Anda di halaman 1dari 26

Masa Pemerintahan Habibie

Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek outside-in dan inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu misalnya, conditionality yang diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis ekonomi berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan demokratisasi di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa transisi.

Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.[6]Akan internasional tetapi, melalui Habibie berusaha cara. mendapatkan dukungan beragam

Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Pertama adalah UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat

konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut.

Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) dapat dijadikan ilustrasi yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk menghentikan proyek pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari 1998, tepat ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang dipertanyakan. Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.[7]

Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.

Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.

Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.

Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.[8]

Aksi

kekerasan

yang

terjadi

sebelum

dan

setelah

referendum

kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.[9]

Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie milisi menawarkan pro integrasi refendum, yang namun di lapangan tindakan mendukung berujung pada

kekerasan di Timor Timur setelah referendum.[10]

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998. Habibie : Bapak Demokrasi IndonesiaHabibie mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan dari proaktif dan prediksi preventive atas interpretasi dari demokrasi sebagai sebuah mesin politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam berbagai agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti:

Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999) Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999) Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999) Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi) Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999) Kebebasan pers dan media, Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999) Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas prinsip demokrasi; Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar Pakpahan) Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.

Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI, Habibie telah memelihara pandangan modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan. Peran penting Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai Bapak Demokrasi. Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia yang memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie (masalah referendum Timor-Timur), Habibie secara berani mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa sekali pidatonya ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam pemilihan. Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi. Karena demokratis-nya Habibie, maka iapun memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan sikap masa depannya. Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah orang yang bodoh dengan mudah memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat. Habibie sebagai Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara yuridis, wilayah kesatuan negara Indonesai sejak 17 Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Irian Jaya/ Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata. Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer Indonesia di Timor-Timur merupakan bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya Indonesia tidak ikut campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur

dari penjajahan Portugis. Jadi, kita dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa kasus Aceh dan Papua berbeda dengan Timor-Timur. Master of EconomicDari nilai tukar rupiah Rp 15000 per dollar diawal jabatannya, Habibie mampu membawa nilai tukar rupiah ke posisi Rp 7000 per dollar. Ketika inflasi mencapai 76% pada periode Januari-September 1998, setahun kemudian Habibie mampu mengendalikan harga barang dan jasa dengan kenaikan 2% pada periode JanuariSeptember 1999. Indeks IHSG naik dari 200 poin menjadi 588 poin setelah 17 bulan memimpin. Tentu, indikator-indikator kesuksesan ekonomi era Habibie tidak dapat diikuti dengan baik oleh masa pemerintah Megawati maupun SBY. alam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :

Merekapitulasi perbankan Merekonstruksi perekonomian Indonesia. Melikuidasi beberapa bank bermasalah. Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent. 2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbedabeda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.

Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Adanya undang undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal. 3. Masalah Dwifungsi ABRI Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik. Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 4. Reformasi Bidang Hukum Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat. Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undangundang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak. Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompokkelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat. 5. Sidang Istimewa MPR Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS

yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan. 6. Pemilihan Umum Tahun 1999 Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat. Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan umum. Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum. 7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999 Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien

Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia. Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004. Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009. Diposkan oleh AndiJack di 22.31

2 komentar:

Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Pertama menjabat Presiden, yang dilakukan adalah membubarkan Departemen Penerangan. Artinya dua hal penting sekaligus dieliminir, yaitu hilangnya kontrol struktural dan ancaman kekuasaan terhadap kebebasan pers. Salah satu pilar utama proses demokratisasi yang membutuhkan keterbukaan serta cara pengawasan cerdas dari publik.

Kemudian pembubaran Departemen Sosial yang selama ini menjadi sarang penyamun, pusat pengumpulan dana taktis yang korup untuk kepentingan kekuasaan. Menimbulkan keresahan dan kerusakan sistemik justru terhadap sistem sosial masyarakat karena kerap dijadikan kedok kegiatan ilegal. Misalnya undian berhadiah alias judi. Terbukti bangkitnya kembali Depsos di era Megawati, kembali menghidupkan gairah judi di tengah masyarakat. Maraknya judi togel adalah salah satunya. Beberapa waktu terakhir Depsos juga kembali menyelenggarakan kegiatan sejenis. Hal lain yang dilakukan Gus Dur adalah menegakkan supremasi sipil. Hanya Gus Dur yang berani mengamputasi kekuasaan dan pengaruh kaum militer, mereka dikebalikan ke barak. Dilepas keterkaitannya dari semua sendi kekuasaan sipil. Kemudian menempatkan kekuatan kepolisian sebagai lembaga yang mengurus keamanan dalam negeri serta melakukan penegakan hukum. Bukan lagi di tangan militer yang selalu menempatkan lembaga kepolisian sebagai adik manis yang penurut dan tak berani membantah. Sayang sekali, kepolisian adalah salah satu lembaga yang kemudian justru mengkhianati Gus Dur ketika dilengserkan. Treatment yang dilakukan Gus Dur terhadap kekuatan bersenjata, adalah cara paling tepat untuk membebaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dari pengaruh militerisme sabagai paham maupun cara berpolitik dalam menyelenggarakan birokrasi kekuasaan pemerintahan. Sayang sekali, pemerintahan Megawati justru mengembalikan semua itu ke posisi semula. Memberi kesempatan dan jalan bagi kaum militer untuk melakukan infiltrasi kembali dalam tubuh kekuatan sipil yang baru saja berkuasa dan belum lagi matang dalam pengalaman politik. Terbukti penerapan darurat militer di Aceh dan seringnya terjadi bentrok antara Polisi dan TNI adalah bukti gagalnya Megawati dalam mengelola proses menegakkan supremasi sipil dan tak ada rasa percaya diri potensi kekuasaan sipil yang sebenarnya punya kesempatan luas untuk diekspresikan di era reformasi ini. Terbukti dengan tampilnya tiga mantan Jenderal dalam bursa kekuasaan Pemilu 2004. Termasuk kuatnya pengaruh dan banyak munculnya calon jadi partai dari kalangan mantan militer di tubuh parlemen. Sehingga ini sebenarnya pengingkaran bagi komitmen penghapusan militerisme dalam tubuh parlemen. Gus Dur juga telah berupaya meletakkan dasar yang kuat bagi upaya pemberantasan KKN. Salah satu sendi yang diperbaiki adalah kesejahteraan abdi negara. Gaji PNS, Polri dan TNI dinaikkan 3 x lipat, jauh lebih tinggi dari apa yang pernah dilakukan Orde Baru. Tujuannya jelas, mengupayakan aparatur pemerintahan yang bersih dan memiliki daya tolak terhadap godaan KKN. Tentu diharapkan menjadi teladan bagi seluruh bangsa Indonesia. Karena sumber KKN adalah dari status quo kekuasaan birokrasi yang memang

telah lama punya kecenderungan korup. Diiringi dengan sikap jujur, bersahaja dan hidup sederhana yang juga diteladankan sendiri oleh Gus Dur dan keluarganya. Pilihan penggantian sosok pejabat dan menteri yang terkenal sederhana, bersih, jujur, tulus dan berani seperti Baharudin Lopa (Almarhum) adalah contoh nyata komitmen Gus Dur pada pemberantasan KKN dan perwujudan aparatur negara yang lurus. Langkah pembenahan Gus Dur yang akhirnya terganjal sampai berakhir dengan pelengseran dirinya adalah ketika mencoba mereformasi bidang hukum dan ekonomi. Upayanya menyeret para koruptor dan politikus busuk ke meja hijau serta pengejaran terhadap konglomerat hitam, telah mengakibatkan munculnya konspirasi politik untuk melawan upayanya yang berani itu. Diawali dengan polemik politik di DPR dalam hal penempatan hakim-hakim agung Mahkamah Agung yang profesional dan lurus serta punya komitmen kuat dan keberanian dalam membasmi KKN seperti sosok Benjamin Mangkudilaga, dijegal kongkalikong politisi busuk yang menguasai senayan. Sehingga akhirnya, MA justru dikuasai oleh hakim-hakim yang tercemar dan terkait praktik korup Orde Baru. Para politisi partai status quo berhasil membendung mesin buldozer KKN Gus Dur. Tentu saja untuk cover up semua praktik busuk mereka dan menyelamatkan asset yang telah dikuasai selama ini. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga menggalang dukungan dari partai, politikus reformis yang masih bau kencur serta terobsesi kekuasaan. Dengan mudah mereka diseret ke dalam skenario konspirasi politik untuk menjatuhkan Gus Dur. Inilah awal era kegelapan. Masa ketika seorang Presiden RI bisa dijatuhkan tanpa ada kesalahan. Tanpa ada pengadilan pidana maupun perdata yang membuktikan kesalahannya yang memang sesungguhnya tidak pernah ada. Sedang di kemudian hari, seorang Ketua DPR yang telah divonis oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam kasus pidana korupsi, tetap bisa menjabat dengan leluasa. Bahkan lolos gemilang di tingkat MA, satu hal yang menjadi fakta pembenaran atas langkah Gus Dur yang dulu dijegal. MA terbukti menjadi pintu yang membebaskan politisi dan pejabat Orde Baru, koruptor dan konglomerat hitam dari jerat hukum.

Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara

faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri).

Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.

Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor jelas Timur TNI setelah jauh dan referendum Komisi pro milisi 1999 direncanakan menyatakan tersebut.[11] secara dengan sistematis. bahwa Lebih tersebut integrasi

merupakan dua pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan

Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada Dewan Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI yang dinilai bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, KPP HAM yang dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca referendum juga melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM serius di Timor Timur dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang terlibat, termasuk Wiranto.[12]

Menyikapi

laporan

ini,

Wahid

menyatakan

dari

Davos

saat

ia

menghadiri World Economic Forum bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinetnya.[13] Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur dari kabinet dan akibatnya memunculkan spekulasi kemungkinan kudeta oleh TNI.

Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB Richard Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa TNI tidak mendukung investigasi atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan.[14] Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi pernyataan bahwa TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima Daerah Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI tetap loyal kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan ia memberi pernyataan menarik yaitu:

TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East Timor issue. We were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that the president wanted to let go of East Timor at the expense of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.[15]

Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjung. [16] Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh prodemokrasi[17] untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada publik ketika Sekjen PBB Kofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi persnya di istana presiden setelah bertemu Wahid, Kofi Annan menyatakan bahwa the decision [onWiranto] has proven that Indonesia had taken on responsibility to ensure that those responsible for the atrocities in East Timor would be made accountable.[18]

Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh[19] dan isu perbaikan ekonomi.

Masa Pemerintahan Megawati Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York

untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.

Selain

berbagai

kunjungan

formal

tersebut,

politik

luar

negeri

Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.

Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam

pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.[20]

Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.

Demokrasi dan Politik Luar Negeri di Masa Transisi: Mencari Benang Merah

Tidak

bisa

ditolak

bahwa

demokratisasi

dan

perubahan

politik

mendalam terus berlangsung di semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif. Di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah dengan DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi hanya terjadi dalam level yang sangat minimal. Karena itu, perumusan

kebijakan diplomasi dan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan dalam dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan nasional secara lebih luas.

Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi, sebagaimana dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang umum terjadi. Seperti ditulis Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya Democratization and Russian Foreign Policy (1999), partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia merupakan arena terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya.

Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses demokratisasi memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensinya, terjadi perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar negeri. Berkaitan dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya instrumen diplomasi. Karena, input-input untuk sebuah kebijakan menjadi amat beragam, baik isi ataupun sumbernya.

Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan beberapa pihak di DPR dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan fenomena sehat dalam bidang diplomasi sebuah negara yang demokratis. Robert Putnam (1993) menyebutnya

sebagaidouble-edged diplomacy[21], yaitu adanya keharusan mereka yang terlibat dalam proses diplomasi untuk menyadari bahwa diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif harus mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin aktor politik, salah satunya adalah pihak legislatif.

Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan juga penting untuk selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negaranegara lain, baik dalam konteks regional ataupun global.

Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang mencoba menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif membantu mencari solusi damai dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN dan luar ASEAN, aktif membantu penyelesaian konflik Kamboja, dan juga dalam isu domestik di Filipina Selatan.

Peran

tradisional

ini

kembali

dimunculkan

ketika

Indonesia

mengajukan konsep pembentukan ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari Indonesia memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas perubahan politik dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.

ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai firstlinerpertahanan negara di masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah masyarakat Asia Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan kekerasan atau instrumen militer dalam menyelesaikan konflik. Karena itu, apabila Indonesia tidak mampu secara konsisten menempuh jalan damai untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak mungkin Indonesia akan terjebak dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong penyelesaian damai dalam persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara kekerasan dalam menghadapi persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda semacam ini yang akan memberi citra buruk di luar negeri.

Karena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup dan perlu memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara sepenuhnya bersesuaian dengan kepentingan Indonesia. Situasi damai dan stabil hanya akan dicapai apabila penyelesaian konflik secara damai, tanpa kekerasan, telah disepakati menjadi norma bersama. Dan Indonesia telah menunjukan diri sebagai penganjur penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan Asia Tenggara sebagaimana dicontohkan di atas.

Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri

sebagai negara demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses konsolidasi di dalam negeri.

Preseden baik telah dicapai dalam sikap Indonesia saat menolak aksi unilateralisme dalam isu Irak. Sikap Indonesia dalam forum internasional konsisten dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia yang menolak perang. Bahkan melalui diplomasi publiknya, Deplu bersama-sama elemen masyarakat dan tokoh agama aktif mengkampanyekan publik kian suara anti perang dan memilih prinsip multilateralisme. Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa suara menjadi elemen penting dalam politik luar negeri Indonesia. ada masa pemerintahan Megawati dan SBY telah banyak perkembangan positif dalam bidang perlindungan hak asasi manusia. Diratifikasinya berbagai instrument HAM, diberlakukannya sistem multi partai dan desentralisasi, adanya berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran serta dilaksanakannya pemilihan umum yang melibatkan banyak masyarakat Indonesia sedikit banyak telah memberikan harapan akan membaiknya perlindungan HAM di Indonesia. Pada masa Megawati terbentuk Undang Undang Perlindungan Anak No.23/2003 dan Undang Undang Penghapusan kekerasan dalam rumah tanga UU No.23/2004 UU PKDRT adalah wujud kemenangan perempuan membawa masalah KDRT yang selama ini dianggap isu personal/domestik menjadi isu publik/politik. 3. Indonesia masa pemerintahan B.J. Habibie: Kebijakan-kebijakan pada masa Habibie: Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari Golkar, PPP, dan PDI. Mengadakan reformasi dalam bidang politik Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh Independen.

Kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Refomasi dalam bidang hukum Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan bila berhubungan dengan penguasa. Mengatasi masalah dwifungsi ABRI Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan akhirnya ditiadakan. Mengadakan sidang istimewa Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil menetapkan 12 ketetapan. Mengadakan pemilu tahun 1999 Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan adil). Masalah yang ada yaitu ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang disampaikan pada sidang umum MPR tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden lagi sangat kecil dan kemudian dirinya tidak mencalonkan diri pada pemilu yang dilaksanakan. 4. Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid: Kebijakan-kebijakan pada masa Gus Dur: Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua). Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional). Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur. Masalah yang ada: Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri. Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh

anggota DPR. Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, Polri dan partai politik serta masyarakat sehingga dekrit tersebut malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang istimewa 23 Juli 2001 menuntutnya diturunkan dari jabatan. 5. Indonesia masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri: Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati: Memilih dan Menetapkan Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang. Membangun tatanan politik yang baru Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres. Menjaga keutuhan NKRI Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur dari RI. Melanjutkan amandemen UUD 1945 Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Meluruskan otonomi daerah Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap daerah-daerah. Tidak ada masalah yang berarti dalam masa pemerintahan Megawati kecuali peristiwa Bom Bali dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan. 6. Indonesia masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: Kebijakan-kebijakan pada masa SBY: Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN. Konversi minyak tanah ke gas. Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB. Buy back saham BUMN Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil. Subsidi BBM. Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008". Pemberian bibit unggul pada petani. Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Masalah yang ada: Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan

karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa. Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang sok kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar. Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok. Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan. Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri Pahlawan Kesiangan. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat. 7. Dampak reformasi bagi rakyat Indonesia: Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan keterbukaan tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama. Rakyat sulit membedakan apakah sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai politik karena adanya perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya. Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas

yang tegas pada teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi pengelolaan wilayah pengairan. Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya parpol-parpol baru), ekonomi (misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi melulu milik negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah). Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus dikurangi (sejak 2004, wakil militer di MPR/DPR dihapus).

ada masa pemerintahan Megawati dan SBY telah banyak perkembangan positif dalam bidang perlindungan hak asasi manusia. Diratifikasinya berbagai instrument HAM, diberlakukannya sistem multi partai dan desentralisasi, adanya berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran serta dilaksanakannya pemilihan umum yang melibatkan banyak masyarakat Indonesia sedikit banyak telah memberikan harapan akan membaiknya perlindungan HAM di Indonesia. Pada masa Megawati terbentuk Undang Undang Perlindungan Anak No.23/2003 dan Undang Undang Penghapusan kekerasan dalam rumah tanga UU No.23/2004 UU PKDRT adalah wujud kemenangan perempuan membawa masalah KDRT yang selama ini dianggap isu personal/domestik menjadi isu publik/politik. Edoman 1. Pemberantasan Korupsi Landasan pokok bagi upaya pemberantasan korupsi secara nasional sejak berakhirnya rejim Orde Baru ialah Ketetapan MPR No.XI tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Ketetapan ini merupakan mandat pokok bagi pemerintahan rejim berikutnya untuk lebih serius menangani masalah korupsi di Indonesia. Selanjutnya pemerintahan pada masa presiden Habibie berhasil meratifikasi UU No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut menguraikan secara umum strategi pemerintah untuk menertibkan aparatur negara dan mencegah berbagai bentuk tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah. Undang-undang ini juga mendukung perangkat peraturan sebelumnya yang telah mendukung pemberantasan korupsi, antara lain UU No.11/1980 tentang anti-suap. Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, UU No.31/1999 diperbarui menjadi UU No.20/2001 tentang pemberantasan korupsi. Sebagian besar materi yang terdapat di dalamnya masih sama, tetapi undang-undang ini merinci secara lebih jelas strategi jangka menengah yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun undang-undang ini tampaknya belum berhasil untuk menggerakkan secara sungguh-sungguh aparat kejaksaan dan kehakiman untuk menjerat para koruptor dalam pemerintahan. Ketidakstabilan politik

yang terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid juga menyulitkan pemerintah untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah korupsi. Terdapat pula PP No.19/2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim yang terbentuk ternyata tidak berjalan efektif karena tidak didukung komitmen politik. Di luar itu ada juga komitmen untuk memberantas korupsi meskipun lebih banyak berupa imbauan atau insinuasi. Misalnyakeluarnya PP No.71/2000 tentang peran-serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Peraturan ini merupakan imbauan yang tampaknya tetap kurang efektif karena pemerintah sendiri ketika itu belum menunjukkan tindakan yang jelas kepada para koruptor yang juga melibatkan para politisi. Selanjutnya, pada masa pemerintahan presiden Megawati, ada beberapa langkah kebijakan baru untuk melengkapi produk peraturan perundangan mengenai pemberantasan korupsi. Diantaranya adalah disahkannya UU No.30/2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Komisi ini sesungguhnya sudah digagas pada masa pemerintahan sebelumnya, tetapi karena begitu pendeknya pemerintahan Abdurrahman Wahid, undang-undang baru disahkan pada masa pemerintahan Megawati. Kemudian, disahkan juga UU No.15/2002 tentang anti pencucian uang. Materi tentang anti pencucian uang juga diperbarui dengan UU No.25/2003 pada masa pemerintahan Megawati. Untuk mencegah berbagai bentuk korupsi aparatur pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa, juga disahkan Keputusan Presiden No.80/2003 tentang pedoman pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Keppres ini belakangan mengakibatkan banyak kontroversi karena kemacetan pengadaan akibat prosedur baru yang lebih ketat dalam pengadaan barang dan jasa. Tetapi sesungguhnya tersirat dengan jelas bahwa peraturan ini bermaksud untuk mengurangi tindak pidana korupsi dalam proses lelang oleh lembaga pemerintah. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak terdapat undang-undang baru yang disahkan dengan judul pemberantasan korupsi. Namun komitmen untuk memberantas korupsi diperbarui dengan munculnya Inpres No.5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Upaya percepatan ini ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Presiden No.11/2005 tentang Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Selanjutnya, pemerintah bersama DPR meratifikasi UU No.7/2006 tentang pengesahan konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Anti Korupsi. Sebuah produk perundangan yang penting dalam upaya untuk melakukan pembuktian dalam kasus-kasus korupsi adalah UU No.1/2006 tentang bantuan timbal-balik masalah pidana. Di masa mendatang undang-undang ini akan membantu upaya pembuktian terbalik dalam kasus-kasus korupsi.

2. Pedoman Perencanaan Pembangunan Salah satu kemajuan yang telah dapat dicapai dari segi perencanaan pembangunan adalah dibuatnya kerangka kebijakan yang pasti dengan rentang waktu periode perencanaan yang jelas, yaitu dengan disahkannya UU No.25/2004 tentang SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional). Di dalam undang-undang ini dirinci secara jelas sistem dan mekanisme perencanaan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan kerangka politik nasional yang semakin demokratis dan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Ada petunjuk yang makin jelas tentang keterkaitan antara rencana jangka panjang (25 tahunan), rencana jangka menengah (5 tahunan), maupun rencana jangka pendek (1 tahunan). Kecuali itu, terdapat pedoman bagi daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang harus disusun sesuai dengan periode waktu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). penyusunan rencana pembangunan juga ditunjang oleh berbagai peraturan yang menyangkut pelaksanaan, pengendalian dan evaluasinya. Sebagai contoh, terdapat PP No.8/2008 tentang tahapan, tata-cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. 3. Perlindungan Saksi Upaya untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih harus didukung dengan partisipasi dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada umumnya. Karena para saksi yang menjumpai adanya tindak pidana korupsi seringkali tidak bersedia mengadukan kepada lembaga kejaksaan karena takut akan jaminan keselamatan dirinya, maka disahkannya UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu kemajuan penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan sekaligus melakukan membersihkan birokrasi dari berbagai bentuk penyelewengan. Peraturan perundangan pokok ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No.13/2007 tentang susunan panitia seleksi, tatacara pelaksanaan seleksi, dan militansi calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Akses Publik terhadap Informasi Masih ada tarik-ulur berbagai pihak tentang bentuk final dari undang-undang tentang akses publik terhadap informasi yang menyangkut kebijakan pemerintah. Yang perlu dicermati memang menyangkut soal-soal yang dapat segera diketahui oleh publik dan ketentuan tentang kerahasiaan negara yang bisa mengakibatkan persoalan menyangkut stabilitas dan keamanan. Draf undang-undang yang ada memberi judul perangkat peraturan ini sebagai UU Kebebasan Memperoleh Informasi. Yang beredar di masyarakat ada dua versi; satu versi dari DPR yang tampaknya lebih mengutamakan segi-segi keamanan untuk menjaga rahasia negara, dan satu versi dari koalisi LSM yang mengutamakan kebebasan memperoleh informasi sebagai perwujudan dari hak seluruh unsur masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai