x 100%
Kadar sari yang larut dalam air (dengan cawan)
x100%
x 100%
2. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Kadar sari yang larut dalam etanol (tanpa cawan):
x100%
x 100%
Kadar sari yang larut dalam etanol(dengan cawan):
x100%
x 100%
VI. PEMBAHASAN
Pada acara II ini bertujuan untuk menetapkan kadar sari yang larut dalam air dan sari
yang larut dalam etanol.
Penetapan kadar sari yang larut dalam air dilakukan untuk mengetahui kandungan
terendah zat yang larut dalam air. Penetapan kadar sari yang larut dalam air dilakukan
dengan mengeringkan 5 gram serbuk Curcuma aeruginosa diudara lalu dimaserasi dengan
100 ml kloroform selama 24 jam. Dipilih larutan kloroform karena kloroform memiliki
beberapa kesamaan sifat dengan air dalam mengekstraksi zat. Sari yang larut dalam air
kloroform adalah bersifat polar, sehingga sari yang larut dalam kloroform P bersifat semi
polar. Karena serbuk dilarutkan dalam kloroform, maka proses maserasi harus ditempatkan
pada tabung erlenmeyer bertutup, agar kloroform tidak menguap. Setelah dimasukkan dalam
tabung, erlenmeyer ditutup rapat dan digoyang-goyangkan secara konstan. Proses ini
dilakukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan
penggoyangan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-
kecilnya antara larutan didalam sel dengan larutan di luar sel.
Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring dengan kertas saring atau kapas
menggunakan corong. Penyaringan harus dilakukan sampai semua pelarut tersaring hingga
didapat filtrat yang dibutuhkan. Kemudian dari hasil filtrasi diambil 20 ml untuk diuapkan
dalam cawan dangkal berdasar rata yang sebelumnya telah ditara. Selanjutnya sisa
dipanaskan pada suhu 105 hingga bobot tetap. Lalu kadar sari larut dalam air dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
Maserasi dilakukan selama 24 jam agar semua zat aktif yang terdapat pada penyari
dapat keluar yang dapat diketahui dari kejenuhan larutan dengan zat aktif tersebut.
Penetapan kedua adalah penetapan kadar sari yang larut dalam etanol. Penetapan
tersebut dilakukan untuk mengetahui kandungan terendah zat yang larut dalam etanol tetapi
mungkin tidak larut dalam air. Penetapan ini tidak jauh berbeda prosedurnya dengan
penetapan kadar sari dalam air, yaitu 5 gram serbuk Curcuma aeruginosa dilarutkan atau
dimaserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam. Digunakan etanol karena zat aktif yang
akan diambil adalah semuanya baik polar maupun non polar. Selain itu, etanol
dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh
dalam etanol diatas 20%, tidak beracun, netral dan absorbsinya baik. Etanol dapat bercampur
dengan air di segala perbandingan dan energi yang digunakan untuk pemekatan lebih sedikit.
Karena serbuk dilarutkan dalam etanol, maka proses maserasi harus ditempatkan pada
tabung erlenmeyer bertutup, agar etanol tidak menguap. Setelah dimasukkan dalam tabung,
erlenmeyer ditutup rapat dan digoyang-goyangkan secara konstan. Proses ini dilakukan untuk
meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan penggoyangan
tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara
larutan didalam sel dengan larutan di luar sel.
Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring dengan kertas saring atau kapas
menggunakan corong. Penyaringan harus dilakukan sampai semua pelarut tersaring hingga
didapat Iiltrat yang dibutuhkan. Kemudian dari hasil Iiltrasi diambil 20 ml untuk diuapkan
dalam cawan dangkal berdasar rata yang sebelumnya telah ditara. Selanjutnya sisa
dipanaskan pada suhu 105 hingga bobot tetap. Lalu kadar sari larut dalam etanol dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
Maserasi dilakukan selama 24 jam agar semua zat aktif yang terdapat pada penyari
dapat keluar yang dapat diketahui dari kejenuhan larutan dengan zat aktif tersebut.
VII. KESIMPULAN:
1. Persentase kadar sari yang larut dalam air adalah 98,68%
2. Persentase kadar sari yang larut dalam etanol adalah 17,71%
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Materia Medika Indonesia Jilid VI. 1995. Jakarta: Depkes RI
Tim Penyusun. 2012. Petunjuk Praktikum Farmakognosi. FMIPA: Surakarta
ACARA III
UJI ALKALOID & UJI FLAVONOID
UJI ALKALOID & UJI FLAVONOID
I. TUJUAN:
1. Dapat melakukan identifikasi kandungan alkaloid
2. Dapat melakukan identifikasi kandungan flavonoid
II. DASAR TEORI:
Alkaloid
Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan
heterosiklik dan terdapat di tetumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang
berasal dari hewan). Asam amino, peptida, protein, nukleotid, asam nukleik, gula amino
dan antibiotik biasanya tidak digolongkan sebagai alkaloid. Dan dengan prinsip yang
sama, senyawa netral yang secara biogenetik berhubungan dengan alkaloid termasuk
digolongan ini. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi
(jamur), tumbuhan, dan hewan. Ekstraksi secara kasar biasanya dengan mudah dapat
dilakukan melalui teknik ekstraksi asam- basa. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah
dapat disebabkan oleh alkaloid. Istilah "alkaloid" (berarti "mirip alkali", karena dianggap
bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner (1819),
seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh
dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah dikenal, misalnya,
morfina, striknina, serta solanina). Hingga sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa
yang tergolong alkaloid dengan struktur sangat beragam, sehingga hingga sekarang tidak
ada batasan yang jelas untuknya. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan
electron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan sentawa tersebut sangat mudah
mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen.
Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan
jika penyimpanan dalam waktu lama. Pembentukan garam dengan senyawa organic atau
anorganik sering mencegah dekomposisi.
Alkaloid biasanya diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal molekulnya
(precursors),didasari dengan metabolisme pathway (metabolic pathway) yang dipakai
untuk membentuk molekul itu. Kalau biosintesis dari sebuah alkaloid tidak diketahui,
alkaloid digolongkan menurut nama senyawanya, termasuk nama senyawa yang tidak
mengandung nitrogen (karena struktur molekulnya terdapat dalam produk akhir. sebagai
contoh: alkaloid opium kadang disebut "phenanthrenes"), atau menurut nama tumbuhan
atau binatang dimana senyawa itu diisolasi. Jika setelah alkaloid itu dikaji,
penggolongan sebuah alkaloid dirubah menurut hasil pengkajian itu, biasanya
mengambil nama amine penting-secara-biologi yang mencolok dalam proses sintesisnya.
Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat
basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk
padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi.
Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa ini telah ribuan senyawa
alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi struktur yang unik, mulai dari yang
paling sederhana sampai yang paling sulit.
Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar
di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah
diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin,
flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani anthos , bunga dan kyanos, biru-
tua) adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu,
dan biru . Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian tumbuhan lain misalnya, buah
tertentu, batang, daun dan bahkan akar. Flavnoid sering terdapat di sel epidermis.
Sebagian besar flavonoid terhimpn di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat
sintesisnya ada di luar vakuola.
Fungsi Antosianin dan flavonoid lainnya menarik perhatian banyak ahli genetika karena
ada kemungkinan untuk menghubungkan berbagai perbedaan morfologi di antara spesies
yang berkerabat dekat dalam satu genus misalnya dengan jenis flavonoid yang
dikandungnya. Flavonoid yang terdapat di spesies yang berkerabat dalam satu genus
memberikan informasi bagi ahli taksonomi untuk megelompokkan dan menentukan garis
evolusi tumbuhan itu.
III. ALAT & BAHAN:
ALAT:
a) Tabung reaksi
b) Corong
c) Pipet
BAHAN:
a) Serbuk simplisia
b) ammonia 25%
c) kloroform
d) pereaksi dragendroff
e) pereaksi meyer
f) Natrium karbonat
g) Asam asetat
h) Asam klorida 1%
i) Metanol
j) Eter
k) Asam klorida pekat
IV. CARA KERJA
Uji Alkaloid
2 gram serbuk simplisia 10 ml HCl 1%
dimasukkan
Tabung reaksi
V. HASIL:
NO Uji identifikasi +/- Keterangan
1 Uji flavonoid - Tidak ditemukan lapisan methanol
pada saat pengocokan campuran.
Dipanaskan 20 menit
Dihasilkan
Tabung A
Tabung B
Disaring dan dimasukkan
Tabung A
2
Tabung A
1
Dipisahkan
Ditambah pereaksi
dragendorff
Diamati
Ditambah Na
2
CO
3
Diamati sampai pH 8-9
Ditambahkan
2 Uji alkaloid - Tidak adanya endapan pada filtrate
setelah ditetesi reagen dragendroff
maupun reagen mayer.
VI. PEMBAHASAN:
Pada praktikum kali ini dilakukan uji flavonoid dan uji alkaloid pada sampel yang
digunakan yaitu Curcumae aeruginosae Rhizoma atau lebih dikenal temu hitam. Yang
pertama uji flavonoid dilakukan dengan cara serbuk simplisia yang sudah diayak sesuai
derajat halusnya ditimbang sebanyak 0,5gram dipanaskan dengan menggunakan 10ml
methanol selama 10 menit, setelah itu disaring dengan kertas saring. Encerkan filtrate
dengan 10 ml air, setelah dingin ditambahkan 5 ml eter,dikocok. Ambil lapisan methanol
kemudian diuapkan 40C dan sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat dan disaring.
Diuapkan hingga 1ml larutan kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95%, 0,5gram
serbuk seng, dan 2ml asam klorida 2N, diamkan 1 menit. Tambahkan 10 ml HCl conc jika
dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukan adanya flavonoid. Namun
dalam praktikum tidak ditemukan lapisan methanol yang memisah setelah dilakukan
penyaringan. Sehingga dapat dinyatakan temu hitam tidak mengandung senyawa flavonoid.
Pecobaan selanjutnya dilakukan iji alkaloid, pada percobaan ini dilakukan dengan
cara ditimbang 2 gram serbuk temu hitam dan dilembabkan dengan ammonia 25%, lalu
digerus. Dan ditambah 20ml kloroform digerus kuat. Dalam penggerusan jangan terlalu
halus dalam penyerbukan simplisia karena dapat memecah dinding selnya. Sehingga ada
kemungkinan proses uji alkaloid terhambat. Disaring kemudian filtrate diteteskan pada
kertas saring dan diberi dragendroff, bila warna menjadi jingga maka simplisia mengandung
alkaloid nmun pada percobaan setelah penambahan dragendroff warna tidak menjadi jingga.
Namun untuk lebih memastikan lagi serbuk simplisia 2 gram dipanaskan dengan
penambahan 10ml HCl 1% selama 30 menit. Kemudian disaring dan dibagi menjadi dua,
larutan A dibagi menjadi dua lagi larutan A1 ditetesi dragendroff dan larutan A2 ditetesi
reagen mayer. Bila terdapat endapan pada kedua larutan tersebut maka positif mengandung
alkaloid, namun dalam praktek tidak ditemukan endapan sedikitpun maka sampel negative
alkaloid. Pada uji alkaloid ini digunakan pereaksi dragendroff dan mayer karena kedua
reagen ini paling baik untuk uji alkaloid.
VII. KESIMPULAN:
1) Tidak terdapat kandungan alkaloid pada sampel Curcuma aeruginosa
2) Tidak terdapat kandungan flavonoid pada sampel Curcuma aeruginosa
VIII. DAFTAR PUSTAKA:
http://Scribd.com diakses pada tanggal 30 maret 2012
Tim Penyusun.2012. Buku Petunjuk Praktikum Farmakognosi. Surakarta: FMIPA UNS
ACARA IV
PENETAPAN KADAR ABU, PENETAPAN
KADAR ABU TIDAK LARUT ASAM,
PENETAPAN KADAR ABU LARUT AIR,
INDEKS BIAS,BOBOT JENIS & KADAR
MINYAK ATSIRI
PENETAPAN KADAR ABU, PENETAPAN KADAR ABU TIDAK
LARUT ASAM, PENETAPAN KADAR ABU LARUT AIR,
INDEKS BIAS,BOBOT JENIS & KADAR MINYAK ATSIRI
I. TUJUAN:
1. Dapat menentukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa
2. Dapat menetukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa yang
tidak larut asam
3. Dapat menetukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa yang
larut air
4. Dapat menentukan bobot jenis pada sampel minyak atsiri
5. Dapat menentukan indeks bias pada minyak atsiri
6. Dapat menentukan kadar minyak atsiri
II. DASAR TEORI:
KADAR ABU
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya. Kadar abu ada
hubunganya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdapat
dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam
anorganik. Yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat,
asetat, pektat. Sedngkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat,
klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai
senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya
dalambentuk aslinya sangatlah sulit,oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan
sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan.
(Sudarmadji.2003).
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses penggolahan
2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan
3. Untuk memperkirakann kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly.
Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit uinegar
(asli) atau sintesis
4. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang tidak
larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain.
(Irawati.2008 ).
Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang
tinggi,yaitu sekitar 500-600C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses
pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbedabeda dan berkisar antara 2-8 jam.
Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan
diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu
dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan
dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih
dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105C agar suhunya turun menyesuaikan degan
suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin,barulah abunya
dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan.
BOBOT JENIS
Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu 25 C terhadap bobot
air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh
dengan membagi bobot zat dengan bobot air dalam piknometer, kecuali dinyatakan lain
dalam monografi, keduanya ditetapkan pada suhu 25 C [FI IV hal 1030].
INDEKS BIAS
Refraktometer yaitu alat yang bekerja berdasarkan pembiasan sinar, dipakai untuk
menentukan indeks bias cairan (Godman,1991:452).
Indeks bias adalah ukuran kemampuan suatu medium untuk membiaskan cahaya. Indeks bias
suatu medium sama dengan kecepatan rambat cahaya di ruang hampa dibagi dengan kecepatan
rambat cahaya di dalam medium tersebut.
KADAR MINYAK ATSIRI
Minyak atsiri juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap atau minyak
terbang. Pengertian atau defenisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical
Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa, yang pada umumnya
berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji
maupun dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap (Sastrohamidjojo, 2004).
Minyak atsiri adalah zat yang berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini
disebut juga minyak menguap, minyak eteris, atau minyak essensial karena pada suhu biasa
(suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah essensial dipakai karena minyak
atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni tanpa
pencemaran, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama
minyak atsiri dapat teroksidasi dan membentuk resin serta warnanya berubah menjadi lebih
tua (gelap). Untuk mencegah supaya tidak berubah warna, minyak atsiri harus terlindung dari
pengaruh cahaya, misalnya disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap. Bejana
tersebut juga diisi sepenuh mungkin sehingga tidak memungkinkan berhubungan langsung
dengan oksigen udara, ditutup rapat serta disimpan ditempat yang kering dan sejuk
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
III. ALAT & BAHAN:
ALAT:
a) Krus silikat
b) Air panas
c) Corong
d) Alat destilat
e) Refraktometer
f) Piknometer
BAHAN:
a) Serbuk tanaman
b) Kertas saring abu
c) Asam klorida
d) Aquades
IV. CARA KERJA:
1. Penetapan Kadar Abu
Digerus, ditimbang,
dimasukkan
2 gram serbuk simpisisa
Dipijarkan
Kertas saring bebas
abu
Jika arang tidak dapat
dihilangkan, ditambah air panas
Filtrat
Didinginkan,ditimbang
Oven
Ditara dan diratakan
Krus platina atau krus
silikat
Sisa+kertas saring
Dipijarkan
Krus yang sama di oven
Bobot tetap
Kadar abu dihitung terhadap
bahan yang dikeringkan di udara
2. Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu
Dicuci dengan air
panas, dipijarkan
Kertas saring bebas abu
Dididihkan 5 menit,
lalu disaring
Tabung reaksi
Dimasukkan
25 ml HCl encer
Bobot tetap
Kadar abu yang tidak larut
dalam asam dihitung
terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara
Dimasukkan
Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Simplisia
Dipanaskan dan Disuling
Dibiarkan 15 menit
Cairan penyuling
Labu
Kadar minyak atsiri
dihitung
Volume minyak atsiri
pada buret
Dimasukkan
Uji Bobot Jenis
V. HASIL & PEMBAHASAN
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik.Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral
yang terdapat dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik
Ekstrak cair suhu 20 C
Piknometer bersih kering dan
dikalibrasi
Dimasukkan
Bobot piknometer kosong
dikurangkan dari bobot piknometer
yang telah diisi
Suhu diatur hingga 25 C
Kelebihan ekstrak cair
Bobot jenis diperoleh dengan membagi bobot ekstrak
dengan bobot air dalam piknometer pada suhu 25 C
Dibuang, sisanya ditimbang
misalnya asetat, pektat, mallat dan garam anorganik misalnya karbonat, fosfat, sulfat,
dan nitrat. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut
pengabuan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan tergantung dari
jenis bahan dan cara pengabuannya.
Pada praktikum kali ini, proses pengabuan dilakukan hingga suhu mencapai
400C . Sampel yang digunakan adalah serbuk Curcuma aeruginosa atau biasa kita
sebut Temu Ireng. Serbuk Curcuma aeruginosa kita timbang sebanyak 2 gram, lalu
dimasukkan dalam krus platina atau krus silikat yang sebelumnya sudah kita tara
sebesar 19,2 gram. Lalu kita masukkan dalam oven hingga suhu 400C. Kira-kira
setiap 45 menit kita lihat apakah serbuk sudah menjadi abu ditandai dengan warna
putih keabuan dan tidak ada serbuk hitam yang menggumpal. Jika masih tersdapat
gumpalan, krus platina kembali kita pijarkan hongga diperoleh bobot tetap dalam
keadaan abu. Setelah menjadi abu semua, ditimbang dan dapat dihitung besar kadar
abunya dengan menggunakan rumus. Rumus Perhitungan Kadar Abu :
% Kadar abu =
x 100%
Sehingga pada penentuan kadar abu Curcuma aeruginosa diperoleh :
Berat awal sampel : 2 gram
Berat krus platina : 19,20 gram
Berat krus platina dan abu bobot tetap : 19,27 gram
Sehingga diperoleh bobot tetap abu Curcuma aeruginosa sebesar 0,07 gram atau 70
mg.
Dari hasil data tersebut kita dapat menghitung besar kadar abu Curcuma
aeruginosa menggunakan rumus diatas sehingga diperoleh kadar abu sebesar 3,5 % .
Berat abu yang didapat pada sampel Curcuma aeruginosa yakni seberat 0,07
gram atau 70 mg, jauh sekali penurunan berat yang terjadi karena berat sampel awal
yaitu 2 gram, berarti selama proses pemanasan awal sampai pada proses pengabuan
telah terjadi penguapan air dan zat-zat yang terdapat pada sampel, sehingga yang
tersisa hanyalah sisa dari hasil pembakaran yang sempurna yakni abu.
Pada sampel Curcuma aeruginosa didapat kadar abu yaitu sebesar 3,5 % yang
dihitung berdasarkan berat kering. Presentase abu yang diperoleh besarnya relatif
kecil sehingga besarnya kadar abu yang didapat dalam praktikum kali ini, mungkin
disebabkan oleh suhu ruang ataupun adanya kotoran yang terdapat dalam sampel.
Apalagi waktu pemanasan atau pemijaran kurang sempurna tidak bisa mencapai suhu
600C karena faktor alat.
A. Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Tujuan Praktikum pada penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
adalah untuk mengetahui besarnya kadar abu yang tidak larut dalam asam.
Pada penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam kita menggunakan abu
yang berasal dari abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu ( dibagi 2 untuk tidak
larut dalam asam dan larut dalam air). Sebanyak 70 mg abu Curcuma aeruginosa
dididihkan dengan Asam Klorida encer sebanyak 10 ml selama 5 menit, pada proses
ini kita menggunakan oven. Kemudian kita ambil abu yang tidak larut dalam asam
dengan cara disaring menggunakan kertas saring. Lalu bersama dengan kertas saring
yang sebelumnya sudah kita tara sebesar , kita pijarkan hingga diperoleh bobot tetap.
Perhitungan kadar abu tidak larut dalam asam dapat kita hitung dengan rumus
sebagai berikut :
Kadar abu tidak larut asam =
x 100%
Dalam percobaan ini kita dapatkan data sebagai berikut :
Berat abu awal : 0,07 gram
Berat kertas saring : 0,78 gram
Berat kertas saring dan abu bobot tetap tidak larut dalam asam : 0,85 gram
Dari data tersebut dapat kita peroleh bahwa berat abu yang tidak larut dalam
asam yaitu 0,85 0,78 = 0,06 gram.
Sehingga dari data tersebut dapat kita hitung kadar abu yang tidak larut dalam
asam menggunakan rumus diatas dan diperoleh kadar sebesar 85,71 % .
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa abu Curcuma aeruginosa tidak
dapat melarut sempurna dalam pelarut dengan suasana asam.
B. Penetapan Kadar Abu Yang Larut Dalam Air
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kadar abu yang larut
dalam air, digunakan pelarut aquadest.
Penetapan kadar abu ini dilakukan dengan bahan abu yang kita peroleh dari
penetapan kadar abu. Sebanyak 0,07 gram abu Curcuma aeruginosa kita larutkan
dalam 15 ml aquadest dalam cawan lalu dididihkan selama 5 menit di dalam oven.
Lalu kita saring dengan kertas saring yang sebelumnya telah kita timbang. Jika dalam
cawan masih ada sisa abu yang tidak larut kita tuangkan air panas hingga larut semua
baru kita saring. Lalu sisa abu dalam kertas saring kita pijarkan selama 15 menit
dengan suhu tidak lebih dari 450 C hingga diperoleh bobot tetap dengan ditimbang.
Lalu dapat kita hitung kadar abu yang larut dalam air menggunakan rumus sebagai
berikut :
Kadar abu larut air =
x 100%
Dan pada praktikum diperoleh data sebagai berikut :
Berat abu awal : 0,07 gram
Berat kertas saring : 0,46 gram
Berat kertas saring dan abu bobot tetap : 0,47 gram
Sehingga dari data tersebut berat akhir abu adalah 0,47 0,46 = 0,01 gram.
Maka dari data-data tersebut dapat kita hitung kadar abu yang larut dalam air
menggunakan rumus diatas dan diperoleh kadar sebesar 85,71 %. Dapat dilihat kalau
abu yang larut dalam air sangat banyak, hampir semua abu larut dalam pelarut air.
Maka dapat ditarik kesimpulan kalau Curcuma aeruginosa sangat baik dilarutkan
dalam air.
C. BOBOT JENIS
Berat piknometer 9.7gram
Dikalibrasi dengan aquadest 16,11gram
Piknometer + minyak atsiri 15,80gram
Bobot jenis
15,80 9,70 = 6,10gram 6.4ml
=0,95 g/ml
Bobot jenis adalah suatu perbandingan bobot zat terhadap air volume sama
yang ditimbang diudara pada suhu yang sama. Penetapan bobot jenis dilakukan dengan cara
gunakan piknometer bersih , kering dan dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer
dan bobot air yang baru dididihkan pada suhu 25C atur hingga suhu ekstrak cair lebih
kurang 20C, masukkan kedalam piknometer. Dalam memasukan minyak atsiri disarankan
hingga penuh agar saat ditutup tidak ada ruang atau gelembung dalam piknometer. Karena
gelembung ini akan mempengaruhi berat piknometer. Atur suhu piknometer yang telah diisi
hingga suhu 25C , buang kelebihan ekstrak cair dan ditimbang. Kurangkan bobot
piknometer kosong dari bobot piknometer yang tela diisi . bobot jenis ekstrak cair adalah
yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada
suhu 25C.
D. INDEKS BIAS
indeks bias bunga mawar : Indeks bias bunga melati:
1,348 cm 1,348- 1,3495 1,342 cm 1,342- 1,3465
9,5 mm 6,5 mm
Metode standard dalam pengukuran indeks bias yang paling sederhana yaitu dengan
mengukur sudut pembelokan cahaya yang melewati wadah berbentuk prisma berisi larutan
uji. Meskipun metode ini akurat, namun membutuhkan ruangan yang cukup besar. Kemudian
dikembangkan metode lain. Makalah ini membahas penelitian tentang pengukuran indeks
bias menggunakan metode interferometri. Umumnya metode interferometri bekerja dengan
mengukur jari-jari cincin interferensinya, namun untuk bisa menghasilkan bayangan cincin-
cincin interferensi membutuhkan komponen optik dengan kualitas sangat baik dan sangat
mahal. Pada Tugas Akhir ini dicoba untuk melihat adanya kemungkinan indeks bias dapat
diukur hanya dengan mengukur intensitas cahaya hasil interferensi meskipun interferometer
yang dibuat tidak mampu menghasilkan cincin interferensi. Metode ini bekerja dengan cara
sinar laser dipisahkan menjadi dua berkas. Berkas uji dilewatkan ke sampel yang hendak
diukur, sedangkan berkas referensi tidak melewati apa-apa. Kedua sinar tersebut kemudian
digabungkan kembali. Hasil interferensi cahaya yang diukur berupa pelemahan amplitudo
intensitas) cahaya. Data yang didapat dianalisa secara grafis untuk dihasilkan persamaan
kurva.
VI. KESIMPULAN:
1. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengukur kemurnian dan kebersihan
simplisia. Makin tinggi kadar abu makin rendah mutu simplisia
2. Kadar abu tidak larut asam diperoleh hasil persentase sebesar 85,71 %
3. Kadar abu larut air diperoleh hasil persentase sebesar 85,71 %.
4. Bobot jenis yang dihasilkan adalah 0,95 g/ml
VII. DAFTAR PUSTAKA:
Anonim.2010.LAPORAN PENENTUAN KADAR ABU.http://scribd.com. Diakses
31 oktober 2010.
Anonim.1995.Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI
Irawati.2008.MODUL PENGUJIAN MUTU 1.Diploma IV PDPPTK
VEDCA.Cianjur.
Sudarmadji.dkk.2003.Prosedur Analisa Bahan Makanan Dan
Pertanian.Liberti.Yogyakarta.
uji indeks bias
Diteteskan
diamati
diatur
diamati
diperoleh
1 tetes minyak atsiri
Kaca prisma alat
refraktometer
Lensa pengamat
Fase gelap dan
terang pada tanda x
Skala yang
ditunjukkan
Indeks bias