Anda di halaman 1dari 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR SPINAL CORD INJURY 1. Definisi Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,kecelakakan olahraga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997). Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan. Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum tulang belakang yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi). Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak, sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa sensasi dan kontrol motorik. Spinal cord injury (SCI) adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, di motorik normal, indera, atau fungsi otonom. Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing) masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah (AACN, Marianne Chulay, 2005).
.

2. Klasifikasi Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : a) Cedera fleksi Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian

anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil b) Cedera fleksi-rotasi Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang

dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil. c) Cedera ekstensi Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil. d) Cedera kompresi vertikal (vertical compression) Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture. e) Cedera robek langsung (direct shearing) Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.

Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat. 1) Cedera stabil a. Fleksi Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik

tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan. b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan. c. Kompresi Vertikal Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu. Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejalagejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus

dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau

graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi. 2) Cedera Tidak Stabil a. Cedera Rotasi Fleksi Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hatihati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan. b. Fraktura Potong Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi. c. Cedera Fleksi-Rotasi Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.

3. Etiologi Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke

atas), luka karena senjata api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun) misal menyelam (8 %), dan penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit, seperti tumor, kista di tulang belakang, multiple sclerosis, atau cervical spondylosis (degenerasi dari disk dan tulang belakang di leher)(2 %). Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007). Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari

ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997). Spinal cord injury paling banyak disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan kecelakaan olahraga (AACN, Marianne Chulay, 2005).

4. Tanda dan Gejala Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari saraf pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang dapat lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. Sindrom spinal cord bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.

10

Klien yang mengalami cidera spinal cord khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan, namun secara umum jika seseorang mengalami spinal cord injury, maka mereka akan mengeluh: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (misalnya: tidak dapat menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh, sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang timbul, geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di jari dan tangan, kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh, inkontinensia urin yang mungkin disebabkan karena kelumpuhan saraf, kesulitan berjalan dengan keseimbangan, sulit bernafas setelah cedera, tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang.

5. Patofisiologi Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan

11

gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi. Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: a. jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan

mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total. b. jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari. c. jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari d. jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya. e. pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik f. jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

6. Komplikasi Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian terhadap cedera lain yang menyertai dan mungkin juga mengubah respon terhadap terapi. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. Beberapa komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari cedera saraf tulang belakang adalah:

12

Tekanan darah perubahan - dapat ekstrim (otonom hyperreflexia), disebabkan karena menurunnya curah jantung, komplikasi imobilitas dapat disebabkan karena tidak berfungsinya salah satu anggota tubuh sehingga pasien diharuskan tirah baring yang lama sehingga dapat menyebabkan dekubitus atau kontraktur

Deep vein thrombosis, ini dapat terjadi karena kurangnya sistem koagulasi dalam darah, sehingga terdapat trombus, karena pergerakan, maka dapat menyebabkan trombus tersebut lepas dan menjadi emboli, kemudian melalui pembuluh darah mengikuti aliran darah dan berkumpul di suatu tempat

Infeksi paru dapat terjadi jika ada cedera lain yang menyertai, atau ada kompresi pada cervikalis sehingga fungsi paru terganggu atau menjadi minimal.

Kulit breakdown terjadi bila terjadi robekan pada kulit punggung; kontraktur, terjadi karena pasien immobilisasi.

Peningkatan risiko cedera pada daerah kebas tubuh disebabkan karena orang tersebut kehilangan sensasi (mati rasa) sehingga meskipun orang tersebut terluka oleh benda tajam pada daerah kebas tidak akan merasakan sakit

Peningkatan risiko kerusakan ginjal karena terjadi disfungsi berkemih sehingga pasien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh melalui urin

Meningkatnya risiko infeksi saluran kemih karena banyak bakteri dan jamur pada saluran kemih.

Kehilangan kontrol kandung kemih disebabkan karena cedera pada L-1 dan L2 atau dibawahnya

Kehilangan kontrol usus disebabkan karena cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya

Hilangnya sensasi disebabkan oleh cederanya spinal L1 dan L2 atau dibawahnya

Kehilangan fungsi seksual (impotensi pria) karena cedera spinal L1 dan L2 atau dibawahnya\

Muscle spasticity disebabkan karena C-1 sampai C-3 mengalami cedera

13

Pain, karena diskontinuitas antara tulang dan jaringan Kelumpuhan otot pernapasan, karena cederanya spinal C1 sampai C3, dan C4 sampai C5

Kelumpuhan (paraplegia, quadriplegia), tergantung pada tempat atau lokasi terjadinya cedera

Aspirasi terjadi karena tidak berfungsinya sistem pernapasan dan pencernaan Shock, biasanya terjadi karena perdarahan pada pasien, jika kehilangan darah terus menerus, pasien akan menjadi hipotensi, dan untuk mengkompensasi, jantung bekerja lebih keras, memompa lebih cepat sehingga terjadi takikardi pada nadi, namun volume darah dalam tubuh tetap sedikit, sehingga darah hanya digunakan untuk otak, apabila tubuh sudah tidak dapat

mengkompensasi lagi, nadi akan menjadi semakin lemah dan sampai tak teraba dan untuk bagian perifer tubuh menjadi dingin (akral), dan terjadilah shock hipovolemik.

7. Penatalaksanaan a) Penatalaksaan Medis Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk mempertahankan agar leher stabil, dan

menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien Melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif. Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal,

14

status neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89) Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena

b) Penatalaksanaan Keperawatan Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada

neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena:syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk.

8.

Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan diagnostik SCI yang dapat meliputi, sebagai berikut : 1) Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok) 2) CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas 3) MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal 4) Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru 5) AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

9. Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah, sebagai berikut: a. Tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada

15

riwayat penyakit degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien, lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat kejadian, lakukan tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien, fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh. b. Data fokus, didapatkan dengan melakukan pengkajian 11 pola Gordon: o Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal o Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan

perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat. o Eliminasi : inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang. o Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri. o Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang o Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL o Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis. o Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma. o Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis

16

o Keamanan : suhu yang naik turun o Seksualitas : priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita)

B. Analisa data Analisa data merupakan kegiatan intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, mengklasifikasi, mengelompokkan, mengkaitkan data dan akhirnya menarik kesimpulan.

C. Diagnosa dan Renacana Asuhan Keperawatan 1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 1620"> Intervensi keperawatan : a. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas. b. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan. c. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan. d. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

17

e. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera f. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma g. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran. h. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan. i. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat. j. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan. k. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

2) Diagnosa

keperawatan

kerusakan

mobilitas

fisik

berhubungan dng kelumpuhan Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan. Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Intervensi keperawatan : a. Kaji secara teratur fungsi motorik.

18

Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum b. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman c. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif d. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop e. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik f. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit. g. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.

3) Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

Intervensi keperawatan : a. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera. b. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama. c. Berikan tindakan kenyamanan.

19

Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri. d. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol. e. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.

4) Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum. Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali Intervensi keperawatan : a. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya. Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal. b. Observasi adanya distensi perut. c. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress. d. Berikan diet seimbang TKTP cair Rasional: meningkatkan konsistensi feces e. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

5) Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan. Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan

20

Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada Intervensi keperawatan: a. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal b. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih. c. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal. d. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

6) Diagnosa

keperawatan

gangguan

integritas

kulit

berhubungan dengan tirah baring lama Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering Intervensi keperawatan : a. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer. b. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan Rasional : untuk mengurangi penekanan kulit c. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit d. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit e. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik& perifer,

menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

21

D. Pelaksanaan Pelaksanaan asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari rencana tindakan keperawatan yang diberikan pada klien.

E. Evaluasi Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang. (Lismidar, 1990)

22

Lampiran : Pathway :

Anda mungkin juga menyukai