Anda di halaman 1dari 4

Denpasar: Perkembangan dari Kota Kolonial hingga Kota Wisata

Oleh: Duwi Santo, Dika Marina, Raditya Ilham F., Anggita Tiana R., Singgih Bambang1

Dalam dinamika sejarah kota terdapat beberapa aspek yang memainkan peran penting adalah kondisi geografi, teknologi, organisasi, dan lingkungan yang saling kait-mengait. Banyak kota-kota terlahir yang muncul dari pusat-pusat politik tradisional seperti pusat kerajaan, pusat perkembangan perdagangan seperti pegunungan, pelabuhan atau wilayah pesisir pantai. Kemudian pusat-pusat perdagangan dan lainnya mengalami pergeseran dari pegunungan ke pantai. Hal itu kerap kali disebabkan oleh dinamika politik, baik di tingkat pedalaman yang mengakbatka adanya keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan induk maupun adanya serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Di Indonesia misalnya daerah Badung, yang kemudian menjadi Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di Bali Selatan. Saat ini Badung menjadi nama sebuah sungai, pasar, dan juga kabupaten Badung.2 Cikal bakal munculnya kerajaan Badung di Bali Selatan tidak dapat lepas dari kerajaan Mengwi. Disebutkan dalam catatan sejarah bahwa Badung sudah diklaim Mengwi jauh sebelum badung menjadi kerajaan. Data sejarah menyebutkan bahhwa penguasapenguasa Badung maupun Mengwi merupakan keturunan bansawan Jawa ketika Majapahit berkembang pada abad ke-14. Sekitar tahun 1700-an, kerajaan Badung menjadi bagian dari kerajaan Mengwi, disamping kerajaan kecil lainnya seperti kerajaan Tegal, Alang Badung. Pada 1780 muncullah konflik antara Badung dengan Mengwi yang disebabkan dominasi politik Mengwi terhadap Badung serta keinginan Badung untuk lepas kontrol politik dari Mengwi. Selanjutnya Badung berkembang dan tahun 1800 dipindahkan pusat kekuasaan oleh Dinasti Pamacutan pada suatu daerah yang merupakan taman bunga (Silsilah Puri Satria, naskah milik puri Satria Denpasar). Selanjutnya dilakukan pembenahan administrasi kerajaan, interaksi yang diwakili oleh Kasiman. Kemunculan Kasiman ini meruakan akibat dari sikap
1

Duwi Santo (09406241029), Dika Marina (09406241031), Anggita TianaR. (094062410 14), Raditya Ilham F. (094062410 45 ), Singgih Bambang (09406241036) 2 hlm. 405-407.

penguasa Pamacutan dan Denpasar yang meremehkan. Itulah sebabnyapuri Kasiman yang berada di sebelah timur mengdakan kontak persahabatan dengan Belanda.3 Sejak abad ke-17 kontak-kontak persahabatan dengan orang asing di Bali semakin meningkat pada abad ke 19. Namun pada akhir abad ke 19 kerajaan Badung mengalami kemunduran, sementara Sanur menunjukkan perkembangannya. Peranan Sanur dapat dilihat ketika Belanda mulai melancarkan ekspedisi serangannya ke Badung pada 15-16 September 1906. Serangan dilakukan pada tanggal 17 September 1906. Belanda berhasil menaklukan puri Denpasar pada 20 September 1906. Selanjutnya diterapkan kebijakan pemerintah kolonial di berbagai aspek kehidupan, seperti: ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang akhirnya mennjang perkembangan kota Denpasar. Seiring dengan perkembangannya, pemerintah Denpasar sebagai ibukota Bali. Perkembangan Denpasar hingga memasuki abad ke-21, meliputi berbagai bidang. Bidang sosial idukung adanya perkembangana fisik kota. Ciri khusus kota Denpasar adalah bangunan-bangunan tradisional seperti: pura (bangunan suci bagi umat Hindu), puri ( tempat kediaman bangsawan Bali), bangunan-bngunan lain yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat. Terdapat pura di Denpasar seperipura Melanting, Gaduh, Ubung, dan pura Suci. Hal ini dilatarbelakangi mayoritas orang Bali beragama Hindu. Secara umum masyarakat Bali terikat kebudayaan Bali dan dierkuat kesadaran dengan menggunakan bahasa Bali. Masyarakat Bali terikat pada beberapa kehidupan sosilnya, yaitu: kewajian melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu tempat tinggal yang sama, pada pemilikan tanah pertaniandi Subak, tertentu, status sosial yang berdasar kasta, ikatan kekerabatan yang berdasar hubungan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap sekaha tertenu, dan kesatuan administrasi tertentu. Era pemerintah kolonial menetapkan jabatan-jabatan tertinggi pada orang Belanda, yaitu: resident, assistent resident, controleur, dan lain-lain serta dibantu orang-orang pribumi, yaitu: jabatan dibawah assisten resident yitu raja, punggawa, perbekel, kelian dan sebagainya. Kepala pemerintahan regional yaitu resident merupakan pejabat tinggi di wilayah karesidenan dan Lombok. Karesidenan Bali dan Lombok terbagi dalam tiga afdeeling yaitu afdeeling Bali Utara, Bali Selatan, dan Lombok. Residen didampingi suatu badan Paruman Agung. Badan ini dibentuk oleh Dewan Raj-raja di Bali yang diketuai resident dan assistent residentBali

Ibid., hlm. 407-409.

Selatan yang berkedudukan di Kota Denpasar, sebagai wakil ketua, sedangakan anggotnya meliputi para raja dari delapan kerajaan di seluruh Bali. Pengembangan kota didukung dengan pembangunan kantor-kantor pemerintahan dan sarana prasarana untuk kepentingan umum seperti rumah sakit, pos poisi, sarana pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Penempatan berbagai perkantoran, rumah pejabat pemerintah, pemukiman penduduk, dan kawasan wisata. Disampng itu, di bidang pendidikan pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah. Peranan Puri tampak dominan dalam perkembangan kota Denpasar. Hal ini dapat dilihat dari domonasi kalangan bangsawan terhadap penguasaan tanah maupun dalam menerima cara produksi baru khususnya bidang perdagangan. Demografi di Denpasar, berdasarkan sensus penduduk 1990 jumlah total penduduk sebanyak 350.524 jiwa yang terdiri dari 71.371 kk dengan 181.313 laki-laki dan 169.211 wanita. Kepadatan penduduknya 2.827 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk 24%. Perkembangan ekonomi. Setelah masa kolonial Belanda, setelah tahun 1906 etnis Cina memainkan peranan penting dalam hal kaitannya dengan distribusi barang dan pemasaran. Pedagang-pedagang Cina menjadi pembawa barang dan memberi kredit. Sistem uang pancar yang membuat masyarakat mulai meninggalkan profesi tani menjadi pedagang. Disamping itu banyak petani yang melakukan urbanisasi karena pungutan-pungutan pajak. Suatu krisis ekonomi muncul pada tahun 1930-an (malaise), yang disebabkan merosotnya harga barang mentah sebagai barang ekspor penting di Hindia Belanda. Situasi semakin sulit karena kesulitan memperoleh uang bagi masyarakat lapisan bawah. Hal inilah yang mendorong masyarakat petani berbndong-bondong ke kota demi pekerjaan yang baru. Dunia kepariwisataan yang dibangun pemerintah kolonial di tahun 1920-an menjadi dasar pengembangan industri pariwisata di Bali dan Denpasar pada khususnya. Hal ini dapat kita lihat dari pembangunan Hotel Bali Beach (1969), Bandara I Gusti Ngurah Rai (1969), kawasan Nusa Dua (1971). Pembangunan infrastruktur itu meningkatkan kunjungan wisata di Bali. Menurut Biro Statistik Pemerintahan Provinsi Bali jumlah kunjungan wisatawan di tahun 1969 sekitar 11.278 jiwa, meningkat menjadi 120.008 jiwa di tahun 1971. Untuk menunjang industri pariwisata diikutilah pembangunan fasilitas-fasilitas yang lain, seperti hotel, restaurant, dan tempat-tempat hiburan.

Mayoritas pendatang ke kota Denpasar untuk mencari lapangan pekerjaan. Hal ini sangat mungkin karena Denpasar merupakan pusat pariwisata di Indonesia bagian Tengah. Industri pariwisata di Bali menghasilkan Rp. 421,85 milyar pada sektor pemungutan pajak di tahun 2001. Pariwisata ini mampu menyerap kurang lebih 38% sumber daya manusia di Bali. Perkembangan kota Denpasar yang semakin melejit disamping dampak positif juga memunculkan problematika baru, hampir sama dengan problematika kota-kota besar lainnya. Sebagai contoh adalah masalah lahan parkir yang disebabkan tata ruang kota yang kurang di desain seperti kota modern, selain itu meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor yang mengakibatkan jalanan kurang kondusif. Hal ini perlu dicegah dengan mengoptimalkan penggunaan public transport yang didukung pemerintah daerah. Hal lain adalah pembangunan bangunan yang eghadap ke jalan yang seharusnya mencerminkan adat Bali membuat sedikit pudar nuansa ke-Baliannya. Seyogyanya pengaturan tatakota seprti yang dilakukan pmerintah kolonial dapat kita ambil sisi baiknya mengingat betapa sulitnya penataan kota. Untuk itu, diperlukan perencanaan induk kota yang baik dengan melihat potensi Bali dengan pertimbangan jangka pendek maupun jangka panjang, serta adanya konsistensi daan kontrol pemerintah daerah yang ketat agar masyarakat menaati peraturan yang semestinya.4

Ibid., hlm. 417-422.

Anda mungkin juga menyukai