Anda di halaman 1dari 15

ANEMIA Definisi Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan.

Untuk mendapatkan pengertian tentang anemia maka kita perlu menetapkan definisi anemia : 1. Anemia merupakan Sebuah kondisi dimana jumlah sel darah merah dibawah angka normal(Garrison, 2009). 2. keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh(Bhakta, 2003). 3. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell)(Bhakta, 2007). 4. Ketidakmampuan darah untuk mensuplai jaringan dengan oksigen yang cukup untuk melakukan fungsi metabolisme yang sesungguhnya. (Harmening).

Kriteria Anemia Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia. Batas ini disebut cut off point, yang sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut dan lain-lain (Bhakta, 2003) Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan anemia bila: Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13g/dl

Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12g/dl Perempuan hamil Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 11g/dl : hemoglobin < 12g/dl

Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl Kriteria Klinik

Alasan praktis kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) intuk Indonesia pada umumnya adalah: (Bhakta, 2003) 1. Hemoglobin < 10g/dl 2. Hematrokit < 30% 3. Eritrosit <2,8% juta/mm3 Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan work up anemia jika kita memakai kriteria WHO.

Etiologi a. gangguan produksi sel darah merah, Perubahan sintesis Hb Perubahan sisntesis DNA akibat kekurangan nutrisi. Fungsi sel induk ( stem sel) terganggu.

b. kehilangan darah Akut akibat peradrahan Kronik akibat perdarahan Hemophilia (defisiensi faktor pembengkuan darah)

c. meningkatnya hemolitik eritosit Faktor bawaan misalnya kekurangan G6PD Faktor yang didapat, yaitu bahan yang dapat merudak eritrosit

d. bahan baku untuk membentuk eritrosit tidak ada Dimana terjadi kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sisntesis eritrosit, antara lain: Fe, B12, Asam folat. Epidemiologi

30 % penduduk dunia atau 1500 juta menderita anemia Di Indonesia menurut WHO tahun 2006 pada wanita hamil tidak produktif sekitar 33,1 % mengidap anemia. Menurut IDAI 2007 pada balita 48,1 %, 0 -6 bulan 61,3 %, 6 12 bulan 64,8 %.

Gejala Anemia Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu: 1. Gejala umum anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut bila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai beriku (Bhakta, 2007)t: a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi sesak waktu kerja, angina pektoris dan gagal jantung. b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas. c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun d. Epitel: warna pucat pada kulit mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus. 2. Gejala khas masing-masing anemia Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia seperti; a. Anemia defisiensi besi: stomatitis angularis, glositis atrofik, kuku menipis, koilonychias, atrofi mukosa lambung (Child, 2010) b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue) c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali

d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi (Bhakta, 2003) 3. Gejala akibat penyakit dasar Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan gejala berupa perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau lender (Bhakta, 2007).

Komplikasi Gagal jantung Parastesia, dan Kejang

Patofisiologi

1. 1)

Cardiovascular dan Pulmonary Jika onsetnya memburuk dan tidak ada gangguan jantung serta paru-paru, maka pasien

baru akan menyadari gejalanya pada saat kadar Hb dalam tubuh sudah di bawah 8 g/dL. 2) Ketika RBC menurun di dalam darah, maka secara langsung akan menurunkan volume

darah. Tubuh akan mengkompensasinya dengan melakukan pemindahan cairan dari ekstravascular ke intravascular untuk meningkatkan plasma volume. Sehingga volume darah cukup, aliran balik vena meningkat, dan terjadi pengingkatan stroke volume untuk peningkatan cardiac output. Tetapi volume darah ini mengalami penurunan viskositas dikarenakan kadar volume darah mengandung banyak cairan dibandingkan kadar RBC-nya sendiri. 3) Ketika RBC menurun, maka terjadi penurunan suplai oksigen ke jaringan. Sehingga

tubuh akan mengkompensasinya dengan melakukan dilatasi arteri sistemik supaya suplai darah ke perifer bisa lebih banyak. Untuk itu juga jantung meningkatkan kerjanya (HR meningkat), sehingga darah dapat sampai ke perifer. 4) Ketika kadar oksigen menurun atau kadar carbon dioksida meningkat, maka reseptor

kimia di jantung akan mendeteksi keadaan tersebut dan mengirimkan sinyal ke medula oblongata untuk meningkatkan kerja paru-paru mengirim oksigen dengan nafas cepat. 5) a) b) Gejala klinis yang muncul : Dyspnea (dari kerja paru-paru yang meningkat akibat kadar oksigen di tubuh menurun). Tachycardi (peningkatan kerja jantung atau hr untuk mensuplai oksigen dan darah ke

jaringan perifer). c) d) Dizziness (karena suplai oksigen ke otak menurun). Fatigue (akibat kerja jantung yang meningkat dan turunnya kadar oksigen di jaringan

sehingga metabolisme energi terganggu). e) f) Cardiac failure, cardiac angina, dan caludication (akibat iskemik jaringan di jantung). Cardiac murmur dan ictus (akibat stroke volume yang meningkat).

2.Pallor 1)Akibat konsentrasi Hb yang menurun dan mempengaruhi warna kulit terutama di telapak tangan dan muka. 2)Dideteksi pada mukus membran mulut dan faring, konjungtiva, bibir, dan kuku. 3)Pada telapak tangan akan berwarna pink dengan kadar Hb menurun sampai 7 g/dL dan akan berwarna pucat dibawah kadar tersebut. 3.Perubahan kulit dan membran mukus 1) Terjadi akibat perubahan proliferasi kulit dan membran mukus dikarenakan defisiensi

nutrisi terutama zat besi yang merupakan kofaktor enzim dalam metabolisme sel terutama sintesis DNA. 2) a) b) c) d) 4. 1) Gejala : Fragile hair Spoon nail Glositis Lesi eritema di muka, leher, tangan dan siku. Neoromuscular Terjadi akibat gangguan saraf dan otot dikarenakan suplai oksigen ke jaringan turun atau

dikarenakan defisiensi zat besi, vitamin B12, dan asam folat. 2) a) b) c) d) Gejala : Sakit kepala Vertigo Tinnitus Konsentrasi menurun

e) f) g) 5. 1)

Gelisah Lemah otot Parestesi Opthamology Pada 20% pasien anemia akan mengalami gangguan retina diakibatkan flame-shaped

hemmorhagic, hard exudate, cottonwoods spot, dan venous tortousness. 2) 6. 1) 2) a) b) c) d) e) Terjadi juga papiledema. Perubahan Gastrointestinal Akibat anemia defisiensi zat besi. Gejala : Sakit pada bagian perut Mual Muntah Hilang nafsu makan Sakit, ulcer, dan necrosis pada mulut dan faring.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia adalah: 1. Complete Blood Count (CBC) A. Eritrosit a. Hemoglobin (N : 12-16 gr/dl ; : 14-18 gr/dl)

b. Hematokrit (N : 37-47% ; : 42-52%) B. Indeks eritrosit a. Mean Cell Volume (MCV) = hematokrit x 10 Jumlah eritrosit x 10 6 (N: 90 + 8 fl) b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) = hemoglobin x 10 Jumlah eritrosit x 10 6 (N: 30 + 3 pg) c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) = hemoglobin x 10 Hematokrit (N: 33 + 2%) C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3) D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3) 2. Sediaan Apus Darah Tepi a. Ukuran sel b. Anisositosis c. Poikolisitosis d. Polikromasia 3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%) 4. Persediaan Zat Besi a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter ) b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter) c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)

5. Pemeriksaan Sumsum Tulang a. Aspirasi E/G ratio Morfologi sel Pewarnaan Fe

b. Biopsi Selularitas Morfologi

I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia) II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)

SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III. Hitung Retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup

retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-olah tinggi. RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi) Faktor koreksi untuk: Ht 35% : 1,5 Ht 25% : 2,0 Ht 15% : 2,5 Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00. Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat. V. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau

penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).

Treatment Bergantung pada penyebabnya, sehingga harus dihilangkan penyebabnya terlebih dahulu Untuk suportif biasanya diberikan transfuse darah Treatment berbeda-beda sesuai dengan jenis anemianya.

ANEMIA DEFISIENSI BESI Definisi Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. (Bakta, I.M., 2007) Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya. (Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005)

Etiologi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. 1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari : a. Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang. b. c. d. 2. Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia Saluran kemih : hematuria Saluran napas : hemoptoe

Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).

3.

Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.

4.

Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia. (Bakta, I.M ., 2007)

Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak : 1. Pengadaan zat besi yang tidak cukup a. Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup. 1) Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar 2) Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi yang berat 3) Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasesta b. Asupan zat besikurang cukup 2. Absorbsi kurang a. b. c. Diare menahun Sindrom malabsorbsi Kelainan saluran pencernaan

3. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir kurang bulan dan pada saat akil balik. 4. Kehilangan darah a. Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada poliposis rektum, divertkel Meckel. b. Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.

Epidemiologi Secara epidemiologi menurut IDAI, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan

diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.

Faktor Risiko 1. Neonatal a. Prematuritas b. BBLR c. Ibu mengalami anemia defisiensi Fe d. Bayi kembar 2. Anak Balita a. Terlambat pemberian makanan pendambing ASI yang mengandung zat besi b. Kurangnya asupan makanan yang mengadung zat besi c. Infeksi kronik 3. Dewasa dan remaja a. Lebih sering wanita dibanding laki-laki b. Diet yang salah c. Menstruasi d. Pregnancy e. lactasi 4. Sosial dan ekonomi rendah

Anda mungkin juga menyukai