Anda di halaman 1dari 3

CONTOH KASUS: Delapan BPD Labanya Anjlok (http://www.infobanknews.com/2012/08/delapan-bpd-labanya-anjlok/.

pada 23 November 2012)

Disadur

Turunnya laba beberapa BPD tak hanya karena faktor beban berat operasional dan menurunnya pendapatan, tapi juga karena tekanan politik dan panasnya kursi direksi yang jadi rebutan antarfaksi. Darto Wiryosukarto Secara industri, pertumbuhan laba bank pembangunan daerah (BPD) dari 2010 ke 2011 mengalami kenaikan, meski tak terlalu besar, yakni 7,39%. Namun, dari 26 BPD, ternyata ada delapan BPD yang labanya anjlok, mulai dari 2,28% hingga 39,06%. Selebihnya tumbuh di kisaran satu hingga dua digit. Hanya satu BPD yang mampu tumbuh di atas 100%. Mayoritas BPD yang labanya anjlok disebabkan tidak seimbangnya antara pendapatan operasional dan biaya operasional. Pertumbuhan biaya operasional lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan operasional maupun pendapatan bunga bersih sehingga labanya ikut tergerus. Biaya pegawai menjadi penyumbang utama melambungnya biaya operasional. Namun, menurut seorang bankir BPD, penurunan laba yang terjadi pada sejumlah bank milik pemerintah daerah itu salah satu faktor penyebabnya adalah penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55. Aturan standar yang digunakan untuk membuat pelaporan keuangan itu dinilai ikut memengaruhi angka laba/rugi perbankan karena menyangkut penentuan pencadangan. Selama ini kalau mengacu pada PSAK lama, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) sehingga bank bisa menumpuk cadangan besar-besaran kalau bankir merasa default kredit-nya besar. Celah ini yang banyak dimanfaatkan bank untuk memoles laporan keuangannya dan melakukan window dressing, yaitu merekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu, tutur bankir yang laba banknya ikut anjlok itu. Benarkah demikian? Masih perlu pembuktian lebih lanjut. Yang pasti, dalam catatan Infobank, penurunan laba yang terjadi di BPD tak hanya karena masalah internal atau

kinerja perusahaan, tapi sering juga karena masalah eksternal yang di luar otoritas jajaran direksi. Misalnya, masalah politis terkait dengan adanya kepentingan politik di balik rotasi direksi atau komisaris. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), BPD yang penurunan labanya paling besar adalah Bank Sulteng yang mencapai 39,72%, dari Rp47,99 miliar pada 2010 menjadi Rp28,93 miliar pada akhir 2011. Hal ini dipicu oleh rendahnya pendapatan operasional yang turun 10,03% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di lain sisi, biaya operasional naik 8,20%. Pendapatan bunga bersih juga mengalami penurunan drastis, yakni 27,82%. Rendahnya pertumbuhan kredit, yakni hanya sebesar 4,28%, menjadi penyebab utama rendahnya pendapatan operasional dan pendapatan bunga bersih. Rendahnya kredit yang dikucurkan makin diperparah dengan seretnya pengembalian kredit yang ditandai dengan melambungnya non performing loan (NPL) ke 7,44%. Ini yang kemudian menjadi salah satu alasan BPD melakukan rotasi direksi, meski kental dengan aroma politis. Bank Bengkulu menyusul Bank Sulteng menjadi BPD dengan penurunan laba terbesar kedua, yakni 37,02%. Dari sisi kinerja keuangan, sebetulnya Bank Bengkulu berhasil menurunkan biaya operasional dari Rp231,49 miliar pada 2010 menjadi Rp221,46 miliar pada 2011. Namun, penurunan biaya operasional yang sebesar 4,33% itu tak sebanding dengan penurunan pendapatan operasional yang mencapai 12,02% dan pendapatan bunga bersih yang turun hingga 25,57%. Alhasil, laba Bank Bengkulu pun ikut melorot. Masalah klasik di Bank Bengkulu yang sempat terjadi pada 2010 adalah terjadinya penarikan dana simpanan pemda yang memicu masalah likuiditas. Sebab, selama ini banyak BPD bergantung pada dana simpanan pemda untuk melakukan ekspansi kredit dan biaya operasional. Makanya, ketika pemda melakukan penarikan, lantas muncul masalah likuiditas. Penurunan dengan jumlah yang hampir serempak di kisaran belasan persen terjadi pada Bank Kaltim (14,32%), Bank Jambi (12,24%), Bank Riau Kepri (11,02%), dan Bank Lampung (10,63%). Meski di Bank Kaltim hanya turun 14,32%, jauh di bawah penurunan yang terjadi di Bank Sulteng dan Bank Bengkulu, dari sisi nominal jumlahnya jauh di atas mereka. Dengan penurunan sebesar 14,32%, laba Bank Kaltim anjlok sekitar

Rp82,85 miliar. Pada 2010 Bank Kaltim mampu membukukan laba Rp578,54 miliar, setahun kemudian turun jadi Rp495,69 miliar. Membengkaknya biaya operasional hingga 25,55% menjadi salah satu penyebab utama tergerusnya laba Bank Kaltim pada 2011. Andai saja pendapatan operasional bisa tumbuh lebih besar atau minimal sama dengan biaya operasional, laba Bank Kaltim sangat mungkin bergerak naik. Sayangnya, Bank Kaltim hanya mampu mendongkrak perolehan pendapatan operasional sebesar 8,74%. Bahkan, pendapatan bunga bersih hanya mampu terkatrol 0,96%. Bank Riau Kepri nyaris sama nasibnya dengan Bank Kaltim. Hanya saja, masalah yang menimpa Bank Riau Kepri lebih pelik karena menyangkut kasus dugaan korupsi dan kredit macet. Bank yang baru saja melakukan perombakan jajaran direksi dan komisaris pada pertengahan Juni lalu itu tak hanya mengalami masalah membengkaknya biaya operasional, tapi juga masalah politis yang menyertai kasus dugaan korupsi dan kredit macet. Kasus di Bank Riau Kepri ini seperti menjadi tradisi yang kerap terjadi di BPD. Ironisnya, semua itu bermuara pada suksesi kursi direksi dan komisaris yang selalu menjadi ajang rebutan antarfaksi. Ini yang membuat BPD akan makin sulit mewujudkan komitmen mereka untuk menjadi regional champion di daerahnya masing-masing. Kecukupan modal hanya satu syarat untuk memenuhi ambisinya itu. Yang lebih penting justru kesiapan semua shareholder untuk bersikap profesional ketika memutuskan nasib bank mereka itu dengan mengesampingkan kepentingan faksi, parpol, maupun golongan.

Anda mungkin juga menyukai