Anda di halaman 1dari 12

Cyberculture: Konsep Kehadiran tanpa Melibatkan Tubuh

Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan jaringan komunikasi (blog, online multi-player game. Konsep cyberspace diperkenalkan dalam sebuah novel sci-fi True Name oleh Vernor seorang novelis yang juga ahli matematika pada tahun 1981. Vernor menggunakan istilah The Other Plane untuk menggambarkan keberadaan sebuah jaringan. Konsep ini yang kemudian diadaptasi oleh William Gibson pada tahun 1984 dalam novelnya Neuromancer. Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding. (William Gibson 1984: 51 sebagaimana dikutip Wood dan Smith, 2005:18) Cyberspace digambarkan oleh Gibson jauh sebelum teknologi internet menjadi berkembang. Juga, visualisasi atas representasi grafis di dunia World Wibe web (WWW) yang ada di layar komputer saat ini. Ide Gibson dalam penggunaan kata cyberspace ini setelah ia memerhatikan keyakinan yang muncul dari anak-anak setelah mereka bermain video games. Bahwa anak-anak tersebut meyakini bahwa permainan tersebut adalah nyata dan semua bangunan, ruang, interaksi, maupun benda-benda yang ada di permainan tersebut diyakini sebagai sebuah kenyataan atau eksis meski kenyataan itu tidak bisa dijangkau oleh mereka. to develop a belief that theres some kind of actual space behind the screen, someplace you cant see but you know is there (McCaffery, 1992:272 sebagaimana dikutip Wood dan Smith, 2005:19). Merujuk penggambaran pada kata yang digunakan Gibson, cyberspace lebih dekat dengan (1996) consensual hallucination, namun

Bromberg

menyamakan cyberspace sebagai non-linier reality of mind-altering drugs. Sedangkan Rushkoff (1994) menggunakan kata cyberspace untuk membawa pikiran (manusia) ketingkat atau level selanjutnya dari kesadaran manusia.

Namun, Shawn Wilbur (1997) menjelaskan bahwa melalui fasilitas Web memungkinkan adanya kontak yang halus (ethereal contact), bahwa seseorang akan menemukan efek dalam kehidupan mereka ketika berhubungan dengancyberspace. Sebab, karakteristik dunia virtual bisa menghasilkan efek dan di sisi lain ia juga menjadikan dirinya sebagai sebuah efek. The characteristic of the virtual is that is able to produce effects, or to produce itself as an effect even in the absence of real effects (Wilbur, 1997:9-10). Hubungan antarindividu di dunia virtual bukankah sekadar hubungan yang dikatakan sebagai substanceless halluciantion semata; pada dasarnya hubungan tersebut terjadi secara nyata, memiliki arti, dan juga bisa

berdampak/berlanjut pada kehidupan yang sesungguhnya. Hal inilah yang kemudian ditegaskan oleh Howard Rheingold (1993:5) bahwa cyberspace merupakan ruang konseptual dimana semua kata, hubungan manusia, data, kesejahteraan, dan juga kekuatan dimanifestasikan oleh setiap orang melalui teknologi CMC atau Computer Mediated Communication. the conceptual space where words, human relationships, data, wealth,and power are manifested by people using CMC technology. Meski Wood dan Smith dalam bukunya Online Communication, Lingking Technology, Identitym & Culture (2005:19) mengakui bahwa keberadaan katacyberspace mudah untuk ditelusuri dibandingkan dengan pendefenisiannya, tetapi pendefinisian cyberspace yang

ditawarkan oleh keduanya bukanlah sekadar halusinasi semata, melainkan lebih dekat kepada consensual, conceptual space. Sedangkan menurut Nguyen dan Alexander (1996) menyatakan cyberspace merupakan sinyal dari kemajuan modernitas,cyberspace signals the breakdown of modernity, Turkle (1996) menggambarkanncyberspace sebagai sebuah konteks post-modernis untuk memainkan diri, is a postmodern context for playing with the self, dan Cyberspace bagi Danet (1997) sebagai intrinsically a playfull medium (sebagaimana dikutip Hine 2000:7). Untuk mendekati pengertian cyberspace, Kitchin (1998) sebagaimana dikutip oleh Christine Hine dalam dalam bukunya Virtual tiga Etnography (2001:5-7) merubah memaparkan peran waktu efek dan

dari cyberspace ke

karateristik: pertama,

ruang; kedua, merubah pola komunikasi dan peran komunikasi massa ;ketiga mempertanyakan dualisme seperti yang nyata dan yang virtual, kebenaran atau fiksi, keotentikan atau produksi, peran teknologi dan natural, atau representasi dan realitas. Kondisi ini kembali ditegaskan oleh Poster (1990;1995) bahwa keberadaan internet merupakan fenomeda post-modern yang

mengaburkan batas-batas antara manusia dan (teknologi) mesin serta antara yang real dan yang virtual.

Cyberculture as a Culture

Internet menurut Hine (2007) bisa didekati dalam dua aspek apabila menggunakan pendekatan etnografi, yakni internet sebagai budaya dan internet sebagai artefak kebudayaan. Perbedaan ini berimplikasikhususnya untuk para peneliti etnografikepada perbedaan penggunaan metodologi dalam penelitian di satu sisi maupun secara tegas memaparkan keuntungan maupun kelemahan di sisi lain. Sebagai sebuah budaya (culture), pada awalnya internet ditenggarai sebagai model komunikasi yang sederhana bila dibandingkan dengan model komunikasi secara langsung atau face-to-face (Baym, 1998). Bahwa interaksi face-to-facetidak hanya melibatkan teks sebagai simbol atau tanda dalam berinteraksi semata. Ekspresi wajah, tekanan suara, cara memandang, posisi tubuh, agama, usia, ras, dan sebagainya merupakan tanda-tanda yang juga berperan dalam interaksi antarindividu. Sedangkan dalam CMC interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan emosipun ditunjukkan dengan menggunakan teks, yakni dengan simbol-simbol dalam emoticon. Dengan menggunakan perspektif psikologi sosial, beberapa peneliti seperti Kiesher, Siegel, dan McGuire (1984) maupun Sproull dan Kiesler (1986,1991) mengadakan eksperimen terhadap berkurangnya ikatan sosial yang terjadi antaranggota dalam CMC. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengungkapkan bagaimana perbedaan antara interaksi melalui medium teknologi dan interaksi yang berlangsung secara face-to-face di antara anggota grup dengan memberikan masing-masing grup diberikan tugas. Hasil eksperimen didapat bahwa grup yang mengerjakan tugas melalui medium komputer ternyata memiliki kekurangan dalam ikatan (emosional) sosial dan juga tidak memberikan efek kepada setiap anggota. Teks yang digunakan dalam surat elektonik (electronic mail/e-mail) tidak memberikan tanda-tanda sosial antaranggota seperti jenis kelamin, usia, ras, agama, ekspresi wajah, atau intonation yang pada dasarnya mempunyai pengaruh dalam interaksi secara langsung. Juga, dalam CMC setiap anggota sepertinya tidak memiliki ikatan emosional dan kesadaran bahwa dirinya merupakan anggota kelompok sehingga apa yang mereka lakukan hanya terpaku pada pengerjaan tugas-tugas semata. Berbeda dengan kelompok yang berinteraksi

langsung, bahwa setiap anggota tidak hanya memiliki fokus pada pengerjaan tugas semata melainkan terjadi hubungan atau interaksi antarindividu dalam berbagai topik. Namun, penelitian selanjutnya bisa memetakan bahwa meski dalam CMC ikatan emosional sangatlah kabur dibandingkan interaksi lansung, bila dalam kondisi dan situasi tertentu ternyata melalui CMC tanda-tanda sosial juga memiliki pengaruh. Salah satunya yang dilakukan oleh Rheingold (1993) melalui eksperimen yang disebut dengan WELL (Whole EartLecctronic Link) yang menggambarkan kondisi dari sekelompok individu yang berinteraksi melalui CMC dalam waktu lama pada akhirnya tetap memunculkan efek terhadap relasi personal antaranggotanya. Virtual communities are social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationships in cyberspace (Rheingold, 1993: 5 sebagaimana dikutip Hine, 2000:17). Begitu juga simpulan yang didapat oleh Curtis (1992) serta Buckman (1992) yang memfokuskan penelitiannya kepada MUDs atau Multi-Usser Dimensions, dimana

setiap user atau pengguna internet bisa menjadi siapa saja dan bisa memiliki multi-identitas di internet, menyimpulkan bahwa interaksi melalui CMC pada dasarnya tidaklah berbeda jauh dari konteks sosial yang selama ini dipahami dalam interaksi langsung. Merujuk dari penelitian awal baik dalam WELL maupun MUDs, pada akhirnya linkungan dengan segala fenomena yang ada di internet mengarah pada terbentuknya komunitas virtual, that online enviroments can form virtual communities (Hine, 2000:17). Selanjutnya penelitian terhadap internet dan penggunanya beralih untuk mengungkapkan persepsi antar anggota sebagaimana yang dilakukan oleh Jones (1995), McLaughlin (1995), maupun Kollock dan Smith (1999). Ada perubahan mendasar tentang konsep relasi yang terjadi melalui CMC, bahwa dalam dunia siber selalu ada relasi sosial yang berarti dan eksis sebagaimana yang terjadi dalam interaksi face-to-face. CMC diposisikan sebagai konteks sosial yang berhubungan dengan interaksi antarindividu dibandingkan hanya sekadar menjadikan CMC sebagai medium untuk menujukkan efek baik-buruk. Perkembangan ini pada akhirnya membawa internet sebagai objek penelitian dari berbagai bidang seperti antropologi, studi media, kajian budaya, ilmu politik, studi komunikasi dan media. Penelitian Mark Smith (1999) yang berhasil memetakan struktur sosial maupun level-level aktivitas yang terjadi di di grup diskusi Usenet. Sedangkan hasil penelitian Reid (1995) menunjukkan bahwa hadirnya budaya melalui MUDs

muncul akibat interaksi antaranggota melalui teks bahasa serta setiap anggota membangun caranya sendiri untuk saling berhubungan serta membanguan situasi/lingkungan antaranggota. Pada akhirnya studi terhadap fenomena-fenomena internet, seperti komunitas virtual, ditenggarai sebagai pendorong untuk melakukan pendefenisian baru terhadap kata komunitas yang selama ini hanya terbatas pada praktik-prakti sosial serta kehadiran fisik semata. Kritik terhadap studi maupun penelitian terhadap internet bahwa dalam dunia virtual peneliti harus bisa memastikan bahwa sumber-sumber yang didapat memiliki keotentikan dan kredibilitas. Artinya, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran internet dengan dunia sibernya memungkinkan pengguna atau userbisa menjadi siapa saja dan bisa menjadi berbagai identitas individu. Sebab, bila hanya menyandarkan pada intenet, maka satu-satunya yang menjadi rujukan adalah teks itu sendiri. Teks pria dalam dunis siber ditandai dengak teks P-R-I-A, sementara dalam interaksi face-to-face tanda pria dapat diketahui secara langsung. Inilah yang terjadi dengan Margaret Mead (Freeman, 1996 sebagaimana dikutip Hine, 2000:22) dimana responden di dunia siber yang dipakainya ternyata memberikan keterangan atau informasi palsu. Oleh karena itu, Turkle (1995:324) memberikan penegasan bahwa interaksi yang dilakukan secara online, dalam konteks penelitian, haruslah dapat dipastikan kebenaran identitas responden secara offline atau penelitian telah memastikan bertemu secara face-to-face. Turkle chose not to report on online interactions unless she had also met face-to-face the person involved, considering that for her purposes this level of verification of online identities was required. She acknowledges that this `real-life bias is appropriate for her own study, while it may not be so for others (Hine, 2000:22).

Salah seorang pemikir postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan kebudayaan dalam masyarakat kontemporer adalah Jean Baudrillard. Agak berbeda dengan

filsuf-filsuf postmodernisme lainnya yang memusatkan diri pada metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih kebudayaan sebagai medan pengkajian. Baudrillard ingin mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi dan hiperrealitas. Ia mencoba menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Perancis. Selain dari Marx, Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai semiologi, Marcel Mauss seorang antropolog strukturalis mengenai gift atau pemberian, dan Georges Bataille mengenai expenditure atau belanjaan (Lechte, 1994: 233). Bersepakat dengan dua pemikir terakhir, Baudrillard menolak prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan menyatakan bahwa aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian (Baudrillard, 1993: 68). Ia mengadopsi pendapat Mauss dan Bataille bahwa dalam institusi semacam Kula dan Potlach dalam masyarakat primitif, kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan sesuatu ternyata didasarkan pada prestise dan kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan. Inilah prinsip yang kini semakin transparan berlangsung dalam aktivitas konsumsi masyarakat dewasa ini. Nilai tanda (sign-value) dan nilaisimbol (symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchangevalue). Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat Barat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya refernsi, kecuali simulacra itu sendiri. Dengan menganalisa masyarakat dan kebudayaan Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana simulasi realitas yang sesungguhnya (fakta) tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), namun bahkan telah dikalahkan oleh citra. Lebih jauh, citra lebih dipercaya ketimbang fakta. Inilah era hiperrealitas, dimana realitas asli dikalahkan oleh realitas buatan.

KEBUDAYAAN POSTMODERN JEAN BAUDRILLARD Melalui bukunya yang banyak menarik perhatian, Simulations (1983), Baudrillard memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam dunia simulacra, simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme. Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pramodern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern, yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai: The end of labor. Ungkapan Baudrillard ini sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain (Piliang, 1998: 13). Dalam dunia simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya. Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard merupakan cerminan apa yang disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-

ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Simulacra tidak memiliki acuan, ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.

Ruang simulacra ini memungkinkan seseorang menjelajahi berbagai fragmen realitas, baik nyata maupun semu; mereproduksi, merekayasa dan mensimulasi segala sesuatu sampai batasannya yang terjauh. Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat dewasa ini, papar Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era Renaisans. Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan periode historis, semenjak era Renaisans hingga sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra Orde Kedua dan simulacra Orde Ketiga (Baudrillard, 1983: 54-56). Simulacra Orde Pertama, berlangsung semenjak era Renaisans-Feodal hingga permulaan Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra Orde Pertama adalah prinsip representasi. Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagai tiruan, bahasa, objek dan tanda masih memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994: 103). Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Revolusi Industri, di satu sisi telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. Namun disisi lain, Revolusi Industri juga telah menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. Logika produksi, yang menjadi prinsip simulacra Orde Kedua, telah mendorong perkembangan teknologi mekanik sampai pada batasannya yang terjauh. Mengikuti Walter Benjamin, dalam esainya, The Work of Art in The Era of Mechanical Reproduction (1969), Baudrillard menyatakan bahwa dengan teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi

objek-objek alamiah telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik inilah, prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra Orde Kedua. Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme dan kapitalisme pada era Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur dan struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode dan subjek budaya tidak lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulacra Orde Ketiga ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi makna realitas. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi. Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk diantara semuanya. Baudrillard memandang berkembangnya teknologi digital yang bertumpu pada model-biner ini sebagai suatu dasar proses transformasi sosial masyarakat kapitalisme lanjut. Gagasan McLuhan tentang medium is message ditariknya sampai ke batasannya yang paling ekstrem, yakni media yang berupa kode-kode digital. Dengan kode-kode digital maka proses reproduksi beranjak ke batasannya yang paling ekstrem pula. Ketika objek-objek direproduksi dengan teknologi model-biner, maka objek-objek menjadi tidak dapat dibedakan satu sama lain, bahkan dari model-model yang menjadi sumbernya. Lebih lanjut, realitas menjadi kehilangan referensi. Realitas, menurut Baudrillard, kini harus didefinisikan kembali sebagai segala sesuatu yang mungkin dan dapat direproduksi secara

Postmodernisme: Sebuah Dunia Hiperrealitas Hiperrealitas adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Boneka Barbie, yang telah diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys sejak tahun 1959, adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika suatu realitas buatan telah melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi proporsi tubuh dan kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka dengan kecantikan dan kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran kecantikan manusia. Barbie juga

melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-peran yang ditanamkan padanya sebagai wanita karier, fotomodel, guru taman kanak-kanak, bintang film, duta kehormatan PBB, aktivis lingkungan hidup dan lain sebagainya pada saat yang sama. Singkat kata, ia adalah figure manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Barbie ini merupakan silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode yang sengaja diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai simbol wanita modern. Dengan representasi seperti ini Barbie seolah lahir sebagai Barbie yang real, Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk menentukan dan membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan tubuhnya. Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media, yang disebut Baudrillard sebagai realitas mediascape (Baudrillard, 1983: 14). Dalam realitas mediascape media massa menjadi produk budaya paling dominan. Dengan media massa, media kini tak lagi sebatas sebagai perpanjangan badan manusia ala McLuhan, namun media kini sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dirinya.

Dengan pandangannya yang cenderung fatalis dan nihilis, Baudrillard menarik garis tajam pemikiran McLuhan sampai batasannya yang terjauh. Ia mengangkat pandangan-pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan manusia dan global village ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini telah menjelma menjadi desa besar yang disebut Baudrillard sebagai hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16). Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard, laser disc dan internet menurut pandangan Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citracitra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca televisi, disket ataupun internet (Piliang, 1998: 197). Robot misalnya, yang pada awalnya diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah menjelma menjadi pesaing manusia (misalnya dalam bidang lapangan kerja, olahraga catur dan lomba kecerdasan). Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan (citracitra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun kedalaman makna. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah

realitas tanpa referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983: 2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146). Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Simulations (1983), Baudrillard menjelaskan lebih detail kondisi hiperrealitas ini sebagai: Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini dibentuk dari unitunit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model acuan dan dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi, maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model model gabungan dalam ruang hiperspace tanpa atmosfer). Jean Baudrillard juga mengungkapkan dua istilah, yakni: Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas itu sendiri. Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena samasama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak. Ada 4 hierarki/tahap dalam simulasi: (Baudrillard, 1983) 1. Ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud dari realitas. 2. Ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal: Gaul itu adalah dengan menonton MTV.

3. Ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi ketiadaan Disneyland tersebut. 4. Dan akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves. Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Bandung yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Cihampelas Walk; atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia friendster. Nah, seperti Shopping Malls, Televisi, dan Friendster itu lah yang merupakan miniatur dari dunia yang dilipat, seperti yang sudah disebutkan diatas.

Sumber:
http://kangarul.wordpress.com/ http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html

Anda mungkin juga menyukai