PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
DYAH ARUM ISTININGTYAS. Analisis Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor. Di bawah bimbingan ACENG HIDAYAT. Adanya kebijakan otonomi telah mengarahkan kebijakan pembangunan Kota Bogor pada upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan potensinya pada sektor perdagangan dan jasa. Kebijakan yang dilakukan Pemda Kota Bogor untuk meningkatkan kontribusi sektor perdagangan adalah meningkatkan aktivitas pasar-pasar tradisional. Program khusus bagi pengembangan pasar tradisional, yaitu pemindahan Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Cimanggu dan pembangunan empat unit pasar tradisional yaitu Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak. Namun hasil program tersebut ternyata hanya Pasar Kemang yang berfungsi sebagai pasar induk dan ketiga pasar yang telah dibangun (Pasar Tanah Baru, Pasar Bubulak dan Pasar Pamoyanan) tidak berfungsi sama sekali. Penelitian ini menggunakan tiga analisis. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui tingkat keterlibatan, kepentingan dan pengaruh dari seluruh stakeholders yang terkait dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui penyebab kegagalan kebijakan, apakah proses penyusunannya yang tidak tepat atau penerapannya yang tidak berjalan dengan baik. Analisis PHA digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat di Kota Bogor sehingga dapat menjadi masukan bagi pemerintah. Berdasarkan hasil analisis stakeholders, stakeholders yang terkait dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional, yaitu Bapeda, Disperindagkop, masyarakat pedagang, UPTD, pengelola swasta, Dispenda, DLHK dan DTKP. Stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tertinggi adalah Bapeda dan Disperindagkop sedangkan masyarakat pedagang dan UPTD memiliki kepentingan tinggi namun pengaruhnya rendah. Dispenda, DLHK dan DTKP memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi. Pengelola pasar swasta memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah. Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan disebabkan karena proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat sehingga menyebabkan penerapannya yang kurang tepat pula. Kriteria utama yang menyebabkan proses pembuatan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu keterlibatan stakeholders dan proses penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional yang benar. Kriteria utama yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien. Berdasarkan hasil kajian, maka dapat ditarik kesimpulan secara khusus bahwa dari hasil analisis stakeholders menunjukkan bahwa tidak semua stakeholders yang berkepentingan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional dilibatkan dalam proses perencanaan dan penerapan kebijakan. Sehingga adanya kegagalan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional disebabkan karena tidak dilibatkannya seluruh stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan ini.
Hasil analisis PHA menunjukkan bahwa aspek yang paling penting dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional secara berurutan yaitu aspek ekonomi, aspek manajemen, aspek sosial dan aspek teknis. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek ekonomi yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat dan meningkatkan PAD. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek manajemen yaitu penataan dan pembinaan PKL, meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek sosial yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen, menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek teknis yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar dan kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan rapi. Prioritas alternatif strategi dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu pembentukan PD. Pasar, pemberdayaan pedagang dan pengelola pasar, pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun, pembangunan pasar lingkungan, menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemberian bantuan kredit dan pembentukan forum komunikasi.
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN pada FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Analisis Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor Nama NIM : Dyah Arum Istiningtyas : A14303046
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL DI KOTA BOGOR BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 3 November 1985 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, keluarga Bapak Totok Djoko Winarto dan Ibu Kisnani, SmPh. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri X Semarang pada tahun 1997 kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan di SLTP Negeri 21 Semarang pada tahun 1997-2000. Pendidikan Tingkat Atas diselesaikan penulis di SMU Negeri 3 Semarang pada tahun 2003. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun 2003 pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif menjadi asisten mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan (2005/2006). Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM A) periode 2004 2005 dan berbagai kepanitiaan di IPB. Penulis juga menjadi Finalis dalam Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa (KPKM) Tahun 2007 dengan judul tulisan Ketidakmampuan Kinerja Subsidi Pupuk Urea dalam Mewujudkan Kesejahteraan Petani di Provinsi Jawa Barat.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan rizkiNya sehingga penulisan skripsi yang berjudul Analisis Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pihak yang terlibat dalam kebijakan dan penyebab dari belum berhasilnya kebijakan serta merumuskan strategi pengembangan yang tepat untuk pasar tradisional di Kota Bogor. Harapan penulis adalah agar karya ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak khususnya yang terkait dengan penulisan ini.
13. Teman-teman di Tri Regina : Ochie, Dattu, Iin, Wiwik, Ira, Faiq, Dewi, Silvi, Prista, INMTers, Mbak Dhona, Mbak Uwie, Mbak Aida, Mbak Lury. 14. Rekan-rekan EPS 40 atas pengalaman dan kekompakannya (Fitrina, Hanum, Ari, Puri, Angke, Andi, Dara, Hamna, Reni, Yudha dan Ainun). 15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL .................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................. 1 1 4 6 6 8 8 9 10 12 15 15 17 18 19 20 20 26 26 33 38 38 40 42 43 44 45 48 48 50 50 54 58 60
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Analisis Kebijakan ..................................................................... 2.2. Otonomi Daerah ......................................................................... 2.3. Pasar Tradisional ........................................................................ 2.4. Studi Terdahulu .......................................................................... III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.3. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 3.4. Metode Pemilihan Responden .................................................... 3.5. Metode Analisis Data ................................................................. 3.5.1. Analisis Stakeholders ....................................................... 3.5.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional...... 3.5.3. Proses Hierarki Analisis ................................................... 3.5.4. Struktur Hierarki Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ....................................................................... IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................... 4.1 Keadaan Perekomian Wilayah Kota Bogor ................................ 4.2 Visi dan Misi Kota Bogor ........................................................... 4.3 Kebijaksanaan Pengelolaan Pasar di Wilayah Kota Bogor ........ 4.2.1 Pasar Besar ....................................................................... 4.2.2 Pasar Sedang .................................................................... 4.2.3 Pasar Kecil ....................................................................... V. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL .... 5.1 Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional 5.2 Penerapan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ........... 5.2.1. Pemindahan Pasar Induk Ramayana ................................ 5.2.2. Pembangunan Pasar Tradisional ...................................... 5.2.3. Program Pendukung Lainnya ...........................................
VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL ................................................................. 7.1 Analisis Proses ........................................................................... 7.2 Analisis Penerapan Kebijakan ................................................... 7.3 Hubungan antara Analisis Proses dan Analisis Penerapan ........ VIII.STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL ....... 8.1. Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional ..................... 8.2. Prioritas Kriteria Pengembangan Pasar Tradisional .................. 8.2.1. Aspek Ekonomi ................................................................ 8.2.2. Aspek Manajemen ............................................................ 8.2.3. Aspek Sosial ..................................................................... 8.2.4. Aspek Teknis .................................................................... 8.3. Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional ................................................................................. 8.4. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ...... IX. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 9.1 Kesimpulan ................................................................................ 9.2 Saran ........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN ..............................................................................................
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Tabel PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Tahun 2000) Tahun 2001 2005 ......................... 2 2. Tabel Jumlah Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor ............. 5 3. Tabel Pengumpulan Data ............................................................... 19 4. Tabel Analisis Stakeholders ........................................................... 23 5. Tabel Nilai Skala Banding Berpasangan ........................................ 29 6. Tabel Matriks Pendapat Individu ................................................... 30 7. Tabel Matriks Pendapat Gabungan ................................................ 30 8. Tabel Daftar Nilai Random Indeks ................................................ 32 9. Tabel Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2005 .. 38 10. Tabel Besarnya Tarif Retribusi Pasar di Wilayah Kota Bogor ...... 47 11. Tabel Hasil Analisis Stakeholders dalam Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 61 12. Tabel Analisis Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ............................................................................ 74 13. Tabel Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005 ........................... 76 14. Tabel Analisis Hasil Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ............................................................................ 82
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Gambar Diagram Alir Kerangka Pemikiran .................................. 17 2. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders ........... 23 3. Gambar Pasar Induk Jambu Dua..................................................... 52 4. Gambar Pasar Grosir Cimanggu .................................................... 53 5. Gambar Pasar Induk Kemang ......................................................... 54 6. Gambar Pasar Tanah Baru .............................................................. 56 7. Gambar Pasar Pamoyanan .............................................................. 57 8. Gambar Pasar Bubulak.................................................................... 58 9a. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .............................................................................................. 62 9b. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders pada Kondisi Ideal dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .............................................................. 68 10. Gambar Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Proses Pembuatan Kebijakan .................................................................... 72 11. Gambar Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari SegiPenerapan Kebijakan ....................................................................................... 81 12. Gambar Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .............................................................................................. 87 13. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Ekonomi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .......................... 88 14. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Manajemen dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .......................... 89 15. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Sosial dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 91 16. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Teknis dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 92 17. Gambar Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 93 18a. Gambar Kondisi Pasar Tradisional yang Kotor, Becek dan Tidak Rapi ................................................................................................ 95 18b. Gambar Kondisi Pasar Modern yang Bersih, Nyaman dan Rapi.... 95 19a. Gambar Pasar Modern BSD dari Depan Tampak Bersih dan Menarik ........................................................................................... 96 19b. Gambar Kondisi Pasar BSD yang Bersih, Tidak Becek dan Rapi.. 96 19c. Gambar Label Jenis Komoditi yang Dijual pada Tiap Lorong di Pasar BSD ................................................................................... 96 19d. Gambar Interaksi Sosial antara Penjual dan Pembeli di Pasar BSD 96
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan arah baru dalam pembangunan nasional yang bersifat top down menjadi bottom up. Masing-masing daerah diberi kesempatan untuk melaksanakan proses pembangunan yang didasarkan pada ideide, nilai-nilai sosial, teknologi serta potensi sumberdaya lokal. Hal ini menuntut adanya peran aktif pemerintah daerah dalam berbagai kebijakan untuk menggali, mengembangkan dan mengelola potensi sosial ekonominya dalam rangka memperkuat pembangunan yang berkelanjutan. Perkembangan otonomi daerah telah membawa sejumlah implikasi terhadap perubahan fungsi-fungsi pemerintah daerah dalam berbagai kebijakan, baik dalam kelembagaan, pemanfaatan dan penggalian sumber daya alam, sumber daya manusia serta sumber-sumber kegiatan ekonomi di berbagai bidang. Pemerintah daerah harus dapat menggali seluruh potensi yang ada di dalam pengelolaan keuangan melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber-sumber keuangan lainnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan sehingga diharapkan daerah dapat berkembang secara mandiri. Kebijakan pembangunan Kota Bogor berdasarkan otonomi daerah diarahkan pada upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan titik berat pada pembangunan ekonomi. Salah satu potensi yang dominan dalam menunjang pembangunan Kota Bogor adalah sektor perdagangan. Sektor ini mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dan memberikan kontribusi sebesar 31,20 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kota Bogor (Badan Pusat Statistik Kota Bogor, 2003), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Tahun 2000) Tahun 2001 2005
(Jutaan Rupiah)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan* Listrik, Gas dan Air Bersih 85.758,27 91.743,05 Bangunan 227.279,58 234.466,55 Perdagangan, Hotel dan Restoran 908.410,21 949.697,09 Pengangkutan dan Komunikasi 264.303,07 281.187,90 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 325.512,18 358.608,64 Jasa-jasa 221.565,32 232.720,65 Produk Domestik Regional Bruto 2.823.430,21 2.986.837,37 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2005
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
2003 11.642,98 0,00 881.718,49 98.132,83 244.414,67 988.571,26 301.110,33 398.668,99 243.925,99 3.168.185,54
2004* 12.193,68 0,00 940.062,95 105.087,61 255.205,11 1.029.072,26 322.575,82 441.570,29 255.671,20 3.361.438,93
2005** 12.716,02 0,00 1.002.371,58 112.491,06 266.037,24 1.071.266,44 344.684,12 489.525,24 268.139,21 3.567.230,91
Tabel 1 menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian di Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran khususnya sektor perdagangan besar dan eceran yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2005. Pembenahan aspek ekonomi diarahkan pada upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai bursa perdagangan komoditi penting di tingkat regional, nasional dan internasional (Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, 2000). Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Bogor untuk meningkatkan kontribusi sektor perdagangan dan jasa adalah melalui peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana perekonomian yang ada di Kota Bogor. Salah satu strategi yang dilaksanakan oleh Pemda Kota Bogor yaitu dengan meningkatkan aktivitas pasar-pasar tradisional sebagai basis kekuatan ekonomi rakyat. Pengembangan pasar-pasar tradisional diarahkan pada penyediaan lahan,
pembangunan dan pemanfaatan pasar tradisional di setiap kecamatan sebagai sentra ekonomi. Pemerintah Daerah Kota Bogor telah melaksanakan program khusus bagi pengembangan pasar tradisional selama periode tahun 1999 sampai tahun 2004, yaitu pemindahan pusat perdagangan regional dari pusat kota ke daerah pinggiran dan pengembangan pasar-pasar tradisional di setiap kecamatan. Implementasi dari program tersebut adalah pemindahan Pasar Induk Ramayana yang berada di pusat kota ke Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu serta pembangunan pasar tradisional minimal terdapat satu unit pasar di tiap kecamatan (Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, 2005). Program ini dibuat supaya kegiatan perdagangan regional di Kota Bogor tidak hanya terkonsentrasi di pusat kota namun juga di daerah pinggiran yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi, dan dengan pengembangan kegiatan perdagangan lokal di tiap kecamatan akan membantu tercapainya pemerataan kegiatan ekonomi di seluruh kota. Pada kenyataannya pelaksanaan program yang ditetapkan Pemda Kota Bogor tidak berjalan secara optimal. Kegagalan program tersebut di antaranya adalah tidak berfungsinya Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu sebagai pengganti Pasar Induk Ramayana. Pasar Induk Ramayana yang berada di tengah kota telah menimbulkan kemacetan lalu lintas sehingga pemerintah kemudian menutup Pasar Induk Ramayana dan memindahkan para pedagang di pasar tersebut ke Pasar Jambu Dua, Cimanggu dan Kemang. Tetapi setelah kepindahan lokasi Pasar Induk Ramayana ke ketiga lokasi pasar induk alternatif, hanya Pasar Kemang yang berfungsi sebagai pasar induk. Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu berfungsi sebagai pasar pengecer. Dampak dari perpindahan lokasi
Pasar Induk Ramayana secara umum menyebabkan penurunan volume penjualan di pasar-pasar pengecer Kota Bogor sehingga penerimaan pedagang pun menurun. Pasar Cimanggu dan Pasar Jambu Dua mengalami penurunan volume penjualan yang paling besar yaitu sebesar 86.63 persen dan 82.53 persen. Hal ini disebabkan karena sepinya pembeli di kedua pasar tersebut (Kartini, 2002). Kebijakan lain yang ditempuh sebagai upaya untuk memeratakan pembangunan ekonomi yaitu pembangunan empat unit pasar tradisional di empat kecamatan yaitu di Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Selatan dan Bogor Utara. Sampai tahun 2001 dari empat pasar tradisional yang akan dibangun yaitu Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak, baru dua pasar saja yang telah terealisasi yaitu Pasar Tanah Baru dan Pasar Pamoyanan dan hanya satu pasar saja yang sudah berfungsi yaitu Pasar Tanah Baru. Meskipun pada kenyataannya perkembangan tersebut belum optimal, karena kios yang terisi di Pasar Tanah Baru hanya sepuluh kios dari 120 kios yang ada. Sampai saat ini belum ada pemungutan tarif retribusi yang dilakukan oleh pihak pengelola pasar. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dari rencana dan implementasi kebijakan Pemda Kota Bogor untuk mengetahui penyebab kegagalan kebijakan tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Letak Kota Bogor yang dekat dengan Jakarta menyebabkan Bogor mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sebesar 20,41 persen pada tahun 2003 dengan kegiatan utamanya adalah sektor perdagangan (Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, 2005). Perda No 1 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 1999-2009 menyatakan bahwa salah satu fungsi utama Kota Bogor adalah sebagai kota perdagangan. Untuk mengimbangi
laju pertumbuhan Kota Bogor yang sedemikian pesat khususnya pada sektor perdagangan dan jasa maka prioritas pembangunan yang perlu diutamakan yaitu meningkatkan aktivitas perdagangan melalui pembangunan dan perbaikan sarana publik. Salah satu kebijakan yang ditempuh Pemda Kota Bogor dalam mengembangkan sektor perdagangan yaitu dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Kebijakan pengembangan pasar tradisional yang dilaksanakan tersebut ternyata tidak berjalan secara optimal. Hal ini dapat ditunjukkan dari jumlah pedagang yang mengisi kios-kios yang tersedia di pasar-pasar tradisional Kota Bogor. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat beberapa pasar tradisional di Kota Bogor yang jumlah pedagangnya kurang dari 50 persen dari total kios dan los yang disediakan di pasar tersebut. Pasar-pasar tersebut di antaranya yaitu Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Tanah Baru. Kios yang terisi paling sedikit terjadi pada Pasar Tanah Baru, sehingga dapat disimpulkan bahwa program pengembangan pasar tradisional yaitu pembangunan pasar tradisional baru belum mencapai hasil yang diharapkan. Tabel 2. Jumlah Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor
PASAR JUMLAH KIOS JUMLAH KIOS TERISI Pasar Kebon Kembang 2.343 2.168 Pasar Bogor 2.250 1.179 Pasar Jambu Dua 756 335 Pasar Merdeka 601 208 Pasar Sukasari 275 140 Pasar Padasuka 220 214 Pasar Gunung Batu 203 198 Pasar Tanah Baru 120 10 Pasar Kemang 104 63 TOTAL 6.872 4452 Sumber: UPTD Pasar Tradisional Kota Bogor, 2003 (diolah) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (%) 92.53 52.4 44.31 34.61 51 97.27 97.54 8.33 60.58 64.79
Berdasarkan fakta yang diuraikan di atas, maka untuk itu perlu diketahui: 1. Bagaimana kepentingan dan pengaruh dari stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor? 2. Apa penyebab dari belum berhasilnya kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor? Apakah hal ini disebabkan oleh proses penyusunan program pengembangan pasar tradisional yang kurang tepat? Atau penerapannya yang tidak berjalan dengan baik? 3. Bagaimana rencana dan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat untuk Kota Bogor? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi kepentingan dan pengaruh dari stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. 2. Menganalisis penyebab dari belum berhasilnya kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. 3. Menganalisis rencana dan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat untuk Kota Bogor. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dalam rangka pengembangan pasar tradisional serta sebagai bahan pertimbangan
dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan pengetahuan terkait dengan kebijakan pengembangan dan pengelolaan pasar tradisional. 3. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir, daya nalar dan daya analitis dalam mengidentifikasi, merumuskan dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (E.S. Quade dalam Dunn, 1994). Analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan publik. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah. Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teoriteori deskriptif yang umum namun mengkombinasikan dan mentransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin ilmu sehingga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik. Analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan. Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan informasi mengenai : (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Terdapat 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu : 1. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik. 2. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan bobot atau nilai dari beberapa kebijakan.
3. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu: deskriptif, prediksi, evaluasi, dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan diambil, sedangkan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi. 2.2. Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2004). Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat. Pada hakekatnya penerapan prinsip ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada pusat bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Otonomi daerah tidak hanya dipahami sebagai pemindahan sentralisasi kekuasaan dari pusat kemudian diberikan ke daerah (dekonsentrasi kekuasaan). Gagasan otonomi tidak lepas dari gagasan demokratisasi, yaitu memfasilitasi kebebasan dan otonomi rakyat sehingga bisa berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dan konteksnya. Otonomi daerah membuat pemerintah semakin dekat,
mengenali, dan memahami masyarakat sehingga fungsi sebagai fasilitator dapat berjalan dengan baik (Ismawan, 2003). 2.3. Pasar Tradisional Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar, sebagian besar pasar menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayursayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain.1 Hierarki pasar dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Pasar Kawasan 30.000 Penduduk (Pasar Kelurahan/Desa) Fungsi utama sebagai pusat perbelanjaan di lingkungan yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepungtepungan, bahan-bahan pakaian, pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Lokasinya berada pada jalan utama lingkungan dan mengelompok dengan pusat lingkungan dan mempunyai terminal kecil untuk pemberhentian kendaraan. Penduduk minimum yang dapat mendukung sarana ini adalah 30.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan adalah 13.500 m2. 2. Pasar Kawasan 120.000 Penduduk (Pasar Kecamatan) Fungsi utama sama dengan pasar lingkungan lain hanya dilengkapi saranasarana niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri-industri kecil seperti konveksi dan lain-lain. Lokasinya mengelompok dengan pusat kecamatan dan
1
Dikutip dari situs Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar pada tanggal 20 Januari 2008
mempunyai pangkalan transportasi untuk kendaraan-kendaraan jenis angkutan penumpang kecil. Jumlah minimum penduduk yang dapat mendukung sarana ini adalah 120.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan adalah 36.000 m2. 3. Pasar Kawasan 480.000 Penduduk (Pasar Kabupaten/Kota) Fungsi utama sama dengan pasar yang lebih kecil dengan skala usaha yang lebih besar dan lengkap. Lokasinya dikelompokkan dengan pusat wilayah dan mempunyai terminal bis, oplet dan kendaraan-kendaraan jenis angkutan penumpang kecil lainnya. Penduduk minimum yang dapat mendukung sarana ini adalah 480.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan adalah 96.000 m2 (Rahayu, 2005). Hierarki pasar menurut Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pasar dibedakan berdasarkan pengertian menurut pengelola, tingkat pelayanan dan kelas mutu pelayanan, yaitu : 1. Pasar menurut Pengelolanya : a. Pasar Pemerintah, yaitu pasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. b. Pasar Swasta, yaitu pasar yang diselenggarakan atau dikelola oleh orang pribadi atau badan. 2. Pasar menurut Tingkat Pelayanannya : a. Pasar Regional, yaitu pasar dengan komponen bangunan-bangunan yang lengkap, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat regional.
b. Pasar Kota, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat kota. c. Pasar Wilayah, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat kota. d. Pasar Lingkungan, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang terutama di dalam bangunan, dan melayani perdagangan tingkat lingkungan. 3. Pasar menurut Kelas Mutu Pelayanan : a. Pasar Tradisional, yaitu pasar yang dibangun dengan fasilitas sederhana, dikelola dengan manajemen sederhana dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, ataupun tenda yang diisi oleh pedagang kecil, menengah dan koperasi dengan proses jual beli melalui tawar menawar. b. Pasar Modern, yaitu pasar yang dibangun dan dikelola dengan menggunakan metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern serta mengutamakan pelayanan dan kenyamanan berbelanja. 2.4. Studi Terdahulu Penelitian mengenai pengembangan pasar tradisional pernah dilakukan oleh Rangkuti (2005) di Kota Medan. Tesis tersebut menganalisis pengaruh pengembangan pasar tradisional terhadap pembangunan wilayah. Hasil analisis menunjukkan bahwa menurut persepsi responden pengembangan pasar tradisional dalam aspek kebersihan, keamanan dan penataan gerai akan dapat meningkatkan jumlah pengunjung/pembeli di pasar-pasar tradisional Kota Medan.
Pengembangan pasar-pasar tradisional di Kota Medan dapat menyebabkan terjadinya pengembangan wilayah dengan bertambahnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan peningkatan pendapatan pedagang sehingga retribusi yang diperoleh PD. Pasar dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan sarana-sarana fisik pasar-pasar tradisional di Kota Medan. Penelitian mengenai pemindahan lokasi pasar induk pernah dilakukan oleh Kartini (2002) di Kota Bogor. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis dampak perpindahan lokasi terhadap sistem pemasaran sayur-mayur di Kota Bogor. Hasil penelitian mengemukakan bahwa dari ketiga alternatif pasar induk yang ditawarkan oleh Pemda Kota Bogor, ternyata hanya Pasar Induk Kemang yang betul-betul berfungsi sebagai pengganti Pasar Ramayana. Perpindahan tersebut berdampak pada peningkatan biaya transfer dan penurunan volume penjualan. Kegiatan pemasaran sayur-mayur menjadi lebih efisien dengan Pasar Induk Kemang sebagai pasar acuan dan barometer harga dalam pemasaran sayurmayur di Kota Bogor. Penelitian mengenai pembangunan pasar tradisional di Kota Bogor pernah dilakukan oleh Tandiyar (2002). Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap faktor penentu pendukung perkembangan Pasar Tanah Baru, sebagai acuan bagi pembangunan pasar tradisional baru di Kota Bogor. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkembangan Pasar Tanah Baru dipengaruhi oleh variabel market area, aglomerasi dan threshold population dari segi keruangan, ketersediaan sarana angkutan umum dan besarnya nilai rupiah yang dibelanjakan dari segi konsumen serta jenis jualan dan besarnya nilai transaksi yang terjadi dari segi pedagang, meskipun pada kenyataannya perkembangan tersebut belum
mencapai perkembangan yang menggembirakan. Berdasarkan hasil acuan tersebut ternyata dari ketiga lokasi pasar yang dibangun, hanya Pasar Katulampa yang memenuhi semua kriteria, sedangkan Pasar Pamoyanan dan Bubulak masih dianggap belum memenuhi, terutama dalam aglomerasi dan ketersediaan sarana angkutan umum. Peningkatan perkembangan Pasar Tanah Baru direkomendasikan dengan pembangunan jalan tembus ke lokasi perumahan yang ada di Kelurahan Tegal Gundil dan penataan rute angkutan kotanya. Pasar Katulampa direkomendasikan untuk ditindaklanjuti dengan pembangunan, sedangkan yang lainnya harus ditunda atau dipindahkan lokasinya ke tempat lain yang lebih memenuhi persyaratan.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Operasional Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan sebagai upaya untuk menggali seluruh potensi yang ada dalam pengelolaan keuangan melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber-sumber keuangan lainnya untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan. Kota Bogor memiliki potensi dalam sektor perdagangan dan jasa yang besar untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan. Eksistensi sektor perdagangan terutama subsektor perdagangan besar dan eceran telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kota Bogor. Sektor ini merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB. Pemerintah Daerah Kota Bogor menetapkan kebijakan pengembangan pasar tradisional untuk meningkatkan kontribusi sektor perdagangan. Kebijakan ini dilaksanakan dalam dua program yaitu pemindahan pusat perdagangan regional dari pusat kota ke daerah pinggiran dan pengembangan pasar-pasar tradisional di tiap kecamatan. Implementasi dari program ini yaitu pemindahan Pasar Ramayana ke Pasar Induk Kemang, Pasar Induk Jambu Dua dan Pasar Grosir Cimanggu serta pembangunan pasar tradisional di empat kecamatan yaitu Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak. Program tersebut belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini dapat ditunjukkan dari kegagalan program tersebut dalam mencapai target. Pasar Kemang merupakan satu-satunya pasar yang berfungsi sebagai pasar induk sedangkan Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu berfungsi sebagai pasar
pengecer. Selain itu dari empat pasar tradisional yang dibangun, hanya satu pasar yang berfungsi yaitu Pasar Tanah Baru meskipun hasilnya belum optimal. Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional ini banyak melibatkan stakeholders. Masing-masing stakeholders yang terlibat memiliki kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional. Hal ini dapat ditunjukkan dengan peranan serta keterlibatan masing-masing stakeholders dalam program pengembangan pasar tradisional. Kondisi ini dapat mempengaruhi keberhasilan proses perencanaan dan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan analisis stakeholders untuk mengidentifikasi stakeholders yang terlibat, terkait dengan kepentingan dan pengaruhnya terhadap kebijakan. Untuk mengidentifikasi penyebab dari belum optimalnya hasil dari program pengembangan pasar tradisional dilakukan menggunakan analisis deskriptif, apakah hal ini disebabkan oleh proses penyusunan program pengembangan pasar tradisional yang kurang tepat (Lampiran 1), atau penerapannya yang tidak berjalan dengan baik (Lampiran 2). Untuk menganalisis strategi pengembangan pasar tradisional digunakan metode Proses Hierarki Analisis/PHA (Lampiran 3). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Otonomi Daerah Potensi Perdagangan Kota Bogor Program Pengembangan Pasar Tradisional
Belum Berhasil (Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu, Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan)
Analisis Stakeholders
Penerapan
PHA
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan
lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor merupakan kota satelit bagi Jakarta sehingga mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama di sektor perdagangan. Hal ini membutuhkan kebijakan pengembangan sektor perdagangan khususnya dalam hal
perdagangan yang pesat. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2007. 3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif (Tabel 3). Data primer diperoleh dari hasil kuesioner melalui wawancara langsung dengan para pengambil kebijakan yang berasal dari Lembaga/Instansi Pemerintah, Tokoh Masyarakat, Swasta dan para pedagang. Data primer mencakup: (1) proses perencanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional, (2) penerapan program, dan (3) strategi pengembangan pasar tradisional. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data penunjang yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP) Kota Bogor, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Unit Pelaksana Teknis Dinas Pasar Tradisional (UPTD) Kota Bogor. Data penunjang diperoleh dari laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet serta sumber-sumber lainnya.
Mengidentifikasi penyebab kurang berhasilnya program pengembangan pasar tradisional: Proses Penerapan
Rencana Strategi (Renstra) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Perda Tata Ruang Perda lainnya. Persepsi responden tentang pengembangan pasar tradisional terdiri dari tujuan, aspek, kriteria dan alternatif strategi kebijakan
Deskriptif
Data Primer: Wawancara dengan pihak pengambil kebijakan (Pemda), Disperindag, DTKP, DLHK, UPTD
PHA
3.4.
Metode Pemilihan Responden Identifikasi stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan
pasar tradisional dilakukan dengan teknik bola salju (snow ball) yaitu dengan melacak keterangan dari setiap stakeholders untuk mengetahui keberadaan stakeholders lainnya. Jika keterangan dari setiap stakeholders tidak menyebutkan stakeholders yang baru lagi, berarti semua stakeholders sudah diidentifikasi. Pengkajian dilakukan secara mendalam untuk setiap stakeholders terkait dengan peran dan keterlibatannya dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional serta untuk analisis kebijakan pengembangan pasar tradisional terkait dengan pemahaman stakeholders terhadap setiap tahapan proses dan penerapan kebijakan.
Pemilihan responden untuk analisis PHA dilakukan dengan metode Purposive Sampling, yaitu metode pengambilan contoh responden tidak secara acak tetapi pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan baik individu atau lembaga sebagai responden yang mengerti permasalahan yang terjadi dan memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak langsung pada pelaksanaan kebijakan atau memberi masukan kepada para pengambil kebijakan yaitu Pemerintah, Non Pemerintah, dan Masyarakat. Responden antara lain: Staf atau Pejabat Pemda, Bapeda, Disperindagkop, Dispenda, DTKP, dan DLHK. 3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis Stakeholders Untuk menilai kebijakan pengembangan pasar tradisional, diperlukan suatu analisis stakeholders yang terkait dengan kebijakan tersebut. Analisis stakeholders adalah sebuah proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi secara kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu kebijakan atau program (Schmeer, 2007). Stakeholders dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga yang kepentingannya dipengaruhi oleh isu atau pihak yang tindakannya secara kuat mempengaruhi isu. Stakeholders dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan besar kecilnya pengaruh atau kepentingan terhadap suatu kebijakan yaitu: a. Stakeholders utama, mempunyai pengaruh yang lemah terhadap lahirnya suatu kebijakan/keputusan tetapi kesejahteraan mereka sangat penting
masyarakat yang berada di sekitar areal yang akan dikembangkan serta pihak lain yang memanfaatkan wilayah tersebut. b. Stakeholders sekunder (tingkat kedua), yaitu mereka yang mempengaruhi keputusan/kebijakan pada saat kebijakan dibuat (pembuat kebijakan) dan pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan tersebut. Pada program pengembangan pasar tradisional ini, yang menjadi stakeholders sekunder adalah pihak pemerintah daerah atau pihak swasta. c. Stakeholders eksternal, adalah individu atau grup yang dapat menggunakan pengaruhnya misalnya dengan melakukan lobi kepada pembuat keputusan. Yang digolongkan pada stakeholders eksternal adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan (Brown et al., 2001 dalam Dharmayanti, 2006). Langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholders yaitu : 1. Membuat tabel stakeholders (Tabel 4) Membuat daftar semua stakeholders yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh program. Menuliskan kepentingan stakeholders (yang tertutup maupun terbuka) dalam kaitannya dengan program dan tujuannya. Kepentingan stakeholders mengacu pada motif dan perhatian mereka pada kebijakan atau program. Menuliskan kepentingan utama stakeholders minimal dua. Menuliskan sikap stakeholders terhadap kebijakan atau program. Sikap mengacu pada reaksi utama dari berbagai stakeholders dalam memutuskan pandangan terhadap kebijakan. Menilai sikap dari stakeholders terhadap kebijakan sebagai berikut :
3 = sangat mendukung/menyetujui 2 = cukup mendukung/menyetujui 1 = netral -2 = cukup menentang/menolak -3 = sangat menentang/menolak Membuat penilaian awal tentang tingkat kekuatan dan pengaruh dari masingmasing stakeholders. Kekuatan stakeholders mengacu pada kuantitas sumberdaya yang dimiliki stakeholders yaitu sumberdaya manusia (SDM), finansial dan politik. Menentukan nilai tingkat kekuatan stakeholders dengan kriteria SDM, finansial dan politik di mana : 5 = sangat kuat; 4 = kuat; 3 = rata-rata; 2 = lemah; 1 = sangat lemah Menentukan tingkat pengaruh yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM + finansial + politik) dari masing-masing stakeholders. Menentukan nilai total yaitu perkalian antara sikap dengan pengaruh untuk setiap stakeholders. Memutuskan kebutuhan keterlibatan stakeholders dalam kebijakan atau program, di mana jika total < 10 maka stakeholders dapat diabaikan, dan jika total > 10 maka stakeholders harus dilibatkan dalam kebijakan atau program. Menentukan tingkat keterlibatan stakeholders. Untuk analisis ini, stakeholders dibagi dalam tiga grup yaitu : Grup 1 dengan total = 10 20 maka stakeholders akan menjadi pihak penerima informasi.
Grup 2 dengan total = 20 30 maka stakeholders akan menjadi pihak pemberi pertimbangan. Grup 3 dengan total > 30 maka stakeholders merupakan pihak pengambil keputusan kebijakan. Tabel 4. Analisis Stakeholders
Stakeholders Kepentingan Sikap Kriteria Evaluasi Kekuatan SDM Finansial Politik Pengaruh Total Keputusan Tingkat Keterlibatan Keterlibatan
2. Identifikasi partisipasi stakeholders yang tepat (lihat Gambar 2). Membuat ringkasan matriks partisipasi untuk mengklarifikasi peranan yang harus dilaksanakan oleh semua stakeholders pada berbagai tahapan siklus program. Membahas bersama stakeholders mengenai peranan yang harus mereka lakukan, sehingga diketahui posisinya bila ditempatkan dalam matriks.
Tinggi
C (KEEP SATISFIED)
*1 *4 *6
B (MANAGE CLOSELY)
*2 Tingkat Pengaruh
* Stakeholders
D (MONITOR)
*7 *8
A (KEEP INFORMED)
*3
Tinggi
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan keterangan sebagai berikut : Kotak A : Pihak yang sangat penting bagi kebijakan, tapi pengaruhnya rendah. Mereka membutuhkan inisiatif khusus jika ingin melindungi kepentingan mereka. Pihak ini harus terus diberikan informasi yang cukup mengenai kebijakan serta meyakinkan mereka bahwa tidak ada masalah besar yang timbul. Pihak ini seringkali sangat berguna bagi proses penyusunan kebijakan secara terperinci. Kotak B : Pihak yang sangat penting bagi kebijakan, tapi juga sangat penting bagi pencapaian keberhasilan. Penyusun kebijakan dan donor perlu membina hubungan kerja yang baik dengan para pihak ini untuk memastikan adanya dukungan terhadap program. Stakeholders yang termasuk pihak ini harus dilibatkan secara penuh dalam setiap proses maupun penerapan kebijakan. Kotak C : Pihak yang berpengaruh besar, karena dapat mempengaruhi hasil kebijakan, tapi tidak memiliki minat terhadap kebijakan. Usaha nyata diperlukan untuk membuat mereka tetap puas dengan hasil kebijakan. Kotak D : Pihak yang berada pada prioritas rendah, tapi membutuhkan monitoring dan evaluasi yang terbatas. Mereka tidak mungkin menjadi subyek kebijakan. Tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dari masing-masing stakeholders memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan
pengembangan pasar tradisional. Dalam kondisi yang ideal seharusnya stakeholders yang memilki tingkat kepentingan yang tinggi, maka akan memiliki
pengaruh yang tinggi pula terhadap pelaksanaan kebijakan, begitu juga sebaliknya. Sehingga penyebaran stakeholders dalam matriks akan membentuk garis diagonal (DFID, 2006). Analisis stakeholders dilakukan dengan cara mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan stakeholders yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu pedagang, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Bogor, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Dinas Tata Kota dan Pemukiman (DTKP) Kota Bogor dan pihak pengelola pasar baik swasta maupun UPTD. Pada penelitian ini dibatasi untuk mengkaji tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders di atas, karena stakeholders tersebut memiliki kepentingan yang nyata terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional dan memiliki pemahaman yang tinggi terhadap kebijakan. Selain itu terdapat beberapa stakeholders yang terkait seperti masyarakat konsumen, Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Stakeholders ini tidak dimasukkan dalam kajian penelitian karena kepentingannya terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional tergolong rendah sekali serta stakeholders ini bukan merupakan pihak yang benar-benar memahami kebijakan pengembangan pasar tradisional.
3.5.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggabungkan semua informasi yang diperoleh dari stakeholders. Analisis meliputi tahapan pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional mulai dari tahap perencanaan, proses penyusunan program, penerapan kebijakan hingga hasil yang diperoleh dari kebijakan yang telah dilaksanakan. Analisis dilakukan dengan membandingkan kesesuaian antara proses perencanaan kebijakan dengan pelaksanaan kebijakan serta tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan dengan hasil yang dicapai dan manfaat kebijakan bagi stakeholders yang terlibat. 3.5.3. Proses Hierarki Analisis Proses analisis yang dikembangkan tahun 1970-an ini dimaksud untuk dapat mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang komplek dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu karena membantu menyederhanakan persoalan yang komplek menjadi persoalan yang berstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Menurut Saaty (1993) kerangka kerja PHA terdiri dari delapan langkah utama sebagai berikut : (b) Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan. Hal yang perlu diperhatikan dalam langkah ini adalah penguasaan masalah secara mendalam, karena yang menjadi perhatian adalah pemilihan tujuan,
kriteria dan elemen-elemen yang menyusun struktur hierarki. Tidak terdapat prosedur yang pasti untuk mengidentifikasikan komponen-komponen sistem, seperti tujuan, kriteria dan aktivitas-aktivitas yang akan dilibatkan dalam suatu sistem hierarki. Komponen-komponen sistem dapat diidentifikasikan
berdasarkan kemampuan pada analisa untuk menemukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem. (c) Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajemen secara menyeluruh. Struktur hierarki ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi sub-sub sistem tujuan tersebut, pelaku-pelaku yang memberi dorongan, tujuan-tujuan pelaku dan akhirnya ke alternatif strategis, pilihan atau skenario. Penyusunan hierarki ini berdasarkan jenis keputusan yang akan diambil. Pada tingkat puncak hierarki hanya terdiri dari satu elemen yang disebut dengan fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat di bawahnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, agar dapat dibandingkan dengan elemen-elemen yang berada pada tingkat sebelumnya. (d) Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hierarki yang merupakan dasar untuk melakukan pembandingan berpasangan antar elemen yang terkait yang ada di bawahnya. Pembandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua terhadap fokus yang ada di puncak hierarki. Menurut perjanjian, suatu elemen yang ada di sebelah kiri diperiksa perihal dominasi atas yang ada di sebelah kiri suatu elemen di puncak matriks.
(e) Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah tiga. Setelah itu dilakukan perbandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar elemen tersebut dilakukan dengan pertanyaan : Seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hierarki, dibandingkan dengan kolom ke-i?. Apabila elemen-elemen yang diperbandingkan merupakan suatu peluang atau waktu, maka pertanyaannya adalah : Seberapa lebih mungkin suatu elemen baris ke-i dibandingkan dengan elemen kolom ke-j sehubungan dengan elemen di puncak hierarki?. Untuk mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada Tabel 5. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen dibanding dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah. (f) Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan sepanjang diagonal utama. Angka satu sampai sembilan digunakan bila F, lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus puncak hierarki (X) dibandingkan dengan Fj. Sedangkan bila F, kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X dibandingkan Fj maka digunakan angka kebalikannya. Matriks di bawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh: bila elemen F24 memiliki nilai tujuh, maka nilai elemen F42 adalah 1/7.
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya. Elemen yang satu sangat penting daripada elemen yang lainnya. Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya. Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas yang lainnya.
Satu elemen dengan kuat disokong dan dominasinya telah terlihat dalam praktek. Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang tertinggi yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan pertimbangan. di antara dua
2,4,6,8
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka (x) jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka memiliki nilai kebalikannya (1/x). Sumber: Saaty, 1993
Kebalikan
(g) Melaksanakan langkah tiga, empat dan lima, untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki tersebut. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki, berkenaan dengan kriteria elemen di atasnya. Matriks pembandingan dalam metode PHA dibedakan menjadi : (1) Matriks Pendapat Individu (MPI) dan (2) Matriks Pendapat Gabungan (MPG). MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu. MPI memiliki elemen yang disimbolkan dengan a, yaitu elemen matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks pendapat individu dapat dilihat pada Tabel 6.
MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan sepuluh persen dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. Persyaratan MPG yang bebas dari konflik adalah : (1) Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai pendapat individu yang tertinggi dengan nilai yang terendah. (2) Tidak terdapat angka kebalikan (resiprokal) pada baris dan kolom yang sama. MPG dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks Pendapat Gabungan
X A1 g11 G1 g21 G2 g31 Gi ........... .......... gn1 Gn Sumber: Saaty, 1993 A2 g12 g22 gi2 ........... gn2 Aj g1j g2j gij ........... gnj ........... ........... ........... ........... ........... ........... An g1n g2n gin ........... gnn
Rumus matematika yang digunakan untuk memperoleh rata-rata geometrik adalah: g ij = m (aij )k
k =1 m
di mana : g ij
= jumlah MPI yang memenuhi persyaratan = perkalian dari elemen k = 1 sampai k = m = akar pangkat m
(h) Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas. Menggunakan komposisi secara hierarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikut dan seterusnya . Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap, yaitu (1) pengolahan horisontal dan (2) pengolahan vertikal. Kedua jenis pengolahan tersebut dapat dilakukan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan MPG diolah secara horisontal, dimana MPI dan MPG harus memenuhi persyaratan inkonsistensi. a. Pengolahan Horisontal, terdiri dari tiga bagian, yaitu penentuan Vektor Prioritas (Vektor Eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki Rasio Inkonsistensi tinggi. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horisontal ini adalah : (1) Perkalian baris (Z) dengan rumus :
Zi =
k =1
aij
VPi =
k =1
aij
k =1
i =1
aij
VA = (aij ) Vp
VB = VA VP
maks =
1 n vbi n i =k
maks n
n 1
Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan CR merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty, 1993). b. Pengolahan Vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila
Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat kei terhadap sasaran utama, maka :
CVij = CH ij (t ; i 1) VWt (a 1)
Untuk ; i = 1, 2, 3, ... n; j = 1, 2, 3, ... n; t = 1, 2, 3, ... n di mana : CH ij (t; i 1) = nilai prioritas elemen ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat di VWt (i 1)
P r s = = = =
atasnya (i-1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horisontal nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-t) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil perhitungan horisontal jumlah tingkat hierarki keputusan jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-t)
c. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hierarki. Pada pengisian judgement pada tahap MPB (Matriks Banding Berpasangan) terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam membandingkan elemen satu dengan elemen yang lainnya, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. Dalam PHA penyimpangan diperbolehkan dengan toleransi Rasio Inkonsistensi di bawah sepuluh persen. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas-prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masingmasing matriks. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi hierarki harus bernilai kurang dari atau sama dengan sepuluh persen.
1.
yaitu pengembangan pasar tradisional. Tujuan ini ditetapkan terkait dengan hasil analisis kebijakan sehingga dapat digunakan sebagai masukan untuk pemerintah daerah bagi kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. 2. Level kedua yaitu penentuan aspek yang paling diutamakan dalam tujuan
Aspek ekonomi, penentuan aspek ini didasarkan pada kebijakan pembangunan di Kota Bogor yang dititikberatkan pada pembangunan ekonomi, sehingga tujuan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor dapat diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Aspek manajemen, penentuan aspek ini didasarkan pada kebutuhan akan pengelolaan manajemen pasar secara lebih profeional.
Aspek teknis, penentuan aspek ini didasarkan pada kondisi riil di mana pasar tradisional mulai tersaingi oleh keberadaan pasar modern yang lebih bersih, menarik dan rapi sehingga aspek ini penting untuk diperhitungkan.
Aspek sosial, penentuan aspek ini didasarkan pada keberadaan pasar tradisional yang tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat karena adanya proses pertemuan langsung antara pembeli dan penjual.
3.
Level ketiga merupakan kriteria dari aspek-aspek pada level kedua, yaitu : Aspek ekonomi, kriterianya yaitu meningkatkan PAD, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat.
Aspek manajemen, kriterianya yaitu meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional; membentuk pasar tradisional menjadi
usaha yang efisien; meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; penataan dan pembinaan PKL.
Aspek teknis, kriterianya yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar dan kondisi fisik pasar lebih bersih dan rapi.
Aspek sosial, kriterianya yaitu mengurangi potensi konflik dengan masyarakat; terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen dan menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif.
4.
Pembentukan PD. Pasar, pemilihan strategi ini didasarkan pada rekomendasi dari penelitian yang dilakukan oleh Balitbangdiklat dan PT. Oxalis Subur. Penelitian ini menyatakan bahwa upaya untuk mengembangkan pasar tradisional di Kota Bogor dapat dilakukan dengan pembentukan PD. Pasar bagi seluruh pasar tradisional yang ada di Kota Bogor. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasar tradisional di Kota Bogor layak untuk dijadikan sebagai PD. Pasar dilihat dari potensi dan peluangnya.
Pemberdayaan pedagang dan pengelola pasar, pemilihan strategi ini didasarkan untuk mendorong pedagang supaya lebih berkembang dan mandiri dalam usahanya. Pemberdayaan pedagang dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan kepada para pedagang mengenai kewirausahaan, pengelolaan usaha sehingga lebih efisien dan sistem pemasaran. Pemberdayaan pengelola pasar dilakukan dengan pemberian pelatihan atau diklat tentang manajemen usaha yang profesional.
Pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun. Salah satu kendala dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu banyaknya pedagang yang tidak mau menempati kios-kios yang ada di pasar-pasar yang baru dibangun. Akibatnya mereka lebih memilih menjadi PKL yang tersebar di sekitar Pasar Kebon Kembang, Pasar Baru Bogor, di Jalan Surya Kencana dan di Jalan Otista. Hal tersebut berdampak pada pasar-pasar yang baru dibangun oleh Pemerintah. Akibat sepinya pedagang maka konsumen pun enggan berbelanja di pasar tersebut. Maka strategi ini dapat menjadi alternatif dengan mendistribusikan seluruh PKL ke pasar-pasar yang belum terisi seperti Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu, Pasar Tanah Baru dan Pasar Pamoyanan.
Pembangunan pasar lingkungan, penentuan strategi ini didasarkan pada kondisi geografis dan budaya masyarakatnya yang lebih suka berbelanja di tempat yang dekat dengan rumahnya. Pasar lingkungan merupakan pasar yang berskala pemukiman dan lebih bersifat tidak permanen. Meskipun bangunannya tidak permanen bukan berarti kondisinya tidak baik, hal ini pula dapat menjadi insentif bagi pedagang karena harga kios yang jauh lebih murah.
Menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemilihan strategi ini didasarkan pada upya untuk meningkatkan pertumbuhan pasar tradisional melalui kemitraan yang dijalin dengan UKM dan koperasi, karena basis kegiatan dari pasar tradisional merupakan usaha yang bersifat kerakyatan. Adanya UKM maka pasar tradisional dapat menjadi tempat pemasaran bagi produk-produk UKM sehingga akan lebih berkembang. Koperasi dapat membantu para pedagang di pasar tradisional terutama dalam hal permodalan.
Pemberian bantuan kredit, pemilihan strategi ini karena salah satu permasalahan utama yang dimiliki pedagang yaitu kepemilikan modal. Seringkali terjadi banyak pedagang yang mengalami kebangkrutan akibat tidak memiliki modal dan terpaksa menjadi pengangguran. Untuk
pengembangan pasar tradisional, maka pemberian bantuan kredit kepada para pedagang sangat diperlukan. Pemerintah dapat memfasilitasi pedagang dengan kredit bunga kecil melalui koperasi.
Pembentukan forum komunikasi. Alternatif ini dipilih karena untuk merencanakan suatu kebijakan dalam pengembangan pasar tradisional perlu dibuat forum komunikasi di mana semua pihak yang berkepentingan terlibat. Sehingga tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan dapat mengakomodir semua kepentingan dari stakeholders. Forum komunikasi yang dilaksanakan harus melibatkan instansi Pemerintah Daerah, Pemerintah Kelurahan, Pemerintah Kecamatan, pihak pengelola pasar baik UPTD maupun swasta dan pedagang serta masyarakat sekitar pasar.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Keadaan Perekonomian Wilayah Kota Bogor
Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 km2. Jarak dari Jakarta kira-kira sejauh 60 km2. Hal ini mengakibatkan Kota Bogor memiliki potensi yang strategis untuk menjadi pusat perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pada Tabel 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 30,33 persen pada tahun 2005. Angka relatif ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2004. Sektor yang memiliki kontribusi paling besar pada pertumbuhan perekonomian Kota Bogor adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, yaitu sebesar 41,86 persen, dengan sub sektor perdagangan besar dan eceran sebagai kontributor terbesar.
Tabel 9. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2005 PDRB Atas Dasar PDRB Atas Dasar Kode Lapangan Usaha Harga Berlaku Harga Konstan Sektor 2004*) 2005**) 2004*) 2005**) Pertanian 11,62 10,82 4,73 4,28 1 Pertambangan & Penggalian 2 Industri Pengolahan 18,41 26,02 6,62 6,63 3 Listrik, Gas dan Air Bersih 13,27 13,95 7,09 7,05 4 Bangunan 12,67 12,72 4,41 4,24 5 Perdagangan, Hotel dan Restoran 41,15 41,86 4,10 4,10 6 Angkutan dan Komunikasi 22,32 27,02 7,13 6,85 7 Keuangan, Persewaan & Jasa 14,32 20,21 10,76 10,86 8
Perusahaan Jasa-jasa 7,93 PRODUK DOMESTIK REGIONAL 25,93 BRUTO Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2005
9,86 30,33
4,82 6,10
4,88 6,12
Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang memberikan kontribusi paling besar dalam menunjang pembangunan di Kota Bogor. Oleh karena itu berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 1999-2009, Kota Bogor memiliki fungsi sebagai kota perdagangan, industri, pemukiman dan wisata ilmiah. Strategi pembangunan dalam mewujudkan fungsi kota tersebut antara lain melalui pembenahan aspek fisik dan lingkungan, ekonomi dan politik. Pembenahan aspek fisik dan lingkungan untuk mendukung fungsi kota sebagai kota perdagangan, berupa penataan fasilitas perdagangan dan jasa meliputi penyelesaian
pembangunan tiga unit pasar induk, yaitu Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu dan Pasar Induk Kemang. Pada tahun 1999 2004, Pemda Kota Bogor membangun dua pasar tradisional di Kecamatan Bogor Utara yaitu Pasar Tanah Baru dan di Kecamatan Bogor Selatan yaitu Pasar Pamoyanan. Pembenahan aspek ekonomi diarahkan pada upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai bursa perdagangan komoditi penting di tingkat regional, nasional dan internasional melalui peningkatan aktivitas pasar-pasar tradisional, pasarpasar modern, maupun pasar maya di internet dalam rangka memasyarakatkan pertumbuhan ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat dan mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain menjadikan Kota Bogor sebagai big station yang menjadi tempat transit semua arus barang dan jasa di bidang pertanian, peternakan, industri kecil, makanan-makanan khas dan hasil kesenian dengan membuat pasar-pasar induk, kompleks pergudangan, dan pusat-pusat pameran untuk memaksimumkan kapasitas perdagangan pada tingkat regional dan nasional. Penyediaan pasar-pasar induk harus didukung oleh mekanisme pengaturan penggunaan sebagai pasar massif yang hidup 24 jam dengan pembagian siang hari sebagai pasar eceran dan malam hari sebagai pasar grosir (Pemerintah Kota Bogor, 2002).
Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009), visi Kota Bogor sebagai berikut :
KOTA JASA YANG NYAMAN DENGAN MASYARAKAT MADANI DAN PEMERINTAHAN AMANAH
Visi tersebut mengandung makna bahwa Kota Bogor akan diarahkan untuk menjadi suatu kota yang aktivitas masyarakatnya terutama bergerak di sektor jasa. Aktivitas-aktivitas lainnya yang ada di masyarakat, baik aktivitas budaya, ekonomi, penataan fisik kota, maupun penanganan masalah kota, harus merupakan pendukung bagi berkembangnya sektor jasa. Sektor jasa yang perlu diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Kota Bogor ke depan terutama sektor tersier pada jasa perdagangan, hotel dan restoran; jasa angkutan dan komunikasi; jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa lainnya. Hal ini sesuai dengan peranan sektor tersebut kepada PDRB Kota Bogor yang sangat dominan pada tahun 2003 yaitu atas dasar harga berlaku sebesar 61,75 persen, dibandingkan sektor primer sebesar 0,40 persen, sektor sekunder 37,85 persen. Sedangkan kontribusi sektor tersier atas dasar harga konstan sebesar 60,85 persen, dibandingkan sektor primer sebesar 0,39 persen, sektor sekunder 38,76 persen. Terwujudnya kota jasa ditandai dengan tingginya PDRB Kota Bogor pada sektor jasa serta tingginya jumlah penduduk yang bekerja pada sektor ini. Kota Bogor sebagai kota jasa harus menjadi suatu kota yang nyaman yang berarti bersih, indah, tertib, dan aman, serta berwawasan lingkungan sehingga di setiap sudut manapun di Kota Bogor setiap orang dapat merasakan kenyamanan sesuai yang diharapkan. Kondisi ini ditandai oleh tingkat kebersihan kota yang tinggi yang diukur dengan tingkat cakupan pelayanan kebersihan dan tingkat pencemaran
lingkungan yang rendah terutama pencemaran air dan udara/kebisingan, serta tingkat pelanggaran terhadap peraturan daerah yang rendah. Masyarakat madani berarti bahwa masyarakat Kota Bogor harus memiliki derajat kualitas kehidupan yang tinggi baik dari segi keimanan, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. Pemerintahan yang amanah yaitu pemerintahan yang baik yang senantiasa mengacu kepada kepentingan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan kondisi ini harus ada dukungan dari pemerintahan, selaku regulator, yang amanah dan memegang teguh komitmen yang ditandai dengan terwujudnya pelayanan publik yang prima di segala bidang dengan indikator menurunnya pengaduan atas pelayanan. Sebagai penjabaran dari visi tersebut di atas, dirumuskan misi-misi Kota Bogor sebagai berikut :
Misi Pertama :
Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Misi ini mengandung makna bahwa pembangunan diarahkan kepada peningkatan kemampuan ekonomi rakyat yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Selain itu juga, diarahkan untuk pengembangan sektor jasa agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing. Sektor jasa yang perlu diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Kota Bogor kedepan terutama sektor tersier pada jasa perdagangan, hotel dan restoran; jasa angkutan dan komunikasi; jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa lainnya.
Misi Kedua :
Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Misi ini mengandung makna bahwa Kota Bogor akan diarahkan kepada penampilan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman, dengan memprioritaskan kepada penanganan masalah transportasi, sampah, dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana perkotaan juga akan terus ditingkatkan untuk dapat mengarah kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tetap memperhatikan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan sehingga masyarakat kota dapat merasa kenyamanan kotanya.
Misi Ketiga
Misi ini mengandung makna bahwa pembangunan akan diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat Kota Bogor memiliki tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi dengan tetap memiliki kadar keimanan disertai keterampilan yang memadai agar mampu menjadi masyarakat yang mandiri.
Misi Keempat : Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum.
Misi ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan diarahkan kepada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance dan clean government, sehingga mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat dengan disertai penegakkan supremasi hukum.
melaksanakan transaksi di mana proses jual beli barang atau jasa terbentuk, sedangkan pelayanan pasar adalah fasilitas pasar berupa kios atau los yang dikelola Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang. Pada tahun 1991 berdasarkan Perda Nomor 13 Tahun 1991 tentang Peraturan Pasar di Wilayah Kota Bogor, Pemerintah Daerah Kota Bogor mendirikan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota. Pada tahun 2001, DPP diubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Pasar (UPTD Pengelolaan Pasar) yang berada di bawah wewenang Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Pembentukan UPTD Pengelolaan Pasar berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 2 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2001 tentang perubahan pertama organisasi dan tata kerja UPTD. Pengelolaan pasar di Kota Bogor saat ini dilaksanakan oleh UPTD yang berada di bawah Kepala Disperindagkop. Bagan struktur organisasi Disperindagkop dan UPTD dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Sampai saat ini telah ada 7 unit pasar yang berada di bawah pembinaan dan pengawasan UPTD dengan kondisi sebagai berikut :
Pasar ini mempunyai dua lantai yaitu basement dan lantai satu dan dibagi atas blok-blok A, B, C, D, E, F, dan G. Blok C dan D tidak dikelola oleh Pemerintah tetapi dikelola oleh pihak swasta yaitu PT. Propindo Mulia Utama. Kegiatan pasar ini dimulai pagi hari hingga sore hari. Jumlah pedagang di Pasar Baru Bogor sebanyak 1.529 orang yang terdiri dari pedagang kios sebanyak 1.091 orang, pedagang los 88 orang dan PKL sebanyak 350 orang. Para pedagang ini tersebar di dua lantai yaitu lantai dasar dan lantai satu. Lantai dasar banyak digunakan untuk berjualan sayuran, buah-buahan, daging, ikan, sembako dan lainnya. Lantai satu umumnya digunakan untuk berjualan pakaian, sembako, beras, obat dan barang-barang yang kering. Di lantai satu tidak disediakan tempat berdagang berupa los. Pasar Baru Bogor beroperasi pagi hari hingga sore hari. Malam hari di sekitar pasar bermunculan para pedagang sayur mayur yang berjualan mulai jam 19.00 hingga jam 07.00 WIB, sehingga pada malam hari pasar ini selalu ramai.
tersebar di pelataran pasar dan baru terlihat aktifitasnya pada sore hingga malam hari. Unit Pasar Merdeka mengelola kios atau los yang tersebar di daerah yang berbeda yaitu Pasar Merdeka sendiri, Pasar Devries yang terletak di daerah Panaragan, kios di jalan Pejagalan dan kios yang ada di sekitar Taman Kencana. Kios dan los yang ada seluruhnya berjumlah 601 buah dengan pedagang 436 orang. Pasar ini beroperasi mulai pagi hingga sore hari. Pasar Sukasari terdiri dari dua lantai dan beroperasi pada pagi hingga sore hari tetapi pada tengah hari biasanya sudah banyak kios dan los yang tutup karena pengunjung mulai berkurang. Kios dan los yang ada berjumlah 275 buah dengan jumlah pedagang 173 orang terdiri dari 108 pedagang kios, 32 orang pedagang los dan 33 orang PKL.
kedua pasar tersebut tidak bertangung jawab kepada UPTD. Kontribusi dari kedua pihak swasta tersebut terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak yang dibayarkan kepada Dinas Pendapatan Daerah selama masa kontrak. Pasar Tanah Baru dan Pasar Pamoyanan belum memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bogor karena tidak adanya pemungutan retribusi oleh UPTD. Hal ini dikarenakan kedua pasar tersebut masih berstatus tidak aktif karena sepinya pedagang dan pembeli. UPTD Pengelolaan Pasar memiliki tugas pokok, yaitu melaksanakan pengelolaan pasar. Sedangkan fungsi UPTD antara lain : a. Penyusunan rencana program dan rencana kerja UPTD pasar. b. Pengelolaan administrasi keuangan dan administrasi umum di lingkungan UPTD pasar. c. Pelaksanaan koordinasi, pengendalian dan pengawasan kegiatan dalam penggunaan sarana dan prasarana pasar. d. Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pengelolaan pasar. Secara khusus, tugas UPTD di bidang pendapatan adalah melaksanakan pengelolaan pemungutan retribusi pasar serta melaksanakan pelayanan terhadap pedagang maupun pengunjung pasar terutama dalam menciptakan situasi aman dan nyaman. Besarnya tarif retribusi mengacu pada Perda Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2006 tentang retribusi pelayanan pasar, seperti yang tercantum pada Tabel 10.
KELAS PASAR Pasar Regional Pasar Kota Pasar Wilayah Pasar Lingkungan
KIOS 0 5 m2 600 550 500 450 > 5 m2 650 600 550 500 0 5 m2 550 500 450 400
Para pedagang yang melakukan kegiatan jual beli terdiri dari pedagang tetap dan pedagang musiman. Pedagang tetap adalah mereka yang memiliki kios dan los di dalam pasar. Ada juga pedagang yang berjualan di depan kios orang lain. Sedangkan pedagang tidak tetap atau yang bersifat musiman umumnya berjualan di pelataran jalan atau tempat parkir. Pedagang-pedagang tersebut dikenakan tarif retribusi sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan pedagang kaki lima tidak dikenakan tarif retribusi.
V. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL 5.1. Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
Keberadaan pasar tradisional yang berada di tengah kota telah menyebabkan ketimpangan pertumbuhan pembangunan ekonomi yaitu masih terpusatnya kegiatan perekonomian di pusat kota. Kondisi ini selain menimbulkan ketidakmerataan hasil pembangunan, juga mengakibatkan menumpuknya arus orang dan barang ke pusat kota yang pada akhirnya menimbulkan dampak seperti kemacetan lalu lintas dan pencemaran lingkungan. Hal ini kemudian menjadi salah satu dasar dari perumusan kebijakan perdagangan. Atas dasar itu, dalam RTRW Kota Bogor 1999-2009 telah direncanakan untuk merelokasi pasar dari pusat kota ke daerah pinggiran dan membangun pasar-pasar di setiap kecamatan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di daerahdaerah pinggiran. Pasar tradisional yang akan dibangun sebagai berikut : a. Pasar Katulampa di Kecamatan Bogor Timur b. Pasar Cimanggu di Kecamatan Tanah Sareal c. Pasar Tanah Baru di Kecamatan Bogor Utara d. Pasar Bubulak di Kecamatan Bogor Barat e. Pasar Pamoyanan di Kecamatan Bogor Selatan Salah satu program yang berkaitan dengan RTRW Kota Bogor 1999-2009 yaitu memindahkan pasar tradisional yang lokasinya terletak di tengah kota ke daerah pinggiran. Pasar yang dipindahkan adalah Pasar Ramayana. Pasar ini merupakan pasar induk untuk sayur mayur yang melayani wilayah Kota Bogor dan sekitarnya. Pasar Ramayana terletak di Kecamatan Bogor Tengah dan bekas lokasinya sekarang dibangun Bogor Trade Mall. Keberadaan Pasar Ramayana
yang berada di tengah kota menimbulkan banyak keluhan dari warga Bogor yang tinggal di sekitar pasar tersebut2. Adanya pasar ini telah menimbulkan kemacetan lalu lintas dan menebarkan bau yang tidak sedap bagi lingkungan sekitar akibat sampah yang menumpuk. Pemda Kota Bogor menetapkan kebijakan untuk memindahkan lokasi Pasar Ramayana. Pada mulanya lokasi yang menjadi tempat pemindahan Pasar Ramayana hanya Pasar Jambu Dua, kemudian terdapat tawaran dari pihak swasta untuk membangun dan mengelola Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu. Pada akhirnya ditetapkan bahwa Pasar Ramayana akan direlokasi ke tiga tempat yaitu Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu. Kesepakatan antara Pemerintah dan pihak swasta berupa sistem sewa kontrak, yaitu pihak swasta menyerahkan biaya sewa dan pajak selama masa kontrak dan apabila masa kontrak telah habis maka pengelolaan pasar diserahkan kembali kepada Pemerintah. Pemerintah melakukan suatu uji kelayakan yang dilaksanakan oleh Bapeda Kota Bogor untuk menentukan apakah lokasi yang akan menjadi tujuan pemindahan merupakan lokasi strategis. Sebelum pemindahan Pasar Ramayana dilaksanakan, Pemerintah melalui pihak pengelola pasar melaksanakan sosialisasi terhadap pedagang di Pasar Ramayana dan warga sekitar pasar. Pihak pengelola pasar mendata pedagang yang mau direlokasi ke pasar lain. Pedagang yang mau direlokasi harus membayar uang muka terlebih dahulu untuk pembayaran kios. Pasar Jambu Dua disiapkan dengan dibangun kios dan los sejumlah 750 buah sesuai dengan data pedagang yang mau pindah.
Berdasarkan pernyataan dari narasumber di Bapeda Kota Bogor dan Disperindagkop Kota Bogor
Sosialisasi mengenai pembangunan pasar tradisional di empat kecamatan dilakukan oleh Dinas Informasi, Pariwisata dan Kebudayaan melalui media massa, sedangkan pada desa-desa sekitar pasar yang akan dibangun sosialisasi dilakukan oleh aparat kelurahan dan kecamatan untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan pasar tradisional.
5.2. Penerapan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional 5.2.1. Pemindahan Pasar Induk Ramayana
Relokasi Pasar Ramayana dilaksanakan setelah pembangunan dan persiapan Pasar Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu selesai. Pemindahan pedagang Pasar Ramayana ke ketiga pasar tersebut dilakukan dengan undian. Pedagang akan mendapatkan kios baru di pasar yang sesuai dengan undian yang diperolehnya. Pedagang yang tidak mau pindah ke ketiga pasar tersebut lebih memilih menjadi pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Bogor pada malam hari dan Pasar Kebon Kembang. Tidak semua pedagang eks Ramayana menempati kios di Pasar Jambu Dua, karena sebagian ada yang menempati Pasar Kemang dan Cimanggu. Pemindahan pedagang Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua dilakukan pada tanggal 28 Juli 9 Agustus 2000. Pasar Ramayana ditutup secara resmi pada tanggal 10 Agustus 2000. Kondisi Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu pasca relokasi Pasar Ramayana sebagai berikut: a) Pasar Induk Jambu Dua Pasar Induk Jambu Dua (Gambar 3) dibangun oleh PT. Graha Agung Wibawa tahun 1995 dan mulai beroperasi pada Agustus 2002. Pasar Jambu Dua terletak di Jl. Ahmad Yani, Kecamatan Bogor Utara, yang memiliki luas lahan dan bangunan
sebesar 9.780 m2 terbagi menjadi dua blok, yaitu blok A dan B dengan luas masing-masing 2.472 m2 dan 3.108 m2, sedangkan sisanya adalah luas jalan sebesar 4.200 m2. Pembangunan Pasar induk Jambu Dua telah sesuai dengan rencana yaitu los dengan ukuran 1,5 m x 2 m yang jumlahnya mencapai 756 los. Pedagang yang memiliki tempat berdagang berupa los membuat sekat sendiri sehingga bentuknya mirip dengan kios. Semua pedagang yang menempati los telah membeli los tersebut. Pembelian tempat untuk los tersebut ditangani oleh PT. Graha Agung Wibawa. Pengelolaan pasar ditangani oleh pihak Pemda, yang meliputi pemungutan tarif retribusi dan penanganan sampah. Sebagian pedagang Pasar Jambu Dua merupakan pedagang grosir tetapi masih banyak juga yang merupakan pedagang eceran. Di pasar ini hanya blok A yang aktif dalam kegiatan jual beli sayuran, sembako, daging dan beberapa keperluan rumah tangga lainnya, sedangkan di blok B hanya terdapat beberapa orang pedagang yang berjualan. Los yang tersedia tidak terisi semuanya. Pembelinya pun masih berasal dari satu sisi yaitu dari Cibinong dan Depok serta penduduk sekitar pasar. Keramaian Pasar Jambu Dua masih relatif sepi dan komoditi yang diperjualbelikan masih kurang lengkap. Hal ini mengakibatkan banyak los yang tidak aktif atau tidak dipergunakan pemiliknya. Total los yang disediakan pemerintah sebanyak 756 los, tapi hanya sebanyak 335 los yang terisi dan sekitar 45 los yang aktif. Pedagang-pedagang di Pasar Jambu Dua sebagian besar berasal dari Pasar Ramayana. Aktivitas pasar dimulai pada pukul 15.00 WIB 23.00 WIB dengan keramaian pasar hanya sekitar 3 4 jam saja. Akibatnya banyak pedagang Jambu
Dua yang menjadi PKL di sekitar Pasar Kebon Kembang dan Pasar Baru Bogor pada pagi hari dan baru berjualan di Pasar Jambu Dua sore harinya. Tetapi ada juga yang berjualan pagi hari di Pasar Jambu Dua namun malamnya mereka menjadi PKL di Pasar Baru Bogor dan di sekitar jalan Surya Kencana.
Pasar Cimanggu beroperasi selama 24 jam dengan kondisi yang stabil sepanjang waktu, artinya tidak ada puncak-puncak keramaian. Sampai saat ini belum ada pemungutan tarif retribusi yang dilakukan oleh pihak pengelola pasar. Pedagang hanya dipungut tarif listrik dan kebersihan masing-masing sebesar Rp 1000 dan Rp 500 setiap harinya.
memiliki los sekitar 500 orang. Dengan demikian terdapat kios dan los yang tidak aktif. Pasar ini merupakan pasar yang benar-benar berfungsi sebagai pasar induk di antara kedua pasar induk baru lainnya. Hal ini terlihat dari pedagang yang terdapat di Pasar Induk Kemang merupakan pedagang grosiran. Pasar Induk Kemang relatif ramai dibandingkan pasar induk baru lainnya, terlihat dari konsentrasi pembeli berasal dari berbagai daerah seperti Kabupaten Bogor, Ciputat, Tangerang, Serang dan Jakarta. Pasar Induk Kemang beroperasi dari pukul 13.00 WIB sampai pagi hari dengan keramaian pada pukul 16.00 WIB 23.00 WIB. Sampai saat ini belum ada pemungutan tarif retribusi terhadap para pedagang. Pedagang hanya dipungut untuk membayar keamanan dan kebersihan masingmasing sebesar Rp 500 dan Rp 1000 setiap harinya.
menumbuhkan ekonomi wilayah sehingga kegiatan ekonomi masyarakat dapat berkembang dengan baik serta terbukanya kesempatan. Hingga saat ini baru tiga pasar yang telah direalisasikan pembangunannya yaitu sebagai berikut : a) Pasar Tanah Baru Pasar Tanah Baru (Gambar 6) dibangun atas keinginan warga sekitar Desa Tanah Baru yang disampaikan oleh aparat kelurahan melalui kegiatan musyawarah pembangunan desa (musbangdes). Lokasi pasar ditetapkan pertama kali di Desa Cibuluh, berdekatan dengan lokasi rencana pembangunan terminal type B. Namun setelah APBD disetujui, ternyata harga lahan di tempat tersebut sudah melebihi anggaran yang disiapkan sehingga pemerintah mengalihkan ke lokasi baru yaitu di pinggir Jalan Tanah Baru sesuai usulan Pemerintah Desa Tanah Baru. Pasar ini dibangun pada tahun 1999-2000 pada lahan seluas 2.400 m2 dengan anggaran Rp 385.267.000,00. Jumlah kios dan los yang telah dibangun adalah sebanyak 120 los dengan ukuran 2 x 2 meter yang dikelompokkan atas pedagang sembako, pakaian, kelontong, buah-buahan dan sayuran, masing-masing sebanyak 24 los yang dibuat berderet per baris. Pemerintah pada awalnya hanya membangun emplacement dengan penutup asbes, antar los satu dengan lainnya hanya dibatasi oleh garis saja. Namun setelah los tersebut dimiliki oleh para pedagang, maka mulailah dilakukan penataan-penataan dengan melakukan penyekatan dengan kayu, bahkan ada pula yang sudah memakai pintu rolling
door. Sampai saat ini los yang telah dimiliki pedagang sebanyak 94 los dan yang
terisi sebanyak 46 los. Namun yang benar-benar aktif berjualan hanya sebanyak 10 los saja. Kepemilikan kios dilakukan tanpa adanya uang muka, harga jual akan
ditentukan setelah pasar benar-benar berkembang. Penentuan kios dilakukan secara undian dengan mendahulukan warga sekitar pasar dengan perbandingan 60 persen warga Kelurahan Tanah Baru dan 40 persen penduduk luar. Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Pasar Tanah Baru, Pemda Kota Bogor telah berupaya untuk memperbaiki kondisi fisik pasar yaitu dengan program Penataan Pasar Tradisional Tanah Baru dengan anggaran dana sebesar Rp 12.355.000,00. Program ini bertujuan untuk menyempurnakan sarana penunjang di Pasar Tanah Baru seperti fasilitas mushola, toilet serta perbaikan atap dan sekat los.
pasar tradisional di Kelurahan Pamoyanan yang menghabiskan dana sebesar Rp 199.720.000,00. Pasar Pamoyanan dibangun dengan luas sekitar 1.200 m2 dengan jumlah kios sebanyak 72 buah. Status pasar saat ini masih tidak aktif dalam kegiatan jual beli karena sepinya pedagang, hanya sekitar 2 buah kios yang berjualan. Kios tersebut dimiliki oleh penduduk sekitar pasar, dan barang yang diperdagangkan berupa alat-alat listrik dan barang-barang kebutuhan pokok. Pembeli yang datang ke pasar ini pun hanya sebatas penduduk sekitar pasar saja. Sampai saat ini tidak ada kegiatan jual beli sayuran, sembako dan kebutuhan pokok lainnya di pasar ini. Penduduk sekitar pasar lebih memilih membeli kebutuhan pokok langsung ke Pasar Sukasari karena harga yang lebih murah dan barang yang lebih lengkap.
Desember 2003 telah terealisasi satu unit pasar dengan kapasitas 72 unit los dengan ukuran 2 m x 2 m. Pembangunan Pasar Bubulak didukung dengan adanya pembangunan jalan masuk ke areal pasar sepanjang 1.460 m, pembuatan pagar pembatas dengan panjang 220 m, pembangunan talud sepanjang 256 m dan pembangunan saluran air sepanjang 196 m. Sejak dibangun hingga saat ini, kegiatan operasional pasar tidak berjalan. Hal ini karena tidak ada pedagang yang mau menempati los di pasar ini, sehingga bangunan pasar tidak dimanfaatkan sama sekali. Saat ini bangunan pasar telah dialihfungsikan sebagai terminal bis Trans Pakuan.
a) Memantau lalulintas barang dan jasa, untuk mengetahui tingkat perkembangan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat sebagai bahan penghitungan inflasi, serta sebagai upaya pengendalian stock barang. b) Penataan dan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL), bertujuan untuk meminimalisasi jumlah PKL yang terkonsentrasi di pusat kota sehingga dapat disebar ke berbagai wilayah Kota Bogor. c) Pengembangan sistem informasi dan pemasaran dengan tujuan untuk menciptakan informasi pasar, harga dan hasil produk serta mempromosikan produk dalam rangka perluasan pasar. d) Optimalisasi pemanfaatan kios dan los berupa anjuran kepada pemilik kios untuk segera menempati kios dan losnya, penertiban pemanfaatan kios serta peningkatan kemampuan SDM pengelola pasar melalui diklat atau pelatihan.
Tabel 11. Hasil Analisis Stakeholders dalam Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Kriteria Evaluasi Stakeholders Masyarakat Pedagang Kepentingan Meningkatkan aktivitas ekonomi (berdagang) Meningkatkan kesejahteraan hidup Pelaksanaan penyusunan perumusan kebijakan perencanaan daerah, penyusunan program serta kebijakan keuangan Mengatur koordinasi antar instansi Pemda dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis Pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang perdagangan (pasar tradisional) Pembinaan terhadap pedagang Pelaksana teknis dalam pengelolaan pasar Pembinaan terhadap pedagang Pelaksana teknis dalam pembangunan fasilitas umum (termasuk pasar tradisional) Pengendalian tata kota Menjaga kualitas lingkungan dan kebersihan kota termasuk lingkungan pasar tradisional Sikap 2 SDM 2 Kekuatan Finansial Politik 2 1 Pengaruh 5 Total 10 Keterlibatan Terlibat Keputusan Tingkat Keterlibatan Penerima informasi
Bapeda
15
45
Terlibat
3 2 2
5 3 5
5 3 5
4 2 4
14 8 14
42 16 28
DLHK Dispenda
14
28
Pembukuan dan pelaporan PAD termasuk retribusi pasar tradisional Pengelola Pasar Meningkatkan pengelolaan pasar secara Swasta profesional Sumber: Data primer (diolah)
2 1
5 3
5 3
4 1
14 7
28 7
stakeholders
dalam
kebijakan
pengembangan
pasar
tradisional.
stakeholders
dalam
kebijakan
pengembangan
pasar
C
*8 *6 *7
B
*1 *2
Tingkat Pengaruh
A
*4 *5 *3
Keterangan: 1. Bapeda Kota Bogor 2. Disperindagkop Kota Bogor 3. Masyarakat pedagang 4. UPTD 5. Pengelola pasar swasta 6. DLHK Kota Bogor 7. DTKP Kota Bogor 8. Dispenda Kota Bogor
Rendah
Tingkat Kepentingan
Tinggi
Gambar 9a. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 9a menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tertinggi adalah Bapeda Kota Bogor dan Disperindagkop Kota Bogor terkait dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Bapeda merupakan lembaga pemerintah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kota Bogor. Seluruh data dan program tersebut bersumber mulai dari tingkat masyarakat desa, kelurahan, kecamatan dan disampaikan dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang). Penentuan hasil dan keputusan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan harus berdasarkan program prioritas pembangunan nasional yang tertuang pada rancangan awal rencana kerja pembangunan. Hasil yang didapat oleh Bapeda dituangkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Melalui RTRW dan RDTRK, Bapeda menuangkan apa yang menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah dengan tujuan untuk menciptakan kesinergisan dan tidak terjadi tumpang tindih kepentingan masing-masing instansi. Bapeda memiliki peran dan pengaruh yang kuat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Peran Bapeda yaitu merencanakan pembangunan wilayah Kota Bogor dalam skala makro di semua bidang kerja Kota Bogor termasuk di bidang perdagangan. Pada kebijakan pengembangan pasar tradisional ini, Bapeda yang merencanakan kebijakan pemindahan Pasar Ramayana dan pembangunan pasar tradisional di setiap kecamatan dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah. Bapeda juga menentukan
lokasi pasar yang akan jadi pasar pengganti dan lokasi yang akan dibangun pasar tradisional. Tingkat kepentingan Bapeda Kota Bogor terhadap kebijakan
pengembangan pasar tradisional tinggi karena berdasarkan pada tugas pokoknya dalam upaya perencanaan dan pembangunan daerah serta mengkoordinasikan progam kegiatan seluruh instansi pemerintah kedinasan Kota Bogor agar berjalan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah. Bapeda merupakan pihak yang memiliki pengaruh tertinggi dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional berdasarkan tingkat kewenangannya dalam merencanakan suatu kebijakan. Bapeda memiliki wewenang dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan mulai dari perencanaan lokasi hingga tahap implementasi. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah di bidang perdagangan, perindustrian dan koperasi serta melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh Bapeda. Fungsi Disperindagkop di antaranya yaitu di bidang perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap barang-barang yang dijualbelikan di pasar, baik pasar tradisional maupun pasar modern.
Disperindagkop juga berfungsi dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap pedagang, usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi dalam hal permodalan, kebutuhan fasilitas kredit serta melaksanakan program untuk peningkatan sarana dan prasarana pasar. Oleh karena itu, Disperindagkop memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi. Pada kebijakan pengembangan pasar tradisional, Disperindagkop
pemindahan Pasar Ramayana dan pembangunan pasar tradisional. Disperindagkop memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan yang diambil terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan karena Disperindagkop memiliki wewenang dalam mengelola dana proyek serta menentukan bentuk kegiatan yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan dalam kebijakan ini. Masyarakat sebagai sasaran program dalam hal ini khususnya pedagang memiliki kepentingan tertinggi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi kebijakan pengembangan pasar tradisional. Mereka memiliki kepentingan tertinggi karena pasar tradisional merupakan tempat mereka bekerja sehingga kebijakan pengembangan pasar tradisional akan mempengaruhi tingkat pendapatan mereka. Namun tingkat kekuatan pedagang dalam kebijakan ini rendah sehingga mereka tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan kebijakan. Mereka hanya dilibatkan dalam proses perencanaan yaitu ketika Pasar Ramayana akan dipindah melalui musyawarah antara kelompok pedagang dan pejabat pemerintah. Keluhan-keluhan pedagang selama ini disampaikan kepada pihak pengelola pasar, yang kemudian akan disampaikan oleh pihak pengelola pasar kepada Disperindagkop. Pihak pengelola pasar pemerintah (UPTD) memiliki kepentingan tinggi terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional. Hal ini didasarkan pada tugas pokok UPTD sebagai pengelola pasar pemerintah yang berkaitan langsung dengan pedagang yaitu melakukan pengelolaan pasar terutama dalam hal pendataan pedagang dan penarikan retribusi. UPTD tidak memiliki kekuatan untuk ikut mengambil keputusan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional karena secara struktural dan birokrasi UPTD berada di bawah Kepala Disperindagkop,
sehingga kekuatan pengaruh UPTD dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional tergolong rendah yaitu terbatas pada usulan-usulan yang tercantum dalam laporan pertanggungjawaban UPTD. Padahal pihak UPTD yang menerima keluhan langsung dari para pedagang. Instansi lain yang ikut terlibat dalam kebijakan ini yaitu Dispenda, DLHK dan DTKP Kota Bogor. Ketiga instansi ini memiliki tingkat pengaruh yang tinggi namun tingkat kepentingannya terhadap kebijakan rendah. Kepentingan rendah pada tiga stakeholders tersebut karena ketiga instansi ini tidak terlibat secara langsung dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Kepentingan mereka terhadap kebijakan ini hanya terbatas pada tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan memiliki tugas untuk menjaga kebersihan lingkungan Kota Bogor, sehingga masalah sampah pasar menjadi tanggung jawab dari DLHK, sedangkan DTKP berfungsi sebagai pelaksana teknis yaitu pemegang proyek untuk pembangunan pasar tradisional, sehingga tugasnya terbatas pada pembangunan fisik pasar sesuai rencana yang telah ditentukan oleh Bapeda. Dispenda memiliki kepentingan rendah karena hanya berkaitan dengan pembukuan dan laporan penerimaan retribusi pasar tradisional. Ketiga
Pihak swasta sebagai pengelola pasar memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah karena kepentingan mereka hanya terbatas pada pasar yang mereka kelola saja, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam proses kebijakan pengembangan pasar tradisional. Tindakan yang perlu dilakukan bagi stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi adalah pelibatan stakeholders dalam setiap pengambilan keputusan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Tindakan bagi
Stakeholders
yang
memiliki
kepentingan rendah dengan pengaruh tinggi dapat dilibatkan untuk memberi pertimbangan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Sedangkan bagi
perencanaan dan penyusunan kebijakan, pemerintah kurang mendapat informasi mengenai kondisi riil di lapangan karena tidak dilibatkannya pedagang, UPTD dan pengelola swasta. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan pun akhirnya menjadi tidak tepat karena lebih mementingkan kepentingan dari pemerintah saja tanpa mengakomodir kepentingan pedagang dan masyarakat.
Tinggi
C
*8*6 *7
B
*1 *2 *3 *4
Tingkat Pengaruh
A
*5
Keterangan: 1. Bapeda Kota Bogor 2. Disperindagkop Kota Bogor 3. Masyarakat pedagang 4. UPTD 5. Pengelola pasar swasta 6. DLHK Kota Bogor 7. DTKP Kota Bogor 8. Dispenda Kota Bogor
Tinggi
Gambar 9b. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders pada Kondisi Ideal dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 9b menunjukkan kondisi yang seharusnya terjadi dari tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Masyarakat pedagang yang memiliki kepentingan tertinggi seharusnya memiliki tingkat pengaruh yang tinggi pula dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Hal ini dikarenakan kebijakan pengembangan pasar tradisional disusun untuk mengakomodir kepentingan pedagang sehingga dengan adanya kebijakan ini pedagang tidak akan
merasa dirugikan. Selain itu, dengan dilibatkannya para pedagang dalam perencanaan kebijakan, maka dukungan terhadap kebijakan akan bertambah dalam artian tidak ada pedagang yang akan menolak kebijakan. Dengan demikian kemungkinan kebijakan ini untuk berhasil dilaksanakan akan semakin besar. Pihak UPTD sebagai pengelola pasar pemerintah juga seharusnya memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional, karena pihak UPTD-lah yang benar-benar berhubungan dengan para pedagang dan konsumen di pasar sehingga mereka mengerti kondisi riil di lapangan. Keterlibatan UPTD dalam penyusunan kebijakan akan sangat berguna dalam perumusan kebijakan yang tepat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pihak swasta sebagai pengelola pasar juga seharusnya dilibatkan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Meskipun peran mereka hanya terbatas pada pasar yang mereka kelola saja, namun mereka memiliki potensi untuk berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional. Pihak swasta dapat mengelola pasar milik pemerintah secara profesional sehingga pasar tradisional dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung pada anggaran pemerintah. Keterlibatan masyarakat pedagang dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional ini yaitu dengan keterlibatan komunitas pedagang pasar melalui asosiasi pedagang untuk menjadi mitra pemerintah dalam mengelola pasar, sehingga dengan dilibatkannya pedagang dalam mengelola pasar maka mereka juga akan ikut menjaga kebersihan dan kenyamanan pasar sehingga lebih bersih dan rapi. Selain itu, dengan dilibatkannya pedagang akan lebih menarik konsumen karena pedaganglah yang mengerti kondisi riil konsumennya.
Sebelum pemerintah melakukan suatu kebijakan pengembangan pasar tradisional maka seharusnya dilakukan studi kelayakan yang komprehensif terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi riil di lapangan. Studi kelayakan yang dilakukan dapat berupa diskusi atau musyawarah dengan warga dan pedagang untuk mengetahui kondisi riil di lapangan melalui suatu forum komunikasi. Diskusi ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan kepentingan antara pemerintah, pengelola pasar dan pedagang sehingga pada akhirnya seluruh pihak dapat dipuaskan dengan adanya kebijakan. Adanya diskusi bukan hanya mengenai sosialisasi kebijakan kepada pedagang saja namun pemerintah juga harus mendengarkan keberatan-keberatan dari pihak pedagang dan mencari solusi bersama. Studi kelayakan ini merupakan salah satu bentuk partisipasi dari keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Apabila kesepakatan telah tercapai maka seluruh pihak harus mau menaati kebijakan dan ditetapkan sanksi bagi yang melanggar kebijakan yang telah disepakati. Pedagang juga memiliki hak atas informasi apapun yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Perlu dibentuk dinas atau lembaga yang menangani keluhan pedagang/masyarakat selama proses
perencanaan sampai dengan pelaksanaan kebijakan. Dinas ini memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti keluhan pedagang. Pengelola pasar (UPTD) perlu diberikan pelatihan khusus agar dapat mengelola manajemen pasar secara lebih profesional.
7.1.
Analisis Proses
Analisis proses dimaksudkan untuk mengetahui tahapan-tahapan
sebesar 10,15 persen, transparansi sebesar 9,64 persen, ego sektoral sebesar 9,14 persen, sosialisasi kebijakan sebesar 7,61 persen, kebijakan lain yang tidak tumpang tindih dari pengembangan pasar tradisional sebesar 7,11 persen dan terakhir yaitu tersedianya dana yang memadai dan berkelanjutan sebesar 4,06 persen. Hasil selengkapnya mengenai peringkat faktor penyebab
ketidakberhasilan kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi proses pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 10.
14.72
A B C 12.18 D E F G H
10.15
9.64
16.24
I J
13.20
7.61
Keterangan : A. Proses Penyusunan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional yang Benar B. Akuntabilitas C. Keterlibatan Stakeholders D. Sosialisasi Kebijakan E. Partisipasi Publik F. Transparansi G. Responsivitas H. Tersedianya Dana yang Memadai dan Berkelanjutan I. Ego Sektoral J. Kebijakan Lain yang Tidak Tumpang Tindih dari Pengembangan Pasar Tradisional
Gambar 10. Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Proses Pembuatan Kebijakan
Gambar 10 memperlihatkan urutan kriteria penyebab kurang berhasilnya kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi proses pembuatan kebijakan yaitu :
Waya yang menangani relokasi Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua dan Pasar Kemang serta PT. Teknik Umum yang membangun Pasar Cimanggu.
Perencanaan kebijakan
Pelaksanaan kebijakan
UPTD, Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, developer, pedagang UPTD, Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, pedagang, developer
Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda Disperindagkop, Bapeda, DTKP, pedagang, UPTD, developer
Tabel 12 menunjukkan bahwa pada proses perencanaan kebijakan, dominasi paling tinggi terdapat pada pihak Bapeda. Pedagang hanya disosialisasikan mengenai rencana pemindahan pasar tetapi tidak ikut dilibatkan dalam proses penentuan tempat sebagai pasar pengganti. Adanya dominasi yang tinggi oleh Bapeda mengakibatkan proses perencanaan hanya didasarkan pada pandangan pihak Pemerintah dan kurang memahami kepentingan pedagang. Pada mulanya para pedagang setuju untuk dipindahkan ke Pasar Jambu Dua, akan tetapi setelah Pemerintah menetapkan bahwa Pasar Ramayana akan dipindah ke tiga lokasi yaitu Pasar Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu, banyak pedagang yang menolak untuk pindah.
Selain itu, penentuan tempat pemindahan dilakukan secara undian sehingga pedagang harus mau menempati kios baru di pasar yang sesuai dengan undian yang diambilnya. Alasan lain, pedagang yang menolak untuk pindah lebih memilih menjadi PKL di pasar-pasar lain seperti di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang dan di sekitar Jalan Surya Kencana. Para pedagang berpendapat dengan dipindahkannya Pasar Ramayana ke tiga lokasi akan mengurangi keramaian ketiga pasar tersebut karena seluruh pedagang yang ada di Pasar Ramayana terpisah-pisah ke tiga lokasi. Akibatnya Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu, kurang berhasil menjadi pasar induk karena sepinya pedagang di ketiga pasar tersebut. Banyak pedagang yang semula menempati kios di Pasar Cimanggu lebih memilih pindah ke Pasar Induk Kemang karena tempat yang lebih ramai.
mempertimbangkan jumlah penduduk di sekitar areal, sarana pendukung lainnya seperti sarana transportasi di sekitar pasar dan kondisi sosial ekonomi lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari ketiga pasar yang dibangun oleh Pemerintah, ternyata dua pasar tidak layak untuk dibangun yaitu Pasar Bubulak dan Pasar Pamoyanan. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk sekitar pasar yang masih rendah serta kedua lokasi tersebut bukan merupakan lokasi pusat pemukiman penduduk.
Tabel 13. Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005
No
1 2 3 4 5 6
Kecamatan
Tanah Sareal Bogor Tengah Bogor Utara Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Barat KOTA BOGOR
Jml RT (KK)
35,517 24,256 35,187 39,050 18,594 41,753 194,357
Jumlah Penduduk L
79,958 52,034 74,999 85,058 43,486 96,333 431,864
P
78,233 51,142 74,579 81,627 43,492 94,088 423,221
Tot
158,187 103,176 149,578 166.745 86.978 190,421 855,085
Pasar Pamoyanan terletak di wilayah Kecamatan Bogor Selatan dan Pasar Bubulak berada di Kecamatan Bogor Barat. Tabel 13 menunjukkan bahwa dua kecamatan tersebut merupakan kecamatan di wilayah Kota Bogor yang memilki kepadatan penduduk paling rendah di antara kecamatan lainnya. Dengan jumlah penduduk yang sedikit maka daya beli masyarakat di Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Selatan pun rendah, akibatnya pasar tradisional yang dibangun di dua kecamatan ini tidak berkembang. Pada waktu pembangunan Pasar Bubulak, belum ada angkutan umum yang dapat mencapai ke pasar ini sehingga tidak ada pedagang yang mau menempati Pasar Bubulak, sedangkan di Pasar Tanah Baru meskipun saat ini termasuk lokasi pusat pemukiman penduduk, akan tetapi angkutan umum yang tersedia masih merupakan kendaraan plat hitam (odong-odong) dengan waktu
operasional terbatas yaitu dari pukul 06.00 sampai dengan 18.00. Kendaraan umum lainnya tidak ada yang melewati Pasar Tanah Baru sehingga jangkauan pasar menjadi terbatas karena konsumennya hanya penduduk di sekitar pasar saja.
bebas. Tidak tersedianya informasi yang jelas mengenai prosedur, proses dan biaya perencanaan kebijakan menjadi salah satu faktor penyebab
ketidakberhasilan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Tidak semua masyarakat dapat mengakses informasi tersebut secara bebas.
pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik antar sektor atau antar kawasan maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Pada awalnya kebijakan pemindahan Pasar Ramayana tidak menimbulkan konflik yang besar antara pedagang dengan pemerintah karena kebijakan ini merupakan upaya Pemerintah dalam merespon keluhan masyarakat. Meskipun terdapat beberapa konflik dengan pedagang yang awalnya tidak mau dipindah namun pada akhirnya dapat terselesaikan setelah disosialisasikan mengenai maksud dan tujuan pemindahan. Pasca relokasi Pasar Ramayana justru terjadi konflik antara pedagang yang mau pindah dengan pedagang yang tidak mau pindah. Sebagian pedagang yang menolak pindah lebih memilih menjadi PKL, karena mereka beranggapan di pasar baru yang akan menjadi pengganti Pasar Ramayana, pembeli tidak akan sebanyak seperti di Pasar Ramayana sehingga mereka khawatir bahwa pendapatan mereka akan berkurang. Akibatnya pembeli di Pasar Jambu Dua menjadi sepi karena mereka lebih memilih lokasi pasar yang ramai penjualnya maupun PKL-nya seperti di Pasar Anyar dan Pasar Baru Bogor. Hal ini masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintah hingga saat ini, karena para PKL tersebut menolak untuk dipindahkan ke pasar-pasar yang belum penuh seperti Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan dan Pasar Cimanggu.
7.1.9. Kebijakan lain yang tidak tumpang tindih dari pengembangan pasar tradisional. Indikatornya adalah tujuan kebijakan pengembangan pasar
tradisional tidak menimbulkan konflik dengan alternatif program perekonomian wilayah. Alternatif program perekonomian wilayah di antaranya yaitu program pengembangan ekspor dan sistem distribusi. Program perekonomian wilayah ini tidak menimbulkan konflik dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional.
7.2.
kebijakan telah sesuai dengan rencana, sesuai dengan kriteria dan indikator yang telah ditentukan (Lampiran 2). Faktor yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat berdasarkan persepsi responden secara berurutan yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien sebesar 11,18 persen; akuntabilitas sebesar 9,94 persen; transparansi sebesar 9,32 persen; responsivitas sebesar 8,07 persen; legalitas kebijakan sebesar 7,45 persen; keadilan sebesar 6,21 persen; ketepatan sebesar 5,59 persen; monitoring dan evaluasi program sebesar 4,35 persen; dan terakhir yaitu keterlibatan swasta sebesar 3,73 persen.
6.21 5.59
11.18 A B
3.73
4.35
C D E
7.45
Keterangan : A. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien B. Monitoring dan evaluasi program C. Responsivitas D. Akuntabilitas E. Transparansi F. Legalitas kebijakan G. Keterlibatan swasta H. Ketepatan I. Keadilan
Gambar 11. Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Penerapan Kebijakan
Gambar 11 menunjukkan urutan kriteria penyebab kurang berhasilnya kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi penerapan kebijakan yaitu :
7.2.1. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien. Indikatornya, yaitu program atau aktivitas telah dilaksanakan;
program atau aktivitas dilaksanakan secara efektif dan efisien; sasaran atau hasil yang diinginkan telah tercapai; ketepatan alokasi sumberdana; konsistensi pelaksanaan program sesuai target operasional yang telah ditetapkan. Meskipun sebagian program atau kegiatan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional telah dilaksanakan namun ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hasil pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 14.
Pembangunan Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu Pembangunan Pasar Tanah Baru Pembangunan Pasar Pamoyanan
Meningkatkan potensi wilayah supaya lebih berkembang Peningkatan pertumbuhan Pembangunan Pasar ekonomi di wilayah Katulampa dibatalkan Katulampa
Berdasarkan Tabel 14, kebijakan pengembangan pasar tradisional yang dilaksanakan oleh pemerintah belum berhasil mencapai sasarannya. Tidak semua program kebijakan dilaksanakan yaitu dibatalkannya pembangunan Pasar Katulampa. Hal ini dikarenakan ketidakberhasilan tiga pasar sebelumnya yang telah dibangun oleh Pemerintah, selain itu banyaknya pedagang yang menolak pindah dan lebih memilih menjadi PKL telah menimbulkan masalah baru bagi upaya pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Keberadaan PKL di tengah kota telah mengambil jalan-jalan utama di Kota Bogor sehingga menyebabkan kemacetan seperti di Jalan Surya Kencana dan Otista dan secara tidak langsung telah mempengaruhi tingkat keramaian Pasar Jambu Dua dan Cimanggu. Warga Bogor lebih suka berbelanja di Pasar Kebon Kembang dan Pasar Bogor karena banyaknya PKL yang memberikan konsumen pilihan yang lebih banyak. Hal ini mengakibatkan Pasar Jambu Dua dan Cimanggu kekurangan konsumen dan banyak pedagang yang memutuskan untuk pindah ke Pasar Kemang atau menjadi PKL juga.
7.2.2. Akuntabilitas merupakan kriteria yang menempati urutan kedua. Hal ini
karena belum adanya sanksi yang tegas bagi para pelaku pelanggar kebijakan sehingga pelaksanaan dan hasil kebijakan belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hal ini dapat ditunjukkan dari keberadaan PKL yang telah menganggu ketertiban umum. Selama ini belum ada tindakan tegas dari aparat pemerintah untuk melarang mereka berjualan di pinggir jalan. Upaya yang dilakukan hanya sebatas mengusir keberadaan PKL pada waktu-waktu tertentu saja. Setelah proses penggusuran selesai, keesokan harinya para pedagang kaki lima tersebut kembali berjualan di pinggir jalan.
7.2.3. Transparansi.
Indikatornya
yaitu
keterbukaan
informasi
dalam
pelaksanaan kebijakan terkait sumberdaya, alokasi dana, proses tender, jadwal pelaksanaan proyek dan hasil yang dicapai. Seluruh informasi terkait dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak disampaikan kepada masyarakat dan pedagang. Pedagang dan masyarakat hanya disosialisasikan mengenai program-program yang akan dilaksanakan dan jadwal pelaksanaan program saja, sedangkan alokasi dana dan sumberdaya serta proses tender yang digunakan dalam pelaksanaan kebijakan tidak dapat diakses secara bebas oleh masyakat.
7.2.5. Legalitas kebijakan. Indikatornya antara lain terdapat dasar hukum yang
jelas dalam pelaksanaan program kebijakan pengembangan pasar; tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat; adanya sanksi yang tegas bagi pelaku pelanggar kebijakan, adanya peraturan mampu menjawab permasalahan pengembangan pasar tradisional. Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan sanksi yang tegas terhadap pelanggar kebijakan menjadi faktor utama dalam kriteria ini. Selama ini pengaduan dari masyarakat hanya disampaikan kepada aparat kelurahan dan kecamatan, dan dari pedagang disampaikan kepada pengelola pasar. Dengan demikian sangat besar kemungkinan bahwa pengaduan dari masyarakat dan pedagang tidak tersampaikan ke instansi yang lebih tinggi
wewenangnya. Sanksi yang tidak tegas juga terlihat dari rendahnya hukuman pada para aparat pemerintah yang tidak melakukan kegiatan operasi terhadap para PKL. Keberadaan aparat tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sehingga PKL masih bebas berjualan di pinggir jalan dan sekitar pasar.
pihak swasta lebih berprinsip pada profit oriented sehingga pasar yang mereka kelola relatif lebih berkembang dibandingkan dengan pasar yang dikelola pemerintah.
7.3.
pengembangan pasar tradisional tidak mencapai keberhasilan. Hal ini disebabkan karena dalam proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat sehingga menyebabkan implementasinya yang kurang tepat pula. Perencanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional lebih mempertimbangkan pada aspek teknis saja yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah pinggiran dengan membangun sebuah pusat perdagangan Pada proses perencanaan tidak diperhitungkan pula bahwa faktor demografi dan ekonomi sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu wilayah. Selain itu dalam proses perencanaan tidak melibatkan seluruh
Ekonomi
0.421
Sosial
0.195
Teknis
0.131
Manajemen
0.253
merupakan aspek yang paling penting, kemudian aspek manajemen (0,253), sosial (0,195) dan terakhir aspek teknis (0,131). Hasil ini menunjukkan bahwa pendapat para responden sesuai urutan prioritas di atas sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai pada penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Kebijakan pengembangan pasar tradisional disusun dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah sehingga terjadi pemerataan perekonomian di seluruh wilayah Kota Bogor. Kebijakan ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional sehingga aspek manajemen dalam hal pengelolaan pasar penting, dan untuk mengakomodir kepentingan seluruh pihak yang terkait maka aspek sosial juga penting. Terakhir, aspek teknis terkait dengan kondisi fisik pasar yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan pasar.
PAD
0.250
Kerja
0.482
Kesejahteraan
0.269
Gambar 13. Prioritas Kriteria pada Aspek Ekonomi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Pada Gambar 13 terlihat bahwa kriteria yang memiliki bobot relatif atau memiliki faktor paling dominan adalah menciptakan lapangan kerja (0,482) kemudian diikuti oleh meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat (0,269) dan terakhir yaitu meningkatkan PAD (0,250). Hal ini menunjukkan bahwa hal yang paling utama dalam pengembangan pasar tradisional adalah untuk menciptakan lapangan kerja. Untuk meningkatkan tingkat perekonomian yaitu dengan memberikan kesempatan kerja pada penduduk Kota Bogor. Apabila kesempatan kerja telah ada maka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pedagang semakin tinggi, dengan semakin banyaknya jumlah pedagang maka PAD pun akan meningkat.
8.2.2.Aspek Manajemen
Hasil analisis mengenai prioritas kriteria pada aspek manajemen dapat dilihat pada Gambar 14.
Profesional
0.288
Usaha Efisien
0.090
Pelayanan
0.253
Penataan PKL
0.370
Gambar 14. Prioritas Kriteria pada Aspek Manajemen dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 14 menunjukkan dari keempat kriteria ini teridentifikasi bahwa secara keseluruhan kriteria penataan dan pembinaan PKL merupakan faktor yang paling penting dalam aspek manajemen (0,370), diikuti oleh kriteria
meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional (0,288), meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (0,253) dan terakhir membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien (0,090). Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional di Kota Bogor maka penataan dan pembinaan PKL merupakan kriteria yang paling penting pada aspek manajemen. PKL yang tersebar di sekitar pasar dan di pinggir jalan menjadi kendala utama bagi pertumbuhan pasar tradisional, sehingga pengembangan pasar tradisional diarahkan untuk menata PKL dan merelokasi ke pasar-pasar yang ada. Manajemen pengelolaan pasar harus ditingkatkan supaya pasar tradisional dapat menjadi usaha yang profitable sehingga dapat mengatur sendiri keuangannya tanpa tergantung dari anggaran Pemerintah. Untuk memuaskan kebutuhan masyarakat maka kriteria berikutnya yang penting yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak beralih ke pasar modern, dan terakhir yaitu membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien.
8.2.3.Aspek Sosial
Hasil analisis mengenai prioritas kriteria pada aspek sosial dapat dilihat pada Gambar 15.
Mengurangi Konflik
0.227
0.498
Kompetitif
0.274
Gambar 15. Prioritas Kriteria pada Aspek Sosial dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 15 menunjukkan bahwa urutan kriteria yang paling penting dalam aspek sosial yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen (0,498), menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif (0,274), mengurangi potensi konflik dengan masyarakat (0,227). Pada pengembangan pasar tradisional yang dapat mendukung pertumbuhan pasar tradisional yaitu dengan menciptakan kondisi pasar yang aman, bersih dan nyaman sehingga konsumen lebih suka berbelanja di pasar tradisional dibandingkan di tempat lain. Untuk menghadapi usaha-usaha lain seperti toko serba ada, mini market dan pasar swalayan maka pasar tradisional harus menjadi usaha yang kompetitif supaya tidak kalah dari usaha lainnya. Keberadaan pasar tradisional di tengah masyarakat juga harus dapat meminimalisasi konflik dengan masyarakat agar tidak terjadi benturan kepentingan antar stakeholders.
8.2.4.Aspek Teknis
Hasil analisis prioritas kriteria pada aspek teknis dapat dilihat pada Gambar 16.
0.433
Peningkatan Fasilitas
0.567
Gambar 16. Prioritas Kriteria pada Aspek Teknis dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 16 menunjukkan bahwa kriteria yang paling penting pada aspek teknis yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar (0,567) diikuti oleh kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan rapi (0,433). Supaya pedagang mau menempati kiosnya di pasar maka fasilitas pasar harus ditingkatkan sehingga pedagang betah berjualan di pasar tersebut. Bangunan fisik pasar juga harus diperbaiki supaya lebih bersih dan rapi sehingga dapat menarik orang untuk berbelanja di pasar.
Pembentukan PD. Pasar Pembangunan Pasar Lingkungan Menjalin Kemitraan Pemberdayaan Pemberian Bantuan Kredit Pembentukan Forum Komunikasi Pendistribusian PKL
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,1
Gambar 17. Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 17 memperlihatkan prioritas alternatif strategi utama dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu Pembentukan PD. Pasar. Alternatif ini menduduki peringkat tertinggi sebagai strategi dalam pengembangan pasar tradisional. Menurut pendapat responden, pembentukan PD. Pasar dapat menjadi jalan untuk pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional, dengan adanya PD. Pasar diharapkan pengelolaan pasar dilakukan dengan sistem profit
oriented. Usaha pasar tradisional dapat lebih berkembang serta efisien tanpa
tergantung pada sumber dana dari pemerintah serta dengan manajemen yang lebih profesional diharapkan pasar tradisional dapat menjadi usaha yang bersaing. Seluruh pasar yang ada di Kota Bogor akan berada di bawah satu pengelolaan yaitu dalam bentuk PD. Pasar sehingga kebijakan yang akan ditetapkan pun akan memperhatikan kepentingan seluruh pasar sehingga tidak tumpang tindih antar masing-masing program kegiatan. Selama ini pasar tradisional yang ada di Kota Bogor masing-masing dikelola oleh Kepala UPTD dan bawahannya yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala
Disperindagkop. Dengan demikian di Kota Bogor sendiri terdapat tujuh UPTD. Hal ini menyebabkan ketujuh UPTD tersebut berdiri secara sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Sehingga terdapat beberapa konflik antar UPTD itu sendiri. Selama ini, UPTD merupakan instansi pemerintah yang mengelola pasar pemerintah.Tugas harian yang dilakukan oleh UPTD yaitu penarikan retribusi dari pedagang. Selain uang retribusi, UPTD juga meminta uang keamanan kepada pedagang yang tidak memiliki kios/los dan berjualan di pelataran parkir atau di depan pasar (PKL). Uang yang ditarik dari PKL ini telah memberikan penerimaan sendiri untuk UPTD sehingga pengelola UPTD kurang tegas dalam mengatur PKL. PKL sendiri juga merasa memiliki hak untuk berjualan di pasar tersebut karena merasa telah membayar uang kepada pihak UPTD. Masalah ini telah menimbulkan konflik antar UPTD di Kota Bogor, terutama di pasar yang memiliki banyak PKL dan yang sepi pedagang sepeti Pasar Anyar dan Pasar Jambu Dua. Pembentukan PD. Pasar akan membawahi seluruh UPTD pasar tradisional yang ada di Kota Bogor sehingga diharapkan konflik antar UPTD dapat diselesaikan karena pengelolaan manajemen pasar berada di bawah satu organisasi. Selain itu, salah satu penyebab pasar tidak berkembang adalah kurangnya aspek promosi dan pemasaran pasar kepada masyarakat. Pemerintah dalam hal ini UPTD kurang memasarkan pasar ke masyarakat sehingga hanya sedikit masyarakat yang membeli kios/los. Adanya PD. Pasar diharapkan dapat mengelola pasar secara komersial. Upaya pemasaran dapat dilaksanakan melalui iklan sehingga keberadaan pasar tradisional dikenal secara luas oleh masyarakat.
Gambar 18a
Gambar 18b
Gambar 18 menunjukkan dua kondisi yang berbeda antara pasar tradisional dan pasar modern. Pada Gambar 18a menunjukkan pasar tradisional yang terkesan becek, kotor, dan tidak rapi, sedangkan pada pasar modern (Gambar 18b) terkesan rapi, nyaman dan bersih. Hal utama yang membedakan antara pasar modern dan pasar tradisional yaitu adanya pengelolaan manajemen pasar secara profesional pada pasar modern. Pasar modern lebih bersifat profit oriented sehingga manajemennya lebih efektif dan efisien. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka upaya pengembangan pasar tradisional dapat dilakukan melalui pembenahan pasar tradisional dengan mengadopsi konsep pasar modern tetapi tetap mempertahankan ciri khas transaksi antara penjual dan pembeli.
Salah satu contoh pasar tradisional yang telah menerapkan konsep manajemen modern adalah Pasar Modern di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang (Gambar 19). Pasar ini layak menjadi acuan bagi pengembangan dan pembenahan pasar tradisional di Indonesia karena pengelolaannya sangat profesional meski dilakukan pihak swasta. Kebersihan, keamanan serta keteraturan dan kedisiplinan pedagang menjadi fokus utama dari pengelola pasar dengan tetap mempertahankan karakteristik pasar tradisional (tawar menawar).
Gambar 19a.
Gambar 19b.
Gambar 19c.
Gambar 19d.
Konsep pasar tradisional dengan manajemen modern ini telah berhasil menampilkan pasar tradisional yang menyerupai mal, supermarket atau swalayan dari aspek kebersihan dan kerapiannya. Pasar tradisional ini berada di dalam bangunan beratap dan berlantai keramik serta tempatnya di dalam gedung
pertokoan (Gambar 19a). Pada bagian depan bangunan merupakan toko-toko modern seperti restoran, kantor dan butik/toko pakaian, sehingga bangunan pasar terlihat bersih dan menarik dari luar (Gambar 19b). Setiap pedagang dikelompokkan sesuai dengan jenis komoditi yang dijual di masing-masing lorong. Pada setiap lorong diberi label komoditi yang dijual sehingga memudahkan pembeli untuk berbelanja (Gambar 19c). Meskipun menggunakan konsep pasar modern, tetapi di pasar ini masih menggunakan sistem pasar tradisional yaitu adanya interaksi sosial antara pembeli dan penjual melalui proses tawar menawar (Gambar 19d). Untuk menjaga ketertiban dan kerapian, pengelola pasar menetapkan peraturan yang harus dipatuhi pedagang. Para pedagang dilarang meletakkan barang dagangan di jalan atau lorong. Apabila melanggar, barang dagangan akan diambil atau dibawa ke kantor pengelola. Jika terbukti telah dua kali melakukan pelanggaran, maka pedagang akan mendapat sanksi pemutusan perjanjian sewa kios/lapak secara sepihak. Pedagang tidak diperbolehkan membiarkan sampah berceceran. Sampah harus dimasukkan ke dalam kantong plastik dan meletakkan di areal yang ditentukan, sampai petugas kebersihan mengambilnya pada jam tertentu. Para pedagang juga harus menata dan mengatur dagangannya hingga terlihat menarik. Apabila kegiatan operasional pasar sudah selesai, lantai pasar akan dibersihkan oleh petugas kebersihan sehingga pasar akan selalu terlihat bersih. Selain itu perlu adanya upaya pemberdayaan pengelola pasar dan pedagang tradisional dengan perbaikan prasarana umum pasar tradisional oleh pemerintah, mendorong asosiasi pedagang untuk ikut mengelola pasar, dan
adanya insentif bagi swasta untuk mendanai renovasi pasar atau kredit kepada pedagang tradisional. Pasar tradisional dengan konsep modern ini adalah salah satu solusi untuk pengembangan pasar tradisional sehingga diharapkan pasar tradisional dapat tumbuh dan berkembang.
Masyarakat pedagang dan UPTD memiliki kepentingan tinggi namun pengaruhnya rendah.
Dispenda, DLHK dan DTKP memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi.
2. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak mencapai keberhasilan yang disebabkan karena :
Proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat sehingga menyebabkan implementasinya yang kurang tepat pula.
Kriteria
utama
yang
menyebabkan
proses
pembuatan
kebijakan
pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu keterlibatan stakeholders dan proses penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional yang benar.
Kriteria utama yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien.
Hasil analisis stakeholders menunjukkan bahwa tidak semua stakeholders yang berkepentingan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional dilibatkan dalam proses perencanaan dan penerapan kebijakan. Sehingga adanya kegagalan disebabkan karena dalam kebijakan pengembangan tidak dilibatkannya seluruh pasar tradisional yang
stakeholders
berkepentingan terhadap kebijakan ini. 3. Strategi pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yang diolah dengan analisis PHA menunjukkan bahwa :
Aspek yang paling penting dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional secara berurutan yaitu aspek ekonomi, aspek manajemen, aspek sosial dan aspek teknis.
Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek ekonomi secara berurutan yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat dan meningkatkan PAD.
Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek manajemen secara berurutan yaitu penataan dan pembinaan PKL, meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien.
Kriteria-kriteria yang penting secara berurutan dalam aspek sosial yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen,
menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat.
Kriteria-kriteria yang penting secara berurutan dalam aspek teknis yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar dan kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan rapi.
Prioritas alternatif strategi dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu pembentukan PD. Pasar, pemberdayaan pedagang dan pengelola pasar, pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun, pembangunan pasar lingkungan, menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemberian bantuan kredit dan pembentukan forum komunikasi.
9.2.
Saran
1. Pemerintah sebaiknya baik dalam proses penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan melibatkan seluruh stakeholders yang benar-benar memiliki kepentingan terhadap kebijakan. 2. Untuk meningkatkan kekuatan pengaruh dari masyarakat pedagang maka perlu dibentuk suatu asosiasi atau paguyuban pedagang untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam proses pengambilan keputusan kebijakan. 3. Pemerintah seharusnya melaksanakan suatu studi kelayakan sesuai dengan kondisi riil di lapangan sebelum menyusun suatu perencanaan kebijakan, sebagai salah atu bentuk partisipasi masyarakat.. 4. Upaya pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor dapat dilakukan dengan pembentukan PD. Pasar yang dapat menaungi seluruh pengelolaan pasar tradisional yang berada di Kota Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Abdrabo, Mohamed A. dan Mahmoud A. Hassaan. Stakeholder Analysis. www.wadi-unifi.com. [30 Agustus 2007]. Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Bogor. -----------------------------------------------------. 2006. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2006. Kota Bogor Dalam Angka 2005. BPS. Bogor. Balitbangdiklat Kota Bogor dan PT. Oxalis Subur. 2007. Studi Kelayakan PD. Pasar di Kota Bogor. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Bogor. DFID. 2006. Manajemen Daur Proyek dan Penggunaan Kerangka Kerja Logis. http://www.deliveri.org [30 Agustus 2007]. Dharmayanti, Indrani. 2006. Kajian Reklamasi Pantai Dadap Kabupaten Tangerang (Sebuah Analisa Persepsi Stakeholder). Tesis. Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi. 2006. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pasar. Bogor. ---------------------------------------------------------------------. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Bogor. Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Penerjemah: Samodra Wibawa. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Dwijowijot, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik; Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hakim, Dzulfikar Ali. 2007. Analisis Prospek Permintaan Jasa Pasar dan Studi Kelayakan Pembangunan Pasar Tradisional Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ismawan, B. 2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Kartini, Rini. 2002. Dampak Perpindahan Lokasi Pasar Induk terhadap Sistem Pemasaran Sayur Mayur di Kota Bogor. Skripsi. Program Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lamadlauw, Meidina Trijadi. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mishra, Satish C. 2005. Pembuatan Kebijakan Demokratis dalam Konteks yang Berubah. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery. Jakarta. Nindyantoro. 2004. Kebijakan Pembangunan Wilayah: Dari Penataan Ruang Sampai Otonomi Daerah. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Pemerintah Kota Bogor. 2002. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran Walikota Bogor Tahun 2001. Bogor. ----------------------------. 2003. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran Walikota Bogor Tahun 2002. Bogor. ----------------------------. 2004. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran Walikota Bogor Tahun 2003. Bogor. Rahayu, Sri. 2005. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar Tradisional sebagai Pusat Perdagangan di Kota Bekasi dalam Pengembangan Wilayah. Skripsi. Program Sarjana. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rangkuti, Khairunnisa. 2005. Analisis Pengembangan Pasar Tradisional dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Wilayah (Studi Kasus Pasar Tradisional di Kota Medan). Tesis. Program Pasca Sarjana. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Universitas Sumatera Utara. Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Penerjemah: Liana Setiono. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Safitri, Benny. Analisis Respon Stakeholders terhadap Kebijakan Perluasan Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Skripsi. Program Sarjana. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schmeer, Kammi. 2007. Stakeholder Analysis at a Glance. www.lachsr.org [7 Januari 2008]. Tandiyar, Alan. 2002. Kajian Perkembangan Pasar Tanah Baru Sebagai Acuan Bagi Pembangunan Pasar Tradisional Baru di Kota Bogor. Tesis. Magister Teknik Pembangunan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang. Untoro, Fathoni. 2006. Evaluasi Pelaksanaan Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) dalam Kerinci Seblat-Integrated Conservation and Development
Project (KS-ICDP) melalui Analisis Stakeholders (Studi Kasus Kabupaten Meranging, Provinsi Jambi). Skripsi. Program Sarjana. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Akuntabilitas
Keterlibatan stakeholders
Sosialisasi kebijakan
Tidak ada (1), ada tapi jarang (3), ada sering dilakukan (5) Tidak ada (1), ada tapi tidak berhasil (3), ada berhasil (5)
Tidak ada (1), ada tapi kurang efektif (3), ada dan sangat efektif (5) Tidak (1), sebagian (3), ya (5) Tidak ada (1), ada tapi tidak bebas (3), ada dan bebas (5) Tidak tersedia (1), tersedia sebagian (3), tersedia seluruhnya (5) Tidak ada (1), ada tapi belum menjamin sepenuhnya (3), ada dan menjamin seluruhnya (5) Tidak tersedia (1), tersedia sebagian (3), tersedia seluruhnya (5) Tidak sesuai (1), cukup sesuai (3), sangat sesuai (5) Tidak peka (1), cukup peka (3), sangat peka (5) Tidak ada (1), ada tapi tidak semuanya (3), ada dan semuanya (5) Tidak diidentifikasi (1), cukup diidentifikasi (3), diidentifikasi (5)
Partisipasi publik
F Transparansi
Responsivitas
Ego sektoral 27. Kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik antar sektor atau antar kawasan maupun antara masyarakat dengan pemerintah 28. Tujuan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik dengan alternatif program perekonomian wilayah
Kebijakan lain yang tidak tumpang tindih dari pengembangan pasar tradisional
2. Program atau aktivitas dilaksanakan secara efektif dan efisien 3. Sasaran/hasil yang diinginkan telah tercapai
4. Ketepatan alokasi sumberdana 5. Konsistensi pelaksanaan program sesuai target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut 6. Terdapat kegiatan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan program pengembangan pasar tradisional 7. Tersedianya lembaga/dinas/badan yang malaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi 8. Arsip dan dokumen dari laporan kegiatan monitoring dan evaluasi tersedia 9. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan pengawasan 10.Hasil kebijakan memuaskan kebutuhan publik 11.Pelaksanaan dan hasil kebijakan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial 12.Keterbukaan informasi dalam pelaksanaan kebijakan terkait sumberdaya, alokasi dana, proses tender, jadwal pelaksanaan proyek dan hasil yang dicapai terhadap segenap stakeholders dan masyarakat
Responsivitas
Akuntabilitas
Transparansi
Tidak tersedia (1), tersedia tapi pengaduan tidak ditanggapi (3), tersedia ditanggapi (5)
Legalitas kebijakan
Tidak ada sanksi (1), sanksi cukup tegas (3), sanksi tegas (5) Tidak mampu (1), cukup mampu (3), mampu (5) Tidak terlibat (1), terlibat sebagian (3), terlibat seluruhnya (5) Tidak berpengaruh (1), berpengaruh kecil (3), berpengaruh besar (5) Tidak bermanfaat (1), cukup bermanfaat (3), sangat bermanfaat (5) Tidak dapat (1), cukup (3), dapat (5) Tidak dapat (1), didistribusikan tidak merata (3), didistribusikan merata (5) Tidak terlibat (1), terlibat sebagian (3), terlibat sepenuhnya (5)
Keterlibatan swasta
Ketepatan
Keadilan
Tujuan
Aspek
Ekonomi (0,421)
Manajemen (0,253)
Teknis (0,131)
Sosial (0,195)
Kriteria
Meningkatkan PAD (0,250) Menciptakan lapangan kerja (0,482) Meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat (0,269)
Meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional (0,288) Membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien (0,090) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (0,253) Penataan dan pembinaan PKL (0,370)
Peningkatan sarana dan prasarana pasar (0,567) Kondisi fisik pasar lebih bersih dan rapi (0,433)
Mengurangi potensi konflik dengan masyarakat (0,227) Terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen (0,498) Menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif (0,274)
Alternatif
Pembangunan pasar tradisional skala lingkungan di lokasi strategis dekat pemukiman (0,133)
KEPALA
BAGIAN TU
SUBBAG UMUM
SUBBAG KEU
BIDANG PERINDUSTRIAN
BIDANG PERDAGANGAN
SEKSI PROMOSI
KEPALA
KOORDINATOR
STAF/PELAKSANA
KOORDINATOR HARTIB
KOORDINATOR RETRIBUSI
STAF/PELAKSANA HARTIB
STAF/PELAKSANA RETRIBUSI
PETUGAS Sumber : Laporan Tahunan 7 UPTD Pasar Kota Bogor, Tahun 2005