Anda di halaman 1dari 4

1 | P a g e

Beban hidup kian menghimpit



.`= , = . | |. | , , - |. | . - g, | = , | - _ = , , , , |
, ,=|
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar (Al Baqarah : 155)

MUQODIMAH
Beban hidup yang berat akan terasa makin berat, saat kita menghadapinya dengan keluh kesah.
Merasa hidup kian payah dan masa depan makin suram, seolah terpampang dihadapan. Seperti
itulah hal yang bisa terekam dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Ketika harga kebutuhan
pokok makin melejit, biaya sekolah anak yang kian mahal, yang tidak terimbangi dengan naiknya
pendapatan. Bahkan ancaman PHK makin menghantui.

Banyak diantara masyarakat kita yang tidak sabar ketika mengahadapi kesulitan hidup, yangf makin
menghipit. Sehingga jalan pintas pun diambil. Yang akhirnya tidak memperdulikan lagi halal haram
dalam mengais rupiah.

SIKAP MUKMIN SAAT MENGHADAPI MASALAH
Sebagai seorang muslim, seharusnya kita memahami, bahwa hidup layaknya roda yang berputar,
yang tidak selamanya diatas. Tetapi kadang kita berada di tengah, atau dibawah. Bahkan terkadang
kita harus melalui kerikil cobaan.

Sama halnya saat kita dihadapkan pada kesulitan ekonomi, semestinya kita menyikapi bahwa semua
ini telah menjadi ketetapan Allah , sehingga kita bisa menghadapinya dengan sabar, tenang dan
pikiran yang jernih. Itulah yang diwajibkan dalam syariat. Tidak perlu kita cemas, emosi, apalagi
sampai frustasi. Cobalah kita bandingkan dengan kesulitan hidup yang dihadapi Rasulullah J dan
para Shahabatnya , belum seberapa, namun beliau J dan para shahabat mampu menyikapi
secara benar. Rasulullah J bersabda;
Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Seluruh perkaranya adalah baik baginya. Jika dia
mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika dia ditimpa
kesulitan, maka dia bersabar, maka itu juga baik baginya (Riwayat Muslim No.2999)

Hadits diatas adalah sebagai dorongan bagi kita untuk menghindari sikap pasrah dan pesimis tanpa
usaha, serta sikap apatis untuk terus berusaha memperbaiki nasib dan keadaan yang tentunya
dalam koridor syari. Dengan bekal optimis, sabar, dan tawakal, kesulitan ekonomi yang tengah
melilit akan segera berlalu (Bi idznillah)

ALLAH PEMILIK RIZKI
Saat kantong tipis, yang kaya saja mengeluh, apalagi yang miskin. Bagi yang ekonominya dibawah
standar tentu hal ini merupakan cobaan yang tidak ringan. Meski ini bukan suatu hal yang aneh,
2 | P a g e

alias sudah biasa tak ada uang di tangan, akan tetapi tetap saja membuat hati menjerit. Apalagi
saat kebutuhan mendesak, anak sakit atau Cuma sekedar membuat dapur mengasap.

Masalahnya bagaimana kita menghadapi kesulitan ekonomi agar tidak berdampak buruk untuk diri
kita dan agama kita. Sebab tak bisa di pungkiri; kantong tipis terkadang membuat orang gelap mata
dan melakukan apa saja. Semisal kriminalitas, mencuri, sampai korupsi, dan tindakan-tindakan
yang elanggar syariat lainnya.

Tindakan-tindakan tersebut tidaklah menyelesaikan masalah, akan tetapi malah memperumit
masalah. Kebingungan dan banyak mengeluh dalam mengatur ekonomi rumah tangga, bisa
membawa pada penyakit jiwa. Renungkanlah firman Allah :
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, (Al Maaarij : 19-20)

Jarang diantara kita yang pada saat menghadapi kesulitan hidup, kita instropeksi diri dan
berhusnudzhan kepada Allah . Banyak diantara kita yang lupa bahwa semua yang terjadi adalah
sudah menjadi taqdir Allah .
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakkal." (At Taubah : 51)

Seharusnya kita yakin bahwa sesulit apapun hidup kita, Allah akan tetap menanggung rizki
hamba-Nya. Allah berfirman:
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,
(Huud : 6)

Jadi, tidak perlu berkecil hati, apalagi berkeluh kesah saat kantong tipis. Perlu diingat bahwa
banyak harta bukanlah tolok ukur kebahagiaan. Juga harus dipahami bahwa kaya atau miskin
adalah ujian dari Allah kepada hamba-Nya, sehingga diharapkan kita bisa mensyukuri nikmat
rizki dari Allah banyak atau sedikit, saat senang ataupun saat susah, juga saat kesulitan ekonomi
yang sedang menghimpit. Dengan sikap ini Insya Allah, Allah akan selalu memberi kemudahan dan
tambahan rizki. Allah berfirman:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" .( Ibrahim : 7)

AGAR RIZKI TERUS MENGALIR
Orang yang beriman dan orang yang bertaqwa kepada Allah akan mendapatkan rizki yang cukup,
sebagaimana janji Allah :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Al Araf :96)

Seorang mukmin akan senantiasa berusaha amanah atas rizki yang Allah berikan. Tidak
membelanjakan hartanya untuk hal-hal maksiat dan tidak berguna, apalagi hanya untuk sekedar
foya-foya. Karena kemaksiatan merupakan salah satu penyebab datangnya musibah. Rasulullah J
telah bersabda:
Tidallah tampak perbuatan keji pada suatu kaum, melainkan Allah akan menimpakan kepada
mertekan kehancuran (Riwayat Al Hakim, Baihaqi)

3 | P a g e

Senantiasa mensyukuri nikmat Allah ,s selalu berdoa kepada Allah setiap hendak mengawali
usahanya dengen memohon rizki yang halal, termasuk jalan untuk memperlancar rizki, karena
tugas kita sebagai hamba adalah berusaha dan mencari, sedang yang memberi adalah Allah .
Begitu pula meningkatkan iman dan amal shalih, akan membuat rizki seseorang senantiasa
mengalir. Allah berfirman:
Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bagi mereka ampunan
dan rezki yang mulia (Al Hajj: 50)

TAWAKAL TANPA USAHA ???
Sebagian orang menyangka bahwa tawakal identik dengan pasrah total. Ini adalah anggapan yang
salah, karena tawakal itu menuntut rasa optimis dan aktif. Perhatikanlah ayat berikut ini:
- , . - , , -| _ - , , -
"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya"
(Ath Thalaq:3)

Dalam ayat ini Allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal
termasuk rizki. Apakah artinya orang tersebut tidak berusaha dan tidak bekerja lantas tiba-tiba
memperoleh rizki dari langit? Tentu tidaklah demikian.

Orang yang ingin memenuhi kebutuhannya harus berusaha dan bekerja, sama halnya orang yang
ingin punya anak harus beristri dan mengumpuli istrinya. Hadits berikut lebih memperjelas:
"Seandainya kalian bertawakal kepada Alah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki
kepada kalian, sebagaimana memberi rizki kepada burung,mereka pergi pagi dengan perut kosong
dan pulang sore dengan perut kenyang" (Riwayat Tirmidzi, dari umar bin Khathab dengan
sanad shahih)

Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan,maka Allah jamin dengan memberikan
makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak hanya diam disarang mereka sambil menunggu
makanan datang, tetapi mereka pergi jauh mencari makanan untuk dirinya dan anaknya. Begitu
pula seharusnya manusia. Apalagi manusia diberi kelebihan yang banyak dibandingkan seekor
burung. Dalam hadits yang lain disebutkan:
"Seseorang berkata kepada Rasulullah : ya Rasulullah, akuikat dia (onta ini) dan aku bertawakal,
atau aku lepas dan aku bertawakal? Jawab beliau; Ikat lalu bertawakallah" (Riwayat Tirmidzi,
dari Anas bin Malik , dengan sanad Hasan)

Al Hafidz Ibnu hajar Rahimahullah berkata; "Tawakal itu bukan berarti tidak berusaha dan
menggantungkan kepada makhluk, sebab hal itu justru dapat menyeret kepada lawan dari tawakal.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya
berkata; "Aku tidak akan berusaha sedikitpun sampai datang rizki kepadaku". Jawabnya; "Orang
tersebut jahil, sebab Nabi bersabda; "sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah naungan
pedangku" dan sabdanya: "Seandainya kalian bertawakal kepada Alah dengan sebenarnya niscaya
Allah akan memberi rizki kepada kalian, sebagaimana memberi rizki kepada burung,mereka pergi
pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang". Nabi menyebutkan, kawanan
burung tersebut pergi pagi-pagi untuk mencari rizki. Dan para shahabat berdagang dan
memelihara pohon-pohon korma mereka. Maka contohlah mereka" (Fathul Bari')

4 | P a g e

Usai menjelaskan hadits Umar bin Khathab diatas, maka Syeikh Utsaimin Rahimahullah berkata;
"Pada hadits ini terdapat dalil bahwa manusia ketika tawakal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya maka harus melakukan sebab. Orang yang berkata; "Aku tidak akan menempuh sebab
(berusaha), Aku bertawakal kepada Allah", adalah sesat, dan ucapannya salah. Orang bertawakal
adalah orang yang mengupayakan sebab dengan menyandarkan upayanya kepada Allah ". Oleh
karena itu beliau mengatakan; "Sebagaimana Allah memberi rizki kepada burung, dia pergi
dalam keadaan lapar". Burung tersebut pergi untuk mencari rizki, tidak hanya diam disarangnya
tetapi pergi mencari rizki. (Syarh Riyadush Shalihin 2/520)

Nabi adalah orang yang paling tawakal kepada Allah . Namun beliau tetap melakukan usaha.
Beliau ketika bepergian membawa bekal, ketika perang uhud memakai dua baju besi, ketika hijrah
ke Madinah menyewa penunjuk jalan. Beliau tidak mengataka; "Aku akan hijrah dan tawakal
kepada Allah, tidak perlu menyewa penunjuk jalan". Beliau juga berlindung dari dingin dan panas.
Hal ini tidak mengurangi tawakalnya.

Namun perlu diingat siapa yang usahanya lebih dominan, otomatis tawakalnya kepada Allah akan
berkurang. Akibatnya keyakinan bahwa Alah Maha mencukupi akan cacat. Seakan-akan ia
memposisikan usaha tadi menjadi satu-satunya sandaran untuk mencapai tujuan dan menghindari
sesuatu yang tidak diinginkan. Sebaliknya , siapa yang ketergantungannya kepada Allah berlebihan,
mengalahkan upaya (Hanya tawakal dan meninggalkan usaha) sungguhya telah mencela sifat
hikmah Allah . Sebab Allah adalah Maha Hikmah. Dia mempertautkan sebab dengan akibat. Orang
yang hanya bergantung kepada Allah adalah bagaikan orang yang menginginkan anak tetapi tidak
menikah" (Qaulul Mufid 2/87-8).
Wallahu Alamu Bish Shawwab

Anda mungkin juga menyukai