang seringkali hebat. Mula-mula sakit di epigastrium yang kemudian dengan cepat pindah ke perut bawah yang lebih sering terlokalisir di sebelah kiri. Terdapat kecenderungan sering buang air kecil dan defekasi. Dapat terjadi disuria dan diare. Tidak ditemukan nyeri tekan pada abdomen tetapi ada rasa nyeri pada pemeriksaan rektal atau vaginal. Appendisitis obstruktif ditandai dengan adanya sakit kejang yang hebat pada perut yang menyerupai kolik akibat obstruksi usus halus. Dengan cepat akan progresif menjadi gangren dan mengakibatkan oklusi akut pembuluh mesenterial. Appendisitis bentuk bizar terjadi bila sekum terletak di perut kanan atas atau di perut kiri akibat malrotasi usus. Suatu appendiks yang panjang sekali dapat menjulur dari caecum letak normal ke arah lain dari abdomen dan mengacaukan diagnosis. Appendisitis pada orang tua potensial berbahaya karena keluhan samar-samar, sering terlambat berobat dan diagnosis sukar. Rasa sakit minimal, demam ringan bahkan juga pada stadium lebih lanjut Appendisitis pada kehamilan tidak akan menimbulkan kesukaran diagnostik bila terjadi pada usia kehamilan sampai 6 bulan pertama. Terdapat rasa sakit dan sakit tekan

di perut kanan bawah, tetapi bisa pula di daerah periumbilikal atau subkostal kanan, terutama pada trimester ketiga di mana apendiks letaknya sudah terdorong ke atas. c. Pemeriksaan Laboratorium Ditemukan leukositosis 10.000 - 18.000/mm3, kadang-kadang dengan pergeseran ke kiri. Leukositosis lebih dari 18.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri disertai keluhan/gejala appendisitis lebih dari 4 jam mencurigakan perforasi, sehingga diduga bahwa tingginya leukositosis sebanding dengan hebatnya peradangan. Sejumlah kecil eritrosit dan leukosit ditemukan dalam urin pada kira-kira 1/4 kasus appendisitis. d. Gambaran Radiologi Pemeriksaan radiologi akan sangat berguna pada kasus atipikal. Pada 55 % kasus appendisitis stadium awal akan ditemukan gambaran foto polos abdomen yang abnormal. Kelainan radiologis yang nonspesifik ini adalah : 1. Sentinel loop usus halus di perut kanan bawah. 2. Dilatasi caecum; ada bayangan permukaan cairan pada posisi berdiri. 3. Gambaran pengumpulan cairan di luar colon di perut kanan samping. 4. Bayangan otot psoas kanan kabur. 5. Skoliosis vertebrae lumbal ke kanan akibat perangsangan pada psoas kanan. 6. Obstruksi usus (jarang). 7. Udara bebas di rongga intraperitoneal 8. Udara di dalam appendiks. Gambaran yang lebih spesifik adalah adanya massa jaringan lunak di perut kanan bawah dan mengandung gelembung-gelembung udara. Selain itu gambaran radiologis, yang paling bisa diandalkan ialah adanya fecalith yang ditemukan pada 10% kasus. Pemeriksaan barium enema dapat juga dipakai pada kasus-kasus tertentu. Cara ini sangat bermanfaat dalam menentukan lokasi caecum pada kasus-kasus bizar. Gambaran yang mencurigakan appendisitis akut adalah : 1. Appendiks yang tidak dapat di visualisasi 2. Appendiks terisi kontras hanya sebagian. 3. Gambaran defek pada caecum akibat penekanan dari luar. 4. Pada fluoroskopi caecum dan ileum terminal tampak irritable. Appendiks yang tidak tampak tersendiri, tidak diagnostik untuk appendisitis akut karena 5 10 % appendiks normal pun tidak akan tampak terisi kontras yang bisa disebabkan akibat obliterasi lumen oleh jaringan fibrin, sumbatan oleh fecalith tanpa appendisitis, appendiks tanpa lumen secara kongenital, atau appendiks yang letaknya di pelvis. IX. Diferensial Diagnosis 1. Adenitis akut mesenterika 2. Gastroenteritis akut dan limfadenitis mesenterialis Radang usus halus, limfadenitis mesenterialis, atau kedua-duanya merupakan kelainan yang paling sering menyerupai apendisitis akuta dan sebenarnya dapat menimbulkan apendisitis dengan cara hiperplasia limfoid. Gastroenteritis dapat terjadi pada semua usia tetapi limfadenitis mesenterialis terbatas pada anak-anak dan dewasa muda. Di sini mual dan muntah mendahului sakit perut, berlawanan dengan apendisitis. Keluhan-keluhan lain adalah demam tinggi, sakit kepala, faringitis, mialgia dan fotofobia; diare mungkin dapat terjadi. Nyeri perut menyeluruh, nyeri tekan, tidak sejelas pada apendisitis. 3. Torsi testis, epidimitis akut, seminal vaskulitis 4. Divertikulum Merkel 5. Intususepsi 6. Infeksi saluran kemih Kolik ureter khas menyebar ke arah inguinal, tanpa disertai kejang otot atau nyeri tekan perut. Ditemukan pula hematuria. Pielonefritis akut merupakan diagnosis banding yang sulit terutama pada gadisgadis. Tanda-tanda penting adalah panas tinggi (38 - 40C), kadang-kadang

disertai menggigil dan nyeri ketok di sudut kostovertebra. Pada urinalisis ditemukan piuria, silinder, leukosit, dan bakteriuria. 7. Penyakit ginekologik Salpingitis akut menyebabkan sakit yang dimulai dari perut bagian bawah. Demam yang tinggi (>38C), muntah tidak sering ditemukan, dan nyeri tekan difus di perut bawah pada seorang wanita muda, membedakannya dari apendisitis. Mittelschmerz (pecahnya folikel Graaf) timbul pada pertengahan siklus haid menimbulkan sakit perut bawah secara tiba-tiba. Terdapat nyeri tekan difus dan biasanya lebih ringan dari appendisitis. Penderita tidak tampak sakit, tidak ada gangguan gastrointestinal, biasanya tidak demam dan tidak ada leukositosis. pada kebanyakkan kasus, sakit perut dan nyeri tekan perut menghilang sendiri tanpa pengobatan. Rupture korpus luteum secara klinis identik dengan ruptura folikel Graaf, hanya timbulnya pada menstruasi. Kehamilan ektopik terganggu menimbulkan sakit perut secara tiba-tiba dan terjadi renjatan hemoragik disertai nyeri pelvik yang difus. Ditemukan massa di daerah adneksa dan pada kuldosintesis keluar cairan hemoragik. Torsi kista ovarium menimbulkan sakit hebat yang mendadak disertai muntah-muntah. Untuk meraba massa ovarium ini sering diperlukan anestesia. X. Komplikasi Perforasi dan Gangren Jika terjadi gangren dalam jangka waktu 12 24 jam setelah serangan akut maka peritonitis difus sangat rentan terjadi. Dalam kasus appendiks obstrukstif terutama non-obstruktif appendisitis, jika perforasi atau gangren terjadi setelah 24 jam mengakibatkan peritonitis bersifat terlokalisir terutama bila appendiks terletak di cavum peritoneal. Insidensi perforasi 10 - 32 %, rata-rata 20%. Paling sering terjadi pada usia muda sekali atau terlalu tua. Perforasi timbul 93% pada anak-anak di bawah 2 tahun. Antara 40 75 % kasus usia di atas 60 tahun mengalami perforasi. Gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis terutama PMN, akibat perforasi dan pembentukan abses. Massa Appendiks ( peri-appendicular phlegmon) Pada hari ketiga setelah terjadi serangan akut, suatu massa yang kenyal dapat dipalpasi di bagian fossa iliaca kanan dibawah otot yang agak keras. Pada kuadran abdomen lain tidak terdapat nyeri dan massa yang agak keras. Massa ini dapat juga terletak di rongga pelvis. Massa ini tidak hanya abses appendiks tetapi dapat terdiri atas omentum mayor, dinding caecum yang oedem dan bagian usus halus yang oedem. Pada waktu pertengahan terjadi perforasi dan inflamasi appendiks. Hari ke-4 dan ke-5 massa menjadi terbatas. Jika rigiditas telah mencapai perifer maka dapat didefinisikan dengan jelas. Selama 5 10 hari pembengkakan berlanjut dan terbentuk abses appendiks atau dapat mengecil dan inflamasi berkurang dengan perlahan. Abses Appendiks Demam biasanya menyertai abses tetapi nadi biasanya di bawah 100. Terdapat juga leukositosis dengan peningkatan yang relatif sel PMN. Tempat yang biasanya abses dijumpai terbentuk pada bagian lateral fossa iliaca atau di rongga pelvis. Abses tidak selalu terbentuk pada titik McBurney karena inflamasi dapat terjadi pada appendiks bagian tengah proksimal. Protoflebitis Adalah tromboflebitis septik pada sistem vena porta. Ditandai dengan panas tinggi 39 - 40C. menggigil dan ikterus. Merupakan penyulit yang relatif jarang. Kematian Kematian terjadi disebabkan oleh sepsis pada peritonitis dan abses intraabdominal oleh septikemia gram negatif.(8)

XI. Terapi Pilihan pengobatan pada berbagai tahap appendisitis: Appendisitis akut : appendektomi Appendisitis dengan komplikasi

Peritonitis Abses Infiltrat :

: appendektomi per laparotomi : drainase abses

konservatif dilanjutkan dengan elektif appendektomi bed rest total posisi fowler diet rendah serat antibiotik spektrum luas monitor massa infiltrat, tanda peritonitis, leukosit, LED, suhu Appendisitis kronis : appendektomi (elektif)

Teknik operasi yang dapat dilakukan pada kasus-kasus appendisitis antara lain dengan cara konvensional atau dengan laparoskopi. Bila dicurigai appendisitis, hindari pemakaian katartik dan enema, dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosisnya masih diragukan, karena obat antibiotik hanya akan menutupi ada atau berkembangnya perforasi. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin dan appendektomi segera setelah pasien dipersiapkan. Satu-satunya pengobatan pada apendisitis simpel adalah apendektomi. Pada kasus perforasi, sebelum operasi perlu diperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Diperlukan antibiotik sistemik dan pengisapan cairan melalui pipa nasogastrik. Satu-satunya keadaan di mana operasi tidak diharuskan adalah adanya massa yang teraba 3-5 hari sesudah timbulnya keluhan. Kasus demikian diobati di tempat tidur. Biasanya resolusi massa dan keluhan menghilang dalam 1 minggu. Apendektomi dapat dilakukan dengan aman 3 bulan kemudian. Appendektomi telah dilakukan dengan sukses melalui laparoskopi, namun aturan pengobatan yang tepat, terutama dalam kasus ruptur, belum jelas. Persiapan operasi jarang sekali mengambil waktu lebih dari 1 sampai 2 jam dalam kasus appendisitis dini tetapi dapat memakan waktu 6 hingga 8 jam pada kasus sepsis dan dehidrasi berat yang berhubungan dengan perforasi lambat. Satu-satunya keadaan ketika operasi tidak terindikasi adalah bila teraba massa dalam 3 hingga 5 hari setelah timbulnya gejala appendisitis. Sekiranya operasi dilaksanakan pada saat itu, flegmon lebih banyak ditemukan daripada abses definitif, dan sering terjadi komplikasi akibat diseksi flegmon tersebut. Pasien seperti itu diobati dengan memberikan antibiotik spektrum luas, cairan parenteral, dan istirahat sehingga dalam waktu 1 minggu biasanya terjadi resolusi massa dan gejalanya menghilang. Jarak waktu appendektomi dapat dan sebaiknya dilakukan 3 bulan kemudian. Bila massa tersebut membesar atau pasien menjadi lcbih toksik, perlu dilakukan drainage abses. Komplikasi seperti abses subfrenik, panggul, atau abses intraabdominal lain biasanya menyertai perforasi dcngan peritonitis umum dan dapat dihindari melalui diagnosis penyakit sedini mungkin. XII. Prognosis Mortalitas pada appendisitis adalah akibat keterlambatan. Mortalitas tergantung pada keadaan appendisitis apakah sudah ruptur atau belum.(8) Prognosis terbaik adalah pada appendisitis simpel. Pada kasus perforasi, prognosis lebih buruk. Morbiditas antara 17 - 60% dengan mortalitas 1- 15%. Faktor keterlambatan bisa berasal dari penderita, orang tuanya atau dokternya. Observasi yang berlarut-larut di rumah sakit dan pemeriksaan laboratorium lengkap berulang-ulang, tidak akan dapat menggantikan peranan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti dan segera operasi, pada kasus yang diduga appendisitis.

KARSINOMA KOLON DAN REKTUM Epidemiologi Insidens karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi demikian juga angka kematiannya. Insidens pada pria sebanding dengan wanita, da lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid. Di negara Barat, perbandingan insidens lelaki: perempuan = 3:1 da kurang dari 50% ditemukan di rektosigmoid da merupakan penyakit orang usia lanjut. Pemeriksaan colok dubur merupakan penentu karsinoma rektum. Etiologi Berbagai polip kolon dapat berdegenerasi maligna da setiap polip kolon harus dicurigai. Radang kronik kolon seperti kolitis ulserosa atau kolitis amuha kronik juga berisiko tinggi. Faktor genetik kadang ber-peran walaupun jarang. Peran kekurangan serat da sayur-mayur hijau serta kelebihan lemak hewani daam diit tidak jelas merupakan faktor risiko karsinoma kolorektal. Letak Sekitar 70-75% karsinoma kolon dan rektum terletak pada rektum dan sigmoid. Keadaan ini sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa, dan kolitis amuba kronik. Letak Persentas e sekum da kolon asendens 10 kolon transversum termasuk. fleksura hepar da 10 lien kolon desendens rektosigmoid 5 Rektosigmoid 75 Patologi Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma kolon da rektum. Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke daam lumen usus dan berbentuk bunga koli ditemukan terutama di sekum da kolon asendens. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi steno-sis da gejala obstruksi, terutama ditemukan di kolon desendens, sigmoid, da rektum. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak maligna. Klasifikasi tumor Derajat keganasan karsinoma kolon da rektum berdasarkan gambaran histologik dibagi menurut klasifikasi Dukes. Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus Karsinoma kolorektal diklasifikasikan dengan Astler Coller Duke Modification, dan TNM sistem. Klasifikasi menurut Astler Coller Duke Modification, yaitu : A : invasi ke submukosa B1 : invasi ke muskularis propria B2 : invasi ke subserosa C : positif nodal metastasis D : adanya metastasis jauh Klasifikasi menurut TNM sistem, yaitu : Stage I : invasi ke submukosa atau muskularis propria (T1-2,N0,M0) Stage II : invasi sudah melewati muskularis propria, namun tidak didapatkan adanya nodul limfatik (T3-4, N0, M0)

Stage III : postif adanya nodul limfatik, tidak ada metastase jauh (setiap T,N1-3, M0) Stage IV : positif ada metastase jauh(setiap T,setiap N, M1) Sedangkan five year survival rate dari penderita karsinoma kolorektal adalah : Stage I : 90 % Stage II : 75 % Stage III : 50 % Stage IV : 5 % Metastasis Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh sambil menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah ora da aboral. Di daerah rektum penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua sentimeter. Penyebaran per kontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, bulibuli, uterus, vagina, atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka, mesenterium, dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran peritoneal mengakibatkan pentonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites. Gambaran klinik Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan yang kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik, sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran. Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis, atau seperti kotoran kambing, atau ebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmi merupakan gejala yang biasa didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami; demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lamjut. Bila pada obstruksi penderita flatus terasa lega di perut. Gambaran klinik tumor sekum da kolon asendens tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum, penurunan berat badan, dan anemia merupakan gejala umum, karena itu penderita sering datang daam keadaan menyedihkan. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata dari-pada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus tengah da usus belakang. Nyeri dari kolon bawah umbilikus sedangkan dari kolon kanan di epigastrium. Gambaran klinik karsinoma kolorektal Kolon kanan aspek klinis kolitis nyeri defekasi karena penyusupan diare atau diare berkala obstruksi jarang darah pada feses oku feses dispepsi memburuknya keadaan umum anemia Pemeriksaan normal (atau diare) sering hampir selalu hampir selalu lanjut. Kolon kiri obstruksi karena obstruksi konstipasi progresif hampir selalu oku atau makroskopik normal jarang lambat lambat Rektum proktitis tenesmi tenesmi terus mcnerus tidak jarang makroskopik perubahan bentuk jar'ang lambat lambat

Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukkan keadaan sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba dari bagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Foto kolon dengan barium merupakan kelengkapan daam menegakkan diagnosis. Biopsi dilakukan melalui endoskopi. Cara pemeriksaan - colok dubur -rektosigmoidoskopi - foto kolon dengan barium/kontras ganda - kolonoskopi Persentase 40% 75% 90% 100% (hampir)

Diagnosis Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, colok dubur, dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia di atas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan patologi anatomi. Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter kiri, atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati da paru untuk metastasis. Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal kolon kanan - anemia da kelemahan - darah oku di feses - dispepsia - perasaan kurang enak di perut kanan bawah - massa perut kanan bawah - foto Roentgen perut khas - penemuan koloskopi kolon kiri - perubahan pola defekasi - darah di teses - gejala da landa obstruksi - foto Roentgen khas - penemuan koloskopi rektum - perdarahan rektum - darah di feses - perubahan pola defekasi - pascadefekasi perasaan tidak puas atau rasa penuh - penemuan tumor pada colok dubur - penemuan tumor rektosigmoidoskopi Diagnosis banding Berbagai kelainan di rongga perut yang bergejala sama atau mirip dengan karsinoma kolorektal adalah ulkus peptik, neoplasma lambung, kolesistitis, abses hati, neoplasma hati, abses apendiks, massa periapendikuler, amuboma, divertikulitis, kolitis ulserosa, enteritis regionalis, proktitis pascaradiasi, dan polip rektum.

Diagnosis banding Kolon kanan abses apendiks massa apendiks amuboma enteritis regionalis

Kolon tengah tukak peptik karsinoma lambung abses hati karsinoma hati kolesistitis kelainan pankreas kelainan saluran empedu

Kolon kiri kolitis ulserosa polip divertikulitis endometriosis

Rektum polip proktitis fisura anus hemoroid karsinoma anus

Penyulit OBSTRUKSI. Obstruksi kolon kiri sering merupakan tanda pertama karsinoma kolon. Kolon bisa menjadi sangat besar terutama sekum da kolon asendens. Tipe obstruksi ini disebut tipe dileptik PERFORASI. Perforasi terjadi di sekitar tumor karena nekrosis dan dipercepat oleh obstruksi yang menyebabkan tekanan di dalam rongga kolon makin meninggi. perforasi mengakibatkan pentonitis umum disertai gejala sepsis. Perforasi fatal bila tidak segera ditolong. Kadang terjadi perforasi dengan pembentukan abses sekitar tumor sebagai reaksi peritonium. Peritoneum dan jaringan sekitarnya menyelubungi perforasi tersebut sehingga pencemaran terbatas dan terbentuk abses. Tumor yang terletak dekat lambung bisa mengakibatkan fistel gastrokolika dei mual dan muntah fekal. Tumor yang terletak dekat kandung kemih dapat mengakibatkan fistel vcsikokolika dengan pneumaturia Penanggulangan Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindak bedah. Tujuan utama tindakan . bedah ialah memperlancar saluran cerna baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif, dan tidak memberikan manfaat kuratif. Tindak bedah terdiri dari reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limfe regional. Bila sudah ada metastasis tumor primer akan direseksi juga dengan maksud menncegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel, da nyeri. Pada karsinoma rektum teknik pembedahan yang dipilih tergantung letaknya, khususnya jarak batas bawah karsinoma dan anus. Sedapat mungkin anus dengan sfingter ekstern dan sfingter intern akan dipertahankan untuk menghindari anus preternaturalis. Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun jauh. Pada tumor sekum atau asendens dilakukan hemikolektomi kanan, kemudian anastomosis ujung ke ujung ke ujung. Pada tumor di fleksura hepatika dilakukan juga hemikolektomi. Pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi kolon transversum kemudian anastomosis ujung ke ujung sedangkan pada tumor kolon desendens dilakukan hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmoid dilakukan reseksi sigmoid dan pada tumor rektum sepertiga proksimal dan reseksi anterior. Pada tumor rktum sepertigai tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal QuenuMiles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan. Tumor yang teraba pada colok dubur umumnya dianggap terlalu rendah untuk tindakan preservasi sfingter anus. Hanya pada tumor tahap dini eksisi lokal dengan mempertahankan anus dapat dipertanggungjawabkan.

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum da sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di daam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal. Cara lain yang dapat digunakan atas indikasi dan seleksi khusus ialah fulgerasi (koagulasi listrik). Pada cara ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik. Cara ini kadang digunakan pada penderita dengan risiko pembedahan tinggi. Koagulasi dengan laser digunakan sebagai terapi paliatif. Sebagai terapi adjuvan digunakan radioterapi, kemoterapi, dan imunoterapi. Tindak bedah yang didahului dan disusuli radioterapi disebut terapi sandwich. Semuanya kadang berefek positif untuk waktu terbatas. Penyulit yang sering terjadi pada reseksi rektum abdominoperineal radikal maupun reseksi rektum anterior rendah ialah gang-guan fungsi seks. Pada diseksi kelenjar limf pararektal da daerah retroperitoneal sekitar promonterium da di daerah (pre)aortal dilakukan juga eksisi saraf autonom, simpa-tik, maupun parasimpatik. Gangguan seks mungkin berupa libido kurang atau hilang, gangguan ereksi, gangguan lubrikasi vagi-na, orgasme, atau ejakulasi. Gangguan yang terjadi mungkin salah satu atau kombinasi beberapa gangguan yang disebut di atas. Dengan teknik pembedahan khusus halus da teliti angka kejadian penyulit jaj dapat diturunkan. Pengobatan Paliatif Reseksi tumor,secara paliatif dilakukan untuk mencegah mengatasi obstruksi atau menghentikan perdarahan supaya kualitas hidup penderita lebih baik. Jika tumor tidak dapat diangkat dapat dilakukan bedah pintas atau anus preternaturalis. Pada metastasis hati yang tidak lebih dari dua atau tiga nodul dapat dipertimbangkan eksisi metastasis. Pemberian sitostatik melalui a.hepatika yaitu secara selektif, kadang lagi diserta, embolisasi, dapat berhasil penghambatan pertumbuhan sel ganas. Prognosis Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai diferensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.

Anda mungkin juga menyukai