Anda di halaman 1dari 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi self-efficacy, faktor penyebab (anteseden) individu kurang memiliki self-efficacy, faktor-faktor self-efficacy, faktorfaktor yang mempengaruhi self-efficacy, dimensi-dimensi self-efficacy, sumbersumber self-efficacy, fungsi self-efficacy. Definisi pola asuh orang tua, teknik-teknik pola asuh orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Kemudian dilanjutkan dengan keterkaitan antara pola asuh orang tua dengan selfefficacy pada siswa dan hipotesis.

A. Self-Efficacy 1.

Definisi Self-Efficacy Sebelum melakukan tugas, seringkali individu memperkirakan

kemampuannya sendri untuk menjalankan tugas yang dihadapi. Tinggi rendahnya kemampuan diri yang diprkirakan individu ini akan berpengaruh besar kecilnya harapan individu untuk berhasil dalam melakukan tugas. Cara pandang indvidu mengenai kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi tugas inilah yang disebut dengan self-efficacy. Begitu pula siswa yang ingin menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Hal ini didukung oleh Ormrod (2008 : 20) mengatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu

12

13

menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan terentu. Dan menurut Bandura (1977 : 2) mengatakan bahwa self-efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasai hambatan. Evaluasi ini dapat bervariasi tergantung pada situasi. Pada umumnya, individu akan bertindak untuk mencapai tujuan jika individu tersebut merasa akan mendapatkan hasil dari tindakannya itu. Jika individu tersebut tidak merasa yakin bahwa tindakannya akan berhasil, maka individu tersebut merasa imbalan untuk tindakannya cenderung tidak ada atau relatif hanya sedikit. Bandura dalam (Ormrod, 2008 : 21) juga mengatakan bahwa orang lebih mungkin terlibat dalam perilaku tertentu ketika mereka yakin bahwa mereka akan mampu menjalankan perilaku tesebut dengan sukses, yaitu ketika mereka memiliki self-efficacy yang tinggi.

Terdapat beberapa faktor penyebab individu kurang memiliki selfefficacy, sebagaimana yang dikemukakan oleh Baron (2004 : 183) diantaranya adalah : a. Kurangnya kemampuan sosial b. Atribusi yang tidak tepat tidak c. Tidak memadai karakter diri d. Tidak bersedia mengambil inisiatif dalam persahabatan

14

Self-efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu tetapi bukan berarti berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan individu akan

meningkatkan self-efficacy (Baron, 2004 : 183). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab individu kurang memeliki self-efficacy adalah kurangnya kemampuan sosial, atribusi yang tidak tepat, tidak memadainya karakter diri dan tidak bersedia untuk mengambil inisiatif dalam persahabatan. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah tingkat keyakinan yang ada didalam diri individu mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu. Terdapat tiga aspek self-efficacy yang menjadi prediktor penting pada tingkah laku yang depertanyakan, sebagaimana yang diuraikan oleh Baron (2004 : 186), diantaranya adalah :
a. Self-Efficacy Akademis

Self-efficacy akademis berhubungan dengan keyakinan siswa akan kemampuannya melakukan tugas-tugas mengatur kegiatan belajar dan hidup dengan harapan akademis siswa tersebut dan juga siswa lainnya.

b. Self-Efficacy Sosial

15

Self-efficacy

sosial

berhubungan

dengan

keyakinan

siswa

akan

kemampuannya membentuk dan mempertahankan hubungan, asertif dan melakukankegiatan di waktu senggang. c. Self-regulatory Self-efficacy Self-regulatory self-efficacy berhubungan dengan kemampuan menolak tekanan teman sebaya dan mencegah kegiatan beresiko tinggi. d. Tingkah laku prososial Tingkah laku prososial meliputi membantu orang lain, berbagi, baik hati dan bekerjasama. e. Pengabaian sosial Pengabaian sosial meliputi (membuat alasan bagi tingkah laku yang bururk, menghindari tanggung jawab akan konsekuensi, menyalahkan korban, dll).
f. Pemupukan afek ruminative affectivity

Pemupukan afek ruminative affectivity meliputi rasa duka dan kebencian, sering merasa marah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat enam faktor yang menjadi prediktor dalam self-efficacy antara lain self-efficacy akademis, self-efficacy sosial, self-regulatory self-efficacy, tingkah

lakkuprososial, pengabaian sosial, dan pemupukan afek ruminative affectivity.

2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy

16

Tinggi rendahnya tingkat self-efficacy individu tergantung oleh faktorfaktor penentu yang dapat mendukung atau malah menjadi penghambat berkembangnya self-efficacy individu. Menurut Ormrod (2008 : 23) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan self-efficacy, diantaranya keberhasilan dan kegagalan

pembelajar sebelumnya, pesan yang disampaikan orang lain, keberhasilan dan kegagalan orang lain, dan keberhasilan dan kegagalan dalam kelompok yang lebih besar. a. Keberhasilan dan Kegagalan Pembelajar Sebelumnya Pembelajar lebih mungkin untuk yakin bahwa mereka dapat berhasil pada suatu tugas ketika mereka telah berhasil pada tugas tersebut atau tugas lain yang mirip di masa lalu (Bandura, 1986 ; Valentine, Cooper, Bettencourt, & Du Bois, 2002). Kita mungkin melihat perbedaan perkembangan

(developmental differences) dalam hal seberapa jauh ke belakang siswa melihat ketika mereka mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan mereka sebelumnya. Maka dapat dilihat satu strategi yang penting untuk meningkatkan self-efficacy siswa adalah dengan membantu mereka berhasil dalam beragan tugas dengan content domains (bidang) yang berbeda. Idealnya, kita menyesuaikan tugas yang sulit dengan tingkat selfefficacy yang dimiliki siswa : Siswa yang keyakinan akan kemampuannya melakukan suatu tugas kecil atau tidak ada sama sekali mungkin awalnya merepons lebih baik ketika kita memberi mereka tugas yang akan mereka

17

kerjakan dengan lebih baik (Stripek dalam Ormrod, 2008 : 24) . Namun akhirnya, siswa mengembangkan self-efficacy yang lebih tinggi ketika mereka dapat menyelesaikan secara sukses tugas-tugas menantang alihalih mudah. b. Pesan dari Orang Lain Terkadang kesuksesan siswa tidak jelas. Dalam situasi-situasi semacam itu, kita dapat meningkatkan self-efficacy siswa dengan cara menunjukkan secara ekspllisit hal-hal yang telah mereka lakukan dengan baik sebelumnya atau hal-hal yang sekarang telah mereka lakukan dengan mahir. Kita mampu meningkatkan self-efficacy siswa dengan memberi mereka alasan-alasan untuk percaya bahwa mereka dapat sukses dimasa depan. Pernyataan-pernyataan seperti kamu pasti bisa mengerjakan tugas ini jika anda berusaha. c. Kesuksesan dan Kegagalan Orang Lain Kita sering membentuk opini mengenai kemampuan kita sendiri dengan mengamati kesuksesan dan kegagalan orang lain, secara khusus mereka yang serupa dengan kita. Dengan cara hampir sama, siswa sering mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan orang lain dengan dirinya. Dengan demikian, cara lain meningkatkan self-efficacy anak adalah menunjukkan bahwa orang lain seperti mereka menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan (Schunk, 1983).

18

d. Kesuksesan dan Kegagalan dalam Kelompok yang Lebih Besar Anak mungkin memiliki self-efficacy yang lebih besar ketika mereka bekerja dalam kelompok alih-alih sendiri. Self-efficacy semacam ini tergantung tidak hanya pada persepsi siswa akan kapabilitasnya sendiri an orang lain, melainkan juga pada persepsi mereka mengenai bagaimana mereka dapat berkerja bersama-sama secara efektif dan

mengkoordinasikan peran dan tanggung jawab mereka (Bandura, 1997)

Menurut bandura (1997 : 84) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy didalam diri individu, antara lain: a. Sifat tugas yang dihadapi individu Derajat kompleksitas dan kesulitan dari tugas yang akan dihadapi akan mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya. Semakin kompleks dan sulit suatu tugas, maka individu akan semakin rendah menilai kemampuannya dan begitu pula dalam peran individu dalam mengahadapi tugasnya. Sebaliknya jika dihadapkan pada tugas sederhana dan mudah, maka individu akan menilai tinggi kemampuannya dan lebih tertarik serta bersemangat dalam mengerjekan tugasnya.
b. Insentif eksternal

Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yng dapat meningkatkan self-efficacy adalah Competence Contingent Incentif yaitu insentif

19

(reward) yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan individu dalam menguasai atau melaksanakan sesuatu.

c. Status atau peran individu dalam lingkungan Individu yan memeiliki status yng lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yan glebih besar pula, sehingga dapat diharapka akan memeiliki self-efficacy yang lebih tinggi. d. Informasi tentang kemampuan diri Individu akan meningkatkan self-efficacy jika individu tersebut menfapat informasi yang positif tentang dirinya, begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy diantaranya keberhasilan dan kegagalan pembelajar sebelumnya, pesan dari orang lain, kesuksesan dan kegagalan orang lain, kesuksesan dan kegagalan dalam kelompok yang lebih besar serta sifat tugas yang dihadapi individu, insentif eksternal, status atau peran individu dalam lingkungan dan informasi tentang kemampuan diri serta pencapaian prestasi, pengalaman dari orang lain persuasi verbal dan kondisi psikologis seseorang.

20

3.

Dimensi Self-Efficacy Self-efficaccy bervariasi dalam tiga dimensi yang dikemukakan oleh

Bandura (1997 : 42-43) sebagai berikut:


a. Tingkat kesulitan tugas (levels)

Tingkat kesulitan tugas merupakan derajat kesulitan tugas individu dimana individu merasa mampu untuk melakukannya. Individu dapat merasa mampu melakukan suatu tugas mulai dari tugas yang sederhana, agak sulit, sampai yang paling sulit.

b. Kemantapan keyakinan (strength)

Kemantapan keyakinan merupakan derajat keyakinan individu mengenai kemampuannya. Berdasarkan perkiraan individu yang memiliki keyakinan yang kurang kuat mengenai kemampuannya, maka dapat dengan mudah menyerah apabila menghadapi hambatan dalam melakukan suatu tugas. Begitu pula sebaliknya bagi individu yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuannya, maka akan bersikap optimis dan terus-menerus berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya.
c. Luas bidang perilaku (generality)

Luas bidang perilaku merupakan situasi spesifik dimana individu merasa yakin akan kemampuan dirinya dan mampu untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam.

21

Berdasarkan uraian diatas makan dapat disimpulkan bahwa derajat antara penilaian self-efficacy dengan perilaku tindakan yang ditimbulkan oleh setiap individu tergantung dari kuat lemahnya self-effacacy individu tersebut. Semakin kuat self-efficacy yang disarankan,maka individu akan memilih tugas yang menantang dan pada jangka waktu yang lama individu akan memilih tugas yang menantang dan pada jangka waktu yang lama individu akan tetap bertahan sampai berhasil melaksanakan setiap tugasnya dengan baik. Dari dimensi diatas dapat disimpulkan bahwa.... berdasarkan dimensi ini penulis akan membuat skala self-efficacy.

4.

Sumber-Sumber Self-Efficacy Bandura (1994 : 71-72) menyatakan bahwa self-efficacy terdiri dri

empat sumber yaitu : pengalaman diri sendiri (mastery experience), pengalaman orang lain (vicarious experience), pendekatan atau kepercayaan sosial (verbal persuasion) dan keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states). Keempat sumber tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Pengalaman diri sendiri (mastery experience)

Pengalaman mengenai keberhasilan dan kegagalan yang dialami individu dalam suatu bidang dapat menentukan tingkat self-efficacynya.

Keberhasilan dapat meningkatkan self-efficacy dan kegagalan yang terus menerus terjad akan menurunkan self-efficacy, terutama jika kegagalan

22

terjadi pada awal unjuk kerja dan tidak dikarenakan usaha yang kurang atau salahnya strategi sebagai penyebab kegagalan.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)

Melihat realita dari keberhasilan orang lain, akan meningkatkan keyakinan bahwa individu juga memiliki kemampuan untuk berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama. Begitu juga dipihak lain, melihat orang lain yang memiliki kemampuan yang sama mengalami kegagalan walaupun sudah berusaha maka akan menurunkan penilaian kemampuan dan usaha individu.

c. Pendekatan atau kepercayaan sosial (social peruasion)

Pendekatan sosial digunakan untuk meyakinkan individu bahwa dirinya memiliki kemapuan untuk mencapai tujuannya. Individu yang diyakinkan secara verbal bahwa dirinya sanggup untuk menghadapi situasi yang rumit akan tetap bertahan daripada individu yang selalu merasa khawatir akan segala kemampuan dan kekurangannya ketika berhadapan dengan suatu masalah akan mendorong individu tersebut untuk mengembangkan kemampuan serta kepercayaan dirinya.
d. Keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states)

Individu juga mengukur self-efficacy berdasarkan keadaan fisik dan suasana hati (emosi) dalam menilai kemampuannya. Individu

menginterpretasikan segala bentuk tekanan sebagai akibat dari kurangnya

23

usaha. Informasi mengenai keadaan fisik yang diterima individu akan mempengaruhi penilaian mengenai kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas. Informasi yang diperoleh dari keempat sumber yang telah diuraikan diatas, akan membentuk persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self-efficacy individu sangat ditentukan oleh persepsi terhadap kemampuan yang dimiliki dan sejauhmana tingkat kesulitan tugas yang dihadapi. Sumber-sumber seperti pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, pendekatanatau kepercayaan sosial serta keadaan fisik dan emosi yang diteima inidividu akanmempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy seseorang. 5. Fungsi Self-Efficacy Self-Efficacy setidaknya fungsi terhadap segala perasaan, pemilihan pengambilan keputusan maupun tindakan individu sampai dengan hasil yang ditampilkan oleh individu. Begitu pula dalam hal berinteraksi dengan individu lain deperti yang dijabarkan oleh Bandura (1986 : 393-395) yang mengidentifikasikan beberapa fungsi dari self-efficacy yaitu : a. Pemilihan tugas Individu akan cenderung memilih tugas tertentu dimana individu tersebut merasa memiliki kemampuan yang baik untuk melaksanakan dan menyelesaikannya. Sebaliknya individu yang memiliki keyakinan yang rendah pada suatu tugas tertentu akan menimbulkan hambatan internal

24

pada diri individu sehingga individu tersebut cenderung menghindari tugas tersebut.

b. Pengerehan usaha dan ketekunan Self-efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dikerahkan individu dan seberapa lama individu akan bertahan ketika menghadapi tantangan dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Makin tinggi keyakinan individu, makin besar pula usaha dan ketekunan serta tingkat ketahanannya dalam mengatasi hambatan. Semakin tinggi penilaian individu akan kemampuannya, makan tujuan yang individu inginkan juga akan semakin sulit atau menantang. c. Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional Menurut Collins (Bandura,1986 : 394) individu dengan self-efficacy yang tinggi akan merasa tertantang juka dihadapkan pada tugas dengan derajat kesulitan yang tinggi. Selain itu cenderung menganggap kegagalan yang dialami lebih disebabkan karena kurangnya usaha. dan sebaliknya individu yang memiliki self-efficacy yang rendah akan menganggap dirinya tidak kompeten dan menganggap kegagalan adalah akibat dari

ketidakmampuannya. Individu seperti ini cenderung lebih sering merasa pesimis terhadap hasil yang akan drperoleh dan mudah putus asa. d. Sebagai peramal tingkah laku selanjutnya

25

Individu dengan self-efficacy yang tinggi memiliki minat dan keterikatan yang lebih baik dengan lingkunannya. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa keempat fungsi selfefficacy tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Self-efficacy mempengaruhi pola pikir individu dan reaksi emosinya disaat mempertimbangkan tugas yang akan dihadapinya. Kemudian

menghasilkan pilihan tingkah laku yang dipertimbangkan berdasarkan informasi datau pengetahuan tentang kemampuannya. Setelah itu siswa akan berusaha melaksanakan tugas dengan tingkat ketekunan yang dipengaruhi oleh self-efficacy, sehingga pada akhirnya siswa dapat mewujudkan keterampilannya.

B. Pola Asuh Orang Tua 1. Definisi Pola Asuh Orang Tua Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelanggaraan pendidikan keluarga bersifat individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing (Enung Fatimah, 2006 : 175). Menurut Singgih Gunarsa (2002 :43 ). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberinya

penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman.

26

Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap remaja. Menurut Edy Purwanto (2001 : 1 ) pola asuh orang tua yaitu cara-cara yang digunakan orang tua dalam memperlakukan anak. Setiap sikap dan perilaku orang tua baik secara tidak langsung dapat mempengaruhi anak karena menurut Gunarsa dan Gunarsa (dalam Edy Purwanto, 2000 : 1 ) menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan anak seringkali dengan tidak sengaja, tanpa disadari mengambil sikap tertentu sehingga anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperlihatkan suatu reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi suatu pola kepribadian. Oleh karena itu pola asuh yang diterapkan orang tua sangatlah berpengaruh bagi perkembangan anak selanjut nya. Adapun tujuan orang tua dalam memberikan pengasuhan pada anak menurut Hurlock ( 1992 : 107) adalah mempersiapkan anak untuk dapat berperan dengan baik dalam tujuan lingkungan sosial dengan

memeperlihatkan perilaku kedalam pola yang disetujui masyarakat. Orang tua mempersiapkan anak-anak baik dari segi fisik dan mental agar dapat menjalani kehidupan dan mendapatkan masa depan yang lebih baik. Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi yang terjadi antara anakdan orang tuanya selama melakukan kegiatan pengasuhan. Kegiatan pengasuhan ini tidak hanya berarti bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak, tetapi juga bagaimana cara orang tua mendidik, membimbing, mendisiplinkan, melindungi dan mengawasi anak untuk mencapai

27

perkembagannya sesuai dengan norma, ketentuan dan harapan masyarakat pada umumnya (Hamidah, 2002 : 141-142). Sejalan dengan pengertian diatas, pola asuh menurut Masud Hoghui & Nicholas Long (2004 : 5) dapat diartikan sebagai aktifitas-aktifitas yang bertujuan memastikan kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Karena tanpa bantuan dan pertolongan orang lain, seorang anak tidak akan mampu mengembangkan seluruh potensi tersebut, oleh sebab itu lingkungan pertama yang sangat membantu untuk mempengaruhi perkembangan anak adalah orang tua, Sedangkan menurut Brooks (1991 : 15) pola asuh adalah suatu kegiatan yang didalamnya terdapat unsur memelihara, melindungi dan mengarahkan anak selama masa perkembangannya. Pendapat tersebut mengartikan pola asuh sebagai suatu bentuk interaksi yang biasanya berkaitan dengan tindakan orang dewasa untuk melahirkan, mengasuh dan mengarahkan anak. Pola asuh orang tua menekankan pada pengarahan dan pemeliharaan pada masa perkembangan dari kelahiran hingga anak dapat mengurus hidupnya sendiri.

Dari teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu pola asuh orang tua adalah cara bagaimana orang tua bersikap dan berperilaku di dalam berinteriksi dan membentuk kepribadian anaknya, serta pendekatan yang digunakan oleh orang tua didalam membentuk interaksi

28

dengan anak, yang mencakup memberikan perawatan secara menyeluruh dan melatih anak untuk besosialisasi, termasuk pula didalamnya orang tua mengkomunikasikan nilai-nilai, sikap dan menanamkan kepercayaan pada anak.

2.

Teknik-teknik Pola Asuh Orang Tua Terhadap berbagai bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan

orang tua terhadap anak-anaknya. Menurut pendapat Baumrind (dalam Santrock, 2003 : 185) terdapat tiga jenis cara menjadi orang tua yaitu:
a. Pengasuhan Autoritarian (Authoritarian Parenting)

Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua yang ditandai dengan gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit

komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap. Sebagai contoh : orang tua autoritarian bisa berkata, kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar! . Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mamapu memulai suatu kegiatan dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.

29

b. Pengasuhan Autoritatif (Autoritative Parenting)

Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua dengan mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan memreka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan hati anak. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial anak yang kompeten. Sebagai conctoh : seorang ayah yang bersifat autoritatif bisa merangkul si anak dengan nyaman dan berkata, kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik dimasa depan. Anak yang orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertangung jawab secara sosial.
c. Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting)

Terdapat dua macam pengasuhan permisif yaitu bersifat permisiftidak peduli dan bersifat permisif memanjakan.
1)

Pengasuhan Permisif (Permissive parenting) adalah suatu pola

dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif-tidak peduli tidak bisa menjawab pertanyaan. sekarang sudah jam 10 malam. Apakah anda tahu dimana anak anda berada?. Anak sangat

30

membutuhkan perhatian orang tua mereka. Anak yang orang tuanya permisif-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek orang tua lebih penting daripada anak. Anak juga biasanya menjadi tidak cakap secara sosial. Anak memiliki pengendalian yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.
2)

Pengasuhan

permisif-memanjakan

(permissive-indulgent

parenting) adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan individu. Pengasuhan permisif-memanjakan ini berkaitan dengan

ketidakcakapan sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat-memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang individu inginkan dan akibatnya adalah anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku individu sendiri dan selalu berharap individu bisa mendapat semua keinginannya. Di kemudian hari anak memiliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan orang tua yaitu pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting), pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), pengasuhan permisif (permissive parenting) yang terbagi juga, menjadi dua yaitu,

31

pengasuhan permisif (permissive parenting) dan pengasuhan permisifmemanjakan (permissive-indulgent parenting).

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Didalam mengasuh anak-anaknya, terdapat perbedaan pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1993 : 95) pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya tidak sama karena pola asuh tercipta dan dipengaruhi oleh berbagi faktor yaiu :
a. Kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua

Orang tua akan menerapkan pola asuh dalam keluarga sesuai dengan pola asuh yang diterimanya sewaktu kanak-kanak, apabila orang tua merasa cara yang digunakan berhasil, orang tua akan menggunakan cara yang sama. b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok Orang tua yang usianya lebih muda dan tidak berpengalaman akan lebih dipengaruhi oleh anggota kelompok yang dianggap baik. c. Usia orang tua

32

Orang tua muda cenderung lebih demokratis dan permisif dibanding yang tua. Mereka cenderung lebih mengurangi kendala tatkala anak menjelang remaja. d. Pendidikan untuk menjadi orang tua. Orang tua yang telah mendapatkan banyak pelajaran mengenai mengasuh anak dan tahu akan kebutuhannya sehingga menggunakan tehnik demokratis dibandingkan dengan orang tua yang tidak banyak belajar. e. Jenis kelamin Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibandingkan dengan pria dan mereka cenderung kurang otoriter. f. Status sosisal ekonomi Orang tua dengan status ekonomi menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas sosial atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan, semakin mereka menyukai disiplin demokratis yang telah menganut konsep yang lebih modern. g. Konsep mengenai orang dewasa Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan dengan orang tua yang telah menganut konsep yang lebih modern. h. Jenis kelamin anak

33

Orang tua pada umumnya lebih keras bersikap terhadap anak wanita daripada anak pria. i. Usia anak Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan pada anak kecil daripada mereka yang lebih besar.

j. Situasi Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan siakp menentang, negativisme dan agresif kemungkinan mendorong pengendalian yang otoriter. Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruh pola asuh orang tua yaitu diantaranya, kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua, penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok, usia orang tua, pendidikan untuk menjadi orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi, konsep mengenai orang dewasa, jenis kelamin anak, usia anak dan situasi.

4.

Pengertian Pola Asuh Autoritatif Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak

memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan

34

yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua maka terjadilah cara mendidik anak. Baumrind (Santrock, 2002 : 257) pengasuhan autoritatif mendorong anak-anak agar mandiri tetapi tetap menetapkan batas-batas dan pengendalian atau tindakan-tindakan anak. Menurut Mcdecitt dan Ormrod (2002 : 432), pola asuh autoritatif adalah pola asuh yang memiliki karkteristik dalam bentuk kehangatan emosional, penguatan atas peraturan-peraturan secara konsisten, memberi

penjelasan atas alasan diberikannya peraturan-peraturan tersebut, dan pengikutsertaan anak dalam pembuatan keputusan. Dalam pola asuh autoritatif ini, orang tua membuat, memberi batasan, dan menguatkan secara konsisten standar-standar perilaku yang dapat diterima, mempertimbangkan hak dan kebutuhan anak, dan mengikutsertakan anak dalam membuat keputusan. Menurut Clara Istiwadarum (www.tabloid-nakita.com) Pola asuh autoritatif mendorong anak untuk mandiri, tapi orang tua tetap menetapkan batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, penuh belas kasih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif.

35

Pola asuh autoritatif memberikan ruang yang luas bagi anak untuk mengambil keputusan, dan tidak merasa terkekang dengan segala bentuk peraturan yang dibuat oleh orang tua, karena anak diberi penjelasan sehingga mengerti kenapa diperbolehkan atau tidak diprbolehkan melakukan sesuatu. Hal tersebut mebuat anak menjadi lebih mandirim dan berkopetensi (Santrock, 2002:258). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pola asuh autoritatif adalah suatu bentuk penerapan perlakuan orang tua terhadap anak yang dalam penerapannya memberikan kebebasan dengan batasan-batasan yang jelas, memberikan sikap hangat dan terbuka, adanya komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak dan penuh penghargaan.

5.

Ciri Pola Asuh Autoritatif Menurut Baumrind (dalam Berk 1994 : 544 ) ciri-ciri pola asuh

autoritatif adalah : a. Menempatkan anak pada posisi yang sama Orang tua terhadap anak-anak memberikan hak dan kewajiban yang sama, bersikap adil, menghargai hak dan kebutuhan anak. b. Adanya diskusi Orang tua mengikutsertakan anak dalam mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga.
c. Memperhatikan perkembangan anak

36

Orang tua menghargai keunikan anak dan mendorong ke arah kemandirian, serta menerima anak apa adanya. d. Adanya kontrol Orang tua bersikap tegas, dan mengawasi anak secara konsisten, kontrol terhadap perilaku anak sifatnya fleksibel. e. Adanya komunikasi dua arah Orang tua menjalin hubungan yang hangat, sehingga terjalin komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak. Dari ciri-ciri diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pola asuh autoritatif orang tua tidak memaksakan kehendaknya pada anak, orang tua bersikap hangat dan responsif dan menerapkan perilaku independen yang sesuai dengan usia anak. Berdasarkan ciri-ciri ini penulis akan membuat skala pola asuh autoritatif. Hurlock (1995:93) menyatakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh autoritatif akan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Jadi lebih menekankan pada aspek edukatif dripada aspek hukumnya. Mengasuh secara autoritatif lebih menekankan pada pemberian penghargaan daripada hukuman. Adapun tujuan untuk mengajarkan anak mengembangkan kendali atas perilakunya, ini adalah hasil usaha mendidik anak untuk berperilaku menurut cara yang benar dengan memberikan penghargaan pada anak.

37

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif adalah bentuk hubungan interaksi antara orang tua dengan anak sebagai suatu cara mendidik dan mengasuh serta mengarahkan sikap dan perilaku anak dengan cara yang rasional yang ditandai dengan menempatkan anak pada posisi yang sama, adanya diskusi memperhatikan perkembangan anak, adanya kontrol, adanya komunikasi dua arah.

6.

Keterkaitan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Sel-Efficacy

Pada Siswa Pemahaman dan keyakinan diri (self-efficacy) atas kemampuan dan kapasitas diri sering menjadi masalah bagi para siswa. Bandura (dalam Kartika Dian dan Hepi wahyuningsih,2004 : 55) mengatakan bahwa individu dalam berperilaku sering dapat diprediksi berdasarkan keyakinan-keyakinan akan kemampuannya. Keyakinan tersebut membantu individu menentukan sesuatu yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Menurut Agoes Dariyo (2007 : 206) self-efficacy adalah keyakinan seorang individu yang ditandai dengan keyakinan untuk melakukan sesuatu hal dengan baik dan berhasil. Siswa yang memiliki self-efficacy akan dapat mempertanggungjawabkan kemampuannya dihadapan orang lain sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Dapat dipastikan siswa yang memiliki self-

38

efficacy biasanya sebagai siswa yang percaya diri, optimis dan dapat mencapai sesuatu dengan baik. Sedangkan, menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Kekuatan keyakinan (self-efficacy) siswa sebagai individu terhadap efektivitas dirinya, mempengaruhi keinginannya untuk mencoba beradaptasi dengan baik terhadap situasi yang dihadapinya. Apabila siswa memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy), maka siswa tersebut dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya tersebut, secara efektif untuk dapat mengatasi setiap situasi yang dihadapinya. Atau dengan kata lain siswa tersebut akan dapat menyesuaikan diri, terhadap tugastugas sekolahnya tersebut dengan baik. Menurut Santrock (2003 : 185) pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara orang tua mengontrol dan mengawasi tuntutan terhadap tingkah laku, cara berkomunikasi serta sikap pemeliharaan orang tua kepada anaknya. Pada pola asuh demokratis (authoritative) dimana dalam pola asuh ini orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau

39

berdebat secara konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak menyenangkan maka terjadi pengembangan kepribadian yang mantap pada diri anak. Anak makin mandiri, matang dan dapat menghargai diri sendiri dengan baik. Dalam pola asuh demokratis, keyakinan diri (self-efficacy) anak dapat terbentuk dengan baik karena baik orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide atau pendapat untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak dapat berjalan menyenangkan, maka anak pun menjadi lebih berani mengutarakan pendapatnya dan lebih optimis didalam hidupnya sehingga keyakinan diri yang dimilikinya pun menjadi meningkat. Anak yang orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial. Dalam Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 214) ditemukan bahwa pola pengasuhan (parenting style) yang efektif untuk pengembangan kepribadian diri dalam hal ini menyangkut self-efficacy anak, ditandai dengan komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak-anaknya. Oleh karena itu pola pengasuhan demokratis cenderung memberi pengaruh yang lebih baik untuk pengembangan self-efficacy anak.

40

C. Hipotesis Berdasarkan konsep teori yang diuraikan pada tinjauan pustaka diatas, penulis mengajukan hipotesis yng akan diuji, yaitu : Ha : Ada hubungan pola asuh gaya autoritatif dengan Self-Efficacy Pada siswa kelas VII SMP NEGERI 12 BEKASI.

Anda mungkin juga menyukai