Anda di halaman 1dari 10

BAB II KERANGKA TEORI

2.1. Sumber Penerimaan Daerah Menurut UU 33/2004, Pasal 5, sumber penerimaan daerah adalah: 1. Pendapatan Daerah, bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. (2) Pembiayaan, bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. penerimaan pinjaman daerah; c. dana cadangan daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Selanjutnya pada pasal 6 diuraikan Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. Sementara itu pada pasal 10 dijelaskan bahwa Dana Perimbangan terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; dan c. Dana Alokasi Khusus 2.2. Pendapatan Asli Daerah Bukan Pajak Telah dijelaskan sebelumnya bahwa PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain PAD yang sah. Menurut pasal 6 ayat 2 UU 33/2004, lain-lain PAD yang sah meliputi: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dengan itu berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah Bukan Pajak terdiri dari: Retribusi daerah; Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; Lain-lain PAD yang sah yang terdiri dari: o hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; o jasa giro; o pendapatan bunga; o keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan o komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Berikut diuraikan definisi dan jenis retribusi daerah. 2.3. Retribusi Daerah 2.3.1. Pengertian Retribusi Retribusi berasal dari kata retribution yang berarti balas jasa (pembayaran atas jasa yang diterima). Kata lain yang setara dengan retribution adalah charging yang biasa dipakai di Inggris atau Amerika Serikat untuk istilah retibusi. Dari arti katanya dapat dikatakan bahwa istilah retribusi tidak hanya untuk jasa yang disediakan oleh Pemerintah.

Namun di Indonesia, retribusi diartikan sebagai harga atas jasa yang diberikan oleh pemerintah terutama Pemerintah Daerah (Handra, 2000). Retribusi dikenakan kepada individu/organisasi yang menerima pelayanan Pemerintah Daerah. Berbeda dengan pajak, dimana tidak ada pengkaitan langsung antara jasa yang diberikan oleh pemerintah dengan pajak yang dipungut dari masyarakat. Retribusi adalah salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanannya, terutama jenis pelayanan yang jelas individu/badan dari yang pajak, memanfaatkannya. Keterbatasan sumber pembiayaan

mengakibatkan pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan peranan retribusi dalam membiayai pelayanan. Lagi pula jika semua fungsi pemerintah harus dibiayai oleh pajak, akan muncul ketidakadilan, dimana masyarakat yang tidak menerima pelayanan juga harus membayar. 2.3.2. Prinsip Penetapan Retribusi Di dunia usaha swasta, harga barang dan jasa biasanya ditetapkan untuk memaksimumkan keuntungan. Meskipun, untuk jangka waktu tertentu (jangka pendek), harga ditetapkan dalam rangka meningkatkan penguasaan pasar (market share), namun ujung-ujungnya adalah dalam rangka memaksimumkan profit. Lebih jauh lagi, penetapan harga tidak akan mempertimbangkan apakah harga tersebut terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Dan keberadaan pasar yang kompetitiflah yang akan memaksa swasta untuk menurunkan dan menaikkan harganya. Tidak demikian halnya dengan barang dan jasa yang disediakan pemerintah. Kebijakan harga retribusi ditentukan oleh banyak hal. Profit bukanlah tujuan utama. Ada banyak prinsip-prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan seperti ketimpangan pendapatan masyarakat, efisiensi konsumsi, externality, merit goods, dll.

Berikut ini beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah atau badan jasa publik lainnya dalam menetapkan retribusi. Namun perlu diingat bahwa tidak semua prinsip-prinsip berikut perlu dipertimbangkan. Berbeda jenis barang dan jasa berbeda pula prinsip yang perlu dipertimbangkan. Demikian juga, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan sangat menentukan prinsip-prinsip yang perlu digunakan. a. Kemampuan Keuangan. Didalam menetapkan besarnya retribusi, kita perlu mempertimbangkan bahwa retribusi tersebut harus bisa meningkatkan kemampuan keuangan publik yang menyediakan barang dan jasa tersebut. Kemampuan keuanganlah yang nantinya akan menjamin berlangsungnya aktifitas produksinya. Kita tahu bahwa retribusi bukanlah satu-satunya sumber keuangan pelayanan umum. Subsidi dari pemerintah yang berasal dari pajak juga bisa dijadikan alternatif penerimaan. Tetapi didalam mensubsidi badan jasa publik haruslah memiliki maksud tertentu. Davey (1983) memberikan empat alasan perlunya mensubsidi badan jasa publik. The first arises where a service is basically a public good (is provided because of its collective benefit ). The second case occurs where a service is partly a private and partly a public good (where it primarily benefits the individual user), but its consumption needs to be encouraged for some public saving or benefit, such as subsidy for the bus or rail fares to encourage people to use public rather than private transport as a means of reducing traffic congestion and road expenditure. Thirdly, services which are wholly private goods may nevertheless be subsidised if these are in popular demand and the authorities are reluctant to face the public with their full cost, such as recreational facilities. Lastly, a private

good may be subsidised because it is regarded as a basic human need and the lower income groups, at least, could not be expected to meet its full cost. Namun perlu diingat bahwa, pada umumnya yang menyebabkan badan jasa publik mengalami kesulitan keuangan (khususnya di negara berkembang) adalah ketergantungan yang tinggi terhadap subsidi pemerintah. Memang tidak terbantah bahwa badan jasa publik di negara berkembang umumnya tidak efisien, namun di satu sisi pemerintah sering tidak memiliki komitmen untuk mensubsidi kebijakan harga yang notabenenya diatur oleh pemerintah. b. Efisiensi Harga yang ditetapkan perlu juga dipertimbangkan dalam rangka mencapai efisiensi. Bila harga ditetapkan terlalu rendah maka masyarakat akan mengkonsumsi secara berlebihan tanpa memikirkan bahwa itu akan merugikan secara ekonomi. Dengan harga yang terlalu rendah badan jasa publik juga tidak akan mampu membiayai pengembangan pelayanan bahkan biaya pemeliharaan. Salah satu penyebab ketidak efisienan badan jasa publik adalah biaya pemeliharaan yang kurang sehingga barang modal tidak bisa berfungsi menurut umur ekonomisnya. Lebih jauh lagi, harga yang ditetapkan perlu mempertimbangkan prinsip efisiensi ekonomi. Maksudnya kebijakan harga barang dan jasa publik tersebut jangan sampai mengakibatkan distorsi ekonomi. Contoh jika harga listrik untuk sektor Industri terlalu mahal dalam rangka mensubsidi harga listrik bagi masyarakat akan bisa menurunkan jumlah investasi yang memerlukan listrik di suatu ekonomi. c. Keadilan (Equity)

Devas (1992) mendefinisikan konsep keadilan sebagai berikut : (i) Benefit equity. Individu harus membayar jasa yang diterima dari badan publik setara dengan manfaat yang dia dapatkan.
(ii) Social equity. Masyarakat baik yang kaya maupun miskin haruslah

memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan dari badan publik. Dalam hubungan dengan konsep pertama, setiap individu atau konsumen harus membayar jasa yang mereka terima sebesar ongkos penyediaan jasa tersebut tanpa mempertimbangkan apakah mereka adalah pemerintah, orang kaya, bisnismen, industri maju, dll. Sementara itu social equity mengatakan bahwa harga harus ditetapkan agar mampu dicapai oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari yang kaya sampai yang termiskin. d. Externality Positif externality berarti bahwa jasa yang dikonsumsi seseorang tidak hanya memberikan manfaat kepada orang tersebut tetapi juga bagi seluruh masyarakat meskipun masyarakat tersebut tidak menggunakannya. Sebaliknya negatif externality berarti bahwa orang yang mengkonsumsi suatu barang atau jasa akan mengakibatkan orang lain turut membayarnya. Externality ini perlu dipertimbangkan dalam menetapkan harga barang dan jasa publik didalam rangka memaksimumkan manfaatnya bagi masyarakat. Contoh yang jelas adalah makin banyak orang yang mengimunisasikan dirinya makin sehat masyarakat secara keseluruhan. Selain itu azas kemanfaatan juga mengatakan bahwa siapa saja yang mendapatkan manfaat harus membayar. Jadi wajar kalau pemerintah

10

harus turut membayar jenis pelayanan ini dengan uang pajak sebagai bentuk pembayaran dari masyarakat yang juga mendapatkan manfaat. e. Kesederhanaan Administrasi Suatu kebijakan harga yang mempertimbangkan semua prinsip-prinsip di atas bisa menghasilkan tarif yang sulit dan mahal untuk diadministrasi. Sebagai contoh kebijakan tarif yang membedakan harga bagi kelompok kaya dan miskin akan menyulitkan secara administrasi, karena harus ada proses identifikasi pelanggan. Persoalannya bagaimana kita bisa membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Apakah area tempat tinggal bisa memastikan bahwa daerah tersebut adalah tempat tinggal orang miskin dan area yang lain adalah tempat tinggal orang kaya? Apakah jenis rumah bisa merefleksikan kekayaan orang? f. Prinsip lainnya Ada beberapa prinsip lainnya misalnya dalam rangka menstabilisasikan harga, mempengaruhi tingkat konsumsi, kemauan politik, dll. Stabilisasi harga dan popularitas politik sering dijadikan alat oleh pemerintah untuk tidak menaikkan harga barang dan jasa publik. Dalam rangka mempengaruhi tingkat konsumsi, pemerintah dapat menaikan tarif parkir di pusat kota misalnya.

2.3.2. Retribusi Daerah di Indonesia Di Indonesia, terdapat dua jenis retribusi 1. Retribusi atas jasa pelayanan 2. Retribusi atas jasa pengaturan (Perizinan) Kedua hal ini jelas berbeda. Retribusi atas jasa pelayanan jelas pembayaran atas pelayanan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh

11

masyarakat, misalnya retribusi air minum, retribusi berobat, retribusi pasar, retribusi parkir, dll. Sementara itu retribusi atas jasa pengaturan, tidak dinikmati langsung oleh si pembayar fungsi pelayanannya, bahkan si pembayar akan merasakan penggunaan kekuasaan pemerintah, misalnya adalah perizinan taksi, angkutan umum, izin bangunan, dll. Selanjutnya menurut UU 34/2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, maka retribusi daerah dibagi atas 3 jenis: 1. Retribusi jasa umum 2. Retribusi jasa usaha 3. Retribusi perizinan tertentu Retribusi jasa umum dan jasa usaha terkait erat dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh daerah. Apabila tidak ada pelayanan yang diberikan maka tidak dapat dipungut retribusinya. Meskipun demikian pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, tidak seluruhnya dapat dikenakan retribusi penuh, karena sifat-sifat pelayanan tersebut. Apabila kita berpatokan kepada konsep barang publik (public goods), maka jenis pelayanan yang murni bersifat barang publik seperti jalan raya, taman kota, drainase, dll tidak dapat dikenakan retribusi. Namun bila jenis pelayanan bersifat penyediaan barang komersial seperti jasa percetakan, penggunaan aset daerah, dll dapat dikenakan retribusi penuh. Untuk jenis pelayanan yang diantara keduanya dimana terdapat unsur publik sekaligus unsur komersial seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, kebersihan, dll dapat dikenakan retribusi cost recovery untuk menutup sebagian biaya penyediaan jasa. Mengkaji kemungkinan peningkatan PAD Propinsi dari retribusi daerah memerlukan identifikasi jenis retribusi yang dapat dipungut oleh Pemda Propinsi serta memerlukan kajian tingkat retribusi yang dapat dikenakan. 2.4. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Seluruh investasi dan penyertaan modal pemerintah daerah di Perusahaan daerah dan perusahaan terbuka disebut sebagai kekayaan

12

daerah yang dipisahkan. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan jenis pendapatan dengan mengoptimalkan pengelolaannya. Berkait dengan perusahaan daerah, hampir semua pemerintah daerah di dunia ini memiliki perusahaan daerah, dengan berbagai pertimbangan ( Devas, 1989: 111) yaitu : a. Menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat. b. Melindungi konsumen dalam hal adanya monopoli alami, seperti angkutan umum atau telepon. c. Dalam rangka pengambilalihan perusahaan asing. d. Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. e. Dianggap cara yang paling efisien untuk menyediakan layanan publik. f. Untuk menghasilkan penerimaan bagi pemerintah daerah. Perusahaan daerah di Indonesia mungkin tidak terlalu berhasil seperti halnya di negara-negara lain, menurut Devas (1989: 112) mengemukakan beberapa kemungkinan penyebab perusahaan daerah kurang berhasil, yaitu : a. Jenis layanan perusahaan itu tidak cocok untuk dikelola sebagai perusahaan. b. Kegiatan itu sendiri memang sifatnya tidak dapat dikelola sebagai usaha niaga atau pasar setempat terlalu kecil c. Susunan perusahaan daerah itu mungkin mengakibatkan layanan itu dari dalam bagian tubuh pemerintah daerah. d. Tenaga pelaksana yang kurang cakap, mungkin karena tidak berpengalaman dibidang pelayanan tersebut dan mereka tahu pemerintah akan selalu menutup kerugian-kerugian yang diderita perusahaan yang bersangkutan. satuansatuan biaya makin tinggi, dibandingkan dengan biaya penyediaan

13

e. Kesenjangan antara tujuan-tujuan yang harus dicapai perusahaan (misalnya antara mengejar laba atau memberikan layanan semurahmurahnya) Salah satu tolok ukur dalam pengembangan perusahaan daerah adalah bahwa suatu perusahaan daerah harus mampu menebus seluruh biaya yang telah dikeluarkan dan bahkan memperoleh surplus, dengan demikian perusahaan daerah diharapkan menjadi sumber penerimaan daerah dan bukannya menguras penerimaan daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 2000 tentang Pedoman Kerjasama Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga, yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah adalah suatu badan yang modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan pendiriannya diprakarsai oleh pemerintah Daerah 2.5. Lain-lain PAD yang Sah Lain lain PAD yang sah seperti hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, dll, pada dasarnya tidak bisa diandalkan sebagai pendapatan yang bersifat permanen dan berkelanjutan. Pemerintah daerah tentunya tidak boleh memaksimumkan pendapatan bunga dan jasa giro dengan mengorbankan anggaran belanja. Demikian juga untuk pendapatan dari komisi tidak bisa diharapkan jika harus mengorbankan peran pemerintah sebagai regulator. dan

2.6. Kesimpulan

Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa upaya peningkatan PAD bukan pajak dapat dilakukan dengan melakukan ektensifikasi dan intensifikasi penerimaan dari retribusi daerah serta pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

14

Anda mungkin juga menyukai