Anda di halaman 1dari 62

ISSN : 1829-6327

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol. 7 No. 4, Oktober 2010


Jurnal Penelitian Hutan Tanaman adalah media resmi publikasi ilmiah hasil penelitian dalam bidang hutan tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman dengan frekuensi terbit lima kali setahun Penanggung Jawab Kepala Pusat Litbang Hutan Tanaman Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota Dr. Dra. Tati Rostiwati, M.Si (Silvikultur, Ekofisiologi dan Perbenihan Tanaman Hutan) Anggota Prof. Ris. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, MS (Pemuliaan Pohon) Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero S., M.Agr.Sc (Kebakaran Hutan) Dr. Ir. Cahyono Agus D., M.Agr.Sc (Ilmu Tanah dan Silvikultur) Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc (Statistik) Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc (Rehabilitasi dan Mikoriza) Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS (Hama dan Penyakit Tanaman Hutan) Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc (Genetika dan Pemuliaan Tanaman Hutan) Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Statistik dan Biometrika) Dr. Tukirin Partomihardjo (Ekologi dan Pengelolaan Lingkungan Hutan) Dr. Ir. Lailan Syaufina, MS (Perlindungan Hutan dan Kebakaran Hutan) Dr. Ir. Tania June, M.Sc. (Pengelolaan Lingkungan dan Perubahan Iklim) Mitra Bestari
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. (lnstitut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Endang Murniati, MS. (lnstitut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Supriyanto, M.Sc. (lnstitut Pertanian Bogor, SEAMEO - BIOTROP)

1. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman adalah publikasi ilmiah resmi dari Pusat Litbang Hutan Tanaman. Jurnal ini menerbitkan tulisan hasil penelitian berbagai aspek hutan tanaman seperti perbenihan, pembibitan, teknik silvikultur, pemuliaan pohon, perlindungan hutan tanaman (hama/penyakit, gulma, kebakaran), biometrika, silvikultur, sosial ekonomi, dan pengelolaan lingkungan hutan tanaman. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 2 (dua) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan kepada Sekretariat Redaksi Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. File elektronik dikirim ke Sekretariat Redaksi dalam bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat : pp_p3ht@yahoo.co.id. 3. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan yang dapat diperoleh di Sekretariat Redaksi Publikasi P3HT, atau download di website P3HT : www.forplan.or.id. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman harus disertai dengan surat pengantar dari instansi/institusinya. 4. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dan diusahakan tidak lebih dari 10 kata serta harus mencerminkan isi tulisan. Di bawah judul ditulis terjemahannya dalam bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan miring. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi. 5. Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan Keywords dan ABSTRAK dengan Kata Kunci, PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, PERSANTUNAN (kalau ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (kalau ada). 5. ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, masing-masing tidak lebih dari 200 kata dalam satu paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitatif. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 5 kata. 7. PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada).. 8. BAHAN DAN METODE berisi : Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat, Metode, Rancangan Penelitian (kalau ada),Analisa Data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas. 9. HASILDAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu.

Sekretariat Redaksi Ketua Merangkap Anggota Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Anggota Kepala Sub Bidang Pelayanan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kristina Yuniati, S.Hut Rohmah Pari, S.Hut Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Terbit pertama kali September 1996 dengan judul Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon (ISSN 1410-1165), sejak April 2003 berganti judul menjadi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan (ISSN 1693-7147), dan sejak April 2004 berganti judul menjadi Jurnal Penelitian Hutan Tanaman (ISSN 1829-6327) Alamat Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu Nomor 5, Bogor Po. Box. 331 Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005 E-mail: pp_p3ht@yahoo.co.id, Website: www.forplan.or.id Terakreditasi dengan nilai A Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 816/D/2009 (182/AU1/P2MBI/08/2009) Accredited A by the Indonesian Institute of Sciences No. 816/D/2009 (182/AU1/P2MBI/08/2009)

10. Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang diperlukan. Judul, isi dan keterangan tabel ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat. Judul tabel diletakkan di atas tabel. 11. Gambar, Grafik dan Foto harus jelas dan dibuat kontras, diberi judul dan keterangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Judul gambar diberi nomor dan diletakkan di bawah gambar. Foto renik atau peta harus diberi skala. 12. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas (dalam bentuk pointers bernomor), padat, serta diusahakan dinyatakan secara kuantitatif. 13. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepada orang /instansi/organisasi yang benar-benar membantu. 14. DAFTAR PUSTAKA (minimal 15 pustaka, dengan referensi yang berkualitas, dan dianjurkan 10 tahun terakhir), disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun terbit, seperti contoh berikut :
Departemen Kehutanan. 2005. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Co. Belmont. U.S. Census Bureau. American Factfinder : Facts About My Community. [Online]17 Agustus 2001.http://factfinder.census.gov/servlet/Basicfactervlet>

15. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah dan memperbaiki isi naskah sepanjang tidak mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.

ISSN : 1829-6327

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN


Vol. 7 No. 4, Oktober 2010
DAFTAR ISI

1.

DAMPAK PENURUNAN KADAR AIR TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA PROPAGUL Rhizophora apiculata Bl. The Effect of Decreasing Moisture Content to the Response of Physiological and Biochemical of Rhizophora apiculata Bl. Propagules Asep Rohandi dan/and Nurin Widyani PAKURASI METODE UJI CEPAT DALAM MENDUGA MUTU FISIOLOGIS BENIH DAMAR Accuracy of Rapid Test Methods on Estimated the Physiological Quality of Dammar Seed Muhammad Zanzbar dan/and Nanang Herdiana

167-179

2.

181-189 3. UJI COBA MUTU BIBIT MERANTI MERAH DI HPH PT ERNA JULIAWATI KALIMANTAN TENGAH Experiment Test on Seedling Quality of Red Meranti in Forest Concession Holder PT Erna Juliawati Central Kalimantan R. Mulyana Omon 191-199 4. POTENSI SERANGAN HAMA TANAMAN JATI RAKYAT DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI RUMPIN, BOGOR Infestation Potential of Pest on Community's Teak Plantation and Expedient Control in Rumpin, Bogor Nanang Herdiana AKTIVITAS INSEKTISIDA BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) TERHADAP HAMA Eurema spp. PADA SKALA LABORATORIUM Activities of Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) Insecticide on Eurema spp. Pest in Laboratory Scale Sri Utami ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Analysis of Water Discharge Fluctuation Due to Land Use Change in Puncak Area, Bogor District Yunita Lisnawati dan/and Ari Wibowo

201-209

5.

211-220

6.

221-226

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VII No. 4, 2010

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF)630*............. Asep Rohandi (Balai Penelitian Kehutanan Ciamis) Nurin Widyani (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor) Dampak Penurunan KadarAir Terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora Apiculata Bl. J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:167-179 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak penurunan kadar air terhadap fisiologis dan biokimiawi propagul Rhizophora apiculata Blume. Penurunan kadar air dilakukan melalui pengeringan dan penyimpanan pada dua (2) suhu ruang simpan. Penurunan kadar air propagul dengan cara pengeringan selama 1, 2 dan 3 minggu; Penyimpanan propagul secara konvensional. Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor untuk percobaan pertama dan dua faktor untuk percobaan yang kedua (kondisi dan periode simpan). Parameter fisiologi yang diamati meliputi daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan, sedangkan parameter biokimia meliputi kandungan pati, lemak, protein dan daya hantar listrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dan penyimpanan menyebabkan penurunan viabilitas propagul sejalan dengan makin lamanya periode pegeringan dan penyimpanan. Sampai pengeringan selama 3 minggu, kadar air propagul mencapai 31,72% dan belum menunjukkan kadar air kritis dan daya berkecambah propagul masih cukup tinggi (86,67%). Penyimpanan propagul R. apiculata (KA awal 54,02%) dalam ruang kamar dapat mempertahankan daya berkecambah hingga 29%, kecepatan berkecambah 0,26% per etmal dan nilai perkecambahan 0,02 selama 8 minggu. Kandungan biokimia propagul cenderung meningkat dengan makin lamanya periode pengeringan dan penyimpanan. Kata kunci : Biokimia, fisiologi, kemunduran, pengeringan, penyimpanan, R. apiculata UDC(OXDCF)630*........... Muhammad Zanzbar (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BP2TP) Bogor) Nanang Herdiana (Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang) Akurasi Metode Uji Cepat dalam Menduga Mutu Fisiologis Benih Damar J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:181-189 Metoda standar pengujian mutu fisiologis benih adalah uji perkecambahan (uji langsung), namun waktunya relatif lama. Metoda pengujian tidak langsung (uji cepat) dapat menjadi pilihan untuk mendapatkan informasi yang cepat, akurat dan efisien, yaitu dianalisis berdasarkan proses metabolisme serta kondisi fisik. Penelitian ini bertujuan menduga mutu fisiologis kelompok benih damar secara cepat menggunakan uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan belah. Hasil uji t dan analisis korelasi daya berkecambah diperoleh bahwa masing-masing metoda uji cepat dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahan langsung. Persamaan dugaan daya berkecambah, adalah : uji tetrazolium : Y = 2 2 1,0319x + 4,3975 (r : 90%), uji hidrogen peroksida : Y = 0,9072x + 9,1285 (r : 92,7%), uji eksisi embrio : Y = 0,9474x + 2 2 10,749 (r : 92,8%) dan uji belah :Y = 0,8957x + 6,7977 (r : 91,6%). Kata kunci : benih, damar, fisiologis, perkecambahan, uji cepat..

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VII No. 4, 2010

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF)630*............. R. Mulyana Omon (......................................................................) Uji Coba Mutu Bibit Meranti Merah di Hph Pt Erna Juliawati Kalimantan Tengah J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:191-199 Penelitian uji coba mutu bibit dua jenis meranti merah telah dilakukan di areal IUPHHK PT ERNA JULIWATI, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi mutu bibit dua jenis meranti merah setelah satu tahun ditanam di lapangan. Bibit yang telah dipelihara selama tujuh bulan di persemaian, sebelum ditanam di lapangan diseleksi terlebih dahulu berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01-5005.1-1999) yaitu berdasarkan kriteria tinggi dan diameter bibit serta nilai kekokohan bibit. Perlakuan terdiri dari dua jenis meranti merah dan tiga mutu bibit asal cabutan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah faktorial dalam pola acak lengkap berblok yang diulang sebanyak 4 kali. Setiap perlakuan ditanam sebanyak 100 tanaman dengan jarak tanam 20 m x 2,5 m. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 2400 bibit. Parameter bibit yang diuji adalah persen hidup dan pertumbuhan (tinggi dan diameter). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis, mutu bibit, interaksi antara jenis dan mutu bibit tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup, namun block dan mutu bibit berpengaruh nyata terhadap persen hidup, sedangkan. untuk pertumbuhan (tinggi dan diameter) hanya blok yang berpengaruh nyata. Berdasarkan uji beda nyata Tukey menujukkan bahwa persen hidup bibit untuk ke dua jenis meranti pada blok II antara mutu bibit satu dengan mutu bibit yang lainnya berpengaruh nyata yaitu 88,8 % and 84,3 %. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit pada blok III untuk kedua jenis meranti lebih tinggi dibandingkan pada blok lainnya, sementara untuk S. parvifolia. yang berasal dari mutu bibit satu lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi antara jenis dan mutu bibit lainnya, yaitu sebesar 184,6 cm. Dengan demikian jenis S. parvifolia dari cabutan dengan mutu bibit satu, yaitu tinggi antara (50 cm - 65 cm ) atau rata-rata sebesar 59,3cm dengan diameter antara (5 mm - 8 mm) atau rata-rata sebesar 5,8 mm dapat dijadikan standard mutu bibit untuk ditanam dalam program silin dengan system TPTI Intensif. Kata kunci : cabutan, kelas mutu bibit, meranti merah, pertumbuhan. UDC(OXDCF)630*............ Nanang Herdiana (Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang) Potensi Serangan Hama Tanaman Jati Rakyat dan Upaya Pengendaliannya di Rumpin, Bogor J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:201-209 HJati (Tectona grandis Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan potensial yang banyak dikembangkan, terutama untuk kayu pertukangan. Dalam pertumbuhannya, tanaman jati sering diserang oleh berbagai jenis hama yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup serius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama utama dan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi hama dilakukan pada tanaman jati rakyat di Rumpin, Bogor Jawa Barat dan Laboratorium Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan jenis hama utama yang menyerang tanaman jati pada lokasi penelitian adalah Leucopholis rorida F. dan Zeuzera coffeae Nietn. Kerusakan akibat serangan uret paling parah terjadi pada petak I (jati umur 2,5 tahun) dengan intensitas serangan dan kerusakan masing-masing sebesar 77,63% dan 48,89%. Sedangkan serangan hama Z. coffeae paling parah terjadi pada petak IV (jati umur 11 bulan) dengan intensitas serangan dan kerusakan masing-masing sebesar 5,2% dan 3,71%. Kata kunci : Jati (Tectona grandis Linn.), hama, Leucopholis rorida F., Zeuzera coffeae Nietn.

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VII No. 4, 2010

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF)630*............. Sri Utami (Balai Penelitian Kehutanan Palembang) Aktivitas Insektisida Bintaro (cerbera Odollam Gaertn) terhadap Hama Eurema Spp. pada Skala Laboratorium J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:211-220 Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya sengon (Paraserianthes falcataria) adalah serangan hama. Eurema spp. merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman sengon baik pada skala persemaian maupun lapangan. Terdapat banyak teknik pengendalian yang bisa dilakukan untuk mengendalikan hama Eurema spp. Salah satunya yaitu pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh ekstrak bintaro dalam mengendalikan serangga hama Eurema spp. pada skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bintaro memberikan pengaruh signifikan terhadap mortalitas dan penghambatan perkembangan serangga hama Eurema spp. Ekstrak biji bintaro mempunyai efek insektisidal paling kuat dibandingkan dengan ekstrak daging buah dan daun bintaro. Ekstrak biji bintaro menyebabkan mortalitas larva Eurema spp. sebesar 90%, keberhasilan pembentukan pupa dan imago masing-masing sebesar 16,67% dengan waktu yang dibutuhkan 1,7 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Diduga kandungan kimia yang terdapat di dalam ekstrak bintaro mampu memberikan efek insektisidal terhadap hama Eurema spp. Kata kunci : bintaro, Eurema spp., insektisida nabati, mortalitas, sengon UDC(OXDCF)630*............. Yunita Lisnawati danAri Wibowo (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Bogor) Analisis Fluktuasi DebitAirAkibat Perubahan PenggunaanLahan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor J. Pen. Htn Tnm Vol. VII No. 4, 2010 p:221-226 PBanjir yang sering melanda Jakarta seperti halnya banjir besar yang terjadi pada bulan Pebuari 2007 disebabkan oleh berbagai faktor seperti tingginya curah hujan dan menurunnya kemampuan suatu wilayah dalam menyerap air. Kawasan Puncak yang terletak di Sub DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah tangkapan air yang penting bagi kota Jakarta. Meskipun demikian, di kawasan ini telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang sangat dinamis, terutama meningkatnya penggunaan lahan untuk pemukiman. Dari segi tata air, perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi debit air maksimum-minimum, yang berkontribusi terhadap kejadian banjir di Jakarta setiap tahunnya. Perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak perlu diwaspadai, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995-2003, dalam hubungannya dengan perubahan debit air maksimum-minimum di kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 19952003 yang diperoleh dari citra satelit landsat ETM+, dan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis data atribut dilaksanakan dengan menggunakan Analisis Korelasi Berganda dan Analisis Regresi Berganda. Hasil analisis spasial menunjukkan perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak pada periode tahun 1995-2003 yang didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan kebun campuran menjadi pemukiman. Analisis korelasi berganda menunjukkan adanya korelasi yang cukup tinggi dan berkorelasi negatif antara luas hutan dan selisish debit maksimum-minimum. Dari hasil analisis regresi berganda dapat disimpulkan bahwa hutan mampu menurunkan selisih debit air maksimum-minimum sebesar 0,027 m3/detik, jika luasan hutan naik sebesar satu hektar. Kata kunci : Citra satelit landsat ETM+, Fluktuasi debit air, kawasan Puncak, penggunaan lahan

DAMPAK PENURUNAN KADAR AIR TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA PROPAGUL Rhizophora apiculata Bl. The Effect of Decreasing Moisture Content to the Response of Physiological and Biochemical of Rhizophora apiculata Bl. Propagules
Asep Rohandi1 dan/and Nurin Widyani 1) Balai Penelitian Kehutanan Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 PO. BOX 5 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352 2) Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor Jalan Pakuan Ciheuleut P.O. BOX. 105. Bogor 16001 Telp. (0251) 8327768 . Naskah masuk : 1 Desember 2009 ; Naskah diterima : 22 September 2010
2)

ABSTRACT

The research is aimed at studying effect of decreasing moisture content to the response of physiological and biochemical of Rhizophora apiculata Bl. propagules. Decreasing of moisture content is done through desiccation and storage at two (2) storage room in different temperature. Decreasing propagules moisture content by desiccation for 1, 2 and 3 weeks; storing the propagules conventionally. Completely randomized design was used with one factor for the first trial and two factors for the second trial (environment and period of storage). The variables of physiological observation were germination percentage, germination rate and germination value, whereas variables of biochemistry were contents of starch, fat, protein and leachate conductivity. The results showed that desiccation and storage brought about the decrease of germination viability following desiccation and storage periods. Up to 3 weeks of desiccation period, propagules moisture content was 31.72% and it did not yet show the critical moisture content and germination percentage was still very high (86.67%). Storing of R. apiculata propagules with 0 0 moisture content of 54.02% in ambient room (28 -29 C) could manage the germination percentage up to 29%, germination rate 0.26 per etmal and germination value 0.02 for 8 weeks. Biochemical variables measured increased following desiccation and storage periods.
Keywords: Biochemistry, desiccation, deterioration, physiology, Rhizophora apiculata, storage ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak penurunan kadar air terhadap fisiologis dan biokimiawi propagul Rhizophora apiculata Blume. Penurunan kadar air dilakukan melalui pengeringan dan penyimpanan pada dua (2) suhu ruang simpan. Penurunan kadar air propagul dengan cara pengeringan selama 1, 2 dan 3 minggu; Penyimpanan propagul secara konvensional. Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor untuk percobaan pertama dan dua faktor untuk percobaan yang kedua (kondisi dan periode simpan). Parameter fisiologi yang diamati meliputi daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan, sedangkan parameter biokimia meliputi kandungan pati, lemak, protein dan daya hantar listrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dan penyimpanan menyebabkan penurunan viabilitas propagul sejalan dengan makin lamanya periode pegeringan dan penyimpanan. Sampai pengeringan selama 3 minggu, kadar air propagul mencapai 31,72% dan belum menunjukkan kadar air kritis dan daya berkecambah propagul masih cukup tinggi (86,67%). Penyimpanan propagul R. apiculata (kadar air awal 54,02%) dalam ruang kamar dapat mempertahankan daya berkecambah hingga 29%, kecepatan berkecambah 0,26% per etmal dan nilai perkecambahan 0,02 selama 8 minggu. Kandungan biokimia propagul cenderung meningkat dengan makin lamanya periode pengeringan dan penyimpanan.
Kata kunci : Biokimia, fisiologi, kemunduran, pengeringan, penyimpanan, Rhizophora apiculata

167

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

I. PENDAHULUAN Penurunan luas hutan mangrove diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain terjadinya bencana alam seperti tsunami, eksploitasi hutan secara berlebihan, sedimentasi, pencemaran serta konversi hutan menjadi fungsifungsi lain seperti tambak dan pemukiman. Hal tersebut menyebabkan makin menipis dan rusaknya hutan mangrove di seluruh pesisir pantai Indonesia. Menurut Arobaya dan Wanma (2006) dalam Santoso (2008), luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4,25 juta hektar. Sedangkan luas hutan mangrove yang dalam kondisi rusak (Hindra, 2006) diperkirakan 6,6 juta hektar (1,8 juta hektar dalam Kawasan Hutan Negara dan 4,8 juta hektar di luar Kawasan Hutan Negara (hutan milik/hutan rakyat). Keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari masalah ketersediaan bibit, terutama dalam hal kesesuaian jenis, kuantitas dan kualitasnya. Rhizophora spp., terutama R. apiculata merupakan salah satu jenis mangrove yang umum digunakan dalam kegiatan rehabilitasi pantai dan untuk tujuan kegiatan penanaman lainnya. Beberapa permasalahan yang timbul dalam penyediaan bibit jenis ini diantaranya adalah karena benihnya bersifat rekalsitran, tidak memiliki masa dormansi, sangat sensitif terhadap pengeringan, dan memiliki viabilitas yang sangat pendek (Schmidt, 2000). Benih rekalsitran merupakan benih berkadar air tinggi sehingga sukar ditangani ketika lepas dari pohon induknya, dengan kadar air tinggi dan kondisi lingkungan bersuhu tinggi maka perkecambahan dengan segera terjadi; proses kimia dan respirasi berlangsung (Lauridsen et al., 1992). Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan karena pada kadar air tertentu yang relatif tinggi benih akan cepat berakar dan viabilitasnya akan cepat mengalami kemunduran sehingga mutunya menjadi sangat rendah. Menurut Chin et al. (1989), kadar air dari benih rekalsitan pada saat masak fisiologis (50% - 70%) jauh lebih tinggi daripada benih ortodok (30% - 50%). Selain itu, benih ortodok akan kering ke kadar air panen setelah masak fisiologis yaitu sekitar 15% - 20%. Sedangkan menurut Schmidt (2000), kadar air benih rekalsitran relatif tinggi yaitu sekitar 25% 30% dan benih ortodok relatif kering mencapai 5% - 10% selama proses pematangan. Benih jenis ortodok yang termasuk kebanyakan jenis zona-

kering dan kebanyakan jenis pioneer zona lembab tidak mempunyai level toleransi kadar air rendah. Umumnya kadar air 6% - 8% cukup untuk penyimpanan yang aman; kadar air lebih rendah hanya untuk penyimpanan jangka lama pada suhu sangat rendah (pada suhu di bawah nol, dikehendaki kadar air 2% - 4%). Untuk benih rekalsitran, tidak toleran terhadap pengeringan yang berlebihan dan harus disimpan dengan kadar air tinggi untuk waktu sependek mungkin. Kemunduran benih merupakan semua proses perubahan yang terjadi dalam benih yang berperan dan akhirnya mengarah pada kematian benih (Byrd, 1983). Kemunduran benih yang disebabkan penurunan kadar air diindikasikan secara fisiologi dengan adanya perubahan warna benih, tertundanya perkecambahan, menurunnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai, peka terhadap radiasi, menurunnya pertumbuhan kecambah dan meningkatnya pertumbuhan kecambah abnormal. Indikasi biokimia dalam benih yang mengalami kemunduran adalah terjadinya perubahan aktivitas enzim, perubahan laju respirasi, perubahan dalam cadangan makanan, perubahan dalam membran, kerusakan kromosom dan akumulasi bahan toksin (Blanche et al., 1991; Dourado and Roberts, 1984; Abdul Baki and Anderson, 1970;Anderson, 1970). Perubahan kondisi selama penyimpanan dapat menyebabkan perubahan laju respirasi. Laju respirasi terus meningkat bila suhu lingkungan meningkat sampai suatu saat lajunya dihambat karena terjadinya hal seperti tidak aktifnya enzim, kehabisan cadangan nutrisi atau oksigen atau karena karbondioksida terakumulasi, hingga mencapai tingkat yang menghambat. Dengan mengetahui kandungan biokimia tersebut, maka viabilitas benih dapat diprediksi sehingga teknik penyimpanan atau pengujian yang tepat dapat ditetapkan. Sehubungan dengan adanya indikasi penurunan viabilitas yang berhubungan dengan perubahan fisiologis dan biokimiawi benih, maka perlu dilakukan penelitian pengaruh pengeringan dan penyimpanan terhadap perubahan fisiologis dan biokimiawi jenis R. apiculata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penurunan kadar air terhadap respon fisiologis dan biokimia propagul R. apiculata. Hasil penelitian diharapkan dapat merupakan upaya untuk mempertahankan mutu propagul R. apiculata sebelum disemaikan.

168

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Nopember 2007 di Laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) dan Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor. Lokasi pengumpulan buah R. apiculata dilakukan di Bali, Desa Pagirigan Kecamatan Sindang Indramayu, Kecamatan Pamanukan Subang dan Baturusa Bangka Belitung. B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah propagul Rhizophora apiculata, sedangkan alat-alat yang

digunakan meliputi peralatan laboratorium seperti timbangan, oven, AC, termometer dan peralatan rumah kaca seperti bak kecambah dan alat penyiraman. C. Metode Penelitian ini dibagi dalam 2 (dua) percobaan yang meliputi : (1) Pengaruh pengeringan terhadap perubahan fisiologi dan biokimia propagul dan (2) Pengaruh penyimpanan terhadap perubahan fisiologi dan biokimia propagul (Tabel 1). Data yang diperoleh dianalisis k e r a g a m a n n y a ( A N O VA ) d a n d i u j i perbedaannya dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan.

Tabel (Table 1). Rancangan dan variabel percobaan (Experimental design and variables)
Percobaan (Experiment) Percobaan 1 Rancangan (Design) RAL dengan 3 ulangan: periode pengeringan 0, 1, 2, 3 minggu RAL faktorial 2 x 6 dengan 3 ulangan - Faktor A = suhu ruang simpan (ruang kamar/A1=28-290C dan ruang AC/A2 =18-200C) - Faktor B = lama penyimpanan (B0= kontrol, B1=2 minggu, B2= 4 minggu, B3= 6 minggu, B4=8 minggu dan B5=10 minggu Variabel (Variables) - Fisiologi : kadar air (KA), daya berkecambah (DB), kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan - Biokimia : pati, lemak, protein dan daya hantar listrik Keterangan (Remarks) Setiap ulangan terdiri dari 30 propagul : - 25 propagul untuk DB - 2 propagul untuk KA - 3 propagul untuk pengujian biokimia

Percobaan 2

Tabel (Table 2). Matrik perlakuan percobaan (Experimental matrix treatments)

Faktor (Factor) A A1 A2
D. Pelaksanaan

B0 A1B0 A2B0

B1 A1B1 A2B1

Faktor (Factor) B B2 B3 A1B2 A1B3 A2B2 A2B3

B4 A1B4 A2B4

B5 A1B5 A2B5

Kegiatan penelitian dimulai dengan tahap persiapan yang meliputi penyiapan wadah simpan berupa kardus (50 x 30 x 20 cm), media simpan berupa serbuk gergaji yang telah disterilkan, ruang simpan (ruang AC dan ruang kamar) yang masing-masing diukur suhu dan kelembabannya setiap 3 hari sekali selama penyimpanan dan media perkecambahan yang

terdiri dari campuran pasir, tanah, kompos dengan perbandingan 1 : 1 : 1 (v/v). Pengunduhan propagul R. apiculata dilakukan pada buah yang telah matang dengan ciri-ciri kotiledon berwarna coklat kemerahan atau kekuningan. Seleksi dilakukan untuk memilih propagul yang dianggap cukup baik dan memenuhi persyaratan. Propagul yang dipilih adalah propagul yang sehat dan masak, ditandai oleh warna kotiledon coklat kemerahan atau

169

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

kekuningan, hipokotil kokoh serta bebas dari hama penyakit maupun luka mekanis. Pengujian propagul diperlukan untuk menilai mutu fisiologi dan biokimia propagul yang diteliti, metode yang digunakan untuk uji fisiologi adalah dengan pengujian di persemaian. Sementara itu, untuk uji biokimia dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor (Balitro). Penyemaian propagul R. apiculata dilakukan langsung pada polybag dengan cara membenamkan ujung hipokotil sedalam kurang lebih 5 cm. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan dengan penyiraman air garam dengan konsentrasi 2,5% yang dilakukan sekali selama penelitian yaitu langsung setelah penyemaian. Penyiraman dengan air tawar dilakukan secukupnya (satu hari sekali). Pencabutan/ pembersihan gulma dan penyemprotan pestisida dilakukan sesuai kebutuhan. E. Teknik Pengumpulan Data Data yang diamati dalam penelitian ini meliputi variabel fisiologis dan biokimiawi propagul. Variabel fisiologi meliputi pengukuran kadar air, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, dan nilai perkecambahan. Selain variabel fisiologi, analisis juga dilakukan untuk mengetahui biokimia benih meliputi kandungan lemak benih, pati, total protein dan daya hantar listrik di Laboratorium Ekofisiologi Balitro, Bogor. Pengukuran kadar air propagul dilakukan dengan menggunakan 2 buah contoh propagul untuk setiap perlakuan dan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pra pengeringan (predrying). Pada tahap ini propagul ditimbang sehingga diperoleh berat basah, propagul kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 1300C selama 5-10 menit (ISTA, 1985). Setelah dimasukkan ke dalam desikator selama 45 menit, propagul ditimbang lagi sehingga diperoleh berat kering propagul. Pada tahap kedua, sebelum dimasukkan ke oven, propagul dipotong dan dibelah. Suhu oven yang digunakan adalah 1050C selama 17 jam. Berat kering propagul diperoleh dengan cara menimbang propagul setelah propagul dibiarkan dalam desikator selama 45 menit. Kadar air dihitung berdasarkan rumus yang terdapat dalam ISTA(2006), yaitu :

Dimana : MC : Kadar air dalam % S1 : Jumlah air yang hilang pada pemanasan predrying (%) S2 : Jumlah air yang hilang pada pemanasan kedua (%) Daya berkecambah (DB) yaitu banyaknya persentase kecambah normal pada pengamatan selama 30 hari setelah tanam (hst), dengan persamaan sebagai berikut :
Daya Berkecambah % Jumlah kecambah normal 100% Total benih yang ditabur

Kecepatan berkecambah (KT) diukur berdasarkan total nilai pertambahan kecambah normal setiap hari, dengan persamaan : N1 D1 N2 D2 Nn Dn

Kt (%/hari) = Dimana : Kt : N1......Nn :

.........

kecepatan perkecambahan kecepatan normal pada 1,2,....., n hari setalah tanam (%) D1.......Dn : jumlah hari setelah tanam Nilai perkecambahan (NP) atau Germination Value (GV) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : GV PV x FGD % Perkecambahan puncak Jumlah hari perkecambahan
% Perkecambahan pada akhir pengamatan Jumlah hari uji

PV

FGD

Dimana : GV : Nilai Perkecambahan PV : Perkecambahan Puncak FGD : Perkecambahan harian akhir

MC

S1 S2 -

S1 S2 100

170

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Percobaan 1 : Pengaruh Pengeringan terhadap Perubahan Fisiologi dan Biokimia Pengamatan pertumbuhan propagul R. apiculata dilakukan setiap dua hari sekali selama 90 hari (3 bulan), sedangkan untuk pengamatan biokimia propagul dilakukan secara bertahap sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pengeringan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap variabel kadar air (KA) dan kecepatan berkecambah (Kt), berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah (DB), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai perkecambahan (NP) propagul seperti selengkapnya dicantumkan pada Tabel 3.

Tabel (Table) 3. Rekapitulasi hasil analisis keragaman pengaruh pengeringan terhadap variabel kadar air (KA), daya berkecambah (DB), kecepatan berkecambah (Kt) dan nilai perkecambahan (NP) propagul R. apiculata (Summarized analysis of variance regarding the effect of desiccation duration on the moisture content, germination percentage, germination rate and germination value of R. apiculata seed)

No. 1. 2. 3. 4. Kadar air

Variabel (variables) Daya berkecambah Kecepatan berkecambah Nilai perkecambahan

F-hit (calculated F) 81.49** 4.53* 158.98** 1.04ns

Keterangan (Remarks) : ** : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 99% (very significant at 95% confident level) * : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (significant at 95% confident level) ns : Tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)

Hasil uji Duncan (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan pada periode 1 minggu tidak berbeda nyata dengan tanpa pengeringan (kontrol) terhadap variabel kadar air (KA), sedangkan pada periode 2-3 minggu menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Kadar air merupakan faktor utama yang mempengaruhi viabilitas propagul karena pada kadar air tertentu viabilitas propagul dapat mencapai maksimum. Perlakuan pengeringan propagul memberikan pengaruh nyata terhadap variabel fisiologi propagul R. apiculata. Daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan semakin menurun dengan meningkatnya periode pengeringan propagul. Pengeringan propagul selama 1 minggu tidak menyebabkan penurunan daya berkecambah dari kontrol (tanpa penurunan) yaitu masih 100% meskipun nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan daya kecambah propagul pada periode penurunan selama 2 minggu (Tabel 4). Pada ketiga perlakuan tersebut daya berkecambah propagul R. apiculata tergolong cukup baik karena masih bisa mencapai di atas 97% (Gambar 1). Penurunan daya kecambah propagul terlihat nyata setelah penurunan selama 3 minggu

(86,67%) yaitu sebesar 13,33%. Seperti halnya p a d a p r o p a g u l B r u g u e r a g y m n o rh i z a (Handayani, 2004), pengeringan propagul R. apiculata cukup lambat sehingga penurunan daya kecambah tidak terjadi secara drastis. Viabilitas maksimum propagul terjadi pada kadar air 54,02% yaitu pada perlakuan tanpa pengeringan (kontrol). Hal tersebut ditunjukkan dengan dicapainya nilai tertinggi untuk semua parameter yaitu daya berkecambah sebesar 100%, kecepatan berkecambah 2,57% per etmal dan nilai perkecambahan 0,19. Meskipun cenderung terus menurun selama 3 minggu pengeringan viabilitas masih bisa dipertahankan dengan baik yaitu sebesar 86,67% dan nilai perkecambahannya tidak berbeda nyata dengan perlakuan-perlakuan lainnya. Justice and Louis (1990) menyatakan bahwa pada kondisi kadar air yang sangat rendah atau mendekati kritis, gejala kerusakan benih akan tampak dan diikuti penurunan daya berkecambah setelah benih disimpan. Namun sampai pengeringan selama 3 minggu, daya berkecambah masih cukup tinggi (86,67%) dan kondisi propagul masih kelihatan cukup segar.

171

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

Tabel (Table) 4. Rekapitulasi uji jarak duncan pengaruh pengeringan terhadap parameter Daya Berkecambah (DB), Kecepatan berkecambah (KT) dan Nilai Perkecambahan (NP) propagul R. apiculata (Summarized of Duncan's multiple range test to the effect of desiccation on the moisture content, germination percentage, germination rate and germination value of R. apiculata seed)
No. Lama Pengeringan (Drying period ) Variabel (variables) KA (moisture content) (%) 54.02 a 50.78 a 40.64 b 31.72 c DB (germination percentage) (%) 100.00 a 100.00 a 97.33 a 86.67 b KT (germination rate) (% per etmal) 2.57 a 2.34 b 1.87 c 1.38 d NP (germination value)

1. 2. 3. 4.

0 minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu

0.19 a 0.11 a 0.08 a 0.08 a

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% uji berganda Duncan (values followed by the same letters in the same column are not significantly different at 95% confident level in accordance to the Duncan's multiple range test)

(a)

(b)

Gambar (Figure) 1. Viabilitas propagul R. apiculata pada beberapa periode pengeringan : a). kadar air (KA) dan daya berkecambah (DB) dan b). kecepatan berkecambah (KT) dan nilai perkecambahan (NP) (Viability of R. apiculata seeds at desiccation period a). moisture content and germination percentage and b). germination rate and germination value) Parameter biokimia yang diamati dalam penelitian ini meliputi kadar pati, lemak, protein dan daya hantar listrik (DHL). Hasil analisis kandungan biokimia propagul pada berbagai perlakuan pengeringan selengkapnya dicantumkan pada Tabel 5. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan biokimia propagul R. apiculata yaitu pati, lemak dan protein berubah-ubah (turun naik) dengan meningkatnya waktu pengeringan meskipun semuanya lebih tinggi dibanding kontrol. Sedangkan daya hantar listrik (DHL) semakin meningkat dengan meningkatnya waktu pengeringan. Kandungan biokimia tertinggi 172 masing-masing parameter yaitu untuk pati 27, 35% (2 minggu), lemak 0,71% (2 minggu), protein 4,50% (1 minggu) dan DHL2,30 (3 minggu). Kandungan biokimia propagul R. apiculata yang meliputi pati, lemak dan protein cenderung mengalami perubahan komposisi (naik turun) selama pengeringan (Gambar 2). Peningkatan kandungan karbohidrat selama pengeringan secara umum diindikasikan bahwa menguapnya air menyebabkan kandungan karbohidrat lebih pekat sehingga konsentrasinya meningkat. Menurut Nkang (1988), pengeringan yang berlebihan juga akan menyebabkan hilangnya karbohidrat baik karena polimerisasi atau koagulasi/pembekuan.

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

Tabel (Table) 5. Jumlah kandungan pati, lemak, protein dan daya hantar listrik (DHL) pada berbagai perlakuan pengeringan propagul R. apiculata (Contain of carbohydrate, fat, protein and leachate conductivity of many desiccation treatments of R. apiculata seeds) No. Lama Pengeringan (period ) Variabel (variable s) Pati (carbohydrate) (%) 15.06 24.92 27.35 24.01 Lemak (fat) (%) 0.07 0.29 0.71 0.24 Protein (protein) (%) 3.63 4.50 3.81 3.69 DHL (leachate conductivity ) (milimhos) 0.46 0.87 1.20 2.30

1. 2. 3. 4.

0 minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu

Secara umum kandungan lemak propagul yang dianalisis, tidak mengalami perubahan secara nyata karena sampai penurunan 3 minggu viabilitas propagul masih cukup baik. Perbedaan kadar air kesetimbangan antar spesies, disebabkan oleh variasi jumlah lemak yang tersimpan. Gejala awal kerusakan dalam pengeringan benih rekalsitran adalah kebocoran membran. Kerusakan membran menyebabkan kehilangan bagian-bagian dari sel dan pelepasan enzim hidrolitik. Hal ini sering menghasilkan k e r u s a k a n l u a s p a d a o rg a n i s m e d a n menyebabkan kematian. Kebocoran membran berhubungan dengan transisi fase lemak (lipid phase transition). Fosfolipid membran terjadi dalam dua fase yaitu fase kristal cair (liquid crystalline phase) dan fase gel (gel phase). Peningkatan suhu dalam pengeringan di mana fase kristal cair pada membran fosfolipid berubah menjadi fase gel, yang menghasilkan peningkatan kebocoran membran selama pengeringan atau reimbibisi (Kraak, 1993 dalam Adimargono, 1997). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan nilai daya hantar listrik dalam benih. Hipotesis lain tentang rusaknya membran selama pengeringan pada jaringan yang tidak tahan pengeringan termasuk de-esterifikasi termediasi radikal (radical- mediated deesterification) atau peroksidasi dari phospholipid membran, toleransi terhadap pengeringan mungkin berhubungan dengan adanya anti oksidan yang dapat menetralkan radikal bebas dan terlarut pada lipid dari membran (Kraak, 1993 dalam Adimargono, 1997). Analisis kandungan protein menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan pada pengeringan 1 minggu di banding kontrol (tanpa pengeringan), tetapi setelah itu kandungan

protein terus mengalami penurunan sejalan dengan penurunan kadar air benih. Tatipata et al. (2004) menjelaskan bahwa kadar protein membran mitokondria menurun lebih cepat karena protein lebih peka terhadap kondisi penyimpanan yang kurang menguntungkan. Protein membran bersama fosfolipid berfungsi menjalankan fungsi membran. Menurunnya kadar fosfolipid membran akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi membran. Menurunnya kadar fosfolipid dan protein membran mencerminkan terjadinya kemunduran benih. Hal serupa terjadi pada pengeringan Calamus spp. penurunan kadar air diikuti dengan penurunan kandungan protein dalam benih yang erat kaitannya dengan peningkatan asam amino bebas (Girija and Srinivasan, 1998). Nilai daya hantar listrik untuk jenis propagul yang diuji cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya periode pengeringan propagul. Hasil penelitian Nugroho (1998) pada jenis sengon buto menunjukkan hal yang sama, dimana daya hantar listrik semakin meningkat dengan semakin lamanya pengusangan benih. Byrd (1983) menyatakan bahwa benih hidup mengadakan reaksi yang berbeda bila dialiri arus listrik. Benih-benih yang mati lebih permeabel dan apabila direndam dalam air maka elektrolit benih akan tercuci lebih cepat. Daya hantar listrik benih memiliki kepekaan yang tinggi dalam mendeteksi kemunduran benih, tetapi banyak faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : (1) kerusakan mekanis pada benih, (2) kondisi kulit benih, (3) suhu dan tekanan osmotik cairan perendaman (4) tingkat imbibisi awal sebelum benih direndam dan (5) lamanya perendaman (Pian,1981; Nugroho, 1998).

173

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

Gambar (Figure) 2. Kandungan pati, lemak protein dan daya hantar listrik pada berbagai tingkat kadar air propagul R. apiculata (contents of carbohydrate, fat, protein and leachate conductivity at several moisture content levels of R. apiculata seeds)

B. Percobaan 2 : Pengaruh Penyimpanan terhadap Perubahan Fisiologi dan Biokimia Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian faktor tunggal ruang simpan (A) dan lama penyimpanan (B) serta interaksinya

(AB) berpengaruh sangat nyata terhadap variabel kadar air (KA), daya berkecambah (DB) dan kecepatan berkecambah (KT) serta berpengaruh nyata terhadap nilai perkecambahan (NP) propagul R. apiculata seperti selengkapnya dicantumkan pada Tabel 6.

Tabel (Table) 6. Rekapitulasi hasil analisis keragaman pengaruh penyimpanan terhadap variabel Kadar Air (KA), Daya Berkecambah (DB), Kecepatan berkecambah (KT) dan Nilai Perkecambahan (NP) jenis R. apiculata (Summarized analysis of variance to the effect of storage on the moisture content, germination percentage, germination rate and germination value of R. apiculata seeds) SK (sourcesof variation) A B A*B KA (moisture content) (%) 91.39** 72.01** 28.68** F-hitung (calculated F) DB (germination KT percentage) (germination rate) (%) (% per etmal) 253.10** 247.51** 59.30** 339.69** 302.95** 54.13** NP (germination value) 3.19* 2.51* 2.44*

Ket. (Remarks) : ** : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 99% (very significant at 95% confident level)) * : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (significant at 95% confident level) ns : Tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)

Hasil uji jarak Duncan menunjukkan bahwa pengaruh lamanya penyimpanan berbeda tergantung dimana propagul disimpan (ruang simpan). Propagul R. apiculata mampu tumbuh sampai waktu 8 minggu dengan daya kecambah sebesar 29,33% di ruang kamar dan tidak mampu tumbuh (0%) pada penyimpanan 10 minggu. Pada penyimpanan di ruang AC,

propagul mampu tumbuh sampai waktu penyimpanan 4 minggu sebesar 29,33% dan setelah 6 minggu daya berkecambah propagul menjadi 0%. Hasil pengamatan perkecambahan selama 90 hari menunjukkan bahwa daya berkecambah propagul R. apiculata yang disimpan pada ruang AC menurun sangat tajam pada penyimpanan

174

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

selama 4 minggu dan tidak mampu berkecambah pada penyimpanan 6 minggu. Sementara itu, propagul yang disimpan pada ruang kamar daya berkecambahnya menurun tajam pada penyimpanan 8 minggu dan tidak mampu berkecambah pada penyimpanan 10 minggu (Gambar 3).

Hasil penelitian Anggraini (2000) menunjukkan hasil yang sama dimana propagul R. apiculata dengan daya berkecambah 100% tanpa penyimpanan mengalami penurunan pada akhir pengamatan yaitu sampai periode penyimpanan 4 minggu menjadi 70,56%.

(a)

(c)

Nilai Perkecambahan (NP)


(b) (d)

Lama Penyimpanan (minggu)


Kamar

Gambar (Figure) 3. Viabilitas propagul R. apiculata pada beberapa perlakuan penyimpanan : a). Kadar air, b). Daya berkecambah, c) Kecepatan Tumbuh dan d) Nilai perkecambahan (Viability of R. apiculata seed at many storage treatment : a). Moisture content, b) Germination percentage, c) Germination rate and d) Germination value Daya berkecambah propagul yang disimpan pada ruang kamar mengalami penurunan yang lebih lambat dibanding penyimpanan pada ruang AC (Gambar 3). Pada minggu keenam propagul yang disimpan pada ruang AC sudah tidak mampu tumbuh (menurun 100%), sedangkan pada ruang kamar daya berkecambah propagul masih 85,33%. Hal tersebut disebabkan pada ruang AC suhu dan kelembaban udara lebih rendah dibanding ruang kamar. Kondisi seperti ini menyebabkan propagul mudah mengalami kehilangan air. Pengeringan ini merupakan faktor penyebab terjadinya kemunduran benih. Kadar air benih pada akhir periode simpan merupakan faktor yang sangat kritis sehubungan dengan pengaruhnya terhadap daya berkecambah dan viabilitas benih. Hal tersebut dikarenakan bahwa semakin lama benih disimpan maka akan menyebabkan terjadinya stres air yang menyebabkan kemunduran benih (Pammenter et al., 1994). Selain dengan parameter daya kecambah, indikator viabilitas benih dapat dilihat

175

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

diantaranya dari parameter kecepatan berkecambah (KT) dan nilai perkecambahan (NP). Pada perlakuan penyimpanan pada propagul R. apiculata (Gambar 3) menunjukkan bahwa kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan propagul yang langsung ditanam (tanpa penyimpanan) lebih tinggi dibandingkan setelah propagul mengalami proses penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut, perkecambahan propagul berlangsung sempurna sebagai indikator bahwa vigor propagul masih bagus sehingga mampu menghadapi kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (sub optimum) (Sadjad, 1972). Kecepatan

berkecambah dan nilai perkecambahan yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan disebabkan oleh kadar air sebagai bahan proses metabolisme dalam propagul yang semakin menurun. Hasil analisis biokimia menunjukkan bahwa komposisi kandungan biokimia propagul selama penyimpanan propagul R. apiculata cenderung mengalami peningkatan dan penurunan, tetapi pada akhir penyimpanan kadar masing-masing parameter mengalami peningkatan dibanding kontrol. Hasil analisis biokimia selengkapnya dicantumkan pada Tabel 7.

Tabel (Table) 7. Jumlah kandungan pati, lemak, protein dan daya hantar listrik (DHL) pada berbagai perlakuan penyimpanan propagul R. apiculata (Contents of carbohydrate, fat, protein and leachate conductivity of many storage treatmenst of R. apiculata seeds ) No. Perlakuan (treatment) Variabel (variables) Pati (carbohydrate) (%) 15.06 22.63 24.84 21.35 28.03 28.96 15.06 25.56 23.24 22.64 25.72 26.62 Lemak ( fat) (%) 0.07 0.24 0.20 0.27 0.34 0.54 0.07 0.27 0.26 0.39 0.10 0.18 Protein (protein) (%) 3.63 3.44 3.31 3.63 2.59 4.15 3.63 3.69 3.56 3.50 3.07 4.19 DHL (leachae conductivityt) (milimhos) 0.46 0.87 0.89 1.23 0.49 0.17 0.46 1.14 1.05 2.84 1.37 0.55

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Kontrol (benih segar)/A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5

Keterangan : A = Ruang simpan (1 = ruang kamar; 2 = ruang AC), B = Lama penyimpanan (0 = 0 minggu/kontrol/benih segar, 1 = 2 minggu; 2 = 4 minggu; 3 = 6 minggu; 4 = 8 minggu dan 5 = 10 minggu)

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sebelum proses penyimpanan kadar pati sebesar 15,06% dan meningkat menjadi 28,96% pada akhir penyimpanan (penyimpanan dalam ruang kamar). Kandungan pati tertinggi pada propagul R. apiculata adalah 28,96% (ruang kamar selama 10 minggu), lemak 0,54% (ruang kamar selama 10 minggu), protein 4,19% (ruang AC selama 10 minggu) dan daya hantar listrik 2,84 milimhos (RuangAC selama 6 minggu).

Peningkatan dan penurunan kandungan biokimia propagul yaitu pati, lemak dan protein kemungkinan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak stabil atau berubah-ubah yang dapat dilihat juga dari kadar air propagul yang juga cenderung berubah-ubah selama penyimpanan. Meskipun demikian, apabila dilihat dari nilai daya hantar listrik maka terjadi kecenderungan terjadinya peningkatan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan.

176

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

Peningkatan daya hantar listrik menandakan terjadinya penurunan vigor propagul yang cenderung akan membocorkan bahan-bahan yang dikandungnya serta kebocoran dalam membran sel merupakan tempat kerusakan yang nyata dari kemunduran benih (Mugnisjah et al., 1994). Sadjad (1993) menyatakan bahwa daya hantar listrik bertambah besar apabila benih makin mundur akibat elektrolit yang bocor semakin besar. Hal tersebut juga didukung oleh AOSA (1983) yang menerangkan bahwa dengan semakin tingginya nilai daya hantar listrik berarti semakin besar zatzat terlarut dalam larutan perendaman. Tingginya cairan sel dalam larutan perendaman menunjukkan semakin rendahnya vigor benih. Beberapa penelitian juga telah membuktikan adanya hubungan antara kualitas benih dan kebocoran elektrolit pada benih tanaman kehutanan antara lain Pinus taeda L., P. eliotti Engelm, P. pasutris Mill, P. echinata Mill, P. strobus L (Bonner, 1991) serta E. cyclocarpum dan Paraserianthes falcataria (Nugroho, 1998). Hasil pengukuran kandungan lemak selama penyimpanan terlihat cukup bervariasi. Namun demikian, dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai kandungan lemak pada propagul segar (tanpa perlakuan) R. apiculata sebesar 0,07% dan lebih rendah dibandingkan benih Acacia mangium yaitu 5% yang merupakan benih orthodok (Syamsuwida et al., 2002). Salah satu ciri benih rekalsitran menurut Sudjindro (1994) adalah tingginya kadar lemak yang dikandung, sehingga benih cepat rusak selama penyimpanan. Hal tersebut diduga oleh perbedaan karakteristik seperti tipe morfologi propagul dibandingkan benih jenis rekalsitran lainnya. Namun untuk menetapkan benih kedalam klasifikasi rekalsitran tertentu perlu kajian lebih lanjut baik dilihat sifat fisiologi maupun biokimia benih selama penyimpanan secara lebih detail. Seringkali penyediaan benih atau bibit untuk suatu penanaman harus didatangkan dari daerah lain. Oleh karena itu, informasi penyimpanan propagul dalam penelitian ini sangat penting karena tipe propagul mangrove pada umumnya termasuk jenis rekalsitran sehingga memudahkan distribusi ke daerah yang membutuhkan dengan viabilitas propagul masih tetap terjaga baik. Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk mengatasi terjadinya penurunan viabilitas propagul selama penyimpanan diperlukan pengaturan kelembaban (RH) supaya tetap tinggi.

V. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlakuan penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap perubahan fisiologis propagul R. apiculata dimana kelembaban udara yang rendah pada ruang AC sangat menurunkan daya berkecambah propagul. 2. Kondisi kritis propagul R. apiculata belum terlihat sampai pengeringan selama 3 minggu (KA : 31,7%; DB : 86,7%; KT : 1,4% per etmal dan NP : 0,08). 3. Penyimpanan propagul R. apiculata pada ruang kamar (suhu : 28-290C, RH : 85-95%) pada KA awal 54% merupakan cara terbaik karena masih mampu mempertahankan daya berkecambah sampai minggu ke 8 sebesar 29,3%. 4. Kandungan biokimia (lemak, pati, protein dan daya hantar listik) propagul R. apiculata cenderung mengalami peningkatan dengan makin lamanya periode pengeringan dan penyimpanan. DAFTAR PUSTAKA Abdul Baki,A.A and J.D.Anderson. 1970. Viability and leaching of sugar from germinating Barley. Crop Science, 10:31 - 34 Adimargono, S. 1997. Recalcitrant seeds, identification, and storage. Final Thesis in Tropical Plant Production. Larenstein International Agriculture College, Deventer. Anderson, J.D. 1970. Physiological and Biochemical Differences in Deteriorating Barley Seed. Crop Science, 10: 36 - 39 Anggraini, Y.N. 2000. Pengaruh Media Simpan, Ruang Simpan dan Lama Simpan terhadap Viabilitas Propagul Rhizophora apiculata. Skripsi. Fakultas Kehutanan. I n s t i t u t P e r t a n i a n B o g o r. Ti d a k Dipublikasikan. 39 hal. AOSA. 1983. Seed Vigor Testing Handbook. Prepared by Seed Vigor Test Committee of the Association of Official Seed Analysis. Contribution No 32 .88p Blanche. C.A.; J.D. Hodges; A.E. Gomez and E. Gonzales. 1991. Seed chemistry of the

177

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 167 - 179

Tropical Tree Vochysia hondurensis Sprague Forest Science Vol.37 No. 3:949952. Bonner, F.T. 1991. Estimating Seed Quality of Southern Pines by Leachate Conductivity. United States Departement of Agriculture. New Orleans, Louisiana. Byrd, H. 1983. Pedoman Teknologi Benih. PT. Pembimbing Massa. Jakarta. Chin, H. F., B. Krishnapillay, P. C. Stanwood, 1989. Seed Moisture: Recalcitrant vs. orthodox seeds. In: Seed Moisture. Eds. Ph. C. Stanwood and N. B. McDonald, CSSA Special. Publ. No. 14, Crop Science Society ofAmerica, Madison, Wisconsin, USA. Dourado, A.M and E.H Roberts. 1984. Chromosome alterations in stored seeds. Annals of Botany Company 54: 767 - 778. Girija, T. and S. Srinivasan. 1998. Metabolic Changes associated with Desiccation in Calamus Seeds. IUFRO Seed Symposium Recalcitrant Seeds 12 - 15 October 1998. Kualalumpur. Malaysia. Handayani, B.R. 2003. Pengaruh Media Simpan, Ruang Simpan dan Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas Propagul Bruguera gymnorhyza. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. 59 hal. Tidak Dipublikasikan. Hindra, B. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23. h t t p : / / w w w. d e p h u t . g o . i d / f i l e s / Pot_Klbg_HR.pdf. Diakses tanggal 3 September 2008. ISTA. 1985. Seed Science and Technology. Vol. 13. Zurich, Switzerland. ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing. T h e I n t e r n a t i o n a l S e e d Te s t i n g Association (ISTA) P.O. Box 308, 8303 Bassersdorf, CH - Switzerland. Justice, O. L. dan Louis, N. Bass. 1990. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali Pers. Lauridsen, E.B., K. Olesen and E. Scholer. 1992. Packaging Materials for Tropical Tree Fruits and Seeds. Denmark: Humblebaek: Krogerupvej 3 A, DK-350: Danida Forest Seed Centre. 25 p.

Mugnisjah, W. Q., A. Setiawan, C. Santiwa dan Suwarto. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nkang, A. 1988. Some Aspects of Biochemical Basis of Viability Loss in Stored Guilfoxylia monostylis Seeds. Seed Science and Technology 16: 247-260. Nugroho, A. A. 1998. Pendugaan Kualitas Benih Sengon Buto ( Enterolobium cyclocarpum Griseb) dan Sengon Laut (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Berdasarkan Uji Daya Hantar Listrik. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan IPB. Bogor. Pammenter, N.W and P. Berjak. 1997. Aspect of our understanding of the biology and responses of non-orthodox seeds. In Tailor, A.G and Xue Lin Huang (eds). Progress in Seed Research. Confernce Proceedings of the 2nd ICSST. China. Pian, Z. A. 1981. Pengaruh Uap Etil Alkohol terhadap Viabilitas Benih Jagung (Zea mays L.) dan Pemanfaatannya untuk Menduga Daya Simpan. Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Sadjad, S. 1972. Kertas Merang untuk Uji Viabilitas Benih di Indonesia. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. . 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Santoso, U. 2008. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya. http://uripsantoso.wordpress.com/2008/0 4/03/hutan-mangrove-permasalahan-dansolusinya/. Diakses tanggal 3 September 2008. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Jakarta. Sudjindro. 1994. Indikasi Kemunduran Viabilitas Oleh Dampak Guncangan Pada Benih Kenaf (Hibiscus cannabinus L.). Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Tidak dipublikasikan.

178

Dampak Penurunan Kadar Air terhadap Respon Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora apiculata Bl. Asep Rohandi dan Nurin Widyani

Syamsuwida, D., Naning Y., Enok, R.K.; Adang M dan Endang I. 2002. Biokimia Benih: Kemunduran benih yang disebabkan oleh perubahan fisiologi dan biokimia benih orthodok. LHP No. 375. BPPTP. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Tatipata, A., Prapto Yudono, A. Purwantoro dan Woerjono Mangoendidjojo. 2004. Kajian Aspek Fisiologi dan Biokimia Deteriorasi Benih Kedelai dalam Penyimpanan. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2, 2004 : 76-87. Yogyakarta.

179

AKURASI METODE UJI CEPAT DALAM MENDUGA MUTU FISIOLOGIS BENIH DAMAR Accuracy of Rapid Test Methods to Estimate the Physiological Quality of Dammar Seed
1)

Muhammad Zanzbar dan/and Nanang Herdiana

1)

2)

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BP2TP) Bogor Jalan Pakuan Ciheuluet Po. Box 105 Bogor Telp. (0251) 8327768 2) Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu PO. BOX. 179, Palembang Telp./Fax. (0711) 414864 e-mail : nanang_herdiana@yahoo.co.id Naskah masuk : 5 Maret 2010; Naskah diterima : 23 Agustus 2010

ABSTRACT

The common method of seed physiological quality test is germination test (direct test), but it takes time. The indirect test (rapid test) can be an alternative to obtain information on seed quality wich is faster, cheaper and better accuracy. It is analyzed based on metabolism process and physical condition of seed. This research was done aiming at determining physiological quality of dammar seed lots to various method of rapid seed testing including : tetrazolium test, hydrogen peroxide test, exicion embryo test and cutting test. Results of t-test and correlation analyzing indicated that all the rapid test can be used as direct germinatin test. The equation of determination of dammar's germination capacity i.e. tetrazolium test: Y= 2 2 1,0319x + 4,3975 (r : 90%), hydrogen peroxide test: Y = 0,9072x + 9,1285 (r : 92,7%), excision embryo 2 2 test: Y = 0,9474x + 10,749 (r : 92,8%) dan cutting test:Y = 0,8957x + 6,7977 (r : 91,6%). (Y : prediction value of actual germination capacity and X : prediction value of potential germination capacity base on viability rapid test).
Keywords: dammar, germination, physiological, rapid test, seed ABSTRAK

Metoda standar pengujian mutu fisiologis benih adalah uji perkecambahan (uji langsung), namun waktunya relatif lama. Metode pengujian tidak langsung (uji cepat) dapat menjadi pilihan untuk mendapatkan informasi yang cepat, akurat dan efisien, yaitu dianalisis berdasarkan proses metabolisme serta kondisi fisik. Penelitian ini bertujuan untuk menduga mutu fisiologis kelompok benih damar secara cepat menggunakan uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan belah. Hasil uji t dan analisis korelasi daya berkecambah diperoleh bahwa masing-masing metoda uji cepat dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahan langsung. Persamaan dugaan daya berkecambah, adalah : uji 2 2 tetrazolium : Y = 1,0319x + 4,3975 (r : 90%), uji hidrogen peroksida : Y = 0,9072x + 9,1285 (r : 92,7%), 2 2 uji eksisi embrio : Y = 0,9474x + 10,749 (r : 92,8%) dan uji belah :Y = 0,8957x + 6,7977 (r : 91,6%).
Kata kunci : benih, damar, fisiologis, perkecambahan, uji cepat

I. PENDAHULUAN Agathis lorantifolia Salisb., sinonim: damar sigi, kayu sigi (Sumatera), damar, ki damar (Jawa), damar pilau (Dayak), ki damar (Sunda), damar kapas, damar wana (Sulawesi), damar putih, damar raja (Maluku) merupakan salah satu

jenis tanaman hutan, famili Araucariaceae yang penyebaran alaminya di Sumatera, Bangka, Maluku Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Kayu damar digunakan untuk membuat kotak, tangkai korek api, pensil, mebel, peti kemas, venir, kayu lapis, pulp, juga untuk kayu perumahan (Martawijaya et al., 1981). Kondisi

181

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 181 - 189

optimum penyimpanan benih damar diperoleh o pada suhu rendah (4 - 8 C). Benih dengan kadar air rendah (5%) lebih tahan disimpan dibandingkan dengan kadar air tinggi (20%), yaitu: daya berkecambah (DB) setelah 2 bulan masing-masing 45,38 dan 31,79% (DBawal = 63.00%) (Sagala dan Endah, 1990); benih lebih banyak menunjukkan sifat-sifat ortodoks meskipun relatif tidak tahan lama disimpan dibandingkan dengan jenis ortodoks lainnya (Schmidt, 2000). Metode pendugaan mutu fisiologis benih dapat dilakukan melalui metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung menggunakan indikator pertumbuhan kecambah; benih dikecambahkan pada kondisi ideal, dilakukan di germinator, rumah kaca atau areal persemaian selama jangka waktu tertentu (uji resmi), sedangkan metode tidak langsung didasarkan pada proses metabolisme serta kondisi fisik yang merupakan indikasi tidak langsung; disebut pula uji cepat viabilitas (Zanzibar, 2009). Beberapa metode cepat berkorelasi tinggi terhadap uji langsung, misalnya, pada jenis mangium diperoleh bahwa uji tetrazolium (r2: 93,18%) waktu pengujian selama 1,5 jam, hidrogen peroksida (r2: 90,04%) selama 7 hari, eksisi embrio (r2: 81,42%) selama 6 hari dan uji belah (r2: 85,42%) selama 1 jam, sedangkan uji langsung selama 21 hari (Zanzibar dan Nanang, 2005). Menurut Bonner et al. (1996), uji cepat umumnya diaplikasikan pada beberapa kondisi seperti benih yang harus segera ditabur karena cepat mengalami kerusakan, benih dengan dormansi kuat dan lambat berkecambah, keterbatasan jumlah benih, permintaan konsumen serta pada beberapa jenis menunjukkan hasil yang lebih akurat. Penelitian ini bertujuan untuk menduga mutu fisiologis benih damar secara cepat menggunakan uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan belah. II. METODOLOGI Metodologi penelitian terdiri dari identifikasi struktur tumbuh, standardisasi prosedur pengujian dan penentuan kriteria benih hidup/mati serta pengujian ketepatan metode. Standardisasi prosedur pengujian pada tulisan ini diperoleh dan dipilih dari serangkaian percobaan yang memberikan respon terbaik dari masingmasing metode uji.

A. Identifikasi Struktur Tumbuh Identifikasi struktur tumbuh dilakukan dengan cara membelah benih searah longitudinal. Struktur tumbuh yang nampak digambar dan dicocokkan dengan pustaka. B. Prosedur Pengujian 1. Uji cepat tetrazolium 1.1. Bahan dan alat Bahan-bahan: akuades, garam tetrazolium (2,3,5- triphenil tetrazolium chlorida ), Na2HPO4.2H2O, KH2PO4, natrium hipoklorit, etanol 70%, kertas merang, lembaran plastik dan aluminium foil. Alat-alat: cawan petri, gelas piala, gunting kuku, pinset, silet, oven, alat pengaduk, saringan, alat semprot tangan dan kaca pembesar. 1.2. Pembuatan larutan Pembuatan larutan tetrazolium dilakukan sebagai berikut : (i) larutan I: KH2PO4 sebanyak 9,078 gram dilarutkan dalam 1000 ml akuades (ii) larutan II: Na2HPO4.2H2O sebanyak 11,876 gram dilarutkan dalam akuades 1000 ml (iii) larutan penyangga: larutan I sebanyak 400 ml dicampurkan dengan 600 ml larutan II (2: 3)(v/v). TZ 1%: garam tetrazolium (2,3,5 triphenil tetrazolium chlorida ) sebanyak 10 gram dimasukan ke dalam 1000 ml larutan penyangga, TZ 0,5%: garam tetrazolium (2,3,5 triphenil tetrazolium chlorida ) sebanyak 5 gram dimasukan ke dalam 1000 ml larutan penyangga. Larutan TZ harus dihindarkan dari cahaya langsung, yaitu ditempatkan dalam gelas piala yang telah dilapisi aluminium foil. 1.3. Pengkondisian Proses pengkondisian benih sebagai berikut : (i) kulit benih dikupas lalu dilembabkan pada 6 (enam) lembar kertas merang jenuh akuades selama 24 jam; benih disusun beraturan, kertas yang telah dilapisi lembaran plastik kemudian digulung dan dimasukkan dalam cawan petri (ii) kulit ari benih dikupas dan selanjutnya ditempatkan pada cawan petri berisi 2 (dua) lembar kertas merang lembab (iii) benih dibelah searah longitudinal, bagian yang berisi embrio direndam dalam larutan TZ 1%. Pencampuran benih dan larutan dilakukan dalam kamar gelap. Volume larutan TZ = 3 x volume benih (iv) larutan yang berisi benih dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40oC selama 4 jam (f) benih ditempatkan pada saringan, lalu dibilas dengan akuades selama 2 - 3 menit (v) benih

182

Akurasi Metode Uji Cepat dalam Menduga Mutu Fisiologis Benih Damar Muhammad Zanzbar dan Nanang Herdiana

diletakkan kembali pada cawan petri yang telah berisi 2 (dua) lembar kertas merang lembab (vi) dilakukan pengamatan terhadap intensitas, luas dan pola pewarnaan. Penilaian intensitas, terdiri dari warna merah (M), merah muda (Mm) dan putih (P), luas berdasarkan persentase masing-masing warna terhadap luas permukaan keping (bagian dalam), sedangkan pemolaan dilakukan dengan menggambar polapewarnaanyangterbentuk. 2. Uji cepat hidrogen peroksida 2.1. Bahan dan alat Bahan-bahan: akuades, larutan hidrogen peroksida, natrium hipoklorit, etanol 70%, kertas merang dan aluminium foil. Alat-alat: gelas piala, kaca pembesar, kertas milimeter. Pembuatan larutan Larutan H2O2 yang tersedia umumnya berkonsentrasi tinggi (35%), sedangkan uji ini menggunakan konsentrasi rendah (0,5 - 2%) sehingga larutan perlu diencerkan. Rumus pengenceran: c1 x v1 = c2 x v2, dimana: c1 = konsentrasi larutan asli, c2 = konsentrasi larutan yang diinginkan, v1 = volume larutan asli yang diperlukan untuk memperoleh larutan yang diinginkan, v2 = volume larutan yang diinginkan. Pengkondisian Pengkondisian uji ini adalah : (i) kulit benih dikupas, kemudian direndam pada gelas piala bertutup aluminium foil yang telah berisi larutan H2O2 0,5%, volume larutan H2O2 = 3 x volume benih. Larutan H2O2 0,5% diperoleh dengan cara mencampur 14,29 ml larutan H2O2 35% ke dalam 985,71 ml akuades sehingga diperoleh 1000 ml larutan (ii) larutan yang berisi benih selanjutnya dimasukkan ke dalam o inkubator atau ruangan gelap pada suhu 20 - 30 C selama 6 hari. Bila larutan terlihat keruh diganti dengan larutan baru (iv) benih dibilas dengan akuades, kemudian tempatkan dalam cawan petri berlapis 2 (dua) lembar kertas merang lembab (v) panjang radikel diukur dengan penggaris atau kertas milimeter.

3.2.

Pengkondisian Pengkondisian uji eksisi embrio adalah : (i) ujung benih yang berlawanan dengan titik tumbuh dipotong, lalu rendam dalam akuades selama 24 jam (ii) kulit ari dikupas dan selanjutnya ditempatkan pada cawan petri yang telah berisi 2 (dua) lembar kertas merang lembab (ii) gametofit betina dibelah searah longitudinal kemudian keluarkan embrio dengan hati-hati (tidak boleh cacat) (iii) embrio diletakan dalam cawan petri yang telah berisi media 2 (dua) lembar kertas saring lembab, inkubasikan pada ruang kamar (25 - 27oC) selama 5 hari (v) pengamatan perkembangan embrio dilakukan setiap hari, jika embrio busuk/berjamur segera dibuang. 4. Uji cepat belah 4.1. Bahan dan alat Bahan-bahan: akuades, etanol 70%, natrium hipoklorit, kertas merang dan lembaran plastik. Alat-alat: cawan petri, gelas piala, gunting kuku, pinset, silet, lup, alat semprot tangan dan oven. 4.2. Pengkondisian Pengkondisian uji belah dilakukan sebagai berikut : (i) kulit benih dikupas, selanjutnya dilembabkan pada 6 (enam) lembar kertas merang basah yang dilapisi plastik dalam cawan petri selama 24 jam. (ii) kulit ari dikupas, lalu dibelah searah longitudinal; embrio dan gametofit betina harus terbagi dua (iii) warna dan kondisi benih (embrio dan gametofit betina) diamati dengan kaca pembesar. C. Penentuan Kriteria Benih Hidup/mati dan Pengujian Ketepatan Metode Tahap kegiatan ini adalah sebagai berikut: (i) penuaan: benih yang masih berkadar air tinggi (15 - 20%) diletakkan pada cawan petri beralas kertas merang lembab lalu ditempatkan dalam inkubator (t = 30oC, RH = 80 - 90%), selama 0, 2, 5, 8, 11 dan 14 hari (ii) benih hasil penuaan tersebut selanjutnya diuji dengan uji cepat dan perkecambahan langsung. Perkecambahan langsung menggunakan metode UKDdp (uji kertas digulung dalam plastik) yang ditempatkan dalam germinator tipe IPB 73-1. (iii) analisis kondisi struktur tumbuh untuk menentukan kriteria benih hidup dan mati (iv) kalibrasi hasil antara uji cepat dengan uji perkecambahan.

2.2.

2.3.

3. Uji cepat eksisi embrio 3.1. Bahan dan alat Bahan-bahan: akuades, natrium hipoklorit, etanol 70%, kertas merang, kertas saring dan lembaran plastik. Alat-alat: cawan petri, gelas piala, gunting kuku, pinset, silet, kaca pembesar, semprotan tangan, oven, inkubator dan alat pembagi benih.

183

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 181 - 189

D. Peubah Pengukuran dan Analisis Data Percobaan ini dirancang untuk membandingkan efektivitas beberapa metode pengujian secara cepat (TZ, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan uji belah) terhadap uji perkecambahan (metode resmi). Perbandingan antara data dugaan daya berkecambah hasil uji cepat dengan data daya berkecambah hasil uji perkecambahan menggunakan uji t (Steel dan James, 1991). Hipotesis yang digunakan adalah : H0 D = 0 - beda nilai tengah daya berkecambah masing-masing metode uji cepat terhadap nilai tengah daya berkecambah, sama dengan nol. H1 D 0 - beda nilai tengah daya berkecambah masing-masing metode uji cepat terhadap nilai tengah daya berkecambah, tidak sama dengan nol. Kaidah ujinya adalah sebagai berikut :

Hubungan antara daya berkecambah uji langsung dengan daya berkecambah uji cepat menggunakan analisis regresi, persamaan matematis sebagai berikut :

Y = 0 + 1X + 1

.. (iii)

keterangan: Y : daya berkecambah uji langsung 0 : konstanta 1 : koefisien regresi X : nilai daya berkecambah uji cepat 1 : galat III. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur tumbuh benih damar (Genus Agathis, Famili Araucariace dan Ordo Pinales) terdiri dari kotiledon, gametofit betina, hipokotil dan radikel (Gambar 1). Keempat komponen struktur tersebut secara bersama-sama menjadi faktor penentu dalam penilaian kriteria benih hidup dan mati pada pengujian secara cepat. Secara umum, kecuali uji hidrogen peroksida tahap pengkondisian optimum dicapai setelah benih terimbibisi sempurna, yaitu fase awal aktivasi. Proses imbibisi pada benih damar berlangsung cepat; diperoleh dari pengupasan kulit kemudian dilembabkan selama 24 jam pada kertas merang lembab. Menurut Leubner (2006), kecepatan imbibisi sangat dipengaruhi oleh ada/tidak dormansi dan tipenya serta susunan biokimia. Jumlah kebutuhan air meningkat secara linear berdasarkan perubahan tahap perkecambahan, dimulai dari tahap imbibisi, aktivasi sel/jaringan dan pertumbuhan. Menurut Zanzibar (2009), tujuan utama imbibisi pada uji cepat dapat berupa mengaktifkan/ membedakan sel/jaringan yang hidup/mati, memacu pertumbuhan, meningkatkan jumlah oksigen terlarut serta mempertegas penampakkan kondisi struktur tumbuh. Setelah benih mengalami pengusangan, daya berkecambah menurun secara nyata sehingga diperoleh beragam kriteria dari benih hidup/mati. Kriteria benih hidup uji TZ adalah bila radikel dan kotiledon berwarna merah (M) atau merah muda (Mm) tanpa warna putih (P), gametofit betina berwarna merah sampai putih ( 20% warna putih dengan 50% warna merah), benih mati bila terdapat warna putih pada radikel dan/atau kotiledon, luasan warna putih pada

t hitung

d 1 1 Se r1 r 2

(i)

thit > t (/2) (r1 + r1 - 2), tolak H0 thit < t (/2) (r1 + r1 - 2), terima H0 keterangan : Se : JK1 + Jk2 (r1 + r1 - 2) d : selisih nilai rata-rata daya berkecambah hasil uji cepat dengan hasil perkecambahan langsung thit : nilai t hitung r1,2 : jumlah kuadrat daya berkecambah hasil uji cepat dengan uji perkecambahan langsung. Keeratan hubungan antara nilai daya berkecambah hasil uji cepat dengan nilai daya berkecambah langsung menggunakan koefisien korelasi (Steel dan James, 1991). Kaidah uji sebagai berikut :

r n

n dx
2

dx.dy
2

dx n

dy dy y
2 2

.. (ii)

dx

keterangan: r : koefisien korelasi n : jumlah ulangan dx : dugaan daya berkecambah hasil uji cepat dy : dugaan daya berkecambah hasil uji perkecambahan langsung

184

Akurasi Metode Uji Cepat dalam Menduga Mutu Fisiologis Benih Damar Muhammad Zanzbar dan Nanang Herdiana

9 mm

Gambar (Figure) 1. Potongan melintang struktur tumbuh benih damar yang masak fisiologis (Cross section of a typical mature seed of dammar)

gametofit betina 20% dan warna merahnya 50%. Semakin luas pola pewarnaan, intensitas tinggi serta terletak pada bagian-bagian penting dari setiap struktur tumbuh maka menunjukkan bahwa benih berpeluang menjadi kecambah normal. Kondisi vigor benih dapat terdeteksi berdasarkan uji TZ; benih bervigor tinggi berturut-turut diperoleh pada nomor kriteria 1, kemudian 2a, 2b dan seterusnya (Gambar 2). Keragaman proses reduksi dapat disebabkan oleh keragaman kondisi fisik; bila benih rusak, pewarnaan menjadi kurang cerah karena penetrasi garam tetrazolium berlangsung lambat, namun dalam proses evaluasi benih demikian tergolong hidup.

Gambar (Figure) 2. Kriteria benih hidup dan mati berdasarkan uji tetrazolium (Criteria of viable and non -viable seed base on the tetrazolium test)

Kriteria benih hidup uji hidrogen peroksida, bila kecambah memiliki panjang radikel 2 mm, sedangkan benih mati jika kurang dari 2 mm atau tidak berkecambah sampai akhir perendaman (hari ke 6). Larutan hidrogen peroksida merangsang respirasi yang meningkatkan aktivitas perkecambahan. Semakin tinggi konsumsi oksigen maka semakin memacu laju respirasi; tingkat respirasi tinggi memacu laju metabolisme, energi yang dihasilkan ditranslokasikan ke dalam embrio sebagai energi perkecambahan (Leadem, 1984). Nilai perkecambahan yang rendah seringkali disebabkan oleh infeksi jamur, kemudian menular ke benih uji lainnya yang seharusnya mampu berkecambah. Menurut Zanzibar dan Naning (2003), penggantian larutan dilakukan

bila waktu pengujian lebih dari 4 hari atau larutan sudah terlihat keruh. Umumnya, benih berlemak lebih cepat rusak dibanding benih berprotein dan berkarbohidrat. Kriteria benih hidup uji eksisi embrio, bila radikel dan kotiledon menunjukkan pertumbuhan, embrio terlihat segar selama inkubasi, berwarna kuning kehijauan, sedang benih mati dicirikan oleh radikel dan kotiledon yang tidak berkembang, embrio cepat rusak/busuk, berlendir, berwarna abu-abu dan/atau coklat. Uji eksisi embrio merupakan bentuk transisi sesungguhnya dari uji perkecambahan, karena embrio dievaluasi berdasarkan pertumbuhan radikel menjadi akar yang secara mendasar merupakan proses perkecambahan (Schmidt, 2000). Uji ini akan

185

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 181 - 189

memiliki ketelitian tinggi bila penggantian media dilakukan tepat waktu, segera membuang embrio yang terinfeksi jamur dan/atau bakteri sebelum menular ke embrio sehat lainnya serta penentuan lama inkubasi yang optimum dari kecambah berkategori normal. Kriteria benih hidup uji belah dicirikan oleh kondisi struktur tumbuh berwarna putih atau kuning dan terlihat segar, sedangkan benih mati bila struktur tumbuh berwarna kekuningan atau

coklat, kering, layu dan busuk. Uji belah bersifat subyektif karena sangat ditentukan oleh kemampuan dan keahlian laboran dalam menginterpretasikan tampilan kondisi/mutu benih yang beragam. Uji ini biasanya digunakan untuk menduga kualitas awal, misalnya penilaian tingkat kemasakan atau mutu benih saat pengunduhan. Contoh benih hidup/mati dari masing-masing metode uji cepat dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

(a)

(b)

Uji tetrazolium (tetrazolium test)

Uji hidrogen peroksida (hydrogen peroxide test)

(a)

(b)

(a)

(b)

Uji eksisi embrio (excision embryo test)

Uji belah (cutting test)

Gambar (Figure) 3. Beberapa kriteria benih hidup dan mati pada metode uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan belah, (a) benih hidup (b) benih mati (Criteria of viable and non-viable seed base on tetrazolium, hydrogen peroxide, excision embryo and cutting test (a) viable seed (b) non-viable seed) Berdasarkan uji t, nilai rata-rata dugaan daya berkecambah metode uji cepat, tidak berbeda nyata dengan daya berkecambah uji langsung (Gambar 4). Hubungan antara dugaan daya berkecambah uji langsung dengan uji cepat disajikan pada Gambar 5. Nilai korelasi ke empat metode uji relatif tinggi; keeratan tertinggi diperoleh pada uji eksisi embrio (92,8%) dan uji hidrogen peroksida (92,7%), selanjutnya uji belah dan uji tetrazolium, masing-masing sebesar 91,6% dan 90%. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa masing-masing metode dapat pula digunakan sebagai metode pengujian mutu fisiologis benih damar. Grabe (1970) dalam Zanzibar (1996), hasil uji cepat dan uji perkecambahan seharusnya memiliki nilai yang saling mendekati dalam selang keragaman pengambilan contoh. Perbedaan 3 - 5% secara keseluruhan dapat diartikan tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan contoh benih. Berdasarkan petunjuk teknis pengujian mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan, pengujian mutu fisiologis benih damar menggunakan metode uji kertas digulung dalam plastik (UKDdp) selama 14 hari, media campuran pasir dan tanah (1: 1)(v/v) selama 21 hari (Anonimous, 2007), sedangkan metode tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan belah, masing-masing selama 2, 6, 6 dan 2 hari. Jika menggunakan metode hidrogen peroksida dan eksisi (paling lama) maka waktu yang dapat dihemat selama 8 hari, selain biaya bahan/peralatan serta tenaga kerja. Bahan-bahan yang digunakan relatif murah dan terjangkau, sedangkan oven, inkubator dan germinator merupakan peralatan standard institusi penguji mutu benih sehingga sangat memungkinkan uji ini digunakan sebagai uji resmi (Zanzibar, 2009).

186

Akurasi Metode Uji Cepat dalam Menduga Mutu Fisiologis Benih Damar Muhammad Zanzbar dan Nanang Herdiana

Tabel (Table) 1. Uji beda rata-rata dugaan daya berkecambah benih damar hasil uji perkecambahan langsung dengan uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan uji belah (Mean differences test of dammar seed germination capacity among germination test to tetrazolium, hydrogen peroxide, excision embryo and cutting test)
Rata-rata Uji tetrazolium Uji hidrogen peroksida Taraf DB *) uji (Tetrazolium test) (Hydrogen peroxide test) penuaan langsung (Aging (GP Means Rata-rata level) Rata-rata of DB (GP (hari) thit DB (GP thit germination Means) (days) Means) (%) test) (%) (%) 0 2 5 8 11 14 Uji eksisi embrio (Excision embryo test) Rata-rata DB (GP Means) (%) 93 3,83 87 6,00 76 7,30 48 3,27 46 8,33 40 3,27 Uji belah (Cutting test) Rata-rata DB (GP Means) (%) 99 2,00 96 5,66 82 5,16 65 10,0 55 3,83 40 10,3

thit

thit

98 4,00
96 3,27 80 11,10 55 6,83 58 4,00 47 11,9

91 8,25 87 6,00 74 5,16 54 5,16 49 6,83 40 7,30

1,53 2,63 0,96 0,23 2,27 1,00

98 4,00 97 3,83 75 6,00 55 10,5o 51 10,50 42 8,33

0,00 0,40 0,78 0,00 1,24 0,69

1,81 2,63 0,59 1,85 2,60 1,13

0,45 0,00 0,32 1,65 1,08 0,89

Catatan (Remarks) : DB/GP : Daya berkecambah (Germination percentage), t table/table 0,05: 2,447, t table/table 0,01: 3,70

95 Daya berkecambah / Germination Percentage (%) 85 75 65 55 45 35 1 2 3 4 5 6 Taraf penuaan / Aging level (Hari / Days )

Uji Perkecambahan Langsung / Direct Germination Test

Uji Tetrazolium / Tetrazolium Test

Uji Hidrogen Peroksida/ Hydrogen Peroxide Test

Uji Eksisi Embrio / Exicion Embryo Test

Uji Belah / Cutting Test

Gambar (Figure) 4.

Hubungan antara taraf penuaan dengan daya berkecambah benih damar hasil uji perkecambahan langsung, uji tetrazolium, uji hidrogen peroksida, uji eksisi embrio dan uji belah (Corellation of aging level with value of dammar seed germination capacity based on germination test, tetrazolium, hydrogen peroxide, excision embryo and cutting test

187

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 181 - 189

100 90 80 70 60 50 40 30 40 50 60 70 80

Y = 1.0319x + 4.3975 r2 = 90 %

Daya berkecambah uji perkecambahan langsung / Germination percentage of germination test (%)

Daya berkecambah uji perkecambahan langsung / Germination percentage of germination test (%)

100 90 80 70 60 50 40 30 40 50 60 70 80

Y = 0.9072x + 9.1285 r2 = 9,27 %

90

100

90

100

Daya berkecambah uji tetrazolium Germination percentage of / tetrazolium test (%)

Daya berkecambah uji hidrogen peroksida /Germination percentage of hydrogen peroxide test(%)

(a)

(b)

Daya berkecambah uji perkecambahan langsung / Germination percentage of germination test (%)

Daya berkecambah uji perkecambahan langsung / Germination percentage of germination test (%)

100 90 80 70 60 50 40

Y = 0.9474x + 10.749 r2 = 9,28 %

100 90 80 70 60 50 40 30 40 50 60 70 80 90 100 Daya berkecambah uji belah / ermination percentage of cutting G test (%) Y = 0.8957x + 6.7977 r2 = 9,16 %

30 40 50 60 70 80 90 100 Daya berkecambah uji eksisi embrio /Germination percentage of excision embryo test (%)

(c)

(d)

Gambar (Figure) 5. Hubungan antara dugaan daya berkecambah benih damar hasil uji perkecambahan langsung dengan uji cepat: (a) uji tetrazolium, (b) uji hidrogen peroksida (c) uji eksisi embrio dan (d) uji belah (Corelation of prediction value of dammar seed germination capacity among germination test to rapid test (a) tetrazolium (b) hydrogen peroxide (c) excision embryo and (d) cutting test )

IV. KESIMPULAN 1. Pengkondisian optimum metode uji cepat benih damar dicapai setelah benih terimbibisi sempurna (fase awal aktivasi). 2. Semua metode uji cepat dapat digunakan untuk menduga mutu fisiologis benih damar. Nilai korelasi ke empat metode uji (tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan uji belah) terhadap perkecambahan langsung relatif tinggi, sehingga berpotensi untuk penyusunan tabel daya berkecambah benih damar berdasarkan uji cepat. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2007. Petunjuk Teknis Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Tanaman hutan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

Bonner F.T, Vozzo J.A, Elam W.W and Land S.B. 1994. Tree Seed Technology Training Course. Instructors Manual. General technical report SO 106. US Department of agriculture. Southern forest experiment station. New Orleans Louisiana. Leadem, C.L. 1984. Quick test for tree seed viability. Management report No. 18, ISSN. 0702-9861. B.C. Ministry of Forest Land Research Branch. Leubner, G. 2006. Hydrotime: Population based threshold germination model. The Seed Biology Place. Schmitd, L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis (Terjemahan). Departemen Kehutanan. Jakarta. Martawijaya, A, Iding K, Kosasih, K, dan Soewanda A.P, 1981. Atlas kayu

188

Akurasi Metode Uji Cepat dalam Menduga Mutu Fisiologis Benih Damar Muhammad Zanzbar dan Nanang Herdiana

Indonesia. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor. Sagala, J, dan Endah S.R, 1990. Pengaruh kadar air awal, perlakuan asam propionat, suhu dan kelembaban nisbi udara ruang simpan terhadap viabilitas benih damar (Agathis lorantifolia Salisb). Laporan uji coba NO. 97. Balai Teknologi Perbenihan. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Bogor Steel, R.G.D. dan James H. T. 1991. Prinsip dan prosedur statistika, status pendekatan biometrik (Terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. Zanzibar, M. 1996. Aplikasi uji cepat viabilitas benih tanaman hutan. Prosiding ekpose program dan hasil-hasil penelitian perbenihan kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan, Badan Penelitian dan

Pengembangan, Departemen Kehutanan. Bogor. Zanzibar, M, dan Naning, Y. 2003. Standar prosedur dan kunci interpretasi beberapa benih tanaman hutan berdasarkan uji cepat. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian Balai Litbang Teknologi Perbenihan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kehutanan. Bogor Zanzibar, M, dan Nanang, H. 2005. Ketepatan beberapa metode uji cepat dalam menduga viabilitas benih mangium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2(02): 205 215. Zanzibar, M. 2009. Kajian metode uji cepat sebagai metode resmi pengujian kualitas benih tanaman hutan di Indonesia. Jurnal Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional 11 (1): 38 - 45.

189

UJI COBA MUTU BIBIT MERANTI MERAH DI HPH PT ERNA JULIAWATI KALIMANTAN TENGAH Experiment Test on Seedling Quality of Red Meranti in Forest Concession Holder PT Erna Juliawati, Centre Kalimantan
R. Mulyana Omon
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BP2TP) Bogor Jalan Pakuan Ciheuluet Po. Box 105 Bogor Telp. (0251) 8327768 Naskah masuk : 28 Sepember ; Naskah diterima : 17 September 2010

ABSTRACT

A study on seedling quality of two red meranti species was conducted at IUPHHK PT Erna Juliawati in Central Kalimantan. The purpose of this study was to provides information on seedling quality of two red meranti species one year after planting in the field. The seedling of both species which was treated until 7 months were selected based on Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01-5005.1-1999) before planting in the field that is quality class of height, diameter and value strength. The treatments consisted of two species (Shorea leprosula and Shorea parvifolia) and three seedlings quality class from wilding. The experimental design used factorial in a randomized complete block design with 4 replications. Each treatment consisted of 100 plants were planted with 20 x 2.5 m spacing. The total numbers of plants observed were 2400 plants. The survival, height and diameter of seedlings were measured to evaluate the growth of both species one year after planting in the field. The results showed that species, interaction between species and seedlings quality were not significantly affect the survival rate, while the block and seedling quality gave significant effect on survival rate. The growth of height was significantly affected by block, species, interaction between species and seedling quality. However, differences in diameter growth at one year after planting are only affected by the block. The Tukey test showed that the survival rate of both species in block II between seedling quality one and the other quality were significantly different (88.8% and 84.3%, respectively), while the height and diameter growth of both species in block III were higher compared in the other block. Meanwhile, S. parvifolia from seedling quality one achieved an average height of 184.6 cm higher than that other interaction between species and seedling quality. Therefore S. parvifolia from wilding with seedling quality one with height ranged 50 cm 65 cm and diameter ranged 5 mm - 8 mm is recommended as a standard of quality seedlings for planting in Silin program with Selective Cutting and Planted Indonesia Intensive System.
Keywords: Growth, red meranti, seedling quality class, wilding ABSTRAK

Penelitian uji coba mutu bibit dua jenis meranti merah telah dilakukan di areal IUPHHK PT Erna Juliawati, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi mutu bibit dua jenis meranti merah setelah satu tahun ditanam di lapangan. Bibit yang telah dipelihara selama tujuh bulan di persemaian, sebelum ditanam di lapangan diseleksi terlebih dahulu berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01-5005.1-1999) yaitu berdasarkan kriteria tinggi dan diameter bibit serta nilai kekokohan bibit. Perlakuan terdiri dari dua jenis meranti merah dan tiga mutu bibit asal cabutan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah faktorial dalam pola acak lengkap berblok yang diulang sebanyak 4 kali. Setiap perlakuan ditanam sebanyak 100 tanaman dengan jarak tanam 20 x 2,5 m. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 2.400 bibit. Parameter bibit yang diuji adalah persen hidup dan pertumbuhan (tinggi dan diameter). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis, mutu bibit, interaksi antara jenis dan mutu bibit tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup, namun block dan mutu bibit berpengaruh nyata terhadap persen hidup, sedangkan. untuk pertumbuhan (tinggi dan diameter) hanya blok yang berpengaruh nyata. Berdasarkan uji beda nyata Tukey menujukkan bahwa

191

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 191 - 199

persen hidup bibit untuk ke dua jenis meranti pada blok II antara mutu bibit satu dengan mutu bibit yang lainnya berpengaruh nyata yaitu 88,8 % and 84,3 %. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit pada blok III untuk kedua jenis meranti lebih tinggi dibandingkan pada blok lainnya, sementara untuk S. parvifolia. yang berasal dari mutu bibit satu lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi antara jenis dan mutu bibit lainnya, yaitu sebesar 184,6 cm. Dengan demikian jenis S. parvifolia dari cabutan dengan mutu bibit satu, yaitu tinggi antara (50 - 65 cm ) atau rata-rata sebesar 59,3cm dengan diameter antara (5 - 8 mm) atau ratarata sebesar 5,8 mm dapat dijadikan standard mutu bibit untuk ditanam dalam program silin dengan sistem TPTI Intensif.
Kata kunci : cabutan, kelas mutu bibit, meranti merah, pertumbuhan I. PENDAHULUAN

Meranti merah (red meranti) adalah salah jenis dari suku Dipterocarpaceae yang kayunya bernilai ekonomi tinggi dan beberapa jenis mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat. Soekotjo (2007) melaporkan bahwa ada lima jenis meranti merah yang menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Salah satu contohnya adalah uji coba tiga (3) jenis Shorea yang telah berumur 4,5 tahun di PT Sari Bumi Kusuma yang menunjukkan hasil rata-rata riap diameter per tahun masing-masing jenis untuk Shorea leprosula sebesar 1,8 cm/th, S. parvifolia sebesar 2,1 cm/th, S. platyclados sebesar 2,5 cm/th, S. johorensis sebesar 2,2 cm/tahun dan S. macrophylla sebesar 1,6 cm/th. Untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang baik di lapangan harus didukung oleh pemilihan bibit dengan kualitas baik, agar tegakan yang dihasilkan baik. Dalam rangka usaha mendapatkan bibit yang bermutu diperlukan penilaian mutu bibit sesuai standard. Standardisasi mutu bibit Dipterorapaceae dapat dilakukan melalui pembuatan kriteria mutu bibit yang terukur dan bersifat kuantitatif dan dapat pula didasarkan pada fenotipe bibit karena mudah diukur dan dapat dianggap sebagai gambaran genetik. Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa ciri atau sifat yang sering ditampilkan setiap individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan genetik. Apabila kualitas fenotipe baik maka kita mengetahui bahwa individu tersebut memiliki potensi genetik untuk tumbuh baik (Schmidt, 2000). Mutu bibit ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya asal benih, kondisi fisik dan fisiologis benih atau kondisi fisik dan fisiologis bibit itu sendiri. Faktor luar yang penting antara lain air, cahaya, suhu, kelembaban udara, konsentrasi karbon dioksida, oksigen, pupuk, jenis medium bibit, mikoriza, hama, penyakit dan gulma di persemaian (Hendromono, 2007).

Penelitian uji coba mutu bibit ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia jenis Meranti (SNI 01-5005.1-1999) yang berdasarkan pengujian di persemaian. Oleh karena itu perlu dilakukan uji coba di lapangan sampai dengan umur satu tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai uji coba yang terukur dan praktis terhadap pertumbuhan bibit dua (2) jenis meranti dengan mutu bibit sesuai kriteria SNI 01-5005.1-1999). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk melengkapi penyusunan Standarisasi Nasional Indonesia untuk kedua jenis tersebut.

II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Izin Usaha Pengelolaaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) No. 15/Kpts-IV/19999 PT Erna Juliawati Kalimantan Tengah, luas 184.206 Ha. Secara administrasi pemerintahan lokasi PT Erna Juliawati termasuk Kecamatan Tumbang Manjul, Kabupaten Seruyan, Propinsi Kalimantan Tengah. Lokasi pembuatan petak coba penelitian terletak di petak HH 39 Blok I RKT 2008. Penanaman dilakukan pada bulan Juni 2008, kemudian dilakukan pengamatan setelah enam bulan penanaman pada bulan Desember 2008 dan duabelas bulan setelah penanaman pada bulan Juni 2009.
B. Tanah dan Iklim

Jenis tanah di IUPHHK, PT Erna Juliwati termasuk jenis Podsolik Merah Kuning sebesar 56 % dan sebesar 44 % termasuk jenis latosol berdasarkan peta tanah pulau Kalimantan skala 1:1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993). Menurut Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951) ke dua lokasi

192

Uji Coba Mutu Bibit Meranti Merah di HPH PT Erna Juliawati Kalimantan Tengah R. Mulyana Omon

termasuk tipe Iklim A dengan rata-rata curah hujan 3.559 mm/tahun dan hari hujan 238 hari. C. Bahan danAlat Penelitian 1. Bahan Bahan yang digunakan terdiri dari : Bibit dari dua jenis bibit meranti merah (S. leprosula dan S. parvifolia) yang berasal dari cabutan dan telah dipelihara selama tujuh bulan di persemaian. Cabutan diambil di

sekitar pohon plus, sehingga dapat dianggap sebagai bibit yang bermutu. Sebelum penanaman bibit diklasifikasi berdasarkan tiga kelas mutu bibit yang telah tersedia (SNI 01-5005.1-1999) ditambah dengan satu kelas mutu bibit dibawahnnya, yaitu yang tinggi < 35 cm dan diameter < 4,0 mm, seperti disajikan pada Tabel 1. Media yang digunakan di persemaian adalah tanah bagian atas (top soil).

Tabel (Table) 1. Kriteria mutu bibit dipterocarpaceae (Criteria of dipterocarps seedling quality)

No

Kriteria penilaian (valuation criteria)

1. Kekompakan media ( media compaction) 2. Tinggi (height) 3. Diameter (diameter) 4. Nilai kekokohan bibit (strength value of seedling) 5. Pucuk / akar (top root ratio) 6. Persentase kolonisasi mikoriza (Percentage of mycorrhizae colonisasion )
2. Alat

Mutu bibit satu (seedling quality one) 50 65 cm 5,0 8,0 mm 6,3 10,8

Mutu bibit dua (seedling quality two) 35 49 cm 4,0 4,9 mm 8,8 12,0 -

Mutu bibit tiga (seedling quality three) 35 < 4,0 < -

D. Penanaman Sebelum penanaman dilakukan terlebih dahulu dilakukan penyiapan lahan sesuai dengan pedoman teknis sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Kegiatan penyiapan lahan meliputi pembersihan jalur, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam kemudian penanaman. Pembersihan jalur dilakukan dengan membersihkan jalur penanaman dari vegetasi lain selebar 3 m vertikal baik secara manual maupun mekanis. Lubang tanam berukuran 40 40 cm dengan kedalaman 30 cm dan diisi dengan bagian atas tanah (top soil) yang diambil dari lokasi sekitarnya. Penanaman dilakukan dengan sistem jalur dimana jarak antar jalur 20 m dan jarak tanam antar tanaman di dalam jalur 2,5 m. Masingmasing jalur memiliki lebar 3 m dan panjang 250 m. Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis sistem TPTII, tetapi tidak dilakukan penyulaman dengan maksud untuk melihat kemampuan bibit tersebut di lapangan.

Peralatan lapangan yang digunakan dalam penelitian seperti meteran, kaliper, mistar dan kamera. C. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial 2 x 3. Faktor A adalah jenis yang terdiri dari 2 jenis yaitu S. leprosula (A1) dan S. parvifolia (A2). Faktor B adalah kelas mutu bibit yang terdiri dari 3 kelas yaitu kelas mutu bibit satu (B1), kelas mutu bibit dua (B2) dan kelas mutu bibit tiga (B3). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali dan setiap ulangan menggunakan 100 bibit, sehingga jumlah bibit yang digunakan adalah 2 3 4 100 = 2.400 bibit. Penanaman disesuaikan dengan kegiatan penanaman operasional di IUPHHK PT Erna Juliawati. Penanaman dilakukan sistem jalur yang disesuaikan dengan pedoman TPTII, yaitu lebar jalur 3 meter, jarak antara jalur 20 m dan jarak tanam didalam jalur 2,5 m. Luas areal penanaman adalah 2,5 20 2.400 = 120.000 m2 atau seluas 12 ha.

193

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 191 - 199

E. Pengumpulan Data 1. Di persemaian Untuk data penunjang kualitas mutu bibit telah dilakukan penilaian terhadap nilai kekokohan, nisbah batang akar (top root ratio) dan kekompakan media pada waktu penanaman (pada waktu merobok kantong plastik/polybag tidak media terjadi pecah/utuh). Penilaian kekokohan bibit dan nisbah batang akar, kolonisasi akar bermikoriza pada setiap kelas mutu bibit diambil masing-masing 10 bibit sebagai contoh untuk setiap jenis. Kekokohan bibit dihitung sebagai nisbah antara tinggi bibit (cm) dengan diameter (mm) (Jayusman, 2005) dan nilai nisbah batang akar ditentukan berdasarkan pengukuran yang dihitung sebagai nisbah antara tinggi bibit (cm) dengan panjang akar (cm). Perhitungan kolonisasi akar yang bermikoriza di hitung dengan menggunakan alat mikroskop terhadap akar yang terinfeksi dan tidak terinfeksi fungi mikoriza di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja. 2. Di lapangan Pengamatan dilakukan pada waktu enam (6) dan dua belas (12) bulan setelah penanaman. Parameter yang diamati adalah tinggi, diameter

dan persen hidup tanaman. Tinggi tanaman diukur dari pangkal hingga ujung tanaman dengan menggunakan meteran. Diameter tanaman diukur pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah dengan alat ukur kaliper. E. Analisa Data Parameter yang dianalisis adalah persen hidup dan pertambahan tinggi dan diameter di lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjutan yaitu uji beda nyata Tukey (Haeruman, 1975). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persentase Hidup Berdasarkan dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis, mutu bibit, interaksi antara jenis dan mutu bibit tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup tanaman, kecuali blok setelah berumur enam bulan di lapangan. Akan tetapi setelah satu tahun di tanam blok dan mutu bibit menunjukkan perbedaan yang nyata, seperti disajikan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel (Table) 2. Rata-rata hasil uji beda nyata Tukey blok terhadap perentase hidup jenis meranti merah setelah enam dan satu tahun ditanam di lapangan (Average results of significant different test of Tukey on block to survival rate of red meranti species after six months and one year planted in the field) Umur enam bulan ( six months old) Umur dua belas bulan (twelve months old) Blok Rata-rata persentase hidup Blok Rata-rata persentase hidup (average (block) (average survival rate) % (block) survival rate) % IV 87,8 a IV 74,2 a I 88,8 a I 79,8 b III 90,8 ab III 80,7 b II 96,5 b II 88,8 c Rataan Rataan 90,6 80,5 (average) (average)
Keterangan (Remarks): Nilai rata-rata yang diikuti oleh hurup berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat 5% berdasarkan uji beda nyata Tukey (Mean values followed by different letters are significanly different at 5% level based on Tukey significant different test)

Tabel 2 menunjukkan rataan persen hidup secara keseluruhan dari kedua jenis tanaman meranti merah mengalami penurunan dari periode pengamatan enam bulan sampai dengan satu tahun setelah penanam yaitu rata-rata sebesar 10 %. Penurunan persen hidup pada awal

penanaman diakibatkan karena penurunan kualitas bibit waktu proses pengangkutan bibit dari persemaian ke tempat penanaman dan proses adaptasi dengan lingkungan. Daniel et al. (1979) melaporkan bahwa beberapa faktor lingkungan yang dapat penyebabkan kematian bibit setelah

194

Uji Coba Mutu Bibit Meranti Merah di HPH PT Erna Juliawati Kalimantan Tengah R. Mulyana Omon

penanaman, yaitu intensitas cahaya, iklim mikro, lantai hutan, tanaman pesaing, tanah dan faktor biotis. Jika dilihat persen hidup dari setiap jenis dan kelas mutu bibit cukup baik yaitu lebih dari 75%. Daryadi dan Harjono (1972) melaporkan dengan besar persentase hidup tersebut selama satu tahun ditanam dikatagorikan cukup baik. Ditambah lagi pada saat penanaman selama satu tahun tersebut tidak dilakukan penyulaman, tetapi hanya pemeliharaan sesuai dengan pedoman teknis TPTII. Maksud tidak dilakukannya penyulaman setelah tiga bulan ditanam adalah untuk melihat kemampuan hidup dari masing-masing jenis dan kelas mutu bibit selama satu tahun ditanam di lapangan. Berdasarkan hasil uji Tukey (Tabel 2) memperlihatkan persen hidup paling tinggi, yaitu yang ditanam di blok II sebesar 88,8 % dibandingkan blok I sebesar 79,8 %, blok III sebesar 80,7% dan blok IV sebesar 74,2 % setelah satu tahun ditanam. Rendahnya persen hidup di blok IV dan I, dikarenakan pada waktu penanaman, kondisi di blok I dan IV terdapat beberapa jalur penanaman terletak di bekas jalan sarad yang sangat terbuka. Kondisi yang terlalu terbuka ini yang menyebabkan terjadinya

kematian tanaman. Oleh karena itu untuk jenis S. leprosula dan S. parvifolia merupakan jenis yang membutuhkan setengah naungan pada waktu muda dan selanjutnya membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya (Mok, 1993). Priadjati (2003) menyatakan bahwa S. leprosula merupakan jenis yang memerlukan cahaya pada tahap awal pertumbuhan 60 - 70% (intensitas cahaya relatif) untuk semai dan 74 - 100% untuk tingkat pancang. Tabel 3 menunjukkan persen hidup untuk kelas mutu bibit tiga paling rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan kelas mutu satu dan dua yaitu masing-masing sebesar 84,3 %, 82,1 % dan 76,3 % Rendahnya persen hidup untuk kelas mutu bibit tiga dikarenakan ukuran bibit kecil, yaitu tinggi < 35 cm dan diamerter < 4 mm dibandingkan kelas mutu bibit satu dan dua. Hal ini ternyata bahwa bibit berukuran kecil berpengaruh terhadap daya tahan tanaman pada saat pengangkutan dan setelah penanaman di lapangan. Bibit tersebut belum siap bersaing dengan tumbuhan lain disekitarnya dan kurang tahan terhadap proses pengangkutan, sehingga mengakibatkan kematian setelah ditanam di lapangan.

Tabel (Table) 3. Rata-rata hasil uji beda nyata Tukey mutu bibit terhadap persentase hidup jenis meranti merah setelah satu tahun ditanam di lapangan (Average results of significant different test of Tukey seedling quality to survival rate of red meranti species after one year planted in the field) No Perlakuan mutu bibit Rata-rata persentase hidup (seedling quality treatments) (average survival rate) % 1 B3=Mutu bibit tiga (seedling quality three) 76,3 a 2 B2=Mutu bibit dua (seedling quality two) 82,1 b 3 B1= Mutu bibit satu (seedling quality one) 84,3 b
Ketengan (Remarks): B1 = mutu bibit satu (seedling quality one), B2 = mutu bibit dua (seedling quality two), B3 = mutu bibit tiga (seedling quality three). Nilai rata-rata yang diikuti oleh hurup berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat 5% berdasarkan uji beda nyata Tukey (Mean values followed by different letters are significanly different at 5% level based on Tukey significant different test).

B. Pertambahan Tinggi dan Diameter Dari hasil analisis keragaman blok, jenis dan interaksi antara jenis dan mutu bibit telah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi (riap tinggi) setelah satu tahun ditanam di lapangan. Untuk pertumbuhan diameter, hanya blok yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter. Untuk mengetahui interaksi antara jenis dan mutu bibit serta blok mana, yang riap lebih tinggi setelah satu tahun ditanam di lapangan telah dilakukan

uji beda nyata Tukey, seperti disajikan pada Tabel 4 dan 5. Hasil uji beda nyata Tukey (Tabel 4) setelah satu tahun ditanam menunjukkan riap tinggi dan diameter yang di tanam di blok III dan IV tidak berbeda nyata yaitu masing-masing sebesar 179,7 cm, 177,3 cm dan 165,8 cm. Untuk diameter masing-masing sebesar 2,6 cm dan 2,6 cm. Tidak berbeda nyatanya pertumbuhan tinggi dan diameter di kedua blok setelah satu tahun ditanam, terlihat lingkungannya di kedua

195

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 191 - 199

blok hampir sama. Hal ini dikarenakan oleh tegakan tinggal antara jalur setelah satu tahun telah tertutup kembali oleh permudaan alam yang dapat mengembalikan iklim mikro di lantai hutan. Berdasarkan Tabel 5 bahwa jenis S. parvifolia dari mutu bibit satu memperlihatkan riap tinggi yang paling tinggi dibandingkan dengan kombinasi lainnya, yaitu sebesar 184,6 cm. Akan tetapi tidak berbeda nyata dengan jenis S. leprosula dari mutu bibit tiga dan S. parvifolia dari mutu bibit tiga. Walaupun kelas mutu bibit 3 memiliki rata-rata pertumbuhan yang tinggi, akan tetapi rata-rata tinggi tanaman tidak melebihi kelas mutu bibit satu dan dua.

Tidak berbeda pertumbuhan tinggi kedua jenis tersebut setelah satu tahun ditanam di lapangan, begitu pula yang terjadi di PT Sari Bumi Kusumah berdasarkan hasil uji jenis riap untuk jenis S. leprosula dan S. parvifolia masing-masing hampir sama yaitu sebesar 221,2 cm dan 224,6 cm (Soekotjo, 2007). Kedua jenis meranti merah ini termasuk dalam jenis setengah toleran, walaupun membutuhkan naungan pada awalnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya memerlukan cahaya. Yassir dan Mitikauji (2007) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh interaksi ketiga faktor, yaitu faktor keturunan (genetik), lingkungan dan teknik silvikultur.

Tabel (Table) 4 . Rata-rata hasil uji beda nyata Tukey blok terhadap riap tinggi dan diameter jenis meranti merah setelah enam dan satu tahun ditanam di lapangan (Average results of significant different test of Tukey on block to height and diameter growth of red meranti species after six months and one year planted in the field)

Blok (block)

Umur enam bulan (six months old) Rata-rata riap tinggi Riap diameter (average height (average growth) cm diameter growth) cm I 42,8 a 0,2 a II 47,6 ab 0,3 a III 55,2 bc 0,4 c IV 58,4 c 0,5 c

Umur dua belas bulan (tweleve months old) Rata-rata riap tinggi Riap diameter (average height (average diameter growth) cm growth) cm 141,7 a 165,8 b 177,3 b 179,7 b 2,0 a 2.3 b 2,6 c 2,6 c

Keterangan (Remarks): Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat 5% berdasarkan uji beda nyata Tukey (Mean values followed by different letters are significanly different at 5% level based on Tukey significant different test)

Tabel (Table) 5. Rata-rata hasil uji beda nyata Tukey interaksi antara jenis dan mutu bibit terhadap pertambahan tinggi (riap) jenis meranti merah setelah satu tahun ditanam di lapangan (Average results of significant different test of Tukey interaction between species seedling quality to height growthh of red meranti species after one year planted in the field) No. Perlakuan interaksi antara jenis dan mutu bibit ( Interaction Rata-rata riap tinggi between species and seedling quality treatments ) (average height growth) cm 1 Interaksi antara A1 dan B1 (Interaction between A1 and B1) 143,8 a 2 Interaksi antara A1 dan B2 (Interaction between A1 and B2) 162,2 ab 3 Interaksi antara A2 dan B2 (Interaction between A2 and B2) 163,3 b 4 Interaksi antara A2 dan B3 (Interaction between A2 and B3) 169, 4 b 5 Interaksi antara A1 dan B3 (Interaction between A1 and B3) 173,7 b 6 Interaksi antara A2 dan B1 (Interaction between A12and B1) 184,6 b
Ketengan (Remarks): A1 = S. leprosula, A2 = S. parvifolia; B1 = mutu bibit satu (seedling quality one), B2 = mutu bibit dua (seedling quality two), B3 = mutu bibit tiga (seedling quality three), B1 = mutu bibit satu (seedling quality one). Nilai rata-rata yang diikuti oleh hurup berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat 5% berdasarkan uji beda nyata Tukey (Mean values followed by different letters are significanly different at 5% level based on Tukey significant different test).

196

Uji Coba Mutu Bibit Meranti Merah di HPH PT Erna Juliawati Kalimantan Tengah R. Mulyana Omon

C. Kekokohan bibit, nisbah tinggi dan akar (top root ratio), kekompakan media dan Kolinisasi mikoriza Dalam penentuan mutu (kualitas) bibit selain pertumbuhan tinggi dan diameter juga indikator lainnya, yaitu nilai kekokohan, nisbah tinggi dan akar (top root ratio), kekompakan media dan kolonisasi mikoriza pada saat ditanam. Indikator ini sangat penting untuk menunjang kualitas bibit sebelum ditanam di lapangan. Berdasarkan hasil pengukuran dan penilaian rata dari kriteria dan indikator tersebut disajikan pada Tabel 6. Jayusman (2005) melaporkan bahwa nilai kekokohan bibit dan nisbah tinggi dan akar (top root ratio) sebelum bibit ditanam adalah karakter penunjang yang sering dipakai untuk menilai sifat morfologis bibit di persemaian. Kekokohan bibit menggambarkan keseimbangan pertumbuhan antara tinggi dan diameter bibit di

lapangan. Nilai kekokohan yang tinggi akan menunjukkan kemampuan hidup yang rendah karena tidak seimbang perbandingan tinggi bibit dengan diameternya. Nilai kekokohan bibit di persemaian berkisar antara 6,3 - 10,8 dikelompokkan baik (SNI 01-5005.1-1999). Dari hasil perhitungan rata-rata kekokohan bibit meranti merah jenis S. parvifolia dari bibit yang berasal dari cabutan yang dipelihara selama tujuh bulan di persemaian dengan nilai kekokohan sebesar 10,6 dan untuk S. leprosula sebesar 9,5 dalam katogari yang baik. Sedangkan untuk top root ratio makin kecil top root ratio akan menunjukkan pertumbuhan kurang baik. Nilai top ratio yang baik berkisar antara termasuk dalam kelompokkan baik (SNI 01-5005.1-1999). Berdasarkan hasil penilaian top ratio dari penelitian rata-rata sebesar 4,7 untuk jenis S. parvifolia diikatakan cukup baik.

Tabel (Table) 6. Hasil penilaian kriteria mutu bibit jenis S. leprosula sebelum di lakukan penanaman di lapangan (Valuation result of seedling quality criteria to S. leprosula before planting in the field)
Jenis (species) Media tumbuh (growth media) Bagian atas tanah (top-soil) S. leprosula Kekompakan media (media compaction) Nilai kekokohan (strength value of seedling) Nisbah tinggi dan akar (top root ratio) Persentase kolonisasi mikoriza (Percentage of mycorrhizae colonisation ) Persentase kolonisasi mikoriza (Percentage of mycorrhizae colonisation ) S. parvifolia Kekompakan media (media compaction) Nilai kekokohan Nisbah tinggi dan akar (top root ratio) Persentase kolonisasi mikoriza (Percentage of mycorrhizae colonisation ) Kriteria penilaian (valuation criteria) Kelas mutu bibit (seedling quality class) B1 utuh 9,5 3,6 65,75% B2 utuh 9,8 3,5 65,62% B3 Utuh 9,6 2,4 59,08%

65,7 %

65,6 %

59,1 %

utuh 10,6 4,7 65,7 %

utuh 10,6 4,2 57,5 %

utuh 9,1 2,7 62,8%

Keterangan : B1 = kelas mutu bibit `satu, B2 = kelas mutu bibit kelas dua, B3 = kelas mutu bibit tiga

197

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 191 - 199

Hal yang tidak kalah pentingnya bagi pertumbuhan bibit di persemaian adalah media yang digunakan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan media tumbuh dengan top-soil cukup baik, yaitu pada waktu penanaman bibit ke lubang tanam tidak terjadi kerusakan artinya antara tanah dan akar melekat (utuh). Akan tetapi yang menjadi kendala apabila media tumbuh bibit mengandalkan top-soil dikhawatirkan akan terjadi kerusakan tanah hutan. Oleh karena pada saat ini di IUPHHK seperti PT SBK dan PT SARPATIN telah menggunakan kompos buatan yang terbuat dari kayu telah lapuk kemudian diracik menjadi kompos ada juga vegetasi tumbuhan bawah yang diracik dengan alat pencincang rumput kemudian ditambah M4 untuk dijadikan kompos. Kompos tersebut dicampur dengan top soil dengan perbandingan 1: 3(v/v). Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa standar mutu bibit yang telah di tersedia untuk jenis meranti (SNI 01-500511999), yaitu kelas mutu satu dan dua dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penanaman bibit operasional di lapangan dalam program silvikultur intens 7, khususnya dari jenis S. leprosula dan S. parvifolia dengan bibit yang berasal dari cabutan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kelas mutu bibit satu dan tanaman di blok tiga memberikan persen hidup lebih tinggi dibandingkan dengan kelas mutu bibit dan blok lainya masing-masing sebesar 84,3 % dan 88,8 %. 2. Kelas mutu bibit satu dari jenis Shorea parvifolia telah memberikan riap tinggi paling tinggi dibandingkan interaksi antara kelas mutu dan jenis lainnya, yaitu sebesar 184,6 cm. Tetapi jenis meranti yang ditanam blok empat telah memberikan riap diameter yang paling tinggi dibandingkan blok lainnya, yaitu sebesar 2,61 cm. 3. Rata-rata nilai kekokohan bibit dan nilai nisbi tinggi dan akar (top root ratio) kelas mutu bibit satu yang baik sebagai penunjang untuk penentuan kualitas (mutu) bibit untuk ditanam di lapangan, yang masing-masing 10,6 dan 4,7 dengan persen kolonisasi mikoriza sebesar 65,7 %.

4. Media bagian atas tanah (top soil) pada waktu penanaman utuh atau kompak, sehingga akar bibit tidak rusak. 5. Standard Nasional Indonesia (SNI 01-500511999) untuk jenis meranti dapat digunakan sebagai standar mutu bibit untuk jenis S. leprosula dan S. parvifolia. B. Saran Perlu juga dilakukan uji coba bibit jenis dipterokarpa lainnya dengan bibit berasal dari cabutan atau benih dengan media campuran antara kompos dan top soil DAFTAR PUSTAKA Daniel, T.W., J.A. Helms. dan F.S. Baker. 1979. Prinsip-prinsip silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haeruman, H. 1975. Prosedur analisa rancangan percobaan. bagian pertama. Bagian Perentjanaan Hutan. Departemen Mangemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. 78 h. Hendromomo, 2007. Bibit berkualitas`sebagai kunci pembuka keberhasilan hutan tanaman dan rehabilitasi. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengembangan Silvikultur. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Tidak diterbitkan. Jayusman. 2005. Evaluasi keragaman genetik bibit surian di persemaian. Wana Benih Vol. 7 No. 1. Pusat Penelitian dan P e n g e m b a n g a n H u t a n Ta n a m a n . Yogyakarta. Mok, S.T. 1993. Current research on artificial regeneration of Dipterocarps. FORSPA Publication 8. Forestry Research Support Program for Asia & The Pacific (FORSPA). Kuala Lumpur. Malaysia. Priadjati, A. 2003. Dipterocarpaceae : Forest fire a n d f o r e s t r e c o v e r y. Tr o p e n b o s International. The Tropenbos Foundation. Wageningen. The Netherlands. Schmidt, F.H dan J.H. Ferguson. 1951. Rainfall types based on dry and wet period ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhandelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

198

Uji Coba Mutu Bibit Meranti Merah di HPH PT Erna Juliawati Kalimantan Tengah R. Mulyana Omon

Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-5005.11999. Standardisasi mutu bibit jenis meranti. Badan Standardisasi National, Jakarta Schmidt, L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Te r j e m a h a n D i r e k t o r a t J e n d e r a l Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta. Soekotjo. 2007. Pengalaman dari uji jenis dipterokarpa umur 4,5 tahun di PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspose

TPTII/Silin. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Yassir, I. dan Y. Mitikauji. 2007. Pengaruh penyiapan lahan terhadap pertumbuhan Shorea leprosula Miq. dan Shorea balangeran (Korth.) Burck pada lahan alang-alang di Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol. 1 No. 1, September 2007. Balai Besar Penelitian Dipterocarpaceae. Samarinda. Zobel, B. and J. Talbert. 1984. Applied forest tree improvement. John Wiley and Sons.Inc. New York.

199

POTENSI SERANGAN HAMA TANAMAN JATI RAKYAT DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI RUMPIN, BOGOR Infestation Potential of Pest on Community's Teak Plantation and Expedient Control in Rumpin, Bogor
Nanang Herdiana
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu PO. BOX. 179, Palembang Telp./Fax. (0711) 414864 e-mail : nanang_herdiana@yahoo.co.id Naskah masuk : 21 September 2009 ; Naskah diterima : 17 September 2010

ABSTRACT

Teak (Tectona grandis Linn.) is one of potential forest plants that is developed especially for sawn wood. In growing period, it was often attacked by several pests that caused seriously damages. This research was conducted to identify kind of main pest organisms and determine the damage intensity. The inventory and identification of pests were done at a private teak plantation Rumpin, Bogor West Java and Forest Protection Laboratory, Bogor Agricultural University. The results showed that the main pests on teak plantations at the research location were Leucopholis rorida F. and Zeuzera coffeae Nietn. The highest damage caused by L. rorida was recorded on plot I (teak was 2.5 years old) with attack and damage intensity of 77.63% and 48.89% respectively. Beside this, the highest damage caused by Z. coffeae occured on plot IV (teak was 11 months old) with attack and damage intensity were 5.2% and 3.71% respectively.
Keywords: Teak (Tectona grandis Linn.), pests, Leucopholis rorida F., Zeuzera coffeae Nietn. ABSTRAK

Jati (Tectona grandis Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan potensial yang banyak dikembangkan, terutama untuk kayu pertukangan. Dalam pertumbuhannya, tanaman jati sering diserang oleh berbagai jenis hama yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup serius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama utama dan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi hama dilakukan pada tanaman jati rakyat di Rumpin, Bogor Jawa Barat dan Laboratorium Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan jenis hama utama yang menyerang tanaman jati pada lokasi penelitian adalah Leucopholis rorida F. dan Zeuzera coffeae Nietn. Kerusakan akibat serangan uret paling parah terjadi pada petak I (jati umur 2,5 tahun) dengan intensitas serangan dan kerusakan masing-masing sebesar 77,63% dan 48,89%. Sedangkan serangan hama Z. coffeae paling parah terjadi pada petak IV (jati umur 11 bulan) dengan intensitas serangan dan kerusakan masing-masing sebesar 5,2% dan 3,71%.
Kata kunci : Jati (Tectona grandis Linn.), hama, Leucopholis rorida F., Zeuzera coffeae Nietn.

I. PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan hutan tanaman tidak hanya ditentukan oleh penguasaan dan penerapan teknik silvikultur yang sesuai dan taat azas, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lainnya seperti perlindungan terhadap hama maupun penyakit. Serangan hama dan penyakit dapat menurunkan potensi tegakan, baik kualitas

maupun kuantitasnya. Dalam sistem silvikultur intensif, perlindungan hama dan penyakit menjadi salah satu komponen penting, di samping penggunaan materi dengan kualitas genetik unggul dan manipulasi lingkungan. Jati (Tectona grandis Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan andalan yang banyak dikembangkan karena mempunyai sifatsifat yang baik, terutama untuk kayu

201

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 177 - 185

pertukangan. Dalam pertumbuhannya, tanaman jati sering diserang oleh berbagai jenis hama yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup serius. Beberapa jenis hama yang umum menyerang tanaman jati di Indonesia antara lain: Xyleborus destruens Bldf. dan Neotermes tectonae Damm. (menyerang batang), Captotermes curvignatus Hciver. dan Leucopholis rorida F. (menyerang akar), Duomitus ceramicus Wlk. dan Monochamus rusticator Fab. (menyerang kambium sampai kayu pohon/xylem), Hiblaea puera Cr. dan Pyrausta machaeralis Wills. (menyerang daun) dan Phassus damor Morr. (menyerang leher akar) (Suratmo, 1979 dalam Rahardjo, 1989). Berdasarkan pengamatan awal, tegakan jati rakyat di Rumpin mengalami serangan hama yang mengakibatkan kerusakan pada sebagian besar populasi berupa mengeringnya pucuk, kemudian ranting sampai batang secara keseluruhan yang pada akhirnya kematian pada pohon. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka dilakuan pengamatan untuk mengetahui jenis hama utama yang menyerang tegakan jati tersebut, dampak kerusakan yang ditimbulkan dan potensi upaya pengendaliannya.

C. Metoda Penelitian Kegiatan survey lapangan dilakukan meliputi pengamatan terhadap karakteristik serangan hama, inventarisasi inang terserang, identifikasi gejala dan tanda serangan serta pengamatan kondisi lingkungan sekitar. Kegiatan pengamatan dilakukan terhadap semua individu pohon yang ada di lokasi (sensus). Kegiatan identifikasi jenis hama yang diperoleh dilakukan di laboratorium. Pengamatan terhadap individu pohon yang terserang dilakuan untuk mengetahui intensitas kerusakan berdasarkan jenis hama yang menyerang, meliputi: a. Hama perusak akar. Parameter yang diukur meliputi: Tinggi pohon total dan tinggi batang yang masih hidup (dilihat berdasarkan ada tidaknya tunas yang tumbuh pada batang). b. Hama penggerek batang. Parameter yang diukur meliputi: Ketinggian lubang gerek, jumlah lubang gerek dan kondisi tajuk. D. Analisis Data Parameter pengukuran yang analisis adalah intensitas serangan dan intensitas kerusakan. 1. Intensitas serangan Diperoleh berdasarkan perhitungan jumlah pohon yang terserang hama dan jumlah semua pohon dalam petak pengamatan (sehat dan yang terserang), rumus yang digunakan adalah:

II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian survei lapangan dilakukan pada tanaman jati rakyat di Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Bahan tanaman awal yang digunakan untuk pembangunan tegakan ini berasal dari kultur jaringan. Identifikasi terhadap hama yang diperoleh dari lapangan dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian tersebut berlangsung mulai bulan September - Oktober 2000.
B. Bahan danAlat

IS

Nh x 100 % Nt

di mana: IS = Intensitas serangan (%) Nh= Jumlah pohon yang terserang dalam petak pengamatan Nt = Jumlah total pohon yang ada dalam petak pengamatan 2. Intensitas kerusakan Diperoleh berdasarkan klasifikasi dari parameter yang diukur pada individu pohon yang terserang dan akibatnya pada pohon itu sendiri. Intensitas kerusakan untuk serangan hama perusak akar menggunakan perbandingan antara tinggi batang yang mati dengan tinggi total pohon. Sedangkan klasifikasi yang digunakan untuk hama perusak batang dapat dilihat pada Tabel 1.

Bahan yang digunakan sebagai obyek pengamatan adalah tegakan jati rakyat berumur 2,5 tahun (petak I), 16 bulan (petak II dan III), 11 bulan (petak IV) dan 4 bulan (petak V) yang berlokasi di Rumpin, Bogor Jawa Barat, etanol, tali rafia dan kapas. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain : pengukur tinggi (meteran), golok, pilok, tabung bekas film, alat tulis dan kamera.

202

Potensi Serangan Hama Tanaman Jati Rakyat dan Upaya Pengendaliannya di Rumpin, Bogor Nanang Herdiana

Tabel (Table) 1. Klasifikasi dan tanda-tanda kerusakan jati akibat serangan hama penggerek batang (The Classification and symptoms of teak damage caused by stem borer)

Parameter kerusakan (Damage parameters) 1. Tinggi lubang gerek (Height of borrer holes) a. Petak IV (jati umur 11 bulan) (Plot IV (teak was 11 months old)) 02m 2,1 4 m 4,1 6 m b. Petak V (jati umur 4 bulan) (Plot IV (teak was 4 months old)) 0 0,5 m 0,6 1 m 1,1 1,5 m 1,6 2 m 2. Kondisi tajuk (Canopy conditions) Mati/patah (Die/broken) Layu (Wilt) Sehat (Health) 3. Jumlah lubang gerek (Number of borer holes) >1 1 0
Intensitas kerusakan dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Wastie yang telah dimodifikasi (Prawirisumardjo, 1979 dalam Winaryati, 1984):

Nilai kerusakan (Damage values)

3 2 1 4 3 2 1 2 1 0 2 1 0

P = Nilai tertinggi dari jumlah nilai kerusakan dalam satu pohoN N = Jumlah pohon yang ada dalam petak pengamatan Penilaian intensitas kerusakan akibat serangan hama perusak batang dibagi kedalam beberapa katagori berdasarkan Bowner et al. (1995) dalam Winarto (1997) seperti yang disajikan pada Tabel 2.

IK

Jsp PxN

x 100 %

di mana: IK = Intensitas kerusakan (%) Jsp = Jumlah nilai kerusakan dari n pohon yang terserang pada petak pengamatan

Tabel (Table) 2. Klasifikasi tingkat kerusakan jati akibat serangan hama penggerek batang (Clasification of teak damage caused by stem borer) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Intensitas Kerusakan (DamageIntensity) (%) 0 1 21 21 40 41 60 61 80 > 80 Kategori (Category) Sehat Ringan Sedang Agak berat Berat Sangat berat

203

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 177 - 185

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Jenis Hama, Serangan dan Dampak Kerusakan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan identifikasi di laboratorium diketahui dua jenis serangga hama yang berbeda dan menyerang pada petak tanaman jati (Tectona grandis Linn.) yang berbeda. Pada tanaman jati berumur 2,5 tahun (petak I) dan 16 bulan (petak II dan III) hama yang menyerang adalah serangga perusak akar, yaitu uret Leucopholis ro r i d a F. ( o rd o C o l e o p t e r a , f a m i l i Melolonthidae). Sedangkan pada tanaman jati yang berumur 11 bulan (petak IV) dan 4 bulan (petak V) hama yang menyerang adalah serangga perusak pucuk, cabang dan batang yaitu Zeuzera coffeae Nietn . ( ordo Lepidoptera, famili Cossidae). 1. Leucopholis rorida F. Uret, disebut juga embug atau gayas (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan kuuk (Jawa Barat) adalah larva dari kumbang yang tergolong ordo Coleoptra, subordo Lamellicornia. Uret yang ditemukan adalah Leucopholis rorida F. termasuk famili Melolonthidae (Coulson, 1984). Uret dari famili ini termasuk salah satu yang paling banyak menyerang tanaman hutan (Intari dan Natawiria, 1973). Jenis tanaman yang diserang oleh uret tidak hanya jati, tetapi dapat menyerang jenis tanaman hutan lainnya seperti rasamala. Seperti yang dilaporkan oleh Harsono (1981) bahwa pada tahun 1980 uret L. rorida menyerang tanaman rasamala berumur 2 tahun di daerah Cikaung, Sukabumi. Uret kumbang ini mempunyai panjang mencapai 5 cm, berwarna putih kekuningan, borstel (bulu-bulu) pada bagian ventral ujung abdomen uret tersusun dalam dua baris sejajar, banyaknya borstel tiap baris 15 - 27 buah. Telurnya mula-mula berwarna putih berukuran 3 mm, telur yang hampir menetas berubah menjadi 5 mm dan kulit telurnya menjadi keras. Kumbang L. rorida berwarna coklat pada bagian atasnya dan pada bagian bawahnya berwarna coklat kemerahan. Permukaan tubuhnya ditutupi sisik renik berwarna putih kekuningan dan pada bagian belakang kepala, pangkal antena dan pro-, meso- dan metasternum tumbuh bulu-bulu halus berwarna kuning kecoklatan (Husaeni, 2000). Telur-telurnya diletakkan secara tersebar

di dalam tanah dengan kedalaman yang berbeda tergantung sifat fisik tanahnya, biasanya pada kedalaman 17 - 35 cm, bahkan sampai kedalaman 40 - 50 cm. Uret yang telah dewasa terdapat pada lapisan tanah yang lebih dalam. Kumbang yang baru keluar dari pupa tidak langsung keluar dari tanah, tetapi akan tinggal beberapa waktu lamanya di dalam tanah (Harsono, 1981). Di lapangan ditemukan kumbang yang masih lunak dan masih di dalam tanah. Kumbang akan keluar meninggalkan tanah pada awal musim hujan, terutama segera setelah hujan pertama turun. Selanjutnya akan mencari makan dan melakukan perkawinan dan kemudian akan kembali ke dalam tanah untuk bertelur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala yang terlihat pada pohon yang terserang uret mula-mula daunnya layu kemudian menguning dan mengering, diikuti dengan mengeringnya ranting-ranting dan batang, pada pohon yang masih mampu bertahan hidup terlihat adanya tunas-tunas yang tumbuh pada batang tidak jauh dari permukaan tanah tetapi jika serangannya terus menerus dan cukup parah dapat mengakibatkan kematian pohon. Kondisi tegakan jati yang terserang uret L. rorida dapat dilihat pada Gambar 1. Leucopholis termasuk golongan uret yang bahan makananya hanya berupa akar tanaman yang masih hidup (Husaeni, 2000). Pada saat pemeriksaan akar pohon yang diserang, terlihat bekas gigitan uret pada akar-akar cabang yang masih muda termasuk akar serabutnya dan ada beberapa bagian akar yang sudah mulai membusuk. Putusnya akar serabut akan menghambat penyerapan unsur hara dan air. Kondisi tersebut mengakibatkan bagian atas pohon mengering karena air yang mampu diserap oleh akar akan terbatas, sehingga tidak mampu untuk ditransportasikan ke bagian pucuk tanaman. Kondisi akar yang terserang uret L. rorida dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan data intensitas serangan dan intensitas kerusakan (Tabel 3), terlihat bahwa intensitas serangan dan intensitas kerusakan tanaman jati akibat serangan hama uret cukup bervariasi dan termasuk kategori sedang - agak berat. Intensitas kerusakan serangan uret yang paling parah terjadi pada petak I (jati umur 2,5 tahun) sebesar 48,89% dan termasuk kategori agak berat. Perbedaan intensitas serangan pada ke tiga petak tersebut diduga berhubungan dengan sifat fisik tanah, pada petak I tanahnya paling gembur dibanding dua petak lainnya sedangkan uret memilih tanah yang gembur

204

Potensi Serangan Hama Tanaman Jati Rakyat dan Upaya Pengendaliannya di Rumpin, Bogor Nanang Herdiana

untuk bertelur, sehingga pada petak III yang mempunyai kondisi fisik tanah yang padat, tidak mendukung bagi perkembangan uret (Husaeni, 2000). Di samping perbedaan kondisi fisik tanah dari ke tiga petak tersebut, petak I berdekatan

dengan kebun rambutan yang merupakan habitat kumbang L. rorida, karena kumbang ini memakan daun rambutan dan ketika akan bertelur, kumbang tersebut akan langsung masuk ke tanah di lokasi terdekat (petak I).

Gambar (Figure) 1. Hama uret Leucopholis rorida F. pada tanaman jati: (a). Gejala serangan, (b). Kondisi akar tanaman jati yang terserang L. rorida, (c). Kumbang L. rorida (L. rorida on teak trees : (a). Attack symptoms, (b). Root condition of teak attacked by L. rorida, (c) L. rorida beetles) Tabel (Table) 3. Rekapitulasi intensitas serangan dan intensitas kerusakan akibat serangan L. rorida pada tanaman jati (The recapitulation of attack and damage intensity caused by L. rorida on teak trees)

Petak (Plots) I II III

Umur Tanaman (Age of Plant)

Jumlah Pohon (Number of Tree) Sehat (Healthy) 183 248 224 Terserang (Attacked) 635 260 181

Intensitas serangan (Attack intensity) (%) 77,63 51,18 42,59

Intensitas kerusakan (Damage intensity) (%) 48,89 29,95 21,20

2,5 tahun 16 bulan 16 bulan

2. Zeuzera coffeae Nietn. Dalam dunia kehutanan di Indonesia Zeuzera coffeae Nietn. disebut penggerek cabang merah, karena tubuh larvanya berwarna merah bata dan menyerang cabang-cabang jati muda. Sebetulnya hama ini tidak hanya menyerang

cabang, tetapi juga menyerang batang pohon dan berdasarkan pengamatan di lapangan hama ini menyerang batang bagian atas (pucuk) dan juga ditemukan pada bagian cabang. Telur yang baru diletakkan berwarna merah muda, setelah 9 hari berubah menjadi

205

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 177 - 185

merah tua dan berbintik hitam dengan ukuran 1 x 0,5 mm (Husaeni, 2000). Larva dewasa mempunyai panjang tubuh 4 cm, kepalanya berwarna coklat, perisai pronotumnya berwarna coklat dan mengeras, lebih melebar ke arah samping dari pada ke arah panjang tubuhnya dan pada tepi depannya melekuk, pada bagian belakangnya tumbuh deretan duri kecil yang mengarah ke belakang tubuh. Tujuh segmen pertama abdomen berwarna merah muda sampai coklat ungu di bagian atas dan bagian bawahnya berwarna kekuningan. Sedangkan segmen ke 8, 9 dan ke 10 berwarna kecoklatan dan pada segmen terakhir terdapat pelat yang mengkilat.

Pupanya berwarna coklat kastanye dengan panjang tubuh 2,5 cm, di atas matanya terdapat tonjolan-tonjolan tumpul dan pada segmensegmen abdomen dorsal terdapat deretan gerigi yang melengkung ke belakang. Imagonya berupa ngengat berwarna putih, pada toraknya terdapat pasangan-pasangan bintik hitam dan pada sayap depan terdapat sejumlah bintik dan garis hitam dan pada ujung sayap belakang terdapat beberapa bintik hitam dan rentang sayapnya sekitar 35 - 45 mm. Gambar Z. coffeae mulai dari stadia larva, pupa sampai dengan imagonya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar (Figure) 2. Hama penggerek batang (Z. coffeae) pada tanaman jati: (a). Gejala serangan, (b). Lubang (tanda panah) dan saluran gerek pada batang tanaman jati, (c). Metamorfosis hama Z. coffeae mulai dari larva, pupa dan imago (Stem borrer (Z. coffeae) on teak trees: (a). Attack symptoms, (b). Hole borrer (arrow sign) and canal borrer on teak stemps, (c). Metamorfose of Z. coffeae consist larva, pupa and imago)

Seekor ngengat betina mampu meletakkan 500 - 1000 butir telur dalam waktu 1 2 minggu. Siklus hidup Z. coffaea di Indonesia berkisar antara 4 - 5,5 bulan, stadium telurnya berlangsung 12 hari, larva 53 - 56 hari, pupanya 21 - 28 hari dan ngengatnya 5 - 11 hari (Husaeni, 2000). Gejala yang dapat dilihat pada pohon yang terserang Z. coffeae adalah kerusakan pada bagian pucuk tanaman akibat saluran gerek yang dibuatnya. Saluran gerek yang dibuat oleh larva muda terdiri dari dua bagian, bagian pertama sepanjang 1 - 2 cm ke arah pangkal dan bagian ke

dua ke arah pucuk. Larva-larva yang lebih tua akan memperbesar saluran gerek ini dengan bentuk gerekan yang tidak teratur. Liang gerek ini akan menembus kambium dan daerah kulit, sehingga yang tertinggal hanya lapisan yang tipis dan jika ada angin akan mudah patah. Kadangkadang larva ini membuat saluran gerek yang melingkari batang atau cabang dan meneres batang sehingga bagian batang kayu di atasnya menjadi mati. Lubang dan saluran gerek yang dibuat oleh larva Z. coffeae dapat dilihat pada Gambar 2.

206

Potensi Serangan Hama Tanaman Jati Rakyat dan Upaya Pengendaliannya di Rumpin, Bogor Nanang Herdiana

Tabel (Table) 4. Rekapitulasi intensitas serangan dan intensitas kerusakan akibat serangan Z. coffaea pada tanaman jati (The recapitulation of attack and damage intensity caused by Z. coffeae attack on teak trees)

Petak (Plots) IV V

Umur tanaman (Age of plant) 11 bulan 4 bulan

Jumlah pohon (Number of tree) Sehat (Healthy) 2.013 1.143 Terserang ( ttacked) A 111 11

Intensitas serangan (Attack intensity) (%) 5,22 0,95

Intensitas kerusakan (Damage intensity) (%) 3,71 0,68

Berdasarkan data intensitas serangan dan intensitas kerusakan (Tabel 4) terlihat bahwa serangan Z. coffeae yang paling parah terjadi pada petak IV (jati umur 11 bulan), tetapi masih termasuk dalam kategori ringan. Walaupun serangan Z. coffeae pada petak V tidak begitu tinggi, tetapi karena tanamannya masih muda maka resiko terjadinya kerusakan yang lebih parah dan kemungkinan terjadinya kematian tanaman akan lebih besar dibanding petak IV. Kerusakan akibat serangan Z. coffea, berupa patahnya pucuk atau bagian atas pohon baik masih segar atau sudah layu maupun sudah mati, namun ada juga yang masih tetap tegak walaupun sudah mati (die back). Dampak dari kerusakan semacam itu terutama pada tanaman yang masih muda akan mengurangi tinggi bebas cabang yang dapat terbentuk. Serangan hama ini juga menyebabkan tumbuhnya pertunasan di bawah bagian batang yang terserang, batang menjadi bengkok dan berlubang, sehingga dapat menurunkan kuantitas dan kualitas kayu yang dapat dihasilkan (panjang sortimen yang dapat dibuat). Pada tegakan jati yang berasal dari vegetatif makro (stek) atau organ generatif (benih), terjadinya serangan hama dan penyakit secara besar-besaran seperti pada lokasi penelitian ini belum pernah dilaporkan. Resistensi tanaman terutama yang berasal dari kultur jaringan dapat dipengaruhi oleh proses pembuatannya. Pada proses pembuatan tanaman melalui kultur jaringan kemungkinan dapat terjadi soma clonal variation, jika penanganannya kurang hati-hati. Keadaan ini akan menyebabkan ketidakstabilan genetik tanaman yang akan berpengaruh terutama pada menurunnya intensitas resistensi tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.

B. Upaya Pengendalian 1. Pengendalian Leucopholis rorida F. Jika dibiarkan serangan uret ini dapat mematikan semua tanaman yang ada, tindakan pengendalian harus sesegera mungkin dilakukan untuk mengurangi terjadinya serangan yang lebih parah dan menghindari penularan ke tegakan jati lainnya yang belum terserang. Tindakan pengendalian yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi serangan uret dapat dilakukan secara mekanis maupun kimiawi, secara teknis tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Pembersihan gulma dan pendangiran tanah di sekitar tanaman, adanya gulma yang tumbuh memberikan pengaruh yang mendukung terhadap perkembangan uret yang ada di dalam tanah dan biasanya tanah yang dipilih kumbang untuk bertelur adalah tanah yang bervegetasi dan lembab, dengan pembersihan gulma dan pendangiran maka sinar matahari dapat langsung sampai di tanah sehingga suhu tanah akan meningkat di samping akan mempermudah pada saat dilakukan pemupukan tanaman. b. Pengurangan populasi kumbang, dilakukan dengan penangkapan kumbang yang sudah ke luar dari tanah dan yang hidup pada pohon inang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, L. rorida hanya pada stadia larva hidup di dalam tanah dan setelah menjadi imago (kumbang) akan ke luar untuk mencari makan dan melakukan perkawinan, tanaman inang kumbang ini adalah pohon rambutan dan pisang. Sehingga diupayakan agar tidak menanam pohon rambutan atau pisang yang berdekatan dengan tanaman jati. c. Musim terbang kumbang akan segera diikuti oleh musim bertelur. Oleh karena itu dalam bulan-bulan pertama musim kumbang terbang

207

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 201 - 209

(sebelum musim hujan) harus segera dilakukan pemberian insektisida pada tanah atau lubang tanam, untuk mencegah serangan uret yang baru menetas. Insektisida yang dapat digunakan adalah yang berbahan aktif karbofuran, misalnya furadan (Tini dan Khairul, 2002). d. Uret tergolong serangga polifag yang tidak hanya memakan tanaman kehutanan namun juga tanaman palawija, salah satu tanaman palawija yang paling disukai adalah singkong, sehingga sebaiknya dihindari penanaman singkong pada lahan yang berdekatan dengan lokasi penanaman jati apalagi ditumpangsarikan. 2. Pengendalian Zeuzera coffeae Nietn Serangan Z. coffeae pada tegakan jati yang ada di lokasi penelitian (petak IV dan V) termasuk belum parah, tetapi harus secepatnya dilakukan tindakan pengendalian sebelum serangannya meningkat dan menimbulkan kerugian yang cukup serius. Sampai saat ini pengendalian yang efektif terhadap serangan Z. coffeae belum bayak diteliti dan masih terbatas pada pengendalian secara mekanis, yaitu dengan cara memangkas/ memotong batang (pucuk) yang terserang dan membunuh larvanya. Yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemangkasan adalah menghindari kemungkinan infeksi dari mikroorganisme lain seperti jamur atau bakteri yang dapat masuk melalui luka pada batang yang dipangkas. Untuk menghindari hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian ter pada bekas pemangkasan. Sedangkan pengendalian secara kimiawi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida berbahan aktif dimetoat, diaplikasikan dengan cara disumbatkan dalam lubang gerek menggunakan kapas (Tini dan Khairul, 2002). Walaupun pengendalian hayati tidak efektif jika diterapkan di lapangan, tetapi berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan ditemukan serangga parasitoid dari famili Braconidae yang menyerang larva dan pupa Z. coffeae. Sedangkan musuh alami lainnya adalah burung pelatuk. Metoda pengendalian lain yang dapat dikembangkan adalah penggunaan perangkap cahaya. Imago Z. coffeae adalah ngengat yang aktif pada malam hari dan pada umumnya ngengat akan tertarik pada cahaya lampu. Sehingga jika ngengat tersebut dapat ditangkap,

maka akan dapat mengurangi populasi serangan Z. coffeae dan resiko terjadinya serangan yang parah. IV. KESIMPULAN Jenis hama yang menyerang tanaman jati (Tectona grandis Linn.) pada lokasi penelitian adalah uret Leucopholis rorida F. (serangga perusak akar) dan Zeuzera coffeae Nietn. (serangga perusak pucuk dan cabang). Kerusakan akibat serangan uret paling parah terjadi pada petak I (jati umur 2,5 tahun) dengan intensitas serangan dan intensitas kerusakan masing-masing sebesar 77,63% dan 48,89%, sehingga sebaiknya tanaman jati tersebut diganti. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah pembersihan dan pendangiran sekitar tanaman, penggunaan insektisida berbahan aktif karbofuran dan penangkapan terhadap uret dan kumbangnya. Serangan hama Z. coffeae paling parah terjadi pada petak IV (jati umur 11 bulan) dengan intensitas serangan dan intensitas kerusakan masing-masing sebesar 5,2% dan 3,71%. Tindakan pengendalian mekanis yang dapat dilakukan adalah pemangkasan pucuk yang terserang dan membunuh larvanya. DAFTAR PUSTAKA Coulson, R. N. and J. A. Witter. 1984. Forest Entomology; Ecology and Management. Willey Intersci. Publ. New York. Harsono, D. P. B. 1981. Serangan Hama Uret pada Tanaman Muda Rasamala di KPH Ciguha, BKPH Cikaung, KPH Sukabumi. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Husaeni, E. A. 2000. Diktat Hama Hutan Tanaman di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Intari, S. E. dan D. Natawiria. 1973. Hama Uret pada Persemaian dan Tegakan Muda. Laporan No. 167. LPH. Bogor. Rahardjo, E. 1989. Pengaruh Curah Hujan terhadap Serangan Xyleborus destruens Bldf. pada Tegakan Jati di RPH Gadung

208

Potensi Serangan Hama Tanaman Jati Rakyat dan Upaya Pengendaliannya di Rumpin, Bogor Nanang Herdiana

(BKPH Banjar Utara, KPH Ciamis) dan RPH Kedungpani (BKPH Boja, KPH Kendal). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tini, Nia dan K. Amri. 2002. Mengebunkan Jati Unggul : Pilihan Investasi Prospektif. Agro Media Pustaka. Jakarta. Winarto, B. 1997. Studi Keragaman Gejala, Morfologi, Patogenitas dan Intensitas Penyakit Diplocarpon rosae pada Mawar.

Prosiding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang, 27 - 29 Oktober 1997. Palembang. Winaryati, A. 1984. Derajat Kerusakan dan Kerugian Akibat Serangan Ingeringer (Neotermes tectonae Damm.) di BKPH Boto KPH Randublatung. Skripsi Jurusan Manajemen, Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

209

AKTIVITAS INSEKTISIDA BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) TERHADAP HAMA Eurema spp. PADA SKALA LABORATORIUM Activities of Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) Insecticide on Eurema spp. Pest in Laboratory Scale
Sri Utami
Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. Burlian KM 6,5 Puntikayu Po. Box 179, Palembang Telp./Fax. (0711) 414864 Email : uut_balittaman@yahoo.com Naskah masuk : 6 Mei 2010 ; Naskah diterima : 28 September 2010

ABSTRACT

One of some problems in sengon plantation is pests infestation. Eurema spp. is one of important pests which attact sengon plants in nursery and field. There are some techniques to control Eurema spp. A contro using biopesticides is one of some techniques to control some pests. This research aimed to study effect of bintaros extract to control Eurema spp. in laboratory. The results showed that bintaro extracts have significantly effect to pest mortality and insect development. Insecticidal effects of Bintaro seeds extract is more strong than fruits and leaves extract. Bintaro seeds extract affected Eurema spp. mortality procentage is 90%, and successful making of pupa and imago are 16,67% and need 1,7 long days than control treatment. Chemical compound in bintaro extract is the most likely cause insectisidal effect to Eurema spp.
Keywords: bintaro, biopesticide, Eurema spp., mortality, sengon ABSTRAK

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya sengon (Paraserianthes falcataria) adalah serangan hama. Eurema spp. merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman sengon baik pada skala persemaian maupun lapangan. Terdapat banyak teknik pengendalian yang bisa dilakukan untuk mengendalikan hama Eurema spp. Salah satunya yaitu pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh ekstrak bintaro dalam mengendalikan serangga hama Eurema spp. pada skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bintaro memberikan pengaruh signifikan terhadap mortalitas dan penghambatan perkembangan serangga hama Eurema spp. Ekstrak biji bintaro mempunyai efek insektisidal paling kuat dibandingkan dengan ekstrak daging buah dan daun bintaro. Ekstrak biji bintaro menyebabkan mortalitas larva Eurema spp. sebesar 90%, keberhasilan pembentukan pupa dan imago masing-masing sebesar 16,67% dengan waktu yang dibutuhkan 1,7 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Diduga kandungan kimia yang terdapat di dalam ekstrak bintaro mampu memberikan efek insektisidal terhadap hama Eurema spp.
Kata kunci : bintaro, Eurema spp., insektisida nabati, mortalitas, sengon

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Eurema spp. merupakan hama utama pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria). Selain tanaman sengon, Eurema spp. juga menyerang tanaman dadap (Erythrina sp.), jengkol (Pithecelobium jiringa), johar (Cassia

siamea), jayanti (Sesbania sesban), dan turi (Sesbania grandiflora). Pada tanaman sengon, Eurema spp. merupakan hama utama yang menyerang tanaman, baik tingkat semai maupun tanaman di lapangan. Serangan pada tingkat semai dapat menimbulkan kematian bibit, karena daun tanaman sengon habis dimakan (Suharti, 1991). Serangga hama ini mempunyai daerah

211

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 211 - 220

penyebaran yang sangat luas, mulai dari Afrika, Tiongkok, Jepang, Korea, Asia Tenggara, Australia, sampai ke pulau-pulau Pasifik. Selama ini masyarakat mengendalikan serangan Eurema spp. dengan menggunakan insektisida kimia. Penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dan tidak bijak akan menimbulkan dampak negatif, diantaranya terjadi resistensi hama, resurgensi hama, ledakan hama sekunder, dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu pemanfaatan tumbuhan sebagai pengendali hama merupakan alternatif pengendalian hama yang bijak dan senantiasa memperhatikan aspek ekologi. Bintaro ( Cerbera odollam Gaertn) merupakan salah satu jenis tanaman famili Apocynaceae. Tanaman ini merupakan jenis tanaman penaung yang biasa ditanam di pekarangan rumah, taman-taman, dan banyak ditemukan di pinggiran jalan tol. Heyne (1987) melaporkan bahwa biji bintaro sangat berbahaya bagi hewan dan manusia. Orang-orang Melayu menganggap biji bintaro sebagai racun yang dapat mematikan, sedangkan masyarakat di Maluku menganggap bahwa biji bintaro dapat menyebabkan sesak nafas yang berat. Selain itu Tarmadi et al. (2007) melaporkan bahwa ekstrak kulit dan daun bintaro mempunyai efek mortalitas terhadap rayap (Captotermes sp.). Pemanfaatan tanaman bintaro untuk pengendalian hama hutan seperti Eurema spp. merupakan aspek penting dalam rangka menunjang keberhasilan pembangunan hutan tanaman. Oleh karena itu efektivitas dan efisiensi serta potensi pemanfaatan dan pengembangan tanaman bintaro sebagai alternatif pengendali hama Eurema spp. perlu diteliti. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak bintaro terhadap efek mortalitas dan perkembangan serangga hama Eurema spp. pada skala laboratorium.

B. Metode Penelitian

1. Eksplorasi Hama Eurema spp. Serangga hama Eurema spp. diperoleh dari hutan sengon rakyat di sekitar Palasari, Bogor. Serangga yang digunakan adalah larva instar 2. Larva yang diperoleh dari lapangan, langsung digunakan sebagai serangga uji, tidak dilakukan rearing/perbanyakan di laboratorium mengingat persentase keberhasilan rearing larva Eurema spp. sangat kecil. 2. Eksplorasi Tanaman Bintaro Bagian tanaman bintaro yang digunakan sebagai bahan ekstrak yaitu biji, daging buah, dan daun bintaro, yang didapatkan di sekitar halaman kampus IPB Darmaga. 3. Ekstraksi Bagian tanaman bintaro yang diambil dari lapangan kemudian dipotong-potong dan dikeringanginkan selama seminggu. Bagian dari tanaman yang telah dikeringanginkan digiling hingga halus, kemudian direndam. Bagian dari tanaman uji direndam dalam pelarut metanol dengan perbandingan 1 : 3 (w/v) selama 24 jam. Setelah 24 jam rendaman disaring dengan corong Buchner yang dialasi kertas saring. Selanjutnya pelarut metanol diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai dihasilkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar bisa disimpan di lemari es sampai saat digunakan. Ekstrak kasar ini digunakan untuk pengujian. 4. Uji Efikasi Ekstrak Bintaro terhadap Larva Eurema spp. Konsentrasi yang digunakan yaitu 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1% dan kontrol dengan pelarut metanol ditambah pengemulsi (Latron 77 0,1%) dengan perbandingan 1 : 1. Setiap konsentrasi diuji sebanyak 3 ulangan dengan 10 ekor larva untuk setiap ulangannya. Metode yang digunakan yaitu metode residu pada daun. Daun sengon yang digunakan sebagai pakan uji sebanyak 2 helai daun per ulangan. Permukaan daun pakan diolesi larutan ekstrak sebanyak 50 l dengan microsyringe. Setelah pelarutnya menguap, daun pakan diletakkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang telah dialasi tisu. Pada setiap cawan petri diletakkan 10 ekor larva uji. Larva kontrol diberi pakan daun yang hanya diolesi metanol. Pemberian pakan

II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Bogor, dari bulanAgustus hingga September 2009.

212

Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) terhadap Hama Eurema spp. pada Skala Laboratorium Sri Utami

daun perlakuan dilakukan selama 48 jam, kemudian larva diberi pakan daun segar tanpa perlakuan. Pengamatan dilakukan sampai larva mencapai instar akhir dengan mengamati kematian larva. Pengamatan persen kematian dilakukan selama 7 hari setelah perlakuan (HSP). Data kematian dihitung dalam persen kematian dengan rumus sebagai berikut :
Persen kematian (%) = larva yang mati x 100% total larva

Menurut Prijono (1998), aktivitas insektisida ekstrak diklasifikasikan dalam beberapa kategori yaitu : 1) aktivitas kuat : mortalitas (m) 95%, 2) agak kuat : 75% m < 95%, 3) cukup kuat : 60% m < 75%, 4) sedang : 40% m < 60%, 5) agak lemah : 25% m < 40%, 6) lemah : 5% m < 25%, 7) tidak aktif : m < 5%. Larva yang masih hidup terus diamati perkembangannya sampai menjadi pupa dan imago. Persentase keberhasilan pembentukan pupa dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Persen pembentukan pupa (%) = pupa yang terbentuk x 100% larva yang hidup

Persentase keberhasilan pembentukan imago dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Persen pembentukan imago = imago yang terbentuk x 100% pupa yang terbentuk

5. Analisis Data Data hubungan antara mortalitas larva dengan konsentrasi ekstrak diolah dengan analisis probit menggunakan program Polo Plus untuk memperoleh nilai Lethal Concentration (LC). Sedangkan data perkembangan larva sampai menjadi imago diolah dengan sidik ragam ANOVA dan nilai tengah diuji Duncan dengan program SAS versi 6.1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Pengaruh Ekstrak Bintaro terhadap Mortalitas Larva Eurema spp. Beberapa ekstrak bintaro memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas larva seperti yang tersaji pada Tabel 1. Larva

yang mengalami kematian, tubuhnya kaku, lunak, dan lama kelamaan mengecil. Pada larva yang mati tidak tampak adanya gejala gangguan yang berkaitan dengan sistem hormon perkembangan serangga karena tidak terjadi bentuk yang menyimpang. Kematian larva pada perlakuan ekstrak biji diawali dengan paralisis (tungkai sudah tidak mampu lagi menopang tubuh), hal ini diduga karena biji bintaro banyak mengandung minyak sehingga minyak tersebut menempel pada tubuh larva dan mengakibatkan spirakel larva tersumbat. Dari tiga jenis ekstrak bintaro, ekstrak biji yang memberikan pengaruh paling kuat terhadap mortalitas larva. Semua kontrol pada setiap perlakuan tidak mengakibatkan kematian larva. Ekstrak biji, daging buah, dan daun bintaro memberikan efek insektisidal bersifat agak lemah hingga agak kuat dimana besarnya mortalitas larva berturut-turut 36,67% - 90%; 33,33% - 83,33%; dan 36,67% - 80%. Pada konsentrasi terendah, ekstrak biji dan daun menyebabkan mortalitas larva sebesar 36,67% tetapi pada konsentrasi tertinggi, ekstrak biji lebih kuat dalam menyebabkan kematian larva dengan persentase mortalitas sebesar 90%. Disamping jenis ekstrak, konsentrasi ekstrak juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas larva. Semakin tinggi konsentrasi maka akan semakin tinggi pula persentase mortalitas larva Eurema spp. Kematian larva diamati selama 7 HSP. Pada hari pertama sudah terjadi kematian tetapi persentase mortalitasnya sangat rendah seperti yang terlihat pada Gambar 1, 2, dan 3 pada perlakuan tiga jenis ekstrak. Pada grafik tersebut menggambarkan mortalitas larva setiap hari pengamatan selama tujuh hari. Pada 1 HSP, persentase mortalitas pada tiga jenis ekstrak masih kecil berkisar antara 13,33% 20%. Secara umum ketiga jenis ekstrak menunjukkan bahwa pada hari kedua setelah perlakuan, mortalitas larva paling besar. Kemudian pada pengamatan selanjutnya terjadi penurunan mortalitas larva. Mulai hari keenam sudah tidak terjadi kematian larva kecuali pada konsentrasi 1% pada semua jenis ekstrak. Pada pengamatan hari ketujuh sudah tidak lagi terjadi kematian larva. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak bintaro mampu bekerja mulai 1 HSP dan paling efektif pada hari kedua pada semua jenis ekstrak bintaro.

213

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 211 - 220

Tabel (Table) 1. Pengaruh ekstrak bintaro terhadap mortalitas larva Eurema spp. (Effect of bintaro extracts to mortality on Eurema spp. larvae) Konsentrasi/ Mortalitas Larva/Larvae Mortality (%)a Concentration Biji bintaro Daging buah Daun bintaro /Bintaro (%) /Bintaro seed bintaro /Bintaro fruits leaves Kontrol 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,125 36,67 b 33,33 b 36,67 b 0,25 56,67 c 36,67 b 43,33 bc 0,5 83,33 d 56,67 c 53,33 c 1 90,00 d 83,33 d 80,00 d
a

Mortalitas pada 7 HSP. Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% (The larvae mortality was observed for seven days after treatment. The average in the same column followed by the same letters is not significant based on Duncan's Multiple Range Test, = 5%)

Mortalitas Larva (%) Larvae Mortality (%)

Pengamatan Hari ke(Observation Day-)

Gambar (Figure)1. Mortalitas Eurema spp. selama tujuh hari pengamatan pada perlakuan ekstrak biji bintaro(Eurema spp.mortalityduringforsevendaysobservationonextractstreatment of bintarosseed)

Hasil analisis probit dengan menggunakan program Polo Plus menunjukkan bahwa pada konsentrasi kurang dari 0,5% semua jenis ekstrak diharapkan dapat memberikan persentase mortalitas sampai 50% dan pada konsentrasi kurang dari 2% ekstrak biji diharapkan dapat menyebabkan mortalitas larva hingga 95% (Tabel 2). Berdasarkan nilai Lc50, ekstrak biji bintaro 1,7 dan 1,6 kali lebih toksik dibandingkan

ekstrak daging buah dan daun bintaro. Sedangkan berdasarkan nilai LC95, ekstrak biji bintaro 2,8 dan 4,7 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak daging buah dan daun bintaro. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji bintaro lebih toksik dibandingkan dengan dua jenis ekstrak lainnya.

214

Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) terhadap Hama Eurema spp. pada Skala Laboratorium Sri Utami

Mortalitas Larva (%) Larvae Mortality (%)

Pengamatan Hari ke(Observation Day-)

Gambar (Figure) 2. Mortalitas Eurema spp. selama tujuh hari pengamatan pada perlakuan ekstrak daging buah bintaro (Eurema spp. mortality during seven days observation on extracts treatment of bintaros fruits)

Mortalitas Larva (%) Larvae Mortality (%)

Pengamatan Hari ke(Observation Day-)

Gambar (Figure) 3. Mortalitas Eurema spp. selama tujuh hari pengamatan pada perlakuan ekstrak daun bintaro (Eurema spp. mortality during seven days obseravation on extracts treatment of bintaros leaves)

215

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 211 - 220

Tabel (Table) 2. Penduga parameter toksisitas ekstrak kasar bintaro terhadap larva Eurema spp. (Parameter estimators toxicity of bintaro coarse extract againts larvae Eurema spp.)

Ekstrak uji/ Sample extracts Biji Daging buah Daun


a

a GBa) 1,39 0,25 0,76 0,21 0,65 0,20

b GBa) 1,92 0,41 1,52 0,37 1,23 0,36

LC50 (SK 95%) (%)a) 0,189


(0, 115 0,257)

LC95 (SK 95%) (%)a) 1,360 (0,813 4,273) 3,783 (1,653-34,953) 6,453 (2,096-349,480)

0,315 (0,205-0,463) 0,297 (0,161-0,476)

a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan (a= intercept of probit regression, b = slope of probit regression, GB = standart deviation, SK = confidence interval)

1. Pengaruh Ekstrak Bintaro terhadap Perkembangan Eurema spp. Ekstrak bintaro memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan serangga Eurema spp. Larva perlakuan yang masih tersisa hidup terus diamati perkembangannya sampai menjadi pupa dan imago. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis ekstrak bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan pupa dan imago, serta lama waktu pembentukannya sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3, 4, 5, dan 6. Adapun pupa Eurema spp. yang terbentuk tidak berbeda dengan pupa kontrol (bentuk, ukuran dan warna) yang membedakan hanya waktu pembentukan pupa. Hasil penelitian menunjukkan hanya jenis

ekstrak saja yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan pembentukan pupa, konsentrasi tidak memberikan pengaruh yang nyata sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3. Pada konsentrasi terendah, ekstrak biji memberikan keberhasilan pembentukan pupa paling besar yiatu sebesar 63,49%, sedangkan ekstrak daging buah, dan daun berturut-turut hanya sebesar 55,56% dan 47,62%. Namun pada konsentrasi tertinggi, ekstrak biji bintaro memberikan efek yang paling kuat dalam menghambat perkembangan pupa Eurema spp. Persentase keberhasilan pembentukan pupa pada ekstrak biji bintaro sebesar 16,67%, sedangkan ekstrak daging buah dan daun masing-masing sebesar 33,33% dan 27,78%.

Tabel (Table) 3. Pengaruh ekstrak bintaro terhadap keberhasilan pembentukan pupa Eurema spp. (Effects of bintaro extracts to the success of Eurema spp. pupa establishment)

Konsentrasi/ Concentration (%) Kontrol 0,125 0,25 0,5 1


a

Keberhasilan pembentukan pupa/ The success of Pupation (%)a Biji bintaro Daging buah Daun bintaro/ Bintaro /Bintaro seed bintaro/Bintaro fruits leaves 100,00 a 100,00 a 100,00 a 63,49 ab 55,56 b 47,62 b 45,00 b 52,38 b 47,78 b 50,00 ab 46,67 b 41,67 b 16,67 b 33,33 b 27,78 b

Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% (The average in the same column followed by the same letters is not significant based on Duncan's Multiple Range Test, = 5%)

216

Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) terhadap Hama Eurema spp. pada Skala Laboratorium Sri Utami

Disamping mempengaruhi keberhasilan pembentukan pupa, jenis ekstrak bintaro dan konsentrasi juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pembentukan pupa. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan pupa. Pada konsentrasi 0,125%, pada ekstrak biji dan daun bintaro dibutuhkan waktu 0,3 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Pada konsentrasi

1%, ekstrak biji bintaro membutuhkan waktu 1,7 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada ekstrak daging buah dan daun hanya membutuhkan waktu 1,3 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji lebih kuat dalam menghambat pembentukan pupa, baik keberhasilan pembentukan pupa maupun lamanya waktu yang dibutuhkan.

Tabel (Table) 4. Pengaruh ekstrak bintaro terhadap waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan pupa Eurema spp. (Effects of bintaro extracts on time required for the Eurema spp. pupa establishment) Konsentrasi/ Waktu pem bentukan pupa/Pupa formation time Concentration (hari/days)a (%) Biji bintaro Daging Buah Daun bintaro/Bintaro /Bintaro seed bintaro/ Bintaro fruits leaves Kontrol 12,0 a 12,0 a 12,0 a 0,125 12,3 ab 12,0 a 12,3 ab 0,25 13,0 bc 12,3 a 12,3 ab 0,5 13,3 c 12,7 ab 12,7 ab 1 13,7 c 13,3 b 13,3 b
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% (The average in the same column followed by the same letters is not significant based on Duncan's Multiple Range Test, = 5%)
a

Ekstrak bintaro juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan pupa menjadi imago, baik dalam keberhasilan pembentukan imago maupun lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan imago. Ekstrak biji bintaro pada konsentrasi 1% mampu menghambat pembentukan imago sehingga hanya 16,67%

saja imago yang terbentuk. Sementara pada ekstrak daging buah dan daun bintaro, keberhasilan pembentukan imagonya sebesar 33,33%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji bintaro lebih kuat dalam menghambat pembentukan imago Eurema spp. dibandingkan dengan ekstrak daging buah dan daun bintaro.

Tabel (Table) 5. Pengaruh ekstrak bintaro terhadap keberhasilan pembentukan imago Eurema spp. (Effects of bintaro extracts to the success of Eurema spp. imago establishment)
Konsentrasi/ Concentration (%) Kontrol 0,125 0,25 0,5 1
a

Keberhasilan Pembentukan Imago/ The success of imago establishment (%)a Biji bintaro Daging buah Daun bintaro/ Bintaro /Bintaro seed bintaro/Bintaro fruits leaves 100,00 a 100,00 a 100,00 a 41,67 b 36,11 b 56,56 a 38,89 b 38,89 b 50,00 a 33,33 b 38,89 b 44,44 a 16,67 b 33,33 b 33,33 a

Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% (The average in the same column followed by the same letters is not significant based on Duncan's Multiple Range Test, = 5%)

217

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 211 - 220

Ekstrak biji dan daun bintaro memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan imago Eurema spp. (Tabel 6). Sedangkan ekstrak daging buah bintaro tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pada konsentrasi 0,125% ekstrak biji bintaro memerlukan waktu 0,3 hari lebih lama daripada kontrol untuk pembentukan imago. Sementara ekstrak daging buah dan daun

bintaro tidak mempengaruhi terhadap lamanya pembentukan imago. Pada konsentrasi tertinggi, ekstrak biji bintaro memerlukan 1,7 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan ekstrak daging buah dan bintaro hanya memerlukan waktu 0,7 hari dan 1 hari lebih lama menjadi imago. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji bintaro lebih kuat menghambat pembentukan imago Eurema spp.

Tabel (Table) 6. Pengaruh ekstrak bintaro terhadap waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan imago Eurema spp. (Effects of bintaro extracts on establishment time of imago)

Konsentrasi/ Concentrate (%) Kontrol 0,125 0,25 0,5 1


a

Waktu pembentukan imago / Establisment Time of Imago (hari/days)a Biji bintaro Daging buah Daun bintaro/ Bintaro /Bintaro seed bintaro/ Bintaro fruits leaves 6,0 a 6,0 a 6,0 a 6,3 a 6,0 a 6,0 a 6,3 a 6,0 a 6,7 ab 7,0 ab 6,3 a 6,7 ab 7,7 b 6,7 a 7,0 b

Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% (The average in the same column followed by the same letters is not significant based on Duncan's Multiple Range Test, = 5%)

B. Pembahasan Tiga jenis ekstrak bintaro, yaitu ekstrak biji, daging buah, dan daun bintaro memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas larva dan penghambatan perkembangan serangga Eurema spp. Pada suatu tanaman terdapat senyawa metabolit primer dan metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam bintaro diduga memberikan efek insektisidal terhadap serangga hama Eurema spp. Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa kimia tumbuhan yang tidak secara universal ditemukan pada semua tumbuhan tingkat tinggi, tetapi terbatas hanya pada taksa tumbuhan tertentu, atau terdapat pada taksa tumbuhan tertentu dalam konsentrasi lebih tinggi dari yang lain serta tidak ada hubungan yang nyata berkaitan dengan peranannya sebagai nutrisi untuk serangga (Schoonhoven et al., 1998). Senyawa metabolit sekunder juga tidak terlalu berperan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, namun demikian terdapat variasi dan jumlah metabolit sekunder tumbuhan yang sangat besar

(Dadang & Prijono, 2008). Contoh senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid, terpenoid dan alkaloid yang mana senyawa-senyawa ini dapat melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Dadang & Prijono, 2008). Salleh (1997) melaporkan bahwa pada daun, buah dan kulit batang bintaro mengandung saponin , daun dan buahnya mengandung polifenol, disamping itu kulit batangnya mengandung tanin. Selain itu PROSEA (2002) melaporkan bahwa biji bintaro mengandung cerberin yang bersifat toksik terhadap tikus. Saponin merupakan senyawa yang bersifat toksik (Dadang & Prijono, 2008). Sedangkan fenolik mempunyai banyak peranan pada tumbuhan seperti flavonoid sebagai pengatur pertumbuhan berbagai tumbuhan, asam fenolik dan tanin berperan sebagai pelindung tanaman dari patogen (Dadang & Prijono, 2008). Beberapa senyawa fenol berfungsi sebagai penolak makan serangga namun bisa juga berperan sebagai penstimuli makan pada serangga lain. Dapat pula serangga yang memakan akan mendapatkan pengaruh buruk namun bagi spesies lain akan mendapatkan manfaat.

218

Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) terhadap Hama Eurema spp. pada Skala Laboratorium Sri Utami

Aktivitas kematian yang paling tinggi yang terjadi pada perlakuan ekstrak biji diduga disebabkan karena kandungan cerberin yang terdapat di dalam biji. Cerberin merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas serangga uji. Tomlinson (1986) melaporkan bahwa cerberin dapat menganggu fungsi saluran ion kalsium di dalam otot jantung, sehingga menganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Selain adanya cerberin diduga kandungan minyak yang banyak pada bagian biji mengakibatkan spirakel larva Eurema spp. tersumbat karena minyak biji bintaro menempel pada tubuh larva. Tersumbatnya spirake mengakibatkan larva mengalami kematian secara perlahan. Sedangkan daging buah dan daunnya mengandung saponin dan polifenol yang dikenal sangat toksik terhadap serangga dan bisa menghambat aktivitas makan serangga. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam bagian tanaman bintaro tersebut yang diduga kuat memberikan efek yang signifikan terhadap mortalitas larva Eurema spp. Disamping menyebabkan mortalitas, ekstrak bintaro juga memberikan efek yang signifikan terhadap penghambatan pertumbuhan serangga hama dalam hal ini keberhasilan pembentukan pupa dan imago, serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan pupa dan imago Eurema spp. Dadang & Prijono (2008) melaporkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan serangga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Serangga-serangga yang mengkonsumsi sumber makanan yang cocok/sesuai akan tumbuh dan berkembang secara baik. Sebaliknya serangga yang mengkonsumsi sumber makanan yang miskin zat-zat nutrisi yang diperlukan akan mengalami penghambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Demikian juga seranggaserangga yang dalam makanannya terdapat senyawa-senyawa kimia tertentu akan terhambat pertumbuhan dan perkembangannya. Senyawasenyawa semacam itu terdapat di dalam tanaman (Dadang & Prijono, 2008). Diduga senyawa kimia yang terdapat di dalam ekstrak bintaro mengandung senyawasenyawa yang mempunyai efek penghambat perkembangan serangga. Pada ekstrak biji bintaro mempunyai efek yang lebih kuat dibandingkan dua jenis ekstrak lainnya, hal ini kemungkinan disebabkan karena kandungan bahan aktif yang mempunyai efek menghambat

perkembangan serangga lebih banyak terdapat di dalam biji bintaro. Sedangkan kurang kuatnya efek terhadap perkembangan serangga dari bagian daging buah dan daun bintaro kemungkinan disebabkan karena kadar senyawa aktif yang terdapat pada bagian tersebut lebih rendah. Adanya efek penghambatan perkembangan serangga hama yang terdapat pada ekstrak bintaro menunjukkan bahwa bintaro bisa dimanfaatkan secara efektif untuk mengendalikan hama Eurema spp., karena bintaro mempunyai efek mematikan sekaligus menghambat perkembangan hama. Hal ini berarti bahwa apabila ditemukan larva serangga hama yang masih hidup maka akan kecil peluangnya untuk melanjutkan siklus hidupnya. Pemanfaatan ekstrak bintaro dalam mengendalikan serangga hama Eurema spp. dapat dilakukan dengan menggunakan semua bagian tanaman bintaro, baik biji, daging buah, dan daunnya, karena ketiga bagian tersebut mempunyai efek insektisidal terhadap Eurema spp. Biomassa yang digunakan untuk tiap-tiap bagian tanaman bintaro berbeda karena mempunyai kekuatan insektisidal yang berbeda. Dalam pemanfaatan tanaman yang mempunyai potensi sebagai insektisida nabati, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : 1) Tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati mudah diperoleh di alam dan terdapat dimana-mana, 2) Biomassanya bisa diperoleh dalam keadaan berlimpah, 3) Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang. Oleh karena itu bagian daun bisa saja dimanfaatkan sebagai pengendali hama mengingat daun bisa didapatkan dalam keadaan berlimpah dibandingkan dengan buahnya, hanya saja biomassa yang dibutuhkan harus lebih banyak agar supaya lebih efektif dimanfaatkan dalam pengendalian hama Eurema spp. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Ekstrak bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas dan penghambatan perkembangan serangga hama Eurema spp. Mortalitas larva Eurema spp. paling tinggi terjadi pada perlakuan ekstrak biji bintaro yaitu sebesar 90%, selanjutnya daging buah dan daun bintaro

219

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 211 - 220

berturut-turut sebesar 83,33% dan 80%. Ekstrak biji bintaro juga paling kuat dalam menghambat perkembangan serangga hama, dimana persentase pembentukan pupa dan imago hanya sebesar 16,67% dengan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi pupa dan imago masing-masing 1,7 hari lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian senyawa yang terkandung di dalam bagian bintaro memberikan efek insektisidal terhadap serangga hama Eurema spp. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan dan keefisienan pemanfaatan ekstrak bintaro dalam mengendalikan serangga hama Eurema spp. pada skala lapangan. DAFTAR PUSTAKA Dadang, D. Prijono. 2008. Insektisida Nabati : Prinsip, Pemanfaatan dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Penerjemah. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Prijono, D. 1998. Insectisidal activity of Meliaceous seed extracts against

Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae). Bul HPT 10 : 1-7. PROSEA. 2002. Plant Resources of South-East Asia 12 : Medicinal and Poisonous Plants 2. PROSEA. Bogor. Indonesia. S a l l e h . 1 9 9 7 . E t h n o b o t a n y, E t h n o Pharmacognasy and Documentation of Malaysia Medicinal and Aromatic Plants. U K M . M a l a y s i a . h t t p : / / w w w. borneofocus.com/saip/vaic/R&D/article5. htm. SAS Institute. 1990. SAS/STAT User's Guide, Version 6, Vol. 2. Eth ed. Cary (NC) : SAS Institute. Schoonhoven, LM., T. Jermy, JJA. Van Loon. 1998. Insect Plant Biology : from Physiology to Evolution. Chapman & Hall. London. 409p. Suharti, M. 1991. Buku Pintar Sengon Paraserianthes falcataria (L.) NIELSEN. Departemen Kehutanan. Bogor. Tarmadi, D., AH. Prianto, I. Guswenrivo, T. Kartika, S. Yusuf. 2007. Pengaruh Ekstrak Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) dan Kecubung (Brugmansia candida Pers) terhadap Rayap Tanah Captotermes sp. J. Trop. Wood Scie. & Tech. Vol 5 No 1 2007. Tomlinson, CB. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Cambridge.

220

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR

Analysis of Water Discharge Fluctuation Due to Land Use Change in Puncak Area, Bogor District
Yunita Lisnawati dan/and Ari Wibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 75200052 Naskah masuk : 31 Agustus 2009 ; Naskah diterima : 18 Agustus 2010

ABSTRACT

Puncak area located in Sub catchment of Ciliwung Hulu is an important water catchment area for the city of Jakarta. Currently with the dynamic change of land use especially for settlement, it has resulted in changes of the maximum-minimum water discharge. This study therefore had the objective to analyze changes of land use between the years of 1995-2003, especially in relation with changes of the maximum-minimum water discharge in the Puncak area of Bogor District. Spatial analysis has been done by using maps of land use for the years of 1995-2003 based on Landsat ETM+ satellite images and Geographic Information Systems (GIS). Analysis of attribute data applied Multiple Correlation Analysis and Multiple Regression Analysis. The results of spatial analysis showed that changes of land use in Puncak area during the years of 1995-2003 were caused by tendency of changes from mix garden area into settlement. Multiple correlation analysis proved high correlation and negative correlation between forest cover area and maximum-minimum fluctuation of water discharge. The Results of multiple regression analysis also showed that the forest cover could reduce the fluctuation of maximumminimum water discharge by 0.027 m3 /second, with one hectare increase of forest cover.
Keywords: Landsat ETM satellite images, water discharge fluctuation, Puncak area, land use ABSTRAK
+

Kawasan Puncak yang terletak di Sub DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah tangkapan air yang penting bagi kota Jakarta. Namun saat ini dengan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang sangat dinamis, terutama peningkatan penggunaan untuk pemukiman telah berdampak pada perubahan debit air maksimum-minimum. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan antara tahun 1995-2003, dalam hubungannya dengan perubahan debit air maksimumminimum di kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1995-2003 berdasarkan citra satelit landsat ETM+, dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis data atribut menggunakan Analisis Korelasi Berganda dan Analisis Regresi Berganda. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak pada periode tahun 1995-2003 cenderung didominasi oleh perubahan lahan kebun campuran menjadi pemukiman. Analisis korelasi berganda menunjukkan adanya korelasi yang cukup tinggi dan berkorelasi negatif antara luas hutan dan selisish debit maksimum-minimum. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa hutan mampu menurunkan selisih debit air maksimum-minimum sebesar 0,027 m3/detik, jika luasan hutan naik sebesar satu hektar. .
Kata kunci : citra satelit landsat ETM , fluktuasi debit air, kawasan Puncak, penggunaan lahan
+

221

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 221 - 226

I. PENDAHULUAN

II. BAHAN DAN METODE A. Bahan danAlat

Kawasan Puncak telah dianggap sebagai wilayah hinterland, sebagai wilayah penyangga kehidupan penduduk di wilayah DAS bagian hilir, yaitu Bogor, Depok dan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Kesinambungan fungsi Bogor, Depok dan DKI Jakarta sebagai suatu ekosistem sangat tergantung pada kawasan ini, terutama dalam hal ketersediaan sumberdaya air. Ketersediaan sumberdaya air ini terutama sangat ditentukan oleh DAS Ciliwung Hulu. DAS ini masuk dalam wilayah kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua di Kabupaten Bogor. Kondisi topografi DAS Ciliwung Hulu dengan panorama yang menarik, yang menyebabkan tumbuhnya pusat berbagai macam kegiatan. Terutama berkembangnya daerah pariwisata dengan segala bentuk aneka ragam usahanya, serta daerah pemukiman. Kedua hal tersebut cenderung menimbulkan alihfungsi kawasan hutan dan pertanian menjadi kawasan budidaya dan pemukiman. Perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan atau gabungan keduanya, dan efek selanjutnya adalah mempengaruhi aliran permukaan. Penurunan kapasitas infiltrasi lebih berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, sedangkan tampungan permukaan lebih berpengaruh pada pelambatan (delay) aliran permukaan untuk mengalir sampai outlet DAS. Tumbuhan dengan berbagai jenis vegetasi dalam kondisi iklim tertentu, sangat penting artinya dalam siklus hidrologi. Apabila terjadi proses alih fungsi lahan pada hutan atau adanya pengembangan kawasan menjadi lahan pemukiman maka kondisi hidrologi yang ada umumnya berubah dengan drastis. Dari uraian tersebut maka terlihat peran atau fungsi lahan hutan yang sangat besar dalam memperkecil aliran permukaan sehingga debit maksimum akan dapat diperkecil sedangkan di sisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak untuk dapat menjaga ketersediaan jumlah aliran air tanah sepanjang tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan perubahan penggunaan lahan terhadap selisih debit maksimumminimum Sungai Ciliwung di Sub DAS Ciliwung Hulu.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Peta Perubahan Penggunaan Lahan (Ciawi, Megamendung dan Cisarua) tahun 1995, 1997, 2001, dan 2003. diperoleh dari analisa citra. Kawasan bervegetasi permanen terdiri dari hutan, kebun teh dan kebun campuran, sedangkan kawasan tidak permanen terdiri dari ladang, semak dan sawah. Metode membedakan masing-masing kawasan di dalam citra landsat dilakukan berdasarkan warna dan tekstur, dengan demikian telah diperoleh hasil karakterisasi lahan sebagai berikut : Hutan ditemukan dengan bentuk dan pola yang tidak teratur dengan ukuran yang cukup luas, menyebar terkadang bergerombol, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. Kebun teh tampak berwarna hijau muda dan memiliki tekstur halus. Kebun campuran memiliki tekstur relatif kasar, berwarna hijau bercampur dengan sedikit magenta, bentuk dan pola memanjang dijumpai pada lembah dan sepanjang tanggul sungai, seringkali bercampur dengan pemukiman. Ladang/tegalan ditunjukkan dengan tekstur halus, hijau tua agak terang, bercampur dengan sedikit magenta dan kuning. Semak/belukar ditunjukkan dengan tekstur yang relatif halus dari pada hutan, berwarna hijau lebih agak terang dibandingkan hutan. Sawah ditunjukkan dengan warna putih hingga merah jambu dengan tekstur halus. Sawah ditunjukkan dengan tekstur kasar, warna hijau agak gelap bercampur dengan magenta dan biru. 2. Data debit maksimum - minimum Sungai Ciliwung, Bendung Katulampa dari Tahun 1995- 2003, data sekunder dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air CiliwungCisadane, Bogor. B. Metode Penelitian Operasi tumpang tindih (overlay) dilakukan menggunakan data digital peta penggunaan/penutupan lahan dengan bantuan

222

Analisis Fluktuasi Debit Air Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Yunita Lisnawati dan Ari Wibowo

Arcview 3.2. Operasi tumpang tindih dilakukan antara peta penggunaan/penutupan lahan tahun 1995 dan 1997, 1997 dan 2001, 2001 dan 2003 serta 1995 dan 2003, yang bertujuan untuk melihat arah dan pola perubahan penggunaan/ penutupan lahan. Ekstrasi data atribut hasil dari operasi tumpang tindih ini digunakan sebagai data dalam tehnik analisis selanjutnya. Untuk melihat keeratan hubungan perubahan penggunaan lahan terhadap debit sungai digunakan analisis korelasi berganda, Pearson's Product Moment (Walpole,1992). Perubahan penggunaan lahan dinyatakan dalam luas penutupan lahan dengan vegetasi permanen (x1), luas lahan bervegetasi tidak permanen (x2) dan pemukiman (x3), serta debit air sungai yang diwakili selisih debit maksimum - minimum (Q). Persamaan (model) yang digunakan adalah: Y = a0 + b1X1 + b2X2 + b3X3

Dimana : Y = Dependent Peubah (peubah yang diduga, selisih debit maksimumminimum Q (m3/detik) X = Independent Peubah (peubah penduga, peubah penggunaan / penutupan lahan) X1 = vegetasi hermanen (ha) X2 = vegetasi tidak hermanen (ha) X3 = pemukiman (ha) b = Koefisien regresi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis korelasi digunakan untuk menentukan peubah-peubah yang akan dijadikan model dalam regresi berganda. Peubah-peubah yang mempengaruhi selisih debit maksimumminimum tertera pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1. Peubah-peubah yang mempengaruhi selisih debit maksimum-minimum (Variables that affect the maximum-minimum fluctuation of water discharge) Peubah (Variable) S = 17,51 ; a = 0,05 ; R-Sq = 99,9% ; R-Sq (adj) = 99,9% Bervegetasi permanen (X1) Bervegetasi tidak permanen (X2) Pemukiman (X3) Hasil analisis regresi berganda pada taraf a = 0,05 menunjukkan peubah-peubah yang berpengaruh terhadap selisih debit maksimumminimum (Y), dimodelkan dalam persamaan sebagai berikut : Y = 641,4 0,027X1 0,108X2 + 0,072X3 Persamaan tersebut merupakan model yang menggambarkan hubungan antara Y = selisih debit maksimum-minimum (m3 /detik) dengan X1 (luas lahan yang bervegetasi permanen (ha), X2, luas lahan bervegetasi tidak permanen (ha) dan X3, luas pemukiman (ha). Lahan bervegetasi permanen adalah hutan, kebun teh dan kebun campuran, sedangkan lahan bervegetasi tidak permanen terdiri dari ladang, semak dan sawah. Berdasarkan penelitian telah diperoleh data luasan lahan-lahan tersebut dari tahun 1995 sampai 2003 (Tabel 2.). Koefisien (Coefficient) - 0,027 - 0,108 + 0,072 p-level

0,005 0,000 0,000

Persamaan pada tabel 2 menunjukkan bahwa luas lahan bervegetasi permanen memiliki hubungan berbanding terbalik terhadap selisih debit maksimum-minimum, begitu juga untuk lahan yang bervegetasi tidak permanen. Semakin kecil luas lahan yang bervegetasi maka akan semakin besar selisih debit maksimum minimum, begitu juga sebaliknya. Namun, untuk lahan pemukiman mempunyai hubungan berbanding lurus dengan selisih debit maksimum-minimum, semakin luas lahan pemukiman maka akan semakin besar selisih debit maksimum-minimum. Artinya pada lahan bervegetasi (permanen dan tidak permanen), adanya perubahan lahan akan menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap debit maksimum-minimum. Khusus untuk lahan bervegetasi, jika terjadi penurunan jumlah (luas lahan) bervegetasi permanen sebesar satu hektar maka akan

223

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.4, Oktober 2010, 221 - 226

meningkatkan selisih debit maksimumminimum sebesar 0,027 m3/detik, dengan asumsi luas vegetasi tidak permanen dan pemukiman tetap, namun jika terjadi penurunan vegetasi tidak permanen sebesar satu hektar maka akan meningkatkan selisih debit maksimumminimum sebesar 0,108 m3 /detik, dengan

asumsi luas lahan vegetasi permanen dan pemukiman tetap. Sedangkan jika terjadi kenaikan luas lahan pemukiman sebesar satu hektar maka akan meningkatkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,0723 m3 /detik dengan asumsi luas lahan vegetasi permanen dan tidak permanen tetap.

Tabel (Table) 2. Luas lahan vegetasi permanen dan tidak permanen serta pemukiman (Area of permanent, non-permanent vegetation and settlement)

Luas lahan (Land area) Katagori lahan (Land category) Vegetasi Permanen (X1) Hutan Kebun Teh Kebun Campuran Vegetasi Tidak Permanen (X2) Ladang Semak Sawah Pemukiman (X3) 1995 (ha) 14672.61 6454,08 3484,89 4733,64 2879.91 1171,53 83,07 3,42 1621,89 (%) 79.48 34,96 18,88 25,64 6.82 6,35 0,45 0,02 8,79 2003 (ha) 8512.56 5180,85 2886,39 445,32 2733.48 2713,32 0,45 19,71 5957,55 (%) 59.35 28,07 15,64 15,64 14.812 14,70 0,002 0,11 32,28 Luas perubahan lahan (Land change area) (ha) (%) -6160.05 20.13 -1273.23 -6.89 -598.50 -3.24 -4288.32 -10.00 +1475.46 +7.992 +1541.79 +8.35 -82.62 -0.448 +16.29 +0.09 +4335.66 +23.49

Keterangan (Remark) : (-) : Berkurangnya luasan (Area decrease) (+): Bertambahnya luasan (Area increasr)

Apabila selisih debit maksimum dan minimum tinggi, yang berarti pada musim hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan berakibat melimpahnya aliran permukaan dan sebaliknya pada musim kemarau. Hal tersebut akan berakibat banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Fluktuasi aliran debit antara kedua musim yang tajam mengindikasikan terganggunya fungsi DAS serta adanya degradasi kualitas DAS. Fahrudin (2003) menyatakan bahwa proses yang terjadi dalam DAS dipengaruhi oleh faktor hidrologi, geomorfologi, geologi, topografi, klimatologi, tanah dan penggunaan lahan. Sementara itu aliran permukaan terjadi bila curah hujan melebihi laju infiltrasi tanah dan tampungan permukaan tanah. Hutan di kawasan Puncak adalah sangat penting karena kawasan tersebut merupakan daerah yang berbukit, bergelombang dan bergunung-gunung dengan ketinggian mulai dari 330 - 3.002 meter di atas permukaan laut, serta lerengnya berkisar antara 8 - 45% yang akan berdampak besar terhadap tingkat erosinya (RTRW Kabupaten Bogor, 2000). Menurut Morgan (1986) dalam Pratiwi (2004), efektifitas tanaman penutup dalam

mengurangi erosi dan aliran permukaan dipengaruhi oleh tumbuhan dan bentuk tajuk (kanopi), kerapatan tanaman dan kerapatan sistem perakaran. Semakin tinggi tempat jatuh butiran hujan makin tinggi pula energi kinetiknya. Sementara itu, kerapatan tanaman berfungsi mempengaruhi besarnya luasan lahan yang dapat ditutupi oleh tumbuhan. Semakin rapat tanaman (vegetasi) yang ada di permukaan lahan semakin kecil kemungkinan terjadinya erosi. Sedangkan kerapatan sistem perakaran tanaman/vegetasi menentukan efektifitas tanaman dalam membantu pemantapan agregat, yang berarti pula meningkatkan besar kecilnya laju dan kapasitas infiltrasi, sehingga meningkatnya porositas tanah dan dapat mengurangi energi perusak aliran permukaan dan dapat mengurangi aliran permukaan. Oleh karena itu peran hutan sangat besar dalam memperkecil aliran permukaan sehingga debit maksimum akan dapat diperkecil sedangkan disisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak sehingga debit minimum akan dapat diperbesar untuk dapat menjaga ketersediaan air tetap terjamin sepanjang tahun.

224

Seperti halnya dengan hutan, keberadaan kebun teh juga harus dipertahankan karena mempunyai peran yang khas yaitu sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi. Pohon teh mempunyai sifat perakaran yang dalam, akar serabut panjang, dan kerapatan akar tinggi, sehingga baik untuk tindakan konservasi tanah dan air, yaitu sebagai pencegah erosi. Apabila laju pengurangan kebun teh tidak dapat ditekan, akan berdampak negatif terhadap lingkungan, baik yang dirasakan oleh wilayah tersebut maupun wilayah hilirnya. Berdasarkan hasil konfirmasi lapangan, bahwa warga sekitar kebun teh sudah merasakan mulai berkurangnya sumber air, seiring dengan banyaknya kebun teh yang terkonversi menjadi penggunaan lainnya seperti villa. Kebun campuran ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal. Jenis tanaman yang dominan adalah tanaman tahunan. Sehingga keberadaannya sama dengan hutan dan kebun teh yang harus dipertahankan untuk menjaga tata air di kawasan Puncak sehingga frekwensi kejadian banjir di kawasan hilirnya dapat ditekan. Adanya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dimana pada saat pembukaannya menggunakan alat berat yang bertujuan meratakan tanah dapat membuat lapisan tanah yang subur hilang sehingga mempengaruhi sifat fisik tanah. Selain itu juga dapat merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau terhambat. Keberadaan lahan pertanian di kawasan Puncak disatu sisi adalah

untuk meningkatkan produksi pangan, namun di sisi lain apabila keberadaannya kurang dapat dikendalikan akan dapat menurunkan fungsi hidrologis mengingat kondisi topografi kawasan Puncak yang sebagian besar bergelombang, berbukit dan bergunung dengan kecuraman lereng antara 8 - 45 persen. Agar supaya keberadaan lahan pertanian (ladang dan sawah) tetap menjamin fungsi hidrologis secara baik, maka lahan yang diusahakan sebaiknya yang cenderung datar atau dengan menggunakan teras maupun mulsa. Adanya penambahan pemukiman yang berlangsung dengan cepat di kawasan Puncak mengakibatkan bertambahnya daerah kedap air sehingga mengurangi daya serap atau infiltrasi air ke dalam tanah. Apabila perluasan areal pemukiman tidak dapat dikendalikan maka setiap terjadi curah hujan yang cukup besar intensitasnya maka dapat lebih meningkatkan nilai debit maksimum dan sebaliknya bila curah hujan rendah debit minimum akan semakin turun. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan fakta bahwa curah hujan di Sub DAS Ciliwung Hulu dari tahun 1995 - 2003 cenderung turun, namun debit maksimum cenderung meningkat dan selisih debit maksimum - minimum cenderung meningkat pula. Kondisi seperti tersebut dapat menjadi indikasi berkurangnya fungsi kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu sebagai kawasan lindung dan wilayah peresapan air. Kondisi kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu juga dapat ditunjukkan dengan rasio debit maksimum minimum sungai Ciliwung (Tabel 3). Rasio debit maksimum dan minimum menggambarkan fluktuasi debit aliran sebagai respon dari curah

Tabel (Table) 3. Debit Minimum, Maksimum Sungai Ciliwung dan Jumlah Curah Hujan Stasiun Pengamatan Bendung Katulampa (Minimum, maximum discharge and total rainfall of Ciliwung river at Observation Station of Katulampa Dam)

Tahun (Year)

Debit minimum (m3/detik) (Minimum discharge)

Debit maksimum (m3/detik) (Maximum discharge)

1995 1997 2001 2003 Ratarata

1,71 1,22 3,46 1,22 1,91

244,20 244,20 411,68 274,73 293,70

Selisih Debit maksimumminimum (m3/detik) ( MaximumMinimum Discharge) 242,49 242,98 408,22 273,50 291,80

Rasio Debit maksimumminimum (Ratio of maximumminimum discharge) 142,64 199,51 118,98 224,44 171,39

Jumlah curah hujan (Total rainfall) (mm3/th) 4.426 2.690 4.178 3.875 3.792,25

225

Analisis Fluktuasi Debit Air Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Yunita Lisnawati dan Ari Wibowo

hujan yang masuk ke dalam outlet DAS. Nilai rasio ini sering digunakan sebagai indikator keberhasilan pengelolaan DAS di daerah yang relatif basah dan hujan relatif terdistribusi sepanjang tahun.

Berdasarkan kriteria Departemen Kehutanan tahun 2002 mengklasifikasikan kualitas DAS dengan menggunakan rasio debit maksimum-minimum tahunan, seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel (Table) 4. Kriteria kualitas DAS berdasarkan debit tahunan (Criteria of watershed quality based on annual discharge) Kualitas DAS (Watershed Quality ) Sangat Baik Baik Sedang Jelek Sangat Jelek Q max/Q min < 50 50 150 150 250 250 500 > 500 Indeks 1 2 3 4 5

Berdasarkan Tabel 3 di atas, diketahui bahwa kualitas DAS di Sub DAS Ciliwung Hulu rata-rata termasuk kriteria Sedang. Oleh karena itu, untuk mencegah penurunan kualitas DAS lebih lanjut, maka areal yang bervegetasi harus tetap dipertahankan, dan areal pemukiman harus ditekan. KESIMPULAN Perubahan luasan lahan yang bervegetasi permanen, bervegetasi tidak permanen dan pemukiman di kawasan Puncak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan selisih debit maksimum-minimum, dengan pola hubungan : Y = 641,4 - 0,027 X1 - 0,108 X2 + 0,072 X3, dimana : Y = Selisih debit maksimumminimum (m3/detik) dan X1, X2 ,X3 masingmasing adalah luas lahan bervegetasi permanen, tidak permanen, dan pemukiman dalam hektar. DAFTAR PUSTAKA Balai Pengelolaan Sumberdaya Air CiliwungCisadane, Bogor. 2004. Data debit maksimum - minimum Sungai Ciliwung, Bendung Katulampa.

Fakhrudin, M. 2003. Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung dengan Model Sedimot II. Tesis. Pasca Sarjana. IPB. Hardiana, D. 1999. Simulasi Dampak Perubahan Guna Lahan terhadap Perubahan Limpasan Air Permukaan. Studi Kasus : Sub DAS Cipamingkis di Kawasan Jonggol. Skripsi. Institut Tehnologi Bandung. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Bogor. Pratiwi. 2004. Keragaman Jenis Pohon dan Konservasi Tanah dan Air di Kawasan Taman Nasional. Prosiding Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan. Departemen Kehutanan. Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika. Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

226

Anda mungkin juga menyukai