Anda di halaman 1dari 15

CREATIVE PROBLEM SOLVING

Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika


Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
Pemecahan Masalah (Problem Solving) dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru (Wena, 2009:52). Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Suharsono (dalam Wena, 2009:53) mengatakan bahwa para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Mengutip pendapat Wankat dan Oreovocs (1995) dalam Wena (2009:53) mengklasifikasikan lima tingkat taksonomi pemecahan masalah, yaitu: a. Rutin: tindakan rutin atau bersifat alogaritmik yang dilakukan tanpa membuat suatu keputusan. b. c. d. Diagnostik: pemilihan suatu prosedur atau cara yang tepat secara rutin. Strategi: pemilihan prosedur secara rutin untuk memecahkan suatu masalah. Interprestasi: kegiatan pemecahan masalah yang sesungguhnya, karena melibatkan kegiatan mereduksi masalah yang nyata, sehingga dapat dipecahkan. e. Generalisasi: pengembangan prosedur yang bersifat rutin untuk

memecahkan masalah-masalah baru. Meyer (dalam Wena, 2009: 87) mengungkapkan bahwa terdapat tiga karakteristik pemecahan masalah, yaitu (1) pemecahan masalah merupakan aktivitas kognitif, tetapi dipengaruhi oleh prilaku, (2) hasil-hasil pemecahan masalah dapat dilihat dari tindakan/prilaku dalam mencari pemecahan, dan (3) pemecahan masalah adalah merupakan suatu proses tindakan manipulasi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Model Creative pembelajaran keterampilan yang

Problem melakukan

Solving (CPS) pemusatan yang

adalah pada

suatu

model dan

pengajaran dengan

pemecahan

masalah,

diikuti

penguatan

keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan

mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir (Pepkin, 2004:1) Menurut Polya (dalam Shadiq, 2004: 3) dalam menyelesaikan suatu masalah dalam matematika ada beberapa langkah yang dapat dilakukan: 1. Memahami masalah Dalam langkah ini yang harus dilakukan adalah membaca soal dengan seksama sehingga benar-benar dimengerti arti dari semua kata dalam soal. Buat tanda khusus untuk beberapa istilah yang digunakan kalimat dalam soal. Tentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. 2. Menyusun rencana Langkah kedua ini merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam menyusun rencana penyelesaian banyak strategi dan teknik yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk merancang penyelesaian masalah adalah sebagai berikut: a. Adakah gambar, diagram, chart atau tanda bantu lainnya yang dapat membantu menyusun data dalam soal? b. Apakah terdapat hubungan dari keterangan keterangan yang dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menyelesaikan masalah? c. d. Adakah rumus yang dapat digunakan? Apakah masalah ini pernah diselesaikan sebelumnya tapi dengan kalimat yang berbeda? e. Apakah masalah perhitungan ini dibutuhkan untuk menyusun proses perhitungan?

f.

Dapatkah kamu menyempurnakan masalah yang sama dengan lebih sederhana dan mempelajari sesuatu dari penyelesaiannya yang mungkin digunakan dalam masalah ini?

g.

Jika pertanyaannya merupakan tipe pertanyaan umum, dapatkah kamu mencoba soal yang lebih spesifik?

h.

Apakah terdapat hubungan masalah yang dapat kamu selesaikan sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?

i.

Sudahkah kamu menggunakan proses trial and learn from your error? 3. Pelaksanaan rencana Jika dalam langkah kedua telah berhasil dirinci dengan lengkap, maka dalam pelaksanaan rencana penyusunan soalnya menjadi bentuk yang sederhana dan melakukan prhitungan yang diperlukan. Perancangan yang mantap membuat pelaksanaan rencana lebih baik. 4. Memeriksa kembali Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam langkah ini adalah sebagai berikut: a. Apakah jawabannya sudah tepat? b. Adakah cara untuk memeriksa jawaban? c. Periksa jawaban sekali lagi, apakah ditemukan cara lain yang mungkin dapat digunakan dalam penyelesaian masalah? Hal senada juga disampaikan oleh Wena (2009: 88) bahwa dalam model pemecahan masalah kreatif (Creative Problem Solving), terdiri atas lima tahapan pembelajaran, yaitu: a. Identifikasi masalah Dalam tahap ini guru membimbing siswa untuk memahami aspekaspek permasalahan, seperti permasalah, membantu mengajukan untuk pertanyaan,

mengembangkan/menganalisis

mengkaji hubungan antardata, memetakan masalah, mengembangkan hipotesis-hipotesis. b. Mendefinisikan masalah Dalam tahap ini kegiatan guru meliputi membantu dan membimbing siswa, melihat hal/data/variabel yang sudah diketahui dan hal yang belum diketahui, mencari berbagai informasi, menyaring informasi yang ada dan akhirnya merumuskan permasalahan. c. Mencari solusi Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membantu membimbing siswa mencari berbagai alternative pemecahan masalah, melakukan brainstorming, melihat alternative pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang dan akhirnya memilih satu alternative pemecahan masalah yang paling tepat. d. Melaksanakan strategi Melakukan langkah-langkah pemecahan masalah dengan alternative yang telah dipilih. Dalam tahap ini siswa dibimbing secara tahap demi tahap dalam melakukan pemecahan masalah. e. Mengkaji kembali dan mengevaluasi pengaruh Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membimbing siswa

melihat/mengoreksi kembali cara-cara pemecahan masalah yang telah dilakukan apakah sudah benar, sudah sempurna, atau sudah lengkap. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil, harus selalu disertakan upaya-upaya khusus yang dihubungkan dengan jenis-jenis persoalan tersendiri serta pertimbangan-pertimbangan mengenai isi yang dimaksud. Mengingat begitu pentingnya siasat atau strategi dalam pemecahan masalah matematika, maka sangat diperlukan langkah-langkah untuk mempermudah pemahamannya.

http://blognyaalul.blogspot.com/2011/03/creative-problem-solving-dalam.html

Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metafor, atau kiasan yang dirumuskan. Pouwer (1974:243) menerangkan tentang model dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data dalambentuk: ringkasan (tipe, diagram), konfigurasi ( structure ), korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis. Model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Soekamto, 1997:78),. Menurut Mitchell dan Kowalik (Rahman, 2009:8): Creative, an idea that has an element of newness or uniqueness, at least to the one who creates the solution, and also has value and relevancy. Problem, any situation that presents a challenge, an opportunity, or is a concern. Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve the problem . Therefore, creative problem solving or cps is a process, method, or system for approaching a problem in an imaginative way and resulting in effective action. Sedangkan menurut Karen (Dewi, 2008:28) model Creative problem

Solving (CPS) adalah model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Model Creative Problem Solving (CPS) pertamakali dikembangkan oleh Alex Osborn pendiri The Creative Education Foundation (CEF) dan cofounder of highly successful New York Advertising Agenncy . Pada tahun 1950-an Sidney Parnes bekerjasama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk menyempurnakan model ini. Sehingga model Creative Problem Solving ini juga dikenal dengan nama The Osborn-parnes Creative Problem Solving Models. Pada awalnya model ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggungjawab pekerjaannya, namun pada perkembangan selanjutnya model ini juga diterapkan pada dunia pendidikan. Langkah-langkah dalam CPS menurut William E. Mitchell dan Thomas F. Kowalik (Rahman, 2009:10) adalah: a. Mess-finding (menemukan masalah yang dirasakan sebagai pengganggu) Tahap pertama, merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi situasi yang dirasakan mengganggu. b. Fact-finding (menemukan fakta) Tahap kedua, mendaftar semua fakta yang diketahui yang berhubungan dengan situasi tersebut, yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak diketahui tetapi esensial pada situsi yang sedang diidentifikasi dan dicari. c. Problem-finding (menemukan masalah) Pada tahap menemukan masalah, diupayakan mengidentifikasi semua kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih yang paling penting atau yang mendasari masalah.

d. Idea-finding Pada tahap ini diupayakan untuk menemukan sejumlah ide atau gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah. e. Solution-finding Pada tahap penemuan solusi, ide-ide atau gagasan-gagasan pemecahan masalah diseleksi, untuk menemukan ide yang paling tepat untuk memecahkan masalah. f. Acceptance-finding Berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran CPS menurut Pepkin (Dewi, 2008:30) terdiri dari langkah-langkah: a. Klarifikasi Masalah Klasifikasi masalah meliputi penjelasan mengenai masalah yang diajukan kepada siswa, agar siswa memahami penyelesaian seperti apa yang diharapkan. b. Pengungkapan Pendapat Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang bagaimana macam strategi penyelesaian masalah. Dari setiap ide yang diungkapkan, siswa mampu untuk memberikan alasan. c. Evaluasi dan Pemilihan Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah d. Implementasi (penguatan) Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkanya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Selain itu, pada tahapan implementasi, siswa diberi permasalahan baru agar dapat memperkuat pengetahuan yang telah diperolehnya.

Daftar Bacaan: Depdiknas. 2005. Kemampuan Guru dalam Mengajarkan Matematika [Online] . Tersedia: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/htm/infoDikdasmen/info-6hal-07.htm [12 April 2009]. Dewi, E P. 2008. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dalam Pembelajaran Matematika terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematika Siswa SMA . Skripsi FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Pepkin, K. 2000. Creative Problem Solving in Math . [Online]. Tersedia: www.artofproblemsolving.com. [7 Februari 2008]. Rahman, B. 2009. Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Creative Problem Solving (CPS) dengan Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Konvensional. Skripsi FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Sumber gambar: http://creativeeducationfoundation.org http://weblogask.blogspot.com/2012/08/model-pembelajaran-creativeproblem.html

GROUP INVESTIGATION Sunday, August 12, 2012 Jika anda tertarik untuk mencoba menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) di dalam kelas anda, atau barangkali sedang melakukan penelitian tindakan kelas / ptk tentang model pembelajaran kooperatif yang satu ini, maka sebaiknya anda cermati sintaks atau langkah-langkah/fase-fase model pembelajaran ini. Ada 5 (lima) sintaks /langkah/fase penting dalam model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, yaitu: Fase 1: menggorganisasikan kelompok-kelompok kooperatif dan mengidentifikasi topik Kedua tugas yang disebut di atas urutannya dapat bervariasi, sesuai dengan situasi. Guru dapat terlebih dahulu mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok kooperatif sebelum mengidentifikasi topik pembelajaran, atau sebaliknya terlebih dahulu mengidentifikasi topik, baru kemudian mengorganisasikan siswa ke kelompok-kelompok. Bergantung pada topik yang dipilih pada fase 1, maka adalah sangat penting untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun kekompakan tim (kelompok), sehingga terbentuk solidaritas dan kohesi antar anggotanya. Perlu dicatat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe group investigation ini merupakan sebuah model pembelajaran yang kompleks, yang berbeda sama sekali dengan model pembelajaran kooperatif lainnya, di mana tingkat kooperasi antar anggota kelompok harus benar-benar baik dan efektif. Agar apa-apa yang dilakukan oleh kelompok bermanfaat dan efektif, maka setiap anggota kelompok harus produktif dan mempunyai hubungan kooperasi yang baik satu sama lain. Fase 2: Perencanaan Kelompok Selama fase perencanaan kelompok, siswa harus menentukan batasan/cakupan penyelidikan mereka, mengevaluasi sumber daya yang

mereka miliki, merencanakan suatu aksi/tindakan, dan menugaskan /memberikan tanggung jawab yang berbeda kepada setiap anggota kelompok. Pada model pembelajaran kooperatif yang lain, perencanaan kelompok jauh lebih mudah dibanding perencanaan kelompok pada group investigation. Bila semua anggota kelompok menyelidiki topik yang sama, tugas utama mereka pada fase ini adalah menentukan bagaimana cara membagi informasi dasar yang telah mereka miliki masing-masing. Jika anggota-anggota kelompok bertugas sendiri-sendiri untuk menyelidiki subsub topik, maka keputusan penting pada fase perencanaan ini adalah bagaimana mereka seharusnya berkoordinasi, dan membagi tugas siapa yang akan bertanggungjawab terhadap informasi dasar, siapa yang mengumpulkan data, siapa yang menganalisis, siapa yang mengkombinasikan sub-sub proyek menjadi suatu keutuhan, serta siapa yang akan menulis laporan. Tugas-tugas demikian tentu amat rumit dan tidak dapat dibagi secara tegas. Fase 3: Mengimplementasikan penyelidikan (investigasi)

Kelompok-kelompok yang telah terorganisasi dengan baik pada fase 2, dan topik yang telah diidentifikasi pada fase 1, serta telah mempunyai rencana pemecahan masalah selanjutnya siap memasuki fase 3. Pada fase ini setiap kelompok akan mengimplementasikan penyelidikan/inkuiri. Biasanya fase 3 ini memerlukan waktu lebih panjang dari fase lainnya. Setiap kelompok memerlukan banyak waktu untuk mendesain prosedur pengambilan data, mengambil data, menganalisis, dan mengevaluasi data, dan mengambil kesimpulan. Menjaga agar setiap kelompok dan anggotaanggotanya bekerja secara efektif dan produktif, dapat saja sulit dilakukan karena kadang-kadang setiap sub-proyek/proyek penyelidikan berbeda kebutuhan waktunya. Laporan-laporan kemajuan setiap kelompok terhadap sub proyek/proyek penyelidikan mereka sangat penting pada fase iniagar guru dapat mengkoordinasikan usaha-usaha setiap kelompok dalam memecahkan masalah melalui penyelidikan mereka masing-

masing. Fase 4: Mengalasis hasil penyelidikan dan menyiapkan laporan Saat siswa mengumpulkan informasi, maka informasi tersebut perlu dianalisis dan dievaluasi. Guru dapat membantu proses ini dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan secara kontinyu memfokuskan perhatian setiap kelompok pada pertanyaan atau masalah yang sedang diselidiki. Pada penyelidikan-penyelidikan yang panjang, siswa dapat saja kehilangan arah terhadap fokus pembelajaran/studi mereka. Cara lain untuk membantu siswa adalah dengan membantu mereka menganalisis hasil dengan meminta mereka agar selalu membagi penemuan-penemuan mereka terhadap anggota-anggota kelompoknya. Atau, guru dapat pula meminta siswa bereksperimen dengan berbagai cara dalam memberikan display data, bentuk diagram, dan tabel-tabel, sehingga setiap anggota dapat memahami hubungan antar data yang telah mereka kumpulkan. Fase 5: Mempresentasikan hasil penyelidikan Pada fase kelima ini ada dua tujuan yang harus dilakukan. Pertama adalah mendesiminasikan informasi; yang kedua mengajarkan kepada siswa bagaimana mempresentasikan informasi dengan jelas dan dengan cara yang menarik. Format fase terakhir ini dapat sangat bervariasi, misalnya: presentasi untuk seluruh kelas; presentasi untuk sebagian kelas saja; presentasi dalam bentuk poster; demonstrasi; presentasi melalui rekaman video; atau satasiun pusat belajar. Tugas siswa pada fase kelima ini amat bergantung pada jenis informasi itu sendiri, jenis audiens, dan pembuatan presentasi informasi secara menarik. Tugas-tugas pada fase kelima ini sangat berguna bagi hidup mereka kelak ketika terjun langsung ke masyarakat, dan sering tidak dipelajari pada kelas-kelas konvensional/tradisional.
Posted by: Muhammad Faiq

http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/08/sintaks-model-pembelajarankooperatif.html

Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)


SEKOLAHDASAR.NET - Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalamanpengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsepkonsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti apa yang dimaksud dengan., mengapa bisa terjadi, bagaimana mengetahuinya dan seterusnya. Bila pertanyaanpertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang harus dilakukan atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut. Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL ada delapan tahapan (Pannen, 2001: 11), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut. Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya. Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis Why bukan sekedar How. Oleh karena itu, setiap tahap dalam

pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan How, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.

Anda mungkin juga menyukai