Anda di halaman 1dari 8

Studi klinis

Tingkat infeksi pada fraktur terbuka tulang tibia: Apakah aturan 6 jam fakta atau fiksi?
Ameya S. Kamat Departemen bedah ortopedi, Rumah Sakit Umum Wellington, Jl.Taranaki 8D/39, Te Aro, Wellington 6011, New Zealand Tanggapan harap dialamatkan kepada Ameya S. Kamat, amskam@gmail.com Diterima tanggal 7 Juni 2011; direvisi tanggal 28 Juli 2011; disetujui tanggal 22 Agustus 2011 Editor akademik: Robert F. Ostrum Hak cipta 2011 Ameya S. Kamat. Ini adalah artikel bebas yang didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons Attributive License, dengan mengijinkan

penggunaan yang luas, distribusi, dan reproduksi dalam beberapa media, tulisan asli disediakan dengan citasi. Tujuan. Debridement dalam keadaan gawat darurat telah lama menjadi

penatalaksanaan standar untuk fraktur terbuka tibia dimana infeksi sebagai komplikasi yang penting. Waktu untuk melakukan debridemen secara operatif sedang diperdebatkan. Kami meneliti 103 fraktur terbuka pada tibia dan membandingkan tingkat infeksi pada mereka yang dioperasi pada waktu dalam dan setelah dari 6 jam. Metode. 103 kasus fraktur tibia terbuka dilihat. Data dianalisis secara retrospektif dalam hubungan dengan fraktur dan insiden infeksi. Tingkat infeksi dalam 3 bulan dibandingkan di antara dua kelompok. Hasil. 12 (11,6%) pasien berkembang mendapat infeksi dalam tiga bulan pertama setelah cedera. 7 orang yang masuk kamar operasi dalam 6 jam, dan 5 orang setelah 6 jam. Tidak ada perbedaan secara signifikan yang ditemukan di antara kedua kelompok tersebut. Kesimpulan. Tidak ada perbedaan secara signifikan dalam waktu operasi. Intervensi dasar awal mungkin berpengaruh lebih besar dalam membatasi risiko infeksi.

1. Pendahuluan
Debridement dalam keadaan gawat darurat telah lama menjadi penatalaksanaan standar untuk fraktur terbuka tibia dimana infeksi menjadi komplikasi yang paling penting. Ketika banyak yang membicarakan tentang debridemen operatif awal pada fraktur terbuka, hanya sedikit artikel yang membahas tentang waktu (1,2). Debridemen pada luka terbuka dalam 6 jam setelah cedera merupakan penatalaksanaan standar yang diterima secara luas sampai sekarang (3). Asal muasal kalimat aturan 6 jam tidaklah jelas. Beberapa mengklaim kalimat tersebut diambil pada tahun 1898 dalam eksperiman selama perang Amerika melawan Spanyol oleh ahli bedah militer Jerman, Friedrich (4), yang mana percobaan dilakukan pada seekor marmut dengan kontaminasi luka pada jaringan lunaknya mendapatkan tingkat infeksi yang lebih rendah ketika dilakukan debridemen dalam kurun waktu 6 jam. Namun, tahun 1973, penelitian oleh Robson et al., yang melaporkan bahwa 105 mikroorganisme patogen per gram jaringan adalah jumlah ambang infeksi pada fraktur terbuka, dicapai pada waktu 5,17 jam (5). Pernah ada beberapa yang menunjukkan bukti bahwa aturan 6 jam tidaklah pasti (6). Tulisan ini meneliti fraktur terbuka pada tibia dan membandingkan tingkat infeksi pada pasien yang dioperasi dalam kurun waktu 6 jam dan mereka yang dioperasi setelah 6 jam.

2. Metode
103 pasien fraktur terbuka tulang tibia diteliti di beberapa rumah sakit di wilayah Wellington, Selandia baru selama 10 tahun terakhir. Pasien dimasukkan dalam penelitian jika telah berusia di atas 16 tahun (kematangan tulang) dan datang ke salah satu rumah sakit yang dijadikan tempat penelitian untuk mendapatkan penanganan fraktur tibia terbuka. Pasien yang mengalami fraktu intraartikular tidak masuk ke dalam penelitian (kriteria eksklusi). Pasien juga dimasukkan ke dalam kriteria eksklusi jika medapat cedera yang mengancam di daerah kepala, dada, abdomen, karena mereka akan lebih dahulu ditangani keadaan gawatnya baru setelah itu ditangani fraktur tibianya. Juga, pasien

yang sakit secara mental dan mendapat luka bakar derajat tiga melengkapi kriteria eksklusi kami. Penelitian ini memerlukan ahli bedah panggilan dan residen yang menangani pasien fraktur tersebut. Data didapatkan dari rekam medik pasien dan dianalisis secara retrospektif dengan tingkat keparahan fraktur terbuka (memakai skala Gustillo-Anderson) dan insidensi dari infeksi setelah periode tiga bulan (7). Gustillo et all. Mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga kategori: (7,8) i. Derajat 1: fraktur terbuka dengan luas luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih. ii. Derajat 2: fraktur terbuka dengan luas luka lebih dari 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas, sobekan, ataupun avulsi. iii. Derajat 3: fraktur segmental, fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak luas, atau amputasi traumatik. iv. Gustilo menyebutkan fraktur terbuka derajat tiga terlalu rumit maka dari itu lebih lanjut dia membagilagi dengan: v. IIIa: penutupan yang adekuat dari tulang yang patah meskipun terdapat luka luas, sobekan, trauma berkekuatan tinggi yang tak berhubungan dengan luas luka. Inin termasuk fraktur segmental atau fraktur kominutif. vi. IIIb: cedera jaringan lunak yang luas dengan kerusakan periosteal dan keterpaparan tulang. Hal ini biasanya berkaitan dengan kontaminasi yang besar. vii. IIIc: fraktur terbuka dengan kerusakan vaskuler dan membutuhkan pertolongan segera demi keselamatan anggota gerak. Kami mengobati fraktur terbuka tibia dengan cara-cara sebagai berikut: 1) Pemberian awal dengan antibiotik spektrum luas intravena, baik 2gr Cefuroxime atau 2gr cefazolin 3 kali sehari; diikuti dengan 1gr flucloxacilin 4 kali sehari selama 7 hari setelah pulang (9), 2) Irigasi luka di dalam ruang operasi

3) Debridemen luka intraoperatif dan irigasi luka 3 liter tiap derajat Gustillo, 4) Jika memungkinkan, penutupan luka primer, 5) Penutupan sekunder pada luka-luka yang terkontaminasi berat 6) Fiksasi, dengan fiksasi internal, fiksasi eksternal, maupun dengan gips yang mana merupakan kebijakan yang pasti dari sang ahli bedah. 7) Analgetik dan cairan intravena untuk terapi awal. 8) Balutan/gips sesuai bentuk fiksasi. Setelah dipulangkan, pasien dikontrol kembali di klinik patah tulang rawat jalan untuk melihat luka dan membuka jahitan pada hari ke 10. Infeksi dicatat tidak berhubungan dengan jenis gips, fiksasi, maupun tipe kultur. Kriteria infeksi mencakup: 1) Selulitis, 2) Luka yang tidak sembuh, 3) Abses ditempat jahitan, 4) Discharge purulen atau berlumpur, 5) Abses, 6) Infeksi dari plat metal yang dipasang, 7) Osteomielitis. Pasien dibagi menjadi dua kelompok. Satu yang menjalani operasi dalam enam jam pasca trauma, dan yang lain setelah enam jam. Tingkat infeksi ditentukan dengan cara membagi jumlah pasien yang terinfeksi dengan jumlah pasien di masing-masing kelompok.

3. Hasil
103 pasien fraktur terbuka tibia diteliti. 62 pasien ditangani dalam kurun waktu 6 jam setelah trauma dan 41 pasien setelah 6 jam. Ada 49 pasien yang mengalami fraktur terbuka derajat 1. 19 dioperasi dalam 6 jam, dan 30 pasien setelah 6 jam. Ada 32 pasien yang mengalami fraktur terbuka derajat 2. 21 pasien dioperasi dalam 6 jam setelah trauma, 11 orang setelah 6 jam. Ada 22 pasien yang mengalami

fraktur terbuka derajat 3 yang mana 12 pasien dioperasi dalam 6 jam pasca trauma dan 10 pasien setelah 6 jam. Dalam hal waktu, pasien yang dioperasi dalam kurun waktu 6 jam mempunyai waktu rata-rata 3,25 jam. Range-nya berkisar antara 1,25-5,15 jam. Sementara itu pasien yang dioperasi setelah 6 jam mempunya rata-rata waktu 9,15 jam. Range-nya berkisar antara 6,15-17,25 jam. 12 dari 103 pasien mengalami infeksi, yang mana nilainya adalah 11,6%. 7 orang yang dioperasi dalam 6 jam, dan 5 orang setelah 6 jam. Dari 12 kasus ini, 1 orang dari derajat 1 (8,3%), 3 orang dari derajat 2 (25%), dan 8 orang sisanya adalah derajat 3 (66,6%). Dari fraktur derajat 3 ini, dibagi lagi menjadi derajat 3A dan 3B, dan masingmasing derajat terdiri dari 4 orang pasien yang mengalami infeksi. Keduabelas pasien yang mengalami infeksi dimasukkan ke dalam tabel dalam kaitannya dengan waktu debridemen masing-masing pasien. Dari 12 pasien, 6 menderita selulitis di sekitar tepi luka, 3 menderita luka tak sembuh, 1 pasien mendapatkan pus di luka infeksinya, dan 2 orang sisanya menderita osteomyelitis. Tingkat infeksi pasien yang dioperasi dalam 6 jam adalah sebesar 11%, sebaliknya pasien yang dioperasi setelah 6 jam sebesar 12,1% P>0,05, menunjukkan tidak ada perbedaan statistik antara operasi dalam 6 jam maupun setelah 6 jam. Juga tidak terdapat perbedaan statistik yang signifikan ketika membandingkan pasien dengan fraktur terbuka derajat 3Adan 3B, juga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan fragmen-fragmen fraktur. Dari 12 pasien yang mendapat infeksi, 10 tidak mempunyai riwayat kesehatan yang jelek seperti menderita diabetes, obesitas, maupun hipertensi. Hanya satu orang yang merupakan seorang perokok. Seperti yang telah disebutkan di atas, fiksasi hanya digunakan atas kebijakan dari ahli bedah yang terdiri dari fiksasi internal, fiksasi eksternal, maupun

pemasangan gips. Tidak ada hubungan statistik antara infeksi dengan strategi penanganan yang berbeda.

4. Kesimpulan
Data dikumpulkan dari beberapa kasus yang terjadi sepuluh tahun lebih, mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan dari waktu pembedahan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, hanya sedikit penelitian yang meneliti kesahan dari aturan 6 jam, dengan arti yang tersirat bahwa infeksi tidak tergantung dari waktu dilakukannya pembedahan (2,9). Satu dari beberapa penelitian tersebut (2), mempunyai data tentang fraktur tibia dan femur, sedangkan penelitian kali ini hanya mengkonsentrasikan pada fraktur tibia saja. Bagamanapun, disisi yang lain, ada dua penelitian yang tercatat yang menegaskan bahwa debridemen operatif yang dilakukan lebih awal dari fraktur terbuka tulang tibia, tingkat infeksinya dapat direndahkan (10, 11). Fraktur terbuka tulang tibia menjadi tantangan bahkan untuk seorang ahli bedah ortopedi paling berpengalaman sekalipun. Telah diketahui secara luas bahwa antibiotik harus segera diberikan setelah terjadinya trauma. Debridemen operatif awal menjadi penting walaupun tidak ada bukti kuat yang menunjang aturan 6 jam tersebut. Irigasi terhadap luka juga harus dilakukan sedini mungkin di instlalasi gawat darurat. Terdapat sejumlah alasan mengapa saya percaya penelitian ini berbeda secara signifikan dengan penelitian lain. Pertama, penelitian ini hanya berfokus pada fraktur terbuka tulang tibia, sedangkan yang lain tidak. Terdapat banyak kumpulan data yang dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain. Juga, tidak terdapat perbedaan secara statistik pada hasil dari infeksi ketika mengukur menggunakan metode dari fiksasi dan morbiditas pasien. Terdapat sejumlah keterbatasan pada penelitisn ini. Tipe dari penutupan kulit, tingkat kontaminasi, kebijakan ahli bedah, keadaan lain yang mengancam kepala, dada, maupun cedera abdomen. Morbiditas pasien dan tipe dari fiksasi tidak memberi bukti yang signifikan secara statistik pada kumpulan data ini. Hal ini sungguh sangat disayangkan bahwa semua kekacauan ini tidak dapat diuji karena jumlah mereka

sangat sedikit dan dengan demikian analisis statistik yang dilakukan tidak dapat diuji kenenarannya. Hal tersebu juga tidak baik secara etis jika dilakukan percobaan acak untuk menentukan tingkat infeksi pada setelah fraktur terbuka tulang tibia. Telah dijelaskan di atas, tidak ada aturan yang pasti dan cepat. Tetapi, jelas sekali, bahwa beberapa penanganan dasar seperti irigasi luka di IGD, pembalutan steril dengan antibiotik, dan pemberian antibiotik intravena spektrum luas secara dinimemainkan peranan penting dalam pencegahan infeksi dari fraktur terbuka tulang tibia. Waktu operasi itu sendiri tidak begitu berpengaruh.

Konflik Kepentingan
Tidak ada dana yang diterima dalam pengerjaan penelitian ini, sehingga tidak terdapat konflik kepentingan

Pemberitahuan
Penulis adalah kontributor tunggal dalam artikel ini.

Referensi
[1] C. M. Werner, Y. Pierpont, and A. N. Pollak, The urgency of surgical debridement in the management of open fractures, The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, vol. 16, no. 7, pp. 369375, 2008. [2] D. A. Bednar and J. Parikh, Effect of time delay from injury to primary management on the incidence of deep infection after open fractures of the lower extremities caused by blunt trauma in adults, Journal of Orthopaedic Trauma, vol. 7, no. 6, pp. 532535, 1993. [3] A. N. Pollak, Timing of debridement of open fractures, The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, vol. 14, supplement 10, pp. S48S51, 2006. [4] P. L. Friedrich, Die aseptische Versorgung frischerWundern, Langenbecks Archiv fur Klinische Chirurgie, vol. 57, pp. 288 310, 1898. [5] M. C. Robson, W. F. Duke, and T. J. Krizek, Rapid bacterial screening in the treatment of civilian wounds, Journal of Surgical Research, vol. 14, no. 5, pp. 426430, 1973. [6] N. Pollak, A. L. Jones, R. C. Castillo, M. J. Bosse, and E. J. MacKenzie, The relationship between time to surgical debridement and incidence of infection after open highenergy lower extremity trauma, Journal of Bone and Joint Surgery, vol. 92, no. 1, pp. 715, 2010. [7] R. B. Gustilo and J. T. Anderson, Prevention of infection in the treatment of one thousand and twenty five open fractures

of long bones: retrospective and prospective analyses, Journal of Bone and Joint Surgery, vol. 58, no. 4, pp. 453458, 1976. [8] R. B. Gustilo, R. M. Mendoza, and D. N.Williams, Problems in the management of type III (severe) open fractures: a new classification of type III open fractures, Journal of Trauma, vol. 24, no. 8, pp. 742746, 1984. [9] R. U. Ashford, J. A. Mehta, and R. Cripps, Delayed presentation is no barrier to satisfactory outcome in the management of open tibial fractures, Injury, vol. 35, no. 4, pp. 411416, 2004. [10] K. Kindsfater and E. A. Jonassen, Osteomyelitis in grade II and III open tibia fractures with late debridement, Journal of Orthopaedic Trauma, vol. 9, no. 2, pp. 121127, 1995. [11] H. J. Kreder and P. Armstrong, A review of open tibia fractures in children, Journal of Pediatric Orthopaedics, vol. 15, no. 4, pp. 482488, 1995.

Anda mungkin juga menyukai

  • KomiteKeperawatanRS
    KomiteKeperawatanRS
    Dokumen3 halaman
    KomiteKeperawatanRS
    Andreas Kristian
    85% (13)
  • Refer at Obgyn Partus Prematurus
    Refer at Obgyn Partus Prematurus
    Dokumen1 halaman
    Refer at Obgyn Partus Prematurus
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Albumin
    Albumin
    Dokumen2 halaman
    Albumin
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • DBD
    DBD
    Dokumen7 halaman
    DBD
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Dokumen7 halaman
    Kejang Demam
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Dokumen7 halaman
    Kejang Demam
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Sindrom Hepatorenal
    Sindrom Hepatorenal
    Dokumen17 halaman
    Sindrom Hepatorenal
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Dasar Vir Ol
    Dasar Vir Ol
    Dokumen28 halaman
    Dasar Vir Ol
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Albumin
    Albumin
    Dokumen2 halaman
    Albumin
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Contoh Ver Luar 3
    Contoh Ver Luar 3
    Dokumen4 halaman
    Contoh Ver Luar 3
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Askep Stroke
    Askep Stroke
    Dokumen14 halaman
    Askep Stroke
    sabila rosadi
    Belum ada peringkat
  • Kajian 2002
    Kajian 2002
    Dokumen68 halaman
    Kajian 2002
    Dhika Abriyan
    Belum ada peringkat
  • Kajian 2002
    Kajian 2002
    Dokumen68 halaman
    Kajian 2002
    Dhika Abriyan
    Belum ada peringkat
  • Contoh Ver Luar 3
    Contoh Ver Luar 3
    Dokumen4 halaman
    Contoh Ver Luar 3
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • A 002 Ekstubasi
    A 002 Ekstubasi
    Dokumen13 halaman
    A 002 Ekstubasi
    Jildhuz Jildot
    Belum ada peringkat
  • Sistem Bilangan
    Sistem Bilangan
    Dokumen16 halaman
    Sistem Bilangan
    Machbub Zunaidi
    100% (1)
  • Contoh Ver Luar 3
    Contoh Ver Luar 3
    Dokumen4 halaman
    Contoh Ver Luar 3
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • Presus MG
    Presus MG
    Dokumen25 halaman
    Presus MG
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat
  • SPERMATOPHYTA
    SPERMATOPHYTA
    Dokumen11 halaman
    SPERMATOPHYTA
    Andreas Kristian
    Belum ada peringkat