Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG MASLAH Peradilan merupakan solusi bagi manusia, yang mana manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, sehingga akan terjadi perbedaan pendapat satu sama lainnya. Oleh karena itu manusia membutuhkan sesuatu yang bisa mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Pada dasarnya dalam manusia terdapat dua karakter yaitu luapa dan salah. Dari karakter itu harus ada yang menyeimbangi supaya manusia tidak sewena-wena, dengan adanya peradilan inilah akan mengatasi masalah yang di hadapi oleh setiap manusia. Setiap Negara pasti mempuyai aturan dan penyelesaian masalah maka pakar-pakar ilmu menemukan cara menyelesaikan masalah melalui peradilan. Peradilan mempunyai tempat kekuasaan tersendiri, karena peradilan itu sendiri mengatasi maslah manusia baik yang kecil maupun besar. Di sinilah peradilan berperan untuk mengatasinya, dengan mengatasi masalahmasalah yang dihadapi manusia sehingga bisa di bilang menpunyai kekuasaan. Kekuasaan peradilan agama khususnya masi bersifat intern, karena peradilan agama kekuasaanya hanya di pengadilan agama itu sendiri. Peradilan agama sudah ada di Indonesia sebelum merdeka. Oleh karena itu kita harus tahu seberapa besar kekuasaan peradilan agama pada masa penjajahan yang mana pada masa itu Indonesia di kuasai oleh Negara-negara lain yang jelas secara logika kita seorang pribumi belum sepenuhnya menguasai Indonesia baik dalam segi aturan maupun pekerjaan. Yang mana penjajahlah yang berkuasa baik dengan membuat aturan maupun yang lainnya. Kekuasaan peradilan agama pada masa penjajahan bisa bersifat ada atau sebaliknya, karena adanya wewenang atau campur tangan orang asing sehingga besar kemungkinan politik pada saat itu yang akan menjawab seberapa besar kekuasaan peradilan agama pada masa penjajahan. B. RUMUSAN MASALAH Dalam hal ini penulis ingin merumuskan sebuah masalah menjadi dua kategori: 1) Kekuasaan peradilan islam sebelum tahun 1937 2) Kekuasan peradilan islam setelah tahun 1937 C. TUJUAN Tujuan penulis ingin mengetahui seberapa besar kekuasaan peradilan islam pada masa itu dan sekiranya menjadi ilmu yang baru untuk di jadikan bekal dikemudian hari. Dengan tujuan inilah penulis mencoba mengkaji ulang melalui referensi buku ataupun mendengarkan penjelasan dari para pakar baik dosen maupun yang sudah berkecimpung di dunia itu sendiri. BAB II PEMBAHASAN A. KEKUASAAN PERADILAN ISLAM SEBELUM TAHUN 1937 Perdilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan islam, yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya. Atas dasar keyakinan inilah makanya para ahli hukum belanda yang dipelopori oleh L. W. C. Van Den Berg berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang Agama mereka yakni hukum islam. Teori ini kemudian dikenal dengan teori Receptie in Complexu yang sejak

tahun 1855 telah didukung peraturan perundang-undangan hindia belanda melalui pasal 75,78, dan 109 RR 1854 (stbl. 1855 No. 02) Teori Receptie in Complexu-lah yang mendasari hingga, L. W. C. Van Den Berg berpendapat bahwa pengadilan agama sudah seharusnya ada, termasuk juga Batavia yang menjadi pusat pemerintahan colonial yaitu didasarkan pada aturan kebiasaan semenjak zaman dahulu dan sebagai tatanan nasional (pribumi) di dalam perundang-undangan dari penguasa bangsa Eropa sendiri memberikaan kemungkinan untuk itu dan karenanya pengadilan agama yang ada sebelum ada staatsblad 1882 No. 152 adalah sah. Karena L. W. C. Van Den Berg adalah konseptor staatsblad No. 152, maka dapat dilakukan bahwa alasan yang disebutkan di atas merupakan latar belakang dan dasar pemikiran yang terpijak pada rialita historis, kenyataan sosiologis kemudian diberikan legitimasi yuridis oleh pemerintahan belanda bagi berdirinya peradilan Agama di Indonesia. 1. SEKITAR LAHIRNYA STAATSBLAD 1882

Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 agustus 1882. Kelaahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152. Di mana ditetapkan satu peraturan tentang peradilan Agama dengan nama piesterraden untuk jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudia lazim disebut dengan raad agama dan terakhir dengan pengadilan agama. Keputusan raja belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 agustus 1882 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882. Staatsblad 1882 N0. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut: PASAL 1 Di samping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan Madura diadakan suatu pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad PASAL 2 Pengadilan agama terdiri atas; penghulu yang di perbantukan kepada landraad sebagai ketua. Sekurangkurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen. PASAL 3 Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang ementukan. PASAL 4 Keputusan pengadilan agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat, juga harus di beri tanggal dan ditanda-tangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara. PASAL 5 Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua. PASAL 6 Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.

PASAL 7 Keputusan pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang/kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku. Staatblad 1882 No. 152 ini dalam naskah aslinya tidak merumuskan wewenang pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang pengadilan Agama dan wewenang pengadilan negeri. Hal ini disebabkan oleh staatsblad 1882 No. 152 beranggapan bahwa wewenang pengadilan Agama sudah ada dalam staatsblad 1835 No. 58. Meskipun staatsblas 1882 No. 152 ini telah mengatur tugas pengadilan Agama sebagai badan peradilan, namun ketergantungan kepada bupati masih sangat besar. Hal ini seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgonye/staattsblad 1882 telah menyebabkan adanya perubahan. Dahulu para penghulu dalam melakukka tugas hukum merasa bergantung sekali pada bupati. Para bupati itu jelas menunjukkan kekuasaannya. Dalam peradilan Agama, bahkan hingga sekarang para bupati masi harus diperingatkan akan kewajiban untuk tidak ikut mencampuri urusan dan banyak penghulu yang masi belum berani mengambil keputusan penting tanpa meminta nasehat terlebih dahulu dari bupati. 2. PENDAPAT-PENDAPAT AHLI HUKUM BELANDA

Sehubungan dengan kelanjutan perkembangan ketika itu, terdapat peralihan pada pembuat dan penentu policy hukum dan penajajahan di negeri belanda terhadap jajahan hindia belanda dalam hal ini mengenai hukum perdata/hukum kekeluargaan. Perubahan ini dianjurkan oleh cornelis van vollenhoven (1874-1933) yang mulai mengkritik dan menyerang pasal 75 dan 109 RR staatsblad 1855: (2) itu. Van Vollenhoven sebenarnya adalah ahli hukum adat, disebut sebagai orang yang memperkenalkan indish adatrecht (hukum adat Indonesia). Dan lebih terkenal lagi dalam golongan ini adalah Christian Snouck Hurgonye (1857-1936). Dia adalah penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal islam dan anak negeri. Malahan ia sebagai penasehat pertama pada tahun 1898 dan ia akan mendalami hukum agama Islam secara khusus yang ada di Indonesia. Maka dari itu Christian snouck Hurgonye menentang pendapat van den berg dan ahli lain sebelum itu, snouck mulai dengan pemikiran baru yang di kenal teori receptie. Sehingga teori receptive ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Memang dalam hukum adat terdapat sedikit pengaruh hukum islam. Oleh karena itu pengaruh hukum islam itu baru mempunyai kekuatan kalau suda diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum islam. Teori Receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan pemerintahan belanda terhadap hukum islam termasuk lembaga peradilan agama yang tercermin dalam pasal 134: (2) indishe Staatsregeling dan Staatsblad 1882 No. 152 kemudian didukung oleh prof. Ter Haar dan beberapa sarjana hukum yang mendapat pendidikan belanda, baik di Batavia maupun di negeri belanda. Dengan timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum belanda yang secara sistematis dipelopori oleh van vollenhoven dan diperjelas oleh ter Haar, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu panitia untuk merumuskan peraturan perbaikan peradilan agama yaitu Comissie Voor Pristerraad pada tahun 19221924. Anggota baru terdiri dari: a) b) c) d) 3 (tiga) orang bupati 5 (lima) orang penghulu 2 (dua) dari kalangan pergelakan islam; dan 1 (satu) ahli hokum belanda (prof. Ter Haar).

Maka hasil dari panitia atau komisi ini ialah dikeluarkannya staatsblad tahun 1931 No. 53 yang memuat 3 (tiga) bagian yaitu: Bagian Pertama, tentang perubahan paristerraad menjadi penghoeloeregecht wewenang penghoeloeregecht dibatasi pada bidang munakahat saja, wewenang atas perkara dicabut. Bagian ini juga berisi perubahan/perbaikan dalam hukum acara dan pembentukan mah-kamah islam tinggi (hooger Islam Aishe Zaken);

Bagian kedua; tentang campur tangan landraad dalam soal peradilan, harta bagi orang-orang Indonesia asli. Bagian ketiga; tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli. B. KEKUASAAN PERADIALAN AGAMA SETELAH TAHUN 1937-1945 a) LAHIRNYA STBL 1937 Hukum islam di Indonesia merupakan sesuatu tugas penting dalam kelanjutan politik colonial belanda, karena bagi mereka hukum islam menjadi penghalang terhadap kekuasaan belanda. Oleh karena itu belanda mencoba beberapa cara agar lembaga tersebut hanya sebatas kedok saja. Sehingga langkah yang dilakukan untuk mengeliminasi hukum islam menurut bustanul ialah dengan jalan rekayasa ilmiah hukum yang meliputi tiga hal yaitu: 1. Gagasan unifikasi; 2. Penemuan hukum adat; 3. Citra palsu bagi peradilan agama. Maka lahirlah staatsblad 1937 No.116 pasal 2a ayat (1) yang berlaku tanggal 01 April 1937, maka kompetensi peradilan agama menjadi lebih sempit, sehingga hanya terbatas dalam bidang-bidang: 1) Perselisihan antara suami istri yang beragama islam 2) Perkarah-perkarah tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang yang beragama islam yang memerlukan perantara hakim agama (islam) 3) Memberi putusan perceraian 4) Menyatak bahwa syarat untuk jatunya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah ada 5) Perkara mahar (maskawin), sudah termasuk mutah 6) Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami. Tegasnya, dengan staatsblad 1937 ini wewenang peradilan agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan. Meskipun demikian masih juga ada pembatasan, yakni: 1) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut BW, seperti suami istri dari golongan eropa atau cina yang beragama islam 2) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut perkawinan campuran staatsblad 1898 No. 158, yaitu perkawinan orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan diatur menurut hukum suaminya 3) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut staatsblad 1933 No. 74 (ordonansi nikah Indonesia kristen, jawa, minahasa, dan ambon) walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya masuk islam. b) MASA PEMERINTAHAN JEPANG Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala tentara jepang (osanu seizu) tanggal 07 maret 1942 No. 1. Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan jepang adalah, pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan undang-undang No. 14 Tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah jawa dan Madura telah diadakan Gunsei Hooin (pengadilan pemerintahan bala tentara). Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa buat sementara waktu Gunsei Hooin (pengadilan pemerintahan bala tentara) terdiri atas: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Tiho hooin (pengadilan negeri) Keizai Hooin (hakim polisi) Ken Hooin (pengadilan kabupaten) Gun Hooin (penngadilan kewedanan) Kiaikoyo Kootoo Hooin (mahkamah islam tinggi) dan Sooryo Hooin (rapat agama)

Pada masa pendudukan jepang ini, kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir januari 1945 pemerintah bala tentara jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada dewan pertimbangan agung (sanyo-Aanyo kaigi jimushitsu) dalam rangka masuk jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia merdeka kelak. Pada tanggal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai berikut: 11 (F) urusan pengadilan agama. dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebgai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama. Demikian halnya, penataan PADI pada masa peralihan dari pemerintahan Hindia Belanda kepada pemerintahan militer jepang, sejalan dengan politik islam yang di tetapkan. Berkenaan dengan penerapan politik itu tingkat campur tangan terhadap PADI amat rendah, sehingga memungkinkan adanya usaha memulihkan kekuasaan pengadilan, khususnya mengenai masalah kewarisan dan perwakafan melalui sanyo kaigi (dengan pertimbangan). Usaha memulihkan wewenang pengadilan agama itu dilakukan oleh golongan islam dengan golongan nasionalis itu, secara makro berpangkal kepada konsep hubungan antara agama dengan Negara, yang berpangkal pada orintasi kebudayaan mereka. Di satu pihak golongan islan menghendaki terbentuknya sebuah Negara islam, sedangkan di pihak lain menghendaki suatu negara netral dari agama. Pertentangan di antara kedua golongan tersebut tercermin dalam pandangan dua orang tokoh nasional di dalam dewan sanyo, sebagaimana digambarkan oleh lev (1972: 37). Abikusno, golongan islam, berpandangan bahwa pengadilan agama (Islamic Courts) harus tetap ada dan kewenangannya di bidang kewarisan harus dipulihkan. Disamping itu, pengadilan harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan digaji oleh pemerintah. Sebaliknya supomo, golongan nasionalis, berpandangan bahwa Negara yang sekuler harus bersifat modern dan tidak perlu berdasarkan islam. Apabila pengadilan agama tidak dapat dihapuskan, maka jabatan penghulu dalam instansi-instansi sipil dihapuskan. Dengan menyerahnya jepang sehingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan Dewan pertimbangan Agung bikinan jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis di samping peradilan-peradilan yang lain.

BAB III PENUTUP Pengadilan agama merupakan suatu lembaga yang betul-betul menangani masalah yang di hadapi manusia. Sebelum Indonesia merdeka pengadilan agama sudah ada baik pada masa kerajaan maupun penjajahan. Akan tetapi seberapa besar kekuasaan tersebut pada waktu itu, sehubungan dengan campur tangan penjajah. Ternyata peradilan agama pada masa penjajahan bisa di bilang abu-abu karena secara lembaga memang ada, akan tetapi secara wewenang atau kekuasaannya belum sepenuhnya di pegang oleh pengadilan agama itu sendiri. Memang kita sangat berterima kasi pada L. w. C. Van Den Berg yang mana dialah yang mengusulkan peradilan agama ada pada saat itu. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya menyadari pengadilan agama solusi yang terbaik. Dan sebenarnya L.W.C. Van Den Berg hanya ingin rakyat pribumi tidak menentang belanda. Dengan keluarnya stbl. 1937 No. 116 tentang perubahan dan penambahan staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan agama di jawa dan Madura. Kompetensi peradilan agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidang-bidang tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan jepang, kedudukan peradilan agama pernah terancam dengan konsep dimana akan diserahkannya tugas peradilan agama pada pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi kemerdekaan. Ini yang disebut mati sebelum lahir.

Anda mungkin juga menyukai