Anda di halaman 1dari 27

STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur BB No. RM Pekerjaan Alamat Tanggal periksa II.

ANAMNESIS Autoanamnesa dari pasien pada tanggal 4 Februari 2013. A. Keluhan Utama: Sering bersin terutama tiap pagi hari. B. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli THT RSPS dengan keluhan utama sering bersin terutama pada pagi hari dan apabila terpapar debu yang kemudian hilang saat siang hari. Keadaan ini dirasakan sudah sejak muda kira-kira sejak usia 15 tahun. Bersin dirasakan sampai 3-5x tiap kali bersin bahkan bisa lebih. Keluhan ini disertai dengan hidung meler dan tersumbat. Cairan yang keluar dari kedua hidung dirasakan meler terus terutama saat bersin warna putih bening, encer, tidak berdarah, dan tidak berbau. Sedangkan hidung tersumbat terjadi pada satu sisi hidung dan kadang bias berlanjut kedua sisi terutama apabila untuk berbicara dan beraktivitas. Os juga mengeluhkan hidungnya gatal sehingga membuatnya bersin. Keadaan seperti ini dikeluhkan hampir terus menerus, 3x perminggu. Hal ini membuat os terganggu untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Alergi makan (-), debu (+), dingin (+), obat-obatan (-). Keluhan berhubungan : Bp. B : 35 tahun : 55 kg : 49-08-34 : Swasta : Keparakan Lor : 4 Februari 2013

dengan pekerjaan atau stress (-). Pembauan dbn. Nyeri kepala () gangguan tidur (-). C. Riwayat Penyakit Dahulu: 1. Riwayat Asma 2. Riwayat alergi 3. Riwayat Penyakit Jantung 4. Riwayat penyakit gastritis 5. Riwayat Hipertensi 7. Riwayat Trauma : disangkal : debu dan dingin : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

6. Riwayat diabetes mellitus dan gangguan ginjal : disangkal 8. Riwayat penggunaan obat-obatan : (-) 9. Riwayat penyakit paru (TBC, PPOK) : disangkal 10. Riwayat Infeksi Sinus, Telinga C. Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat asma : + ( dari kakek pasien). Lain-lain disangkal. D. Anamnesis Sistem Sistem serebrospinal Sistem Olfaksi Sistem respiratorius Sistem kardiovaskuler : demam(-), mual(-), pusing() : tak ada keluhan : sesak nafas(-), batuk(), pilek(-) : berdebar-debar(-) : disangkal

Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan Sistem anogenital : tidak ada keluhan

Sistem muskuloskeletal : tidak ada hambatan dalam bergerak Sistem integumentum Sistem neurologis : suhu raba hangat : tak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran Vital Sign Suhu Nadi

: Composmentis : : 110/70 mmHg : Afebris : 76 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup : 20 x/menit, reguler, thorako abdominal

Tekanan Darah

Respirasi Rate Status Lokalis 1. Hidung dan Paranasal Inspeksi

Simetris (+), deformitas (-), deviasi nasal (-), massa (-), rhinorea (-), pembengkakan (-),hiperemis (-) SPN: edema(-), warna normal. Palpasi nyeri tekan (-), massa (-/-) SPN : nyeri tekan sinus (-) Transluminasi (+/+) Aliran udara tak ada hambatan (-/-) Rhinoskopi Anterior Septum letak sentral, deviasi septum (-), deformitas os nasal(-), perforasi septum (-), discharge (-). ND/NS : Mukosa hiperemis(-/-), mukosa pucat (+/+), edema concha (+/+) ukuran d=0,5 cm, warna pucat keunguan (+/+) , permukaan concha licin dan bersih, massa (-), vimbrissae (+/+), discharge (-/-), darah (-), polip (-). Rhinskopi Posterior 3

Tidak dilakukan

2. Telinga Inspeksi, Palpasi, Perkusi AD/AS : hematom (-/-), edema (-/-), otore (-/-), CAE (+/+), nyeri tragus (-/-), nyeri mastoid (-/-), nyeri retro auriculer (-/-), fistel (-/-), nll. tidak teraba. Otoskopi AD/AS : CAE hiperemis (-/-), nyeri (-/-), otore (-/-), cerumen (/), membrana timpani utuh, mukosa tidak hiperemis. Fungsional (Test Pendengaran: Garpu Tala) Rinne Webber : tidak dilakukan : tidak dilakukan

Swabach : tidak dilakukan

3. Tenggorokan dan Laring (Leher) Inspeksi, Palpasi Trakhea letak sentral, gld.thyroid tak teraba, nll.tak teraba, massa(-), NT(-), retraksi(-). Cavum oris : karies(-), gigi tanggal(-), mukosa mulut dalam batas normal, papil lidah dalam batas normal, lidah mobile, protrusi asimetris lidah(-), uvula sentral, massa(-) Faring : mukosa tidak hiperemis, edema(-), massa(-) Tonsil : tidak hiperemis, T1-T1, abses peritonsiler(-) Arcus palatoglosus : tidak massa(-) Arcus palatopharingeus : tidak hieperemis, protrusi asimetris(-), massa(-) Laringoskopi Indirek Tidak dilakukan hiperemis, protrusi asimetris(-),

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan V. KESIMPULAN Seorang laki-laki 35 tahun, mengeluhkan bersin terus-menerus sejak usia 15 tahun disertai hidung meler cairan jernih encer tak berbau dan hidung 5

tersumbat berganti-ganti. Keluhan ini terutama timbul di pagi hari kemudian berkurang pada siang hari. Riwayat atopi (+). Inspeksi, Palpasi, Perkusi Simetris (+), deviasi nasal (-), massa (-), rhinorea (-), pembengkakan (-), nyeri tekan (-), hiperemis (-) SPN: edema(-), warna normal, nyeri sinus (-) Transluminasi (+/+) Rhinoskopi Anterior Septum letak sentral, deviasi septum (-), deformitas os nasal(-), perforasi septum (-), discharge (-). ND/NS : Mukosa hiperemis(-/-), mukosa pucat keungunan(+/+), edema concha (+/+) ukuran d=0,5 cm warna pucat keunguan (+/+) ,permukaan concha licin dan bersih, massa (-), vimbrissae (+/+), discharge (-/-), darah (-), polip (-). VI. DIAGNOSIS Rhinitis Kronika DD : 1. Rhinitis Alergika 2. Rhinitis Vasomotor VII. RENCANA TERAPI 1. Edukasi : - Hindari kontak dengan allergen Hindari udara dingin, AC, kipas angin. Minum air hangat, hindari minum es Menjaga kebersihan terutama hidung Antihistamin oral : Difenhidramin 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam 3x 25mg Decongestan : simpatomimetik pseudoefedrin 3-4x60mg/hari Mukolitik : Ambroxol 10 mg 3x1 Kortikosteroid : Fluticasone intranasal spray 1 dd 2 spray . 6

2. Medikamentosa -

Observasi selama 2-4 minggu evaluasi. 3. Lakukan pemeriksaan penunjang : cek darah lengkap dan tes alergi (Skin End Point Titration).

VIII. PROGNOSIS Que ad vitam Que ad sanam : dubia ad bonam : dubia ad malam

Que ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 DEFINISI Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi. Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A. Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE. Ada 2 jenis rhinitis alergika:5 1. Rhinitis alergika perennial 2. Rhinitis alergika seasonal Rhinitis Alergika Perennial Alergi terjadi sepanjang tahun Alergen yang memicu terutama debu, bulu binatang, tungau, bau bahan-bahan kimia. Alergen ini ditemui sepanjang tahun Rhinitis Alergika Seasonal Alergi terjadi pada musim-musim tertentu Alergen berupa serbuk sari bunga, kayu, rumput dll

Berdasarkan frekuensi serangan, WHO Initiative Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma 2000 membagi rinitis alergi menjadi 2 jenis : Yaitu intermiten, bila gejala <4 hari tiap minggu atau <4 minggu, dan persisten , bila gejala >4 hari tiap minggu atau >4 minggu. Sementara itu, klasifikasi menurut berat ringannya penyakit, dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu gejala ringan bila gejala rinitis tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dan gejala sedang sampai berat, bila sudah terdapat 1 atau lebih gangguan seperti gangguan tidur, belajar, dan bekerja. 1.2 ETIOLOGI Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:4 1. Alergen Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting. 2. Polutan Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas. 3. Aspirin

Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu. 1.3 PATOFISIOLOGI Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.4 Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5.4 Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.4

10

Terdapat hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika.4 1.4 GEJALA KLINIS Gambaran klinis pada rhinitis meliputi:1 Ingus kental umumnya menunjukkan telah ada infeksi sekunder oleh bakteri. Rinitis alergi maupun rhinitis vasomotor mudah dibedakan dari rhinitis infeksi karena ingus yang putih dan encer yang hanya keluar saat serangan saja. Pada rhinitis atropi ingus kental diserta krusta berwarna hijau. Pada pemeriksaan hidung tampak rongga hidung yang lapang karena konka mengalami atropi. Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (trans11

verse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebirubiruan. Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya komorbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringansedang-berat. 1.5 DIAGNOSIS Cara pemeriksaan atau diagnosis rhinitis alergika:4 Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.4

12

Menegakkan diagnosis rinitis alergi dapat dipersulit oleh perilaku buruk seperti sering mengucek-ucek mata dan hidung, timbullah tanda-tanda khas: allergic shiner (bayangan gelap di bawah kelopak mata karena sumbatan pembuluh darah vena), allergic salute (akibat sering menggosok hidung dengan punggung tangan ke arah atas), dan allergic crease (garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah). Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau lipid disertai adanya sekret encer bening dan banyak. Perlu dicari keadaan yang dapat menjadi faktor predisposisi misalnya polip hidung dan kelainan septum. Sebagai pelengkap, dapat ditambah pemeriksaan sitologi hidung. Peningkatan eosinofil (5 sel / lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Untuk mencari penyebab dapat dilakukan uji kulit dengan cara uji cukit (pricktest), uji gores (scratch test), uji intrakutan atau intradermal tunggal atau berseri (skin end point titration). Bila alergen diduga berasal dari makanan, dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau intracutaneous provocative food test (IPFT).6 1.6 DIAGNOSA BANDING Rinitis alergika harus dibedakan dengan:4,7 1. Rinitis vasomotor 2. Rhinitis bacterial 3. Rinitis virus 4. Influenza (Flu) Perbedaan rhinitis alergika dan influenza:7 1. Rinitis Alergi ( RA ) : Sesudah kontak dengan hal2 pencetus alergi 13

langsung timbul gejala. Influenza ( I ) : Sesudah masuknya virus influenza selama 1 3 hari baru gejala timbul. 2. RA : Memiliki gejala hidung yang berlendir encer tanpa disertai demam. I : Lendir dari encer / cair, mengental kekuningan dan disertai dengan demam. 3. RA : Serangan yang terjadi dapat dalam kurun waktu selama masih ada kontak dengan penyebab dan belum diobati. I : Serangan 5 6 hari tergantung daya tahan tubuh dan efektifitas pengobatan. 1.7 PROGNOSIS Penyulit:4 1. Sinusitis kronis (tersering) 2. Poliposis nasal 3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap aspirin) 4. Asma 5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah 6. Hipertropi tonsil dan adenoid 7. Gangguan kognitif 1.8 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan rhinitis alergika meliputi:1 Rinitis akut yang menyertai influenza dapat diobati dengan dekongestan sistemik seperti influenza Kebiasaan menggunakan kongestan tetes hidung pada rhinitis kronis

14

sering menyebabkan terjadinya rhinitis medikamentosa yang secara klinis menyerupai rhinitis vasomotor. Pada rhinitis atropi hidung dicuci dengan air garam. Dekongestan akan memperburuk keadaan. Pengobatan rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor dapat ditambah dengan CTM 1-2mg/kali

Pemilihan Obat-Obatan Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain:4 1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. 2. Tidak menimbulkan takifilaksis. 3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. 4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik. Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak): 1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari 2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. 15

3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. 4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. 5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. 6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari. 7. Kortikosteroid intranasal Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia >4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia >6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik. 8. Leukotrien antagonis

16

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam. Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy, masih diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata TIAS efektif apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia. JTFPP mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 tahun setelah dihentikan. Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGF memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA. Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mildpersistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.2 Antihistamin Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 17

macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan otak.6 Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergic alfa. Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva.6 Kortikosteroid Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.6 Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan 18

pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GMCSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1. Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.6 Dekongestan Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.6 Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah 19

tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.6 Penstabil Sel Mast Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien.6 Immunoterapi Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan mengikat IgE dalam darah.6 Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu. Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan

20

oleh limfosit T CD4+. Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang. Fototerapi Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology 2005.6 Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06 J/cm2. Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah. Menghindari Alergen Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pem21

berian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit.6 Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara rhinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico mengemukakan, rinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi. Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang optimal.6

22

23

BAB III KESIMPULAN Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik

24

LONG CASE

RHINITIS ALERGIKA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Diajukan kepada : dr. I Wayan Marthana, Sp.THT Disusun oleh: Chandra Mukti Erryandari 20070310092

SMF ILMU KESEHATAN THT


25

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2013

LEMBAR PENGESAHAN RHINITIS ALERGIKA Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Bagian Ilmu Kesehatan THT

Disusun Oleh: Andryansyah, S.Ked 20070310103

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Oleh : Dokter Penguji

Februari 2013

26

dr. I Wayan Marthana, Sp.THT

27

Anda mungkin juga menyukai